Konsep Pemisahan Kekuasaan
Didalam sistem pemerintahan atau ketatanegaraan, Indonesia pernah menganut konsep pemisahan kekuasaan yang dikenal sebagai Trias Politica, berasal dari bahasa Yunani (Tri = tiga; As = poros/pusat; Politica = kekuasaan). Atau dalam analogi kearifan lokal diistilahkan dengan Tritangtu Di Buwana; Karamaan, Karatuan dan Karesian.
Tritangtu itu bagi masyarakat Sunda memiliki arti :
1. Sunda itu SandiKala, era sebelum matahari terbit, peradaban induk, ibu, Reshi, hanya ada di jaman Megalitikum.
2. Jawa itu Purwakala, era matahari terbit hingga jam 12 siang, tepat dimana candi-candi era Ratu, candi-candi mulai ada.
3. Nusantara itu JalmaWangsa, era matahari tinggi jam 12 sampai Eser/Geser jam 18:00, sampai dengan revolusi era Reshi kembali.
Tiga komponen ini disebut Tritangtu Ing Buwana, Jati diri Wangsa Nusantara, dengan sistem pemerintahan Trias Politica yang mengenal pemisahan kekuasaan, Rama-Ratu-Reshi adalah TRI TUNGGAL Negeri SundaPura
Tritangtu adalah filsafah hukum kehidupan masyarakat yang telah dikenal sejak ribuan tahun khususnya di bumi Nusantara. Falsafah Hukum ini berfungsi mengatur semua aspek kehidupan di antaranya kehidupan manusia dengan Sang Pencipta, berbangsa/bernegara, bermasyarakat, sesama mahluk hidup, dan alam semesta diseluruh jagad raya.
Falsafah ini mempunyai sifat yang dikenal sebagai Asih, Asah dan Asuh sebagai dasar dari kehendak Tuhan atau hukum alam yang pasti atau tangtu/tentu/pasti.
Hukum tangtu telah di terapkan di era kejayaan kerajaan Padjajaran dan Majapahit yang terbukti dengan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat yang hidup saat itu.
Kemudian konsep Tritangtu ini digunakan oleh para pendiri bangsa sebagai salah satu dasar perumusan Pancasila dan Naskah Asli UUD 45 untuk terwujudnya keadilan sosial bagis rakyat Indonesia melalui Demokrasi Pancasila dan menjunjung tinggi norma-norma tradisi Nusantara.
Ide Tritangtu tersebut di dalam konsep tatanegara juga dikenal sebagai konsep Trias Politica yang dirumuskan oleh Montesquieu. Trias Politica adalah suatu paham yang mempunyai anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan; Eksekutif (pelaksana Undang-Undang), Legislatif (pembuat Undang-Undang), dan Yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan Undang-Undang).
Ini yang merupakan ide pokok dalam Demokrasi, yakni sebuah bentuk pemisahan kekuasaan dalam sebuah Negara yang memisahkan kekuasaan Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif. Tujuan dari trias politica ini sendiri adalah agar tidak ada pelimpahan kekuasaan terhadap orang yang sama, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh orang yang berkuasa bias dihindari.
Dengan terpisahnya 3(tiga) bentukan kekuasaan dalam pemerintahan, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, dan saling mengimbangi).
Yang pertama adalah MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR adalah lembaga tertinggi negara dimana mandat seluruh rakyat ada di tangannya. Presiden dipilih dan ditunjuk oleh MPR. Dan sebagai penerima mandat alias mandataris MPR, presiden diakhir masa jabatannya harus melakukan pertanggungjawaban di hadapan sidang Paripurna MPR. Pertanyaannya, sekarang bagaimana cara rakyat meminta pertanggungjawaban presiden, dan siapa yang berwenang meminta pertanggungjawaban presiden?
Yang kedua adalah DPR, Dewan Perwakilan Rakyat. Tugasnya adalah sebagai lembaga Legislatif; lembaga yang membuat kebijakan, peraturan dan juga Undang-undang. Inilah tugas yang dilakukan anggota DPR RI.
Sedangkan Eksekutif adalah yang melaksanakan kebijakan, yakni Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-menterinya. Presiden sebagai kepala negara bertugas mengurus negara, dibantu oleh Wakil Presiden dan para menterinya. Dan tidak ada yang namanya wakil menteri.
Lalu ada lembaga yang mengatur soal hukum negara, disebut sebagai lembaga Yudikatif. Yaitu MA, Mahkamah Agung.
Tetapi sejak amandemen UUD 1945 sebanyak 4x dan diberlakukannya UUD 45 palsu atau UUD 2002, sistem tata negara menjadi kacau balau. Tidak ada lagi pemisahan kekuasaan. Semuanya sepertinya berpusat di eksekutif, utamanya presiden. Di era saat UUD 45 masih berlaku, era orde baru, pungutan Rp 1 saja ditetapkan dengan KEPPRES dan disetujui oleh DPR RI. Kemudian baru diumumkan dan disosialisasikan kepada rakyat semua.
Sekarang ujug-ujug listrik naik sendiri. Tarif toll pun dinaikan. BPJS dinaikan, BBM naik signifikan diiringi dengan efek dominonya berupa kenaikan sembako, banyak pungutan dan pajak-pajak yang juga “diadakan.”
Sedemikian rusaknya tatanan bernegara yang berlaku di Indonesia ini ditengarai semenjak diberlakukannya UUD 45 palsu. Fungsi MPR yang seharusnya sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi hanya sebagai lembaga tinggi biasa, sama seperti lembaga tinggi lainnya. Tidak berfungsi sebagai pemegang mandat tertinggi dari rakyat. Kini, pemandulan fungsi kelembagaan itu menimpa DPR juga. Lembaga yang awalnya dibentuk untuk bersuara menyalurkan aspirasi rakyat, kini hanya serupa onggokan zombie tanpa ruh, tukang stempel kekuasaan dan makelar proyek. Sudah tidak ada harapan bagi rakyat untuk bisa menyuarakan aspirasinya.
DPR dengan sukarela melucuti diri, menetapkan Dekrit Pembubaran Dirinya Sendiri dengan PERPPU COVID. Jika dalam sejarah dahulu Soekarno yang membubarkan konstituante lewat dekrit presiden pada 5 Juli 1959 lalu membubarkan DPR pada 4 juni 1960, kini praktek amputasi fungsi DPR justru bukan lewat tangan presiden Jokowi, namun dilakukan oleh DPR sendiri lewat pengesahan Perppu nomor 1 tahun 2020 (Perppu Covid).
Lembaganya tetap ada, tapi kewenangannya diamputasi secara nyata. Dengan PERPPU Covid itu DPR telah kehilangan hak budgeting, legislasi dan pengawasan terhadap eksekutif (presiden dan segenap jajarannya). Artinya, dengan Perppu Covid ini, eksekutif dibawah kekuasaan Presiden bisa dengan leluasa menentukan peruntukan anggaran, menggunakan anggaran sesuai keinginan tanpa memerlukan lagi persetujuan dan pengawasan DPR. Dalam Perppu Covid (Pasal 12 ayat 2), APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Ya, presiden akhirnya memiliki wewenang tak terbatas, terbukti dengan keputusan MA tentang BPJS ditabrak juga.
DPR BUKAN lagi sebagai lembaga legislatif wakil rakyat, tapi wakil dari oligarki partai. Yang terbaru DPR bahkan juga memanjakan taipan konglomerat tambang dengan UU Minerba. Memanjakan pengusaha besar dengan UU Cilaka alias Omnibus Law yang membuat tenaga kerja seperti layaknya budak.
Hulu masalah dari semua kegaduhan ini sekali lagi, adalah UUD 2002 alias UUD 45 Palsu. Karena semenjak UUD 45 palsu diberlakukan, Negara Kesatuan Republik Indonesia segera berubah bentuk tanpa disadari oleh rakyat, dari NEGARA KEBANGSAAN menjadi NEGARA KORPORASI, dari NEGARA HUKUM menjadi NEGARA KEKUASAAN, dari NEGARA KESATUAN menjadi NEGARA SEMI FEDERAL, dari SISTEM PRESIDENSIAL menjadi SISTEM SEMI PARLEMENTER.
Inikah yang mau diteruskan? Kerusakan sistem yang kian parah sudah dan sedang terjadi, masihkah kurang ambyaaarr?? (mda)