images/images-1664707323.jpg
Liputan
Museum Online

Mengenal Langgar Gipo, Pernah Jadi Markas Laskar Hisbullah

Author Abad

Oct 03, 2022

610 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Surabaya, Siang itu udara sangat panas di jalan Kalimas Udik Surabaya. Jalan jalan berdebu, sebab memang hari itu Surabaya masih musim kemarau. Jarang ada pepohonan tumbuh di kawasan tersebut, sebab entah sengaja dimatikan atau memang tidak ditanam. Pastinya, pohon yang tumbuh di kawasan pergudangan yang sempit tentu sangat mengganggu lalu lalang truk dan kesulitan parkir. Dari deretan bangunan gudang itu terdapat sebuah langgar kuno yang penuh sejarah. Dibangun dua lantai, dan banyak orang menyebutnya Langgar Gipo.  

 

 

Bangunan kuno Langgar Gipo nampak masih kokoh, dan tidak jauh dengan kompleks Ampel. Di sejumlah bagian terlihat usang karena usia namun kini mulai dirawat. Di tempat sederhana itu menjadi tonggak sejarah pergerakan ulama Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan di situ erat terkait dengan jejak sejarah Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH. Hasan Dipo, serta pendiri lain KH Hasyim Asyari dan tokoh pergerakan HOS Cokroaminoto. 

 

Sampai saat ini belum ada yang memastikan mulai kapan Langgar Gipo dibangun oleh saudagar kaya asal Sulawesi keluarga Sagipoddin. Ada yang menyebut tahun 1700-an. Ada juga sumber yang menjelaskan, langgar tersebut dibangun tahun 1834. Sejauh ini belum ditemukan prasasti yang angka tahun berdirinya langgar tersebut. 

 

 

Dari keterangan M Choiri, masih keturunan keluarga pendiri Langgar Gipo, Hasan Gipo, saat ditemui di Langgar Gipo menjelang 1 abad NU, meyakini musala tersebut tempat pergerakan para ulama dan tempat aktifis pergerakan berkumpul. Data dari keluarga, serta ciri khas arsitek bangunan  dipastikan sangat tua. Bisa dilihat dari bentuk jendela dan pintu. Di beberapa kayu ada tulisannya. Dari informasi tersebut, Langgar Gipo tercatat dibangun pada 1830. Namun ada pula catatan di kayu lainnya yang memuat angka 1629. Maka jika merujuk angka terakhir, berarti usianya lebih dari 300 tahun. Atau Langgar ini dibangun secara bertahap dan selalu direnovasi sehingga masing masih peresmian meninggalkan angka tahun.

 

 

Di bagian belakang langgar, terdapat bunker sebagai tempat persembunyian bagi para pejuang. Tidak dijelaskan angka tahun berdirinya bunker itu. Diameternya berkisar sekitar 1,5 meter x 1 meter. Untuk masuk bunker itu agak sulit, sebab pintu sangat kecil. Di dalam bunker bisa menampung 10 orang berdiri. Terdapat ruang yang masih bisa longgar dengan struktur batu bata ukuran besar tertapa rapi. Namun tidak ada yang tahu pasti fungsi bunker itu. Hanya saja M Choiri menduga, bunker difungsikan untuk menyembunyikan anggota Laskar Hisbullah yang ikut berjuang melakukan perlawanan terhadap sekutu pada tahun 1945. Sejak ditemukan bunker 3 tahun lalu saat renovasi itu, belum ada pihak yang meneliti dan memfungsikan kembali. Sehingga kesannya bunker masih sangat kotor penuh air. Namun diyakini dari bunker itu terdapat jalan tembus menuju bangunan lain. Hal itu dibuktikan sirkulasi air yang ada di bunker selalu berubah, sehingga diyakini bukan air sumber tanah. 

 

Langgar Gipo dan Ruang Diskusi Bangsa

Di luar udara cukup panas. Kawasan semakin sesak sejak lalu lalang truk dan aktifitas bongkar muat barang di kiri kanan langgar. Suara bising aktifitas pekerja seketika berhenti sejenak jika terdengar suara adzan. Kemudian mereka mulai masuk langgar satu persatu. Seketika saat masuk ke dalam langgar, hati menjadi dingin. Semilir angin masuk dari pintu dan jendela langukurannya besar. Serta lantai langgar terbuat dari batu marmer menambah suasana menjadi sejuk.  

 

 

Bangunan langgar terbagi menjadi dua lantai. Dulu menurut  M Choiri, di lantai satu digunakan untuk kegiatan beribadah dan sholat. Maka di sudut langgar terdapat gentong air yang sudah berusia ratusan tahun. Serta dibagian belakang terdapa kolam tempat berwudhu yang diyakini berusia tua. Sejak renofasi terakhir, tiap sudut langgar sudah ditambah kerangka besi. Tentu tujuannya untuk membuat bangunan lebih kuat dan tidak mudah roboh karena usia. 

 

Sejarah NU di langgar itu berkaitan dengan jejak KH Hasan Gipo. Ulama tersebut merupakan ketua Tanfidziyah NU periode partama. Dari tempat itu pula muncul nama besar lainnya seperti KH Mas Mansyur. Konon Langgar Gipo sering dijadikan sebagai tempat pertemuan para tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto dan Ir Soekarno bersama tokoh NU Hasyim Asyari. "Dulu Langgar Gipo menjadi tempat berdiskusi para ulama saat pendirian Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathon dan Nahdlatut Tujjar, dan membahas masalah bangsa," kata M Choiri. 

 

 

Banyak yang dibicarakan para tokoh pergerakan pada masa itu. Ir Soekarno muda selalu mendampingi sang guru HOS Tjokroaminoto dalam setiap agenda. Sebagai murid sekaligus mantu, Ir Soekarno tentu berinteraksi pula dengan tokoh tokoh islam lain sehingga menjadi bahan inspirasinya. 

 

 

Tidak hanya itu keberadaan anggar ini juga sebagai asrama haji pertama di Surabaya pada tahun 1834 M. Bangunan di lantai 2 itu menjadi saksi bisa menampung 40 jamaah sekaligus untuk singgah dan transit. Jarak dengan dermaga kalimas yang tidak terlalu jauh, menjadikan alasan para syuhada memilih Langgar Gipo. Karena tempat berkumpulnya syuhada calon haji dari berbagai tempat inilah yang menjadikan nilai nilai kebangsaan tumbuh. 

 

Hasan Gipo dan Perkembangan Islam di Surabaya

Tentang Hasan Gipo Hasan Gipo yang memiliki nama lengkap Hasan Basri, dilahirkan di Kampung Sawahan pada tahun 1869, tepatnya di Jalan Ampel Masjid, yang kini menjadi Jalan Kalimas Udik. Sebuah sumber catatan mengatakan, beliau merupakan keturunan keluarga besar dari "Marga Gipo" sehingga nama Gipo diletakkan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari Sagipodin dari bahasa Arab Saqifuddin, Saqaf ( pelindung) dan al-dien (agama). Hingga kampung tempat Gipo tinggal kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik. 

 

 

Diruntut silsilah beliau tersebut, H. Hasan Gipo masih mempunyai hubungan keluarga dengan K.H. Mas Mansur karena K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) masih keturunan dari Abdul Latief Gipo yang merupakan salah seorang dari marga Gipo. Dari beberapa keterangan tersebut, bisa ditarik pemahaman juga bahwa keturunan Sagipodin mempunyai akar kuat di Kalangan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah. Apabila ditelusuri melalui jalur silsilah keluarga, didapati bahwasannya beliau merupakan generasi kelima dari dinasti Gipo. Kakeknya bernama H. Alwi, buyutnya bernama H. Turmudzi yang memperistri Darsiyah. Canggahnya Abdul Latief Sagipuddin merupakan awal dinasti Gipo yang memperistri Tasirah dan memiliki 12 anak. Dari silsilah itulah nama Hasan Basri di Ampel yang berpusat di kota Surabaya dan lebih akrab dipanggil dengan H. Hasan Gipo. 

 

 

Beliau yang terlahir dari kalangan ekonomi mapan, berhasil mengenyam pendidikan ala Belanda, tanpa mengesampingkan pendidikan kepesantrenanya, jiwa-jiwa santri juga mendarah daging di urat nadinya. Terbukti kepemimpinan ekonomi di kawasan bisnis Pabean masih dijabat oleh dinasti Gipo hingga masa jabatan H. Hasan Gipo. 

 

 

Sosok Hasan Gipo nampaknya terdengar familiar. Padahal, Hasan Gipo berperan penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya Kota Surabaya. Hasan dikenal sebagai sosok yang cerdas dermawan, aktivitis perjuangan yang memegang teguh kuat Islam. Semasa hidupnya, berbagai jabatan pernah diemban oleh Hasan Gipo. Mulai dari ketua takmir masjid se-Surabaya, imam Masjid Sunan Ampel, hingga menjadi Ketua Tanfidziyah NU pertama kali. Dari Langgar ini jejak Hasan Gipo terus diingat oleh masyarakat. (pul)

Tag:

Most Popular

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023