Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.idCerita banyak anggota pasukan NICA Belanda yang menyerang tentara republik bukan hanya berasal dari golongan kulit putih saja. Ternyata banyak kaum pribumi yang masih loyal dengan kehadiran kolonialisasi dan setia bergabung dengan tentara Belanda. Mereka umumnya pasukan terlatih yang pernah mengenyam pendidikan KNIL, atau pasukan OPAS. Namun ada juga relawan pribumi yang benar benar benar ingin kembali zona kemapanan yang sempat hilang sejak kehadiran Jepang. Orang –orang menyebutnya londo ireng.
Sebenanya sudah lama para londo ireng ini menjadi bagian dari sejarah kolonialisasi Belanda. Saat perang Diponegoro misalnya, Belanda sangat tergantung dengan pasukan Londo ireng asal Sulawesi dan orang Ambon. Mereka mendapat tugas dari Hindia Belanda untuk melakukan perlawanan dengan bayaran sangat menggiurkan. Saat itu memang masih belum ada nilai nilai nasionalisme di bumi nusantara. Sehingga Belanda memanfaatkan tenaga kasar orang pribumi dari kerajaan lain sebagai tulang punggung serangan.
Perkembangan waktu, londo ireng ini direkrut secara resmi sebagai pegawai dan mendapat pendidikan khusus militer. Mereka menyebutnya dengan pasukan KNIL. Organ pasukan KNIL ini berasal dari warga pribumi berpendikan rendah dan hanya beberapa orang saja yang berpangkat perwira. Dalam struktur tentara Hindia Belanda yang berpangkat perwira pribumi itu pasti pernah mengenyam pendidikan di KMA atau Coro Bandung. Paling tinggi orang pribumi yang berpangkat hanya Mayor Orip Soemoharjo, serta Letan Nasution.
Di era tahun 1940, rupanya Belanda tidak memperhitungkan kehadiran Jepang yang akan melakukan ekspansi ke wilayah Asia. Bagi Belanda, negara Jepang adalah sahabat secara ekonomi dan punya hubungan dagang sangat lama. Belanda juga tidak mempersiapkan kekuatan militernya secara kuat saat munculnya serangan Jepang. Jumlah perwira sangat terbatas dengan minim pengalaman tempur. Bahkan personel pasukan KNIL hampir 80 persen warga pribumi yang berpangkat rendah.
pasukan terlatih yang pernah mengenyam pendidikan KNIL, atau pasukan OPAS. Namun ada juga relawan pribumi yang benar benar benar ingin kembali zona kemapanan yang sempat hilang sejak kehadiran Jepang. Orang –orang menyebutnya londo ireng. Foto dok net
Kelemahan pertahanan Hindia Belanda di Pulau Jawa sangat meninggalkan kesan yang mendalam bagi peduduk pribumi. Hampir semua penulis membahas bagaimana kekejaman londo ireng ini terhadap warga pribumi, yang menurut mereka bentuk kewibawaan dan selalu melecehkan. Sehingga kehadiran Jepang saat menyerbu Jawa sama sekali tidak didukung oleh rakyat. Warga pribumi justru merasa senang ketika Belanda terkena musibah kalah perang di mana-mana. Namun sebagian aktifis pergerakan kemerdekaan juga menyalahkan Belanda, sebab banyak pasukan KNIL yang sebenarnya londo ireng itu berguguran menghadapi pasukan Jepang.
Tidak ada catatan atau penghargaan dari pemerintah Belanda atas kepahlawanan para pejuang KNIL ini. Hanya iming iming kenaikan pangkat bagi orang tententu yang dianggap berjasa. Misalnya Nasional secara tiba-tiba dinaikan pangkatnya menjadi Letnan dan diberi mandat memimpin pasukan. Sebagai lain banyak tentara KNIL pribumi memilh desersi atau keluar dari medan pertempuran, atau bertempur setengah hati sambil melihat situasi.
Nasution salah satunya. Saat itu mendapatkan tugas perang di Rembang yaitu mempertahankan wilayah dari gempuran Jepang. Namun dalam perjalannya, Nasution dan pasukannya memilih kabur dan kocar kacir dari serangan tentara Jepang dengan persenjataan jauh lebih modern. Nasution harus lari tunggang langgang dan berlindung dari pohon ke pohon. Sementara komandan batalyon warga kulit putih juga memilh menyelamatkan diri. Akhirnya mereka menyerah ke tangan Jepang.” Saya ini bukan orang Belanda, mengapa membiarkan diri saya ditangkap Jepang,” kata Nasution kepada temannya yang berdarah Indo.
Ternyata tentara Jepang juga memilih siapa saja yang harus ditahan. Bagi mereka yang berwajah pribumi langsung disuruh pergi. Jepang hanya mengamankan orang kulit putih dan Indo. “ Setelah memotong celana, saya melilitkan sebuah sarung di pinggang dan bisa pergi begitu saja,” cerita Nasution dalam buku tulisan lambert Gieberls.
Setelah tidak menjadi pasukan KNIL, Nasution memilh menjadi Guru. Sementara bagi mereka yang memiliki jiwa nasionalisme, kekalahan Belanda dan kemenanan Jepang ini berarti berakhir masa kehidupan sebagai budak kolonial. Namun bagi Belanda, secara formal organ pasukan KNIL ini masih diakui dan suatu saat masih bisa dikendalikan saat memulihkan kolonialisasi di Indonesia.
Londo Ireng dan Kemenangan Agresi Militer Belanda
Tidak semua warga negara Indonesia ikut gembira saat kabar proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Sebagia warga malah mengharapkan kembalinya Belanda, dengan harapan bisa menikmati kejayaan dan kemapanan. Bagi para londo ireng ini, keyakinan mereka terpilah menjadi dua kelompok. Kelompok besar tidak lagi menganggap ratu Belanda sebagai pemimpin tertinggi, dan memilih melebur ke dalam TKR. Kelompok ini dibawah kepemimpinan Mayor Oerip Soemoharjo dan Nasution. Serta kelompok pasukan KNIL lain yang diam diam sudah mendengar kabar akan kembalinya Van Mook. Saat ini rombongan Van Mook hendak berangkat dari pelabuhan Australia, lengkap dengan mantan komandan serta pimpinan pamong praja. Kelompok ini tidak yakin Sukarno bisa membentuk sebuah negara.
Mereka para londo ieng itu secara terbuka bergabung dalam beberapa organisasi bentukan Belanda. Salah satunya Nederlands Indie Civil Administration NICA. Selain menginginkan kehidupan mapan secara mudah, serangkaian alasan politis juga menjadi penyebab mata hati mereka terhadap saudara sebangsa dan tanah air tertutup rapat. Alih-alih membantu di medan juang menjaga kedaulatan, mereka bahkan rela menjadi pengkhianat saudara sebangsa, sehingga menorehkan kisah buram di tanah air.
Belanda yang sudah ratusan tahun menanamkan pengaruh kolonialnya di tanah air, membuat sebagian rakyat tunduk dan patuh. Bagi mereka, nasionalisme dan angin kemerdekaan, hanyalah buaian mimpi belaka yang mustahil terjadi. Banyak kalangan terpelajar Indonesia, lebih memilih kembali menjadi pegawai kolonial Belanda. Kemapanan, finansial dan jaminan hidup, lebih mudah dibanding bersimbah darah di medan pertempuran dengan ancaman kematian.
Para aristokrat dan bangsawan (raja-raja) juga ikut termakan rayuan duniwai yang ditawarkan para penjajah. Pada zaman itu, bukanlah hal aneh jika para raja, bangsawan maupun pejabatnya dekat dengan pemerintahan kolonial. Motivasi mereka pun beragam. Ada yang dekat karena ingin diangkat menjadi raja atau pemangku wilayah karesidenan, menjadi pegawai sipilnya saja. Dan bagi rakyat biasa, ia rela menjadi centeng hingga mata-mata Belanda karena tergiur oleh upah.
Peranan NICA sangatlah vital bagi kelangsungan eksistensi penjajah kolonial. Tugas utamanya adalah mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum sesuai dengan undang-undang ala kolonial Hindia Belanda. Organisasi yang dibentuk pada 1944 di Australia ini, menjadi penghubung Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pengasingan dengan Komando Tertinggi Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA/South West Pacific Area).
Bisa dibilang, organisasi ini merupakan lembaga yang menampung wilayah Hindia Belanda setelah berhasil direbut oleh Sekutu dari tangan Jepang. Dalam strateginya NICA sempat berganti-ganti nama karena ditentang pemerintah Indonesia demi tegaknya kolonialisme di Indonesia. Anggota NICA bersama Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) dipersenjatai untuk memerangi Indonesia. Penduduk bumiputera menjadi musuh karena memerangi saudara sendiri.
Setelah Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, ada saja teknik dan siasat Belanda agar masih memiliki kesempatan berkuasa kembali. Dengan membonceng Inggris, mereka pun kembali mempersenjatai para anggota NICA dan KNIL di Indonesia. Alhasil, pertempuran besar seperti peristiwa Surabaya, Palagan Ambarawa dan Medan Area, kembali terjadi di tanah air. Mirisnya, banyak dari anggota NICA adalah orang-orang pribumi yang sampai hati membunuh saudararnya sendiri. Tentara lokal inilah yang tergabung dalam kompi V Andjing NICA yang terkenal sadis dan haus darah. (pul)