images/images-1672995121.png
Tokoh

Perang dr Cipto Mangunkusumo Melawan Wabah Pes

Pulung Ciptoaji

Jan 06, 2023

839 views

24 Comments

Save

Dr Cipto Mangunkusumo (duduk memakai peci) menjelang dipulangkan dari pengasingan di negeri Belanda tahun 1914. Foto dok net

 

“Aku anak rakyat, anak si kromo”

 

Waktu itu kejadian di Kepanjen Malang sekitar tahun 1910 sedang terjangkit wabah pes. Rakyat yang sudah melarat banyak yang menjadi korban penyakit pes. Pemerintah Belanda cukup kewalahan dengan mengamuknya penyakit itu. Apalagi banyak dokter yang bekerja di Pemerintah Hindia Belanda menolak terlibat menangani penyakit pes. 

 

Melihat kondisi itu dr Cipto menangis. Ia begitu iba melihat nasib sebangsanya yang penuh dengan penderitaan. Dengan kesadarannya sendiri, dr Cipto mengajukan permohonan untuk ikut memberantas penyakit pes. Permohonan itu langsung dikabulkan dan tidak lama kemudian dr Cipto diberangkatkan ke Malang.

 

Tiba di Kepanjen Malang, dr Cipto harus berjuang menyembuhkan ratusan warga yang terkena penyakit pes. Dia datang tanpa dibekali pengaman, seperti masker dan sarung tangan. Tekatnya sudah bulat, ingin mengabdi untuk sesama kaumnya warga bumiputra. Hingga suatu saat di sebuah desa terpencil terdegar tangisan bayi yang melengking dari sebuah gubuk yang sepi. Bagi dr Cipto dan beberapa perangkat desa, suara itu menimbulkan kecurigaan. Sebab hampur seluruh warga di desa tersebut telah meninggal dunia akibat wabah pes. Saat didekati, suara itu semakin melengking dan mengarah di sebuah gubuk. Satu satunya yang masih hidup hanya bayi itu, sementara orang tuanya sudah tergeletak tewas disebelahnya. Dengan kasih sayang, dr Cipto memungut bayi itu dan mengadopsi selayaknya anaknya sendiri. Dr Cipto memberi nama bayi Pesyati, untuk mengenang sebuah peristiwa besar wabah pes di Kepanjen Malang.

 

Di dalam hidupnya yang tidak terlalu panjang, dr Cipto dikenal sebagai profil yang teladan. Julukannya dokter Jawa yang berbudi diberikan kepadanya karena tindakannya tercetus karena rasa kemanusiaan. Selama dr Cipto berada selalu menjadi pusat perhatian rakyat kecil yang ingin berobat. Selama praktek pengobatan, dr Cipto memasang tarif mahal bagi pasien yang kaya, namun menggratiskan bagi rakyat miskin. Kemampuannya menjinakan anak kecil selalu dikenang para mantan pasiennya. Ia selalu berhasil menaklukan anak anak yang umumnya takut kepada dokter.

 

Pengabdian Kepada Kemanusiaan

 

Dr Cipto lahir pada 4 Maret 1886, putra pertama dari seorang kepala sekolah di Cangakan Jepara. Bapaknya Mangunkusumo mendidik Cipto dengan disiplin ketat namun sangat demokratis. Misalnya soal cita-cita, Cipto dibebaskan untuk memilih sekolah. Sebab sekolah itu bisa menentukan masa depan sekaligus kehidupannya tua kelak. Lulus dari sekolah rendah, Cipto mengikuti ujian masuk untuk menjadi pegawai pangreh praja. Ternyata hasil ujian Cipto berhasil lulus dengan peringkat nomor 1. Namun ketika Mangunkusumo bertanya apakah serius ingin menjadi pegawai pamreh praja, ternyata jawabannya Cipto tidak berniat. Ujian itu hanya ingin menunjukan kemampuannya kepada kawan kawan di sekolah. Alasan lain, Cipto ingin masuk ke Stovia ingin menjadi dokter.

 

“Saya tidak ingin menjadi pegawai pamreh praja yang hidupnya disembah-sembah dan harus menyembah nyembah kepada atasannya,” alasan Cipto.

 

Bagi Cipto, menjadi dokter lebih baik dan leluasa memberi pertolongan kepada banyak orang tanpa harus kehilangan pekerjaan. Sebab sebagai dokter bisa membuka praktek  pengobatan tanpa terikat. Setelah sekolah di Stovia 5 tahun, pada tahun 1905 di usia 19 Cipto lulus dan berhak menyandang gelar dokter. Saat dilantik menjadi dokter, dalam hatinya Cipto berjanji “Aku Anak Rakyat, Anak Si Kromo”. Kata-kata itu diucapkan dengan penuh keyakinan oleh anak muda lulusan Stovia.

 

Begitu pula saat sesi pemotretan, dr Cipto mangunkusumo menggunakan baju yang berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Semua peserta wisuda mewajibkan mengenakan pakaian daerah masing-masing. Bagi siswa Belanda atau eropa lainnya, tentu menggunakan baju jas dan celana panjang. Sedangkan dr Cipto Mangunkusumo memakai baju kebesaran para leluhurnya yaitu beskap lurik tenunan Klaten yang biasa dipakai rakyat pribumi, kepala diikat batik sederhana, bawahan jarik parang serta tanpa alas kaki. Dr  Cipto sadar bahwa kedudukannya sebagai bangsawan mestinya bisa merubah penampilannya menjadi apapun. Namun karena prinsip yakin bahwa dirinya bukan siapapun dan apapaun bagi rakyat, maka sejak pelantikan itu, tatapan mata dr Cipto hanya ingin memanusiakan bangsanya sendiri.  

 

Dr Cipto Mangunkusumo usai dilantik dokter. Foto dok net

 

Semangat berjuang menuntut keadilan kaum pribumi semakain gencar dilakukan dr Cipto Mangunkusumo usai dilantik dokter. Jika selama mahasiswa hanya datang sebagai peserta forum forum diskusi kebangsaan, kini dirinya yang mempelopori gerakan politik itu. Dr Cipto Mangunkusumo bersama dr Sutomo dan Douwes Dekker memprakasai organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Gagasan politik kebangsaan Budi Utomo ini dianggap cikal bakal lahirnya gagasan menjadi negara merdeka. Belanda semakin represif atas gerakan politik kebangsaan, sehingga perlu mengasingkan tokoh tokohnya. Maka tahun 1913, dr Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara dan Douwwes Dekker diasingkan ke Belanda. Setahun ditepat pengasingan, dr Cipto dikembalikan ke Hindia Belanda karena mengalami sakit asma. Rupanya dr Cipto Mangunkusumo tidak tahan cuaca dingin eropa dan membuat penyakit asma makin ganas menyerangnya.

 

Tegas Memegang Prinsip

 

Bagi para kolega sesama kelompok nasionalis, hampir semuanya punya penilaian yang sama terhadap dr Cipto Mangunkusumo. Bangsawan Jepara ini dikenal keras kepala dan tegas terhadap prinsip hidupnya. Dr Cipto keluar dari kepengurusan Budi Utomo dengan penuh amarah. Penyebabnya ada beberapa usulan demi berkembangnya organisasi, namun ditolak. Dr Cipto Mangunkusumo hanya mengenal hitam dan putih sebuah masalah, serta apapun yang sudah diucapkan tidak pernah sudi ditariknya. Sejak saat itu dia sering bentrok pemikiran dengan rekan rekan  satu organisasi di Budi Utomo. Hanya dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwwes Dekker xaja, dia bisa akrab. Ketiga nama yaitu dr Cipto Mangunkusumo, Douwwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai “Tiga Bapak” dan Pelopor Nasionalisme Indonesia. Ada juga julukan lain yang lebih dikenal yaitu “Trio Orang Buangan”.

 

Pemerintah Hindia Belanda juga pernah dibuat kesal dengan kekerasan hati dr Cipto Mangunkusumo ini. Ceritanya saat dirinya mengajukan diri untuk terlibat langsung dalam penanganan wabah pes di Solo. Dr Cipto yakin metode pananganan yang digagasnya akan berhasil, sebab telah terbukti selama pemberantas wabah pes di Kepanjen Malang. Namun apa daya, niat tersebut ditolak mentah mentah oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Hindia Belanda. Dengan penuh emosi, dr Cipto mendatangi kepala Dinas Kesehatan sambil membawa bintang Ridder Orde van Oranye Nassau yang diterimanya dari pemerintah Belanda. Bintang jasa tersebut sebagai penghargaan telah berhasil menangani wabah pes di Malang dan hendak dikembalikan.

 

Dr Cipto wafat pada 8 Maret 1943 karena sakit asma. Karena dedikasinya terhadap perjuangan membangkitkan nilai nilai nasionalisme dan kebangsaan, namanya diabadikan pada sebuah rumah sakit di Jakarta. (pul)

Penulis : Pulung Ciptoaji

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022