images/images-1679877738.png
Sejarah
Data

Ketika Prajurit Mataram Terlibat Perang Tahi di Batavia

Pulung Ciptoaji

Mar 27, 2023

1429 views

24 Comments

Save

Gambaran penyerbuhan Benteng Holandia di Batavia oleh pasukan Mataram pada tahun 1628. Foto dok net

 

abad.id- Sejak VOC pindah ke Batavia, Sultan Agung sangat tidak menyukainya. Apalagi, terbukti kalau VOC berbuat semena-mena terhadap rakyat. Sebagai penguasa Mataram, Sultan Agung pun menyiapkan pasukan guna menyerang kedudukan Belanda di Batavia.

 

Berbagai persiapan dilakukan dalam rangka penyerangan, mulai dari perbekalan hingga melatih keterampilan perang para prajurit Mataram. Serangan pertama terhadap VOC dilakukan pada tahun 1628. Sebelum penyerangan dilakukan, terlebih dahulu Sultan Agung mengirim utusan damai kepada VOC. Waktu itu, yang menjadi duta utusan Kiai Rangga, bupati Tegal, untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Namun, tawaran ditolak oleh VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

 

Tahap pertama diberangkatkanlah satu armada perang di bawah pimpinan Tumenggung Bau Reksa. Dalam penyerangan itu, Tumenggung Bau Reksa membawahi sebanyak 59 kapal dan 20.000 pasukan. Menyusul satu bulan kemudian, pasukan tambahan bulan Oktober 1628, yang dipimpin Pangeran Mandurareja cucu Ki Juru Martani dengan membawa 10.000 prajurit.

 

Perang besar pun terjadi di benteng Holandia. Namun, serangan pertama ini gagal lantaran pasukan Mataram terserang wabah penyakit dan kekurangan bekal. Penyebab kegagalan juga disebabkan terpecahnya konsentrasi pasukan. Padahal prajurit Mataram yang berada di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja berhasil mengepung benteng Fort Hollandia. Walau dalam posisi bertahan, Belanda tak sengaja menggunakan amunisi rahasia yang bisa mengusir pasukan yang beragama Islam itu. senjata rahasia yang memecah konsetrasi dan menggangu kesucian yakni kotoran manusia atau tinja. Sejak saat itu, Prajurit Mataram mengenang dengan menjuluki “Batavia sebagai Kota Tahi.”

 

Ceritanya berawal saat serangan tahun 1628, prajurit Mataram yang berjumlah puluhan ribu mendekati benteng Belanda, Fort Hollandia. Pergerakan prajurit pun tampak senada dengan misi yang diberikan oleh Sultan Agung, yaitu harus berhasil atau pulang tanpa nama.

 

Meghadapi serangan itu, Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen,  tidak pernah menganggap remeh prajurit Mataram. Coen menganggap prajurit Mataram lawan yang gigih. Mereka membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Mereka dilindungi oleh beberapa orang, yang terus menembaki kubu dengan memakai bedil laras panjang. “Akan tetapi, 24 orang kami memberikan perlawanan yang gigih, sehingga sepanjang malam semua musuh berhasil dipukul mundur sampai semua mesiu habis,” tulis Coen dalam laporannya kepada Dewan Hindia 3 November 1628.

 

Serangan pertama Mataram tampak kurang berhasil. Lantaran Sultan Agung tak menghitung secara rinci terkait persediaan makanan banyak prajurit terserang wabah penyakit dan kekurangan gizi. Parahnya lagi, persenjataan kurang modern yang berakibat pada kagagalan merebut benteng.  Saat tiba di Batavia, pasukan Mataram sudah kelelahan akibat terlibat perang penaklukan wilayah di sepanjang perjalanan menuju Batavia.

 

Pada serangan kedua pun begitu. Dalam analisa Coen, Mataram enggan belajar dari serangan pertama dan kalah karena masalah kekurangan logistik. Persediaan logistik menjadi berkurang akibat tertangkapnya mata-mata Mataram yang berujung pada bocornya rencana penyerangan. Sehingga Belanda bergerak menghancurkan kapal-kapal yang membawa logistik dan perbekalan perang milik Mataram.

 

Peta bertajuk pandangan mata burung tentang pengepungan Batavia tahun 1629. lukisan karya Jakobus van der Schley. Diterbitkan oleh Pierre d Hondt pada tahun 1753. Foto dok net  

 

Sementara itu seorang Jerman, Johan Neuhof punya cerita sendiri penyebab kegagalan misi Mataram ke Batavia. Dalam buku berbahasa Jerman yang telah diterjemahkan dengan bahasa Belanda, Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham (1669), Neuhof bercerita kubu VOC dalam serangan pertama Mataram sempat kocar-kacir menghadapi prajurit Mataram.

 

Ketika prajurit Mataram menyerang ke Benteng Hollandia yang berada di ujung selatan tanggul kota. Prajurit Mataram tampak berada di atas angin. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC kemudian kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.

 

Pasukan Belanda dipukul mundur oleh keganasan orang-orang pribumi, maka mereka terpaksa mengunakan batu-batuan yang mereka dapatkan sebagai ganti bola-bola besi meriam. Namun usaha tersebut tetap menemui kegagalan. Dalam situasi genting tersebut, Sersan Hans Madelijn salah satu tentara Belanda kelahiran Jerman, mendapatkan siasat yang licik. Madelijn yang kala itu masih berusia 23 tahun menyelinap ke ruang serdadu dan meminta anak buahnya membawa sekeranjang penuh tinja ke arena pertempuan.

 

Dengan segala rasa putus asa, Madelijn lalu memerintahkan anak buahnya untuk melempar tinja tersebut ke tubuh-tubuh prajurit Mataram yang sedang meradang dan merayapi dinding Hollandia. Ketika dihantam dengan peluru jenis bau ini, prajurit Mataram lari sambil berteriak dengan marah:

 

“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—demikian ucap prajurit Mataram dalam bahasa Melayu. Menariknya, bahasa tersebut menjadi bahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku berbahasa Jerman tentang Jakarta.

 

Berkat serangan tinja, Prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Waktu jeda serangan ini dimanfaatkan tentara Belanda untuk mengatur strategi dan memperbaiki amunisi. Sementara itu bagi pasukan Mataram yang semuanya beragama Islam, senjata tinja ini sangat najis. Untuk menghilangkan najis ini, mereka butuh baju ganti atau mandi suci. Saat tinja berterbangan mengarah ke tubuh mereka, tampaknya pasukan langsung kehilangan konsentrasi. Padahal kemenangan sudah didepan mata, namun strategi Sersan Hans Madelijn benar-benar efektif menganggu lawan.

 

Lewat kemenangan itu, pasukan Kompeni menjadikan cerita perjuangan mengalahkan prajut Mataram dengan tinja, sebagai cerita turun-temurun yang selalu dibanggakan di banyak tempat.

 

Meski begitu, siasat nyeleneh itu juga membuat kubu Belanda juga menjadi korban. Pasca serangan menggunakan tinja, di Batavia muncul wavah penyakit. Banyak orang Belanda mengalami sakit disentri dan colera. Wabah ini menyerang wanita, anak-anak, dan banyak prajurit. Wabah ini karena rendahnya kwalitas kebersihan dan sanitasi buruk.

 

Mundurnya pasukan Mataram dari batavia ini semakin menambah catatan kekalahan serangan pertama Mataram ke Batavia. Lantaran pasukan Kompeni memiliki cara bertahan yang tak biasa. Pada akhirnya, prajurit Mataram lalu menjuluki Benteng Hollandia sebagai “Kota Tahi” yang lama-kelamaan merembet menjadi Batavia Kota Tahi.

 

Karena kegagalan itu, dua bulan berikutnya pada Desember 1627, Sultan Agung mengirim algojo untuk menghukum mati dua panglimanya Tumenggung Bau Reksa dan Pangeran Mandurareja. Namun sebuah sumber menyebutkan bahwa Panglima Bau Reksa terbunuh dalam penyerangan di markasnya, dan bukan karena dihukum pancung oleh Sultan Agung. (pul)

 

Artikel lainnya

Reruntuhan St Paul's College Makau Sangat Memukau

Pulung Ciptoaji

Dec 27, 2022

Surabaya Sambut Kapal Pesiar MS Viking Mars

Author Abad

Dec 20, 2022

Jugun Ianfu Dipaksa Melayani Seks 10 Orang Sehari

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Dari Kolaborasi ke Nominasi

Author Abad

Oct 26, 2022