abad.id- Sebuah surat menjadi saksi kedekatan Presiden Sukarno dengan Jenderal Abdul Haris Nasution pada Mei 1960. Isi surat tersebut menyebutkan rasa terima kasih Sukarno menjaga kondisi negara dalam situasi genting. Surat dengan tulisan tangan Sukarno itu masih disimpan keluarga Nasution di rumah mereka, Gandaria, Jakarta.
Jasa Nasution terhadap Sukarno bukan sekali dua kali. Sejak jaman agresi militer, Nasution selalu menjaga kewibawaan presiden dan sangat loyal untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun Nasution sempat dianggap kurang ajar saat menodongkan moncong tank ke istana. Sikap tersebut segera direspon secara baik oleh Sukarno dan mengeluarkan dekrit presiden kembali ke UUD 1945.
Jasa lain saat Sukarno melakukan lawatan ke Kuba ketika negara dalam kondisi genting. Pergolakan daerah masih merebak, penumpasan PRRI di Sumatera belum tuntas, dan di kawasan timur Indonesia Permesta masih mengancam. Nasution salah satu petinggi Angkatan Darat yang sangat aktif memadamkan pergolakan daerah tersebut.
Kedekatan Sukarno dan Nasution ini juga dicatat oleh Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Nasution memiliki pandangan politik sama dengan Djuanda dalam menghadapi pergolakan pemberontakan. Mereka harus ditumpas. Keberhasilan operasi militer ini mampu mendudukkan Nasution sebagai perwira paling cemerlang.
Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi yang memelihara keamanan Jawa Barat. Foto Istimewa
Sebenarnya kedekatan Nasution dengan Sukarno ini terjadi jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Nasution yang dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, dari keluarga Batak Muslim merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya sangat religius, hanya ingin anaknya belajar di sekolah agama. Sementara ibunya ingin Nasution belajar di kedokteran Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Tiga tahun menjadi guru rakyat, tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi. Di bandung ia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Sukarno dan membacanya dengan teman-temannya.
Sementara itu, melihat kehidupan Sukarno di Bengkulu, ditandai dengan ikut serta dalam organisasi Muhammdyah. Tidak lama setelah pindah, Sukarno terpilih menjadi wakil Muhammdyah yang baru di Bengkulu. Untuk mempermudah kegiatan organisasinya, Sukarno mengajukan seorang teman china beragama islam Oey Tjeng Hien atau lebih dikenal HA Abdoel Karim. Sukarno mengenal Hian dari lingkungan Persis selama tinggal di Bandung. sejak di Bengkulu keduanya menjadi teman dekat.
Orang China ini tinggal di Bintuan, suatu kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari Bengkulu. Sukarno berpendapat, karena menjadi pejabat Muhammdah maka harusnya Abdoel Karim tinggal di kota Bengkulu, agar organisasi bisa berjalaan lancar. Awalnya Hien keberatan untuk pindah, sebab banyak asetnya berada di Bintuan. Namun berkat bantuan Sukarno, akhirnya aset di kota kecil tersebut bisa dijual. Keduanya bisa mendirikan perusahaan perabot di Bengkulu. Sebuah pabrik kecil-kecilan di Jalan Tebek di tempat tinggal Hien yang baru. Di papan depan perusahaan itu tertulis Perusahaan Mebel Suka Merindu, Di Bawah Pimpinan Ir Sukarno.
Untuk membangun perusahaan yang baru dirintis ini butuh perjuangan. Sukarno mulai pagi sudah naik sepeda menuju perusahaan yang jaraknya 2 kilometer dari rumah tinggalnya. Sukarno bekerja hingga sore. Sukarno merancang dan mendesain perabotan yang diproduksi, kemudian membantu merakitnya. Pendidikannya sebagai arsitek cukup membantu membuat produk mebel yang berkualitas baik. Dalam waktu singkat, perusahaan mebel terebut menjadi terkenal hingga keluar Bengkulu.
Bengkulu sebuah kota kecil yang kaya akan hasil bumi. Beberapa kapal yang singgah selalu merapat di pelabuhan untuk mengangkut hasil kebun dan tenaga kerja. Banyak penumpang asal Jawa yang hendak menuju Sumatra selalu menggosipkan tentang Sukarno yang sedang dibuang di Bengkulu. Ya..kabar Sukarno dalam pembuangan telah menjadi legenda pada masa itu. Banyak prbumi sangat meghargai perjuangan Sukarno yang membangun nasionalisme. Maka sangat wajar jika orang orang di pelabuhan perlu bahan gosip baru untuk membicarakana kehidupan Sukarno untuk melayani pertanyaan penumpang kapal.
Gosip tentang kerja keras dan penderitaan Sukarno itu terdengar di telinga Abdul Haris Nasution. Anak muda yang menjadi salah satu penumpang kapal yang hendak menuju tempat kelahirannya di Tapanuli Utara Pantai Barat Sumatra. Saat itu AH Nasution usai pulang dari belajar di Sekolah Guru Tinggi Pribumi di Bandung pada tahun 1938. Waktu kapalnya sedang sandar di pelabuhan Bengkulu, hati Nasution sebagai pemuda langsung bergelora. Nasution spontan mengambuil keputusan untuk menurunkan barangnya ke dalam perahu kecil yang telah merapat untuk menjemput penumpang ke dermaga. Saat itu juga tekatnya untuk mengembara ke Bengkulu. Keputusan ini kelak mengantarkan nasib hidupnya menjadi bagian sejarah penting di Indonesia.
Benar, tidak lama kemudian Nasution mendarat di dermaga. Tidak ada sanak saudara yang dituju. Sebagai orang Batak yang biasa merantau, persoalan sendiri seperti ini perkara mudah. Pertama-tama yang dilakukan Nasution muda mencari pekerjaan sambil bisa berkenalan dengan Sukarno yang tersohor. Perjalanan dari dermaga menuju rumah Sukarno tidak mengalami kesulitan. Hampir semua orang di dermaga kenal dan tahu alamat Sukarno. Setelah bertemu dengan sebuah rumah yang diyakini ditinggali Sukarno, Nasution langsung mencari tempat pemondokan di sekitar rumah tersebut. Saat itu sangat mudah mencari rumah kos di Bengkulu.
Malam harinya, Nasution segera berkunjung ke rumah Sukarno untuk memperkenalkan diri sebagai tetangga baru. Betapa gembiranya Nasution disambut hangat oleh keluarga Sukarno. “ Hati saya bergetar begitu mendengar cerita dari kapal bahwa bapak tinggal di Bengkulu, dan saat itu juga saya ingin berkenalan dengan bapak ,” kata Nasution dengan sopan.
Tentu saja pernyataan ini sebagai pujian sekaligus basa-basi yang menyenangkan. Sukarno yang merasa sudah lama tenggelam dalam perpolitikan, rupanya namanya masih dikenal anak-anak muda. Apalagi Nasution menyatakan sangat terinspirasi setelah membaca sebuah buku karangan Sukarno yang berisi pembelaan dalam sidang. Sebagai tetangga, Sukarno mempersilahkan kepada anak muda Nasution untuk sering singgah. Tentu saja ajakan ini tidak disia-siakan Nasution.
Sejak saat itu hubungan Nasution dengan Sukarno semakin akrab. Setiap kali Sukarno berangkat kerja dengan naik sepeda melewati rumah kos Nasution, keduanya selalu saling menyapa. Sepertinya Nasution sengaja menunggu Sukarno lewat agar terjalin hubungan lebih akrab. Sesekali Nasution mendatangi rumah Sukarno untuk menanyakan suatu hal tentang nasionalisme. Rupanya jawaban Sukarno kurang dipahami Nasution. Sukarno selalu bercerita tentang falsafah, sementara anak muda itu sangat menginginkan sebuah gerakan. “ Harapan saya tentang pemimpin nasional yang sudah menjadi legendaris itu ternyata agak mengecewakan. Sukarno seakan-akan sebuah Al Quran berjalan dan sesekali menggunakan peribahasa Belanda,” kesan Nasution seperti yang ditulis dalam otobiografi Sukarno karya Lambert Giebels.
Sangat mudah bagi Nasution yang lulusan Sekolah Guru Tinggi Bandung mendapatkan pekerjaan selama di Bengkulu. Nasution mengajar di sebuah sekolah Belanda di Bengkulu. Hanya dua bulan kemudian Nasution dipindah menjadi guru tetap sebuah sekolah di Palembang. (pul)