Karonsih, Gambaran Membentuk Manusia Unggul di Candi Sukuh
Mengeksplorasi satu candi ternyata butuh waktu yang lama. Diprolog sebelumnya di serial Candi Sukuh diceritakan bahwa candi Sukuh, selain sebagai candi Pangruwat juga sebagai candi sex education dimasa itu, artinya pre-emptive, agar setiap pasangan calon orang tua berpikir dan berhikmah dari gambaran artefak-artefak yang ada disana. Ben ra kesusu, asal metu didorong nafsu hewani melakukan perbuatan suami-istri alias Saresmi sembarangan dengan cara serampangan. Karena buang hajat dan melakukan ritual Sangga Linggam itu sangatlah berbeda.
Gambaran rahim di salah satu artefak candi Sukuh. Doc. pribadi
Abad.id - Aktifitas seksual yang sembarangan dan serampangan dikhawatirkan akan menghasilkan JALMAWANG atau JANMA WONG yang diplesetkan menjadi SILUMAN, makhluk antara ada dan tiada, tidak sepenuhnya manusia, karena penyatuan DNAnya terputus alias tidak sempurna, baik si Pria dan Wanita dipenuhi nafsu saat melakukan sanggama, karena Rasa Cinta yang menjilamsilma (Siluman, nyeluman) tak jelas atau kacau rasanya. Watak yang digambarkan dalam perwujudan Buto atau raksasa yang jika di pewayangan bisa seperti Buto Cakil, Buto Terong, Buto Galiuk dan lain-lain. Janma Wong adalah manusia yang hanya wujudnya sebagai manusia, tetapi perilakunya masih seperti hewan. Artinya, akhlak dan budi pekerti yang dimiliki tidak ada bedanya dengan binatang, yang hidup sekedar untuk mencari makan, minum dan berkembang biak. Sepertinya JANMA WONG ini yang mendominasi kekuasaan saat ini hingga begini rusak dan kacaunya situasi bernegara.
Hubungan seksual dengan melalui Saresmi atau Sangga Linggam di tataran kedua menghasilkan JALMAWANGSA, atau Janma Siwong adalah manusia yang sudah berperilaku baik sesuai tatanan yang berlaku. Pada tahap ini, posisi manusia mudah dipimpin dan diatur tanpa intimidasi, karena sudah mempunyai kesadaran mentaati aturan dan mudah meneladani para elite bangsa. Tetapi tanpa keteladanan, tarikan menjadi Janma Wong akan lebih kuat. Janma Siwong adalah lahirnya sebuah Garis Keturunan, pohon keluarga, si pria dan wanita berbahagia, karena hasilnya adalah Manungsa, manunggaling rasa, rasa yang memuliakan manusia.
Lalu pada puncak tertinggi yang bisa dihasilkan oleh hubungan Sangga Linggam itu adalah WASTU SIWONG, alias manusia unggul, manusia sebenar-benar manusia. Karena penyatuan tubuh kasar dan tubuh halus dua insan yang membentuk generasi baru yang mampu mewarisi “kemuliaan”, dari sikap batin yang melihat bahwa kelahiran manusia bukan saja melahirkan "hanya sekedar manusia" tetapi melahirkan manusia unggulan, yang ruh sebelum terlahirnya dipilih dari titisan yang terbaik. Yang dalam istilah agama adalah Insan Kamil, Manusia Paripurna. Ia adalah manusia yang sudah mengerti dharma hidupnya. Ia adalah manusia yang sudah mengerti tugas-tugasnya di dunia, serta tujuan hidupnya. Suatu derajat manusia sempurna, Insan Kamil. Dimana seorang Wastu Siwong atau Insan Kamil tidak akan terpengaruh oleh tipu daya dunia. Ia menyadari sepenuhnya bahwa dunia hanyalah sarana, atau media untuk menjalankan dharma hidupnya. Untuk memenuhi perjanjian suci denganNya..."Waasyahaduhum 'ala anfusihim alastu birabbikum.." kami ambil penyaksian syahadat ini dari diri manusia dengan menanyakan Allah-kah pencipta mu? (Al Araf: 172). Saat malaikat tiupkan ruh insan, "Qolu bala syahidna.." Betul, kami bersaksi.
Dalam pewayangan sekalipun sudah ada penggambaran kisah mengenai DNA yang tidak nyambung alias tali rasa yang terputus antara biyung dan bopo (orang tua).
Tersebutlah kisah begawan Abiyasa, sesepuh Pandawa, sewaktu masih menjadi Raja Astinapura bernama Prabu Kresnadipayana. Sang Prabu mempunyai dua permaisuri yakni Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Sewaktu saresmi dengan permaisuri pertama, Dewi Ambika memejamkan mata (merem karena tidak suka). Akibatnya Sang Dewi melahirkan putera yang cacat matanya atau buta yakni Raden Destarata (Destarastra).
Demikian juga ketika sang Prabu berhubungan badan dengan permaisuri kedua, yakni Dewi Ambalika. Sang Dewi memalingkan muka (melengos) karena juga tidak suka. Akibatnya Sang Dewi melahirkan putera yang cacat pula, teleng atau tengeng (bengkok posisi lehernya), yakni Pandu.
Destarastra lahir buta dan Pandu lahir teleng. Itu merupakan wohing pokal (akibat ulah tidak baik) atau tuwas (imbalan hukuman dari Yang Maha Kuasa) karena para istri Abiyasa secara batiniah dan lahiriah melaksanakan saresmi (berhubungan intim) kurang karsa atau karep (kehendak) alias gelem. Salah satunya karena keterpaksaan, sehingga DNAnya tidak nyambung dan terputus tali rasanya. Sehingga yang dihasilkan ya sebatas Janma Wong. Sifat dan perilaku maupun tampilan fisiknya ambyaaar...
Destarasta kemudian menjadi ayah dari keluarga Kurawa yang seratus orang jumlahnya dan seluruhnya memiliki sifat kurawasa (aku yang suka merebut dengan paksa). Destarasta yang lahir buta adalah tanda bahwa bukan hanya buta lahiriah, tetapi juga buta batiniahnya. Watak yang diplesetkan sebagai siluman.
Itu juga yang dikisahkan ketika Pandu memenangkan sayembara dan berhasil memboyong tiga putri : Kunthi, Madrim, dan Anggendari. Destarastra diminta oleh Abiyasa untuk memilih salah satu putri boyongan itu atas seizin dan keikhlasan Pandhu. Destarastra pun memilih calon istri dengan cara meraba satu per satu ketiga putri boyongan.
Ketika Kunthi dirabanya, ia berkata : "Bukan yang ini calon istriku, ia hanya akan memberiku tiga anak." Ketika meraba Madrim, ia berkata : "Bukan dia pula calon istriku, karena dia hanya akan memberiku dua anak." Barulah ketika ia meraba Anggendari, Destarastra pun berkata dengan bangga; "Nah, inilah calon istriku, karena dia akan memberiku anak seratus orang jumlahnya."
Keserakahannya yang ingin mempunyai anak seratus orang itulah yang nuwasi (menimbukan tuwas) kepada sifat keseratus anaknya. Seluruhnya berjiwa kurawasa (serakah) pula.
Bagaimana dengan Pandu? Ia yang tengleng atau teleng dan wajahnya menghadap ke samping adalah pertanda dari lelaki yang diragukan kelelakiannya alias wandu atau banci; lha bengkok, mboten lurus, kurang nglanangi-lah ibaratnya. Terbukti ia kemudian tak mampu melakukan saresmi dengan kedua istrinya. Kunthi mengandung benih dari Bhatara Guru dan melahirkan anak lelaki bernama Dharmaputra atau Puntadewa. Yang kedua, Kunthi mendatangkan Bathara Bayu yang kemudian melahirkan anak bernama Bayutenaya atau Bratasena yang disebut juga sebagai Bima atau Werkudara. Dan ketiga, Kunthi mendatangkan Bathara Indra yang kemudian melahirkan Arjuna atau Indraputra. Sedang Madrim, melahirkan putra kembar Nakula dan Sadewa dari benih Dewa Asmin. Kelima putra Pandu inilah yang kemudian disebut Pandawa (lima anak lelaki Pandu). Sebelum menikah, Kunthi juga mengandung benih Dewa Surya dan melahirkan Karna. Karena masih sangat muda, Kunthi melarung anak itu sehingga ditemukan oleh seorang tukang kuda.
Destarastra dan Pandu adalah pelajaran dari kegiatan saresmi yang serampangan dan awur-awuran. Tanpa dilandasi karep atau karsa sejati yang luhur.
Dalam kawruh Budhi, penciptaan manusia bukanlah sekedar pertemuan dan peleburan sel sperma dan sel telur. Peleburan ini haruslah dalam nuansa yang luhur. Penyatuan yang harus dalam nuansa tresna (cinta), welas(belas kasih), dan asih (kasih sayang). Maka bisa disimpulkan bahwa manusia tidak diciptakan karena tuntutan nafsu. Sanggama adalah penyatuan yang dihormati dan dimuliakan. Disebut juga Cumbana, karena harus dilakukan dengan cumbu-cumbuan penuh cinta dan kasih sayang, yang dalam perspektif Jawa adalah kumpuling tirta suci, berkumpulnya air suci(cairan sperma) dan sel telur dalam wadah yang disebut bokor kencana(rahim), atau disebut juga cawan suci. Yang setelah menjadi satu, turunlah cahya gesang(cahaya kehidupan, ruh kehidupan) masuk ke dalam peleburan kedua jenis tirta suci, sperma dan sel telur, sehingga melahirkan bibit manusia unggul yang luhur budi. (mda)
Penulis : Malika D. Ana
Foto-foto jepretan pribadi