Penulis : Pulung Ciptoaji
Depok, Banyak memang artikel dan literasi sejarah selalu menyebut Jakarta dan Yogjakarta pernah menjadi ibukota negara. Namun sebenarnya, kota Bukittinggi Sumatra Barat sebenarnya juga pernah menjadi kota penting sebagai pemerintahan sementara saat Agresi Militer Belanda II. Serta bahkan jauh tahun dari nama-nama kota tersebut, ternyata Kota Depok pernah menjadi wilayah mandiri yang memiliki “presiden”.
Saat itu dikenal dengan nama Presiden Depok pada masa abad ke 18. Wilayah negara Depok menerapkan konsep Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok atau tatanan pemerintahan desa yang bercorak “republik” pada tahun 1871. Konsep tersebut disusun seorang pengacara Batavia bernama RH Kleijn. Namun pemerintahan negara dengan dipimpin seorang presiden baru aktif dijalankan pada 14 Januari 1913.
Nama Presiden pertama Republik Depok Cornelis Chastelein. Pria kelahiran Amsterdam Belanda 10 Agustus 1657 dan wafat tahun 28 Juni 1714 ini, datang dari Belanda saat masa VOC. Sebagai pendatang dan pengusaha kaya, Cornelis Chastelein membutuhkan kawasan yang luas sebagai tempat usaha. Maka Cornelis Chastelein mengusulkan ke pemerintahan VOC untuk membuka lahan di pinggir Batavia sebagai kawasan penyangga kebutuhan kota. Baik untuk pertanian, industri dan gudang pangan.
Maka awalnya Cornelis Chastelein mendatangkan orang dari Jawa dan Sunda sebagai budak pekerja. Dengan kemampuan keuangannya, Cornelis Chastelein mampu mencukupi kebutuhan para budaknya itu. Tugas para budak membabat lahan hutan, membangun akses jalan dan jembatan serta membangun rumah bagi Cornelis Chastelein. Mereka yang menjadi budak umumnya tawanan perang. Tepat pada 18 Mei 1693 seluruh wilayah depok berhasil dikuasai dan dibangun sebuah wilayah komuni yang merdeka. Bahkan lelaki berdarah Prancis semakin agresif memperluas wilayahnya (babat alas) dengan tujuan membuka lahan garapan di sekitar Depok. Seiring dengan situasi wilayah yang aman dan suhu udara yang mendekati eropa yang sejuk, mengundang para pendatang eropa lain untuk membuat pemukiman di Depok. Selain membuat rumah, para pendatang eropa ini juga mempekerjakan warga pribumi.
Pengaruh Cornelis Chastelein memang sangat kuat di Batavia. Disebutkan wilayah Kota Depok di era Presiden Chastelein mencakup wilayah Pasar Minggu hingga Gambir Jakarta Pusat. Bahkan Cornelis Chastelein yang dikenal sebagai pedagang ulung itu sering membantu keuangan VOC. Karena memiliki koneksitas kuat di lingkungan VOC, Cornelis Chastelein semakin mendapat kesempatan mendatangkan sejumlah budak dari Jawa, Sunda, Bali, Bima, Bugis, hingga Ambon. Memang, praktik perbudakan dengana biaya murah sangat lumrah di tanah jajahan, bahkan berlangsung di berbagai belahan dunia.
Sebenarnya sebagai penganut Kristen Protestan yang taat, Chastelein merupakan pribadi yang welas asih. Ketika Amerika dan Eropa sudah menerapkan penghapusan sistem perbudakan, Cornelis Chastelein langsung memerdekakan seluruh budaknya. Lebih dari itu, budak yang sudah terlanjur berkeluarga diperbolehkan untuk menetap dan diberi lahan. Para budak mulai membangun koloni di tanah depok, namun hanya patuh kepada Cornelis Chastelein sebagai presidennya. Lebih dari itu, Chastelein menyerahkan keputusan sepenuhnya terkait agama yang dianut. Maka sejak saat itu bermunculan banyak tempat beribadah di kawasaan depok, dan mengembangkan perilaku toleransi sesama warga jajahan.
Dalam catatan Yayasan Lembaga Cornelies Chastelein (YLCC) kepada betawipos menyebut, para bekas budak itu dibagi dalam 12 marga. Mereka yaitu Bakas, Isac, Jonathans, Joseph, Laurenz, Leander, Loen, Samuel, Sudira, Tholence, Yakob, dan Zadoch. Mereka berhasil dibabtis dan menjadi warga negara yang memiliki hak dan kedudukan yang sama di negara Depok. Namun hanya Zadoch yang berjenis kelamin perempuan, sehingga tidak bisa menurunkan nama marga. Pembina YLCC Pendeta Carlo Leander mengatakan, mereka inilah yang menjadi penduduk pertama Depok. Berkat keharmonisan dengan mantan budaknya itu, Chastelein mampu menjadikan kota penyangga Batavia itu menjadi kawasan berkembang hingga sekarang.
Namun seiring perkembangan jaman, wilayah Depok makin menyusut hanya sampai perbatasan Jakarta Selatan Srengseng Sawah hingga perbatasan Kabupaten Bogor Parung. Jejak pemerintahan Republik Depok juga harus berakhir pasca Proklamasi Kemerdekaan RI. Tercatat nama G Jonathans merupakan presiden terakhir Republik Depok. Kemudian seluruh tanah di Depok diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Pemerintah RI mengambil alih gereja, sekolah, balai pertemuan, dan lahan pemakaman dengan kompensasi ganti rugi sebesar Rp 229.261,26 kepada ahli waris. (pul)