images/images-1665978505.jpg
Sejarah
Riset

Cinta Itu Tumbuh Saat Pergolakan November 1945

Author Abad

Oct 17, 2022

391 views

24 Comments

Save

Penulis: Pulung Ciptoaji

 

Surabaya, Kabar aksi heroik para pemuda yang melawan Inggris di Surabaya telah mengisi kolom-kolom berita radio dan koran di seluruh Nusantara. Para pemuda dari Aceh hingga Papua digambarkan bahu membahu bertempur dengan gagah berani. Aksi heroik ini mengundang rasa simpati para pemuda lain di Nusantara untuk ingin bergabung menuju palagan Surabaya. Mereka berasal dari latar belakang keahlian, namun semuanya akan bermanfaat selama di Surabaya.

 

BUng Tomo ( Berdiri nomor 5 dari kiri) bersama pemuda pergerakan. Melalui pidato di Radio Pemberontak Jalan Mawar telah memberi semangat kepada pemuda seluruh Nusantara untuk berjuang. Foto pribadi 

 

Pidato Si Bung (panggilan akrab Bung Tomo) yang diputar berulangkali di radio-radio perjuangan “Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah merah yang mbikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu tidak akan suka kita membawa bendera merah putih untuk menyerah kepada siapapun” benar benar membangkitkan semangat untuk pantang menyerah. Sebagai bentuk solidaritas, pemuda dari penjuru Nusantara mulai datang secara bergelombang sejak bulan September menggunakan transportasi kereta dan laut. Pemuda dari Maluku Flores dan Sulawesi misalnya, mereka mendarat di pelabuhan pesisir Tuban Gresik dan Pasuruan. Setelah berkoodisasi dengan kesatuan aksi, mereka menuju Surabaya dengan naik truk dan berjalan kaki. Datang pula rombongan dari  kota di sekitar Surabaya yaitu kelompok perempuan asal Malang. Mereka dari kepanduan relawan medis, dan salah satu diantaranya bernama Sulistina.

 

Tekat Sulitina  membaur dengan kelompok pergerakan bukan tanpa resiko. Namun hati nuraninya sebagai anak bangsa yang tidak ingin dijajah benar-benar iklas untuk berjuang. Hati Sulistina bergetar setelah mendengar pidato Si Bung 9 November 1945 lewat radio pemberontakan. Ia sudah mendapatkan isyarat sebentar lagi perang terbuka akan terjadi di Surabaya. Bergegaslah Sulistina yang masih berusia 19 tahun itu bergabung dengan PMI untuk segera tiba di Surabaya.

 

Malam hari pada tanggal 9 November, Sulistina benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Sebab besok dirinya akana berada di fron depan bertugas. Cerita-cerita tentang kekejaman perang sudah banyak beredar. Namun Hatinya sudah bulat, perang harus dilakukan untuk menuju bangsa yang merdeka seutuhnya. Pagi hari itu, Sulistina yang kurang tidur segera menemui orang tuanya untuk pamit. Tidak ada reaksi penolakan orang tua saat mengetahui Sulistina hendak berangkat ke medan tempur.

 

 

Tanggal 10 november 1945 siang, Sulistina bersama rombongan PMI berangkat menuju Surabaya menggunakan truk. Rombongan Barian Putri Indonesia ( Bipri) membawa alat-alat medis serta tandu. Beberapa pemuda yang ikut kelompok medis terlihat saling menjaga terhadap kemungkinan. “ Sama sekali tidak ada rasa takut pada diri kami, yang ada hanya semangaat juang untuk membantu sesama mempertahankan kemerdekaan. Ibu saya pun hanya mengangguk ketika saya berpamitan,” kenang Sulistina saat diwawancari majalah Femina bulan November tahun 1984 di rumahnya Jalan besuki Jakarta.  

 

Semakin mendekati Surabaya, rombongan semakin merasakan suasan perang. Suasana rumah-rumah penduduk yang dilewati sangat tegang. Beberapa warga menyiapkan diri bahan pangan untuk bekal mengungsi. Sepanjang perjalanan itu pua, Sulistina melihat iring iringan pemuda lain yang bergerak menuju Surabaya. Ada yang berjalan kaki, serta sebagian naik kendaraan darat sambil membawa bendera merah putih. Mereka saling menyapa. Sesekali berteriak menyemangati yang lain,” Medeka-merdeka “.

 

Rombongan tiba pukul 23.00 dan langsung menuju markas Birpri. Tanpa banyak waktu, meskipun letih karena perjalanan rombongan segera menyiapkan diri  untuk menuju garis depan. “Teman-teman pria langsung menyebar ke fron, sedangkan para perempuan berjaga di pos,” kata Sulistina.

 

Ternyata bertugas di pos sama sibuknya seperti berada di fron depan pertempuran. Sulistina langsung dihadapkan situasi yang gawat. Korban demi korban berdatangan dengan diangkut tandu. Mereka para korban segera diberi pertolongan. Saat situasi genting itu, masih sempat terjadi ledakan bom di dekat pos. Situasi menjadi panik  dan langsung tiarap ke lantai atau sembunyi dibawah meja. “Namun anehnya, arek arek Surabaya mentertawakan kami dan bilang kasihan anak-anak Malang belum pernah dengar ledakan bom” kenang Sulistina yang terus mengenang olok-olok itu.

 

Hanya dua minggu Sulistina merada di Surabaya. Keletihan membuat dirinya memutuskan kembali ke Malang sambil melihat situasi. Namun hanya satu Minggu istirahat, hati kecilnya masih berfikir tentang situasi fron pertempuran yang butuh pertolongan. Sulistina memutuskan kembali ke garis depan bersama teman-temannya menuju basis pertahanan Kota Sidoarjo.

Pasangan Sutomo dan Sulistina menikah secara sederhana pada tahun 1947. Foto Pribadi

Di sela kesibukannya membantu pertolongan medis ini, gerak gerik Sulistina ternyata selalu diperhatikan oleh salah seorang pemuda yang sangat populer di kelompok pemberontak. Si Bung rupanya sudah jatuh hati kepada Sulistina sejak 2 hari kedatangannya di Surabaya. Tepatnya tanggal 12 November 1945, Bung Tomo berkenalan dengan Sulistina di sebuah pos saat membawa korban terluka. “Mulanya tidak ada rasa diantara kami, maklum suasana masih mencekam,” ujarnya sambil tersenyum.

 

Namun karena sering bertemu di area pertempuran, keduanya berlahan mulai saling memperhatikan. Belum ada istilah pacaran seperti pemuda pemudi masa kini. Hanya hubungan perasaan dekat dan saling mengisi kekurangan satu dan lain. Si bung yang sangat aktif dari rapat ke rapat, dan pertempuran ke pertempuran lain, sementara Sulistina masih disibukkan dengan PMI dan pekerjaan medis di fron. Bagi Sulistina, dirinya tidak pernah menyangka bisa menjadi bagian dari sejarah kehidupan Bung Tomo. Sebab Si Bung yang dulu sangat populer dengan pidato di radio pemberonak itu, kini telah menjadi suaminya. Pasangan Bung tomo dan Sulistina baru bisa menikah tahun 1947 atau 2 tahun setelah perang usai. (pul)

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

Mengganggu Bini Orang Berujung Petaka

Author Abad

Oct 26, 2022

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023