Pendopo Kabupaten Madiun tepat Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Madiun memerintah. Foto diambil tahun 1930 dok net.
abad.id- Ronggowarsito menulis karya sasta yang dianggap bisa meramal masa depan. Pujangga Jawa bernama asli Bagus Burham itu juga memaparkan pemikiran kritisnya terhadap kondisi sosial dan politik.
Secara tidak langsung, Ronggowarsito menceritakan keadaan masyarakatnya yang korup dan bobrok, tapi dengan bahasa diperhalus sebagai ramalan. "Syair Zaman Kegelapan", ditulis pada dekade 1860-an.
Iki sing dadi tandane zaman kolobendu
Lindu ping pitu sedino
Lemah bengkah
Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara
Pagebluk rupo-rupo
Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati
Zaman kalabendu iku wiwit yen,
Wis ana kreto mlaku tampo jaran
Tanah jawa kalungan wesi
Prau mlaku ing nduwur awang-awang
Kali ilang kedunge
Pasar ilang kumandange
Wong nemoni wolak-walik ing zaman
Jaran doyan sambel
Wong wadon menganggo lanang
Zaman kalabendu iku koyo-koyo zaman kasukan, zaman kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman ajur lan bubrahing donya.
Mulane akeh bapak lali anak
Akeh anak wani ngalawan ibu lan nantang bapak
Sedulur pada cidro cinidro
Wong wadon ilang kawirangane, wong lanang ilang kaprawirane
Akeh wong lanang ora duwe bojo
Akeh wong wadon ora setia karo bojone
Akeh ibu pada ngedol anake
Akeh wong wadon ngedol awakke
Akeh wong ijol bojo
Akeh udan salah mongso
Akeh prawan tuwo
Akeh rondo ngalairake anak
Akeh jabang bayi nggoleki bapake
Wong wadon ngalamar wong lanang
Wong lanang ngasorake, drajate dewe
Akeh bocah kowar
Rondo murah regane
Rondo ajine mung sak sen loro
Prawan rong sen loro
Dudo pincang payu sangang wong
Zamane zaman edan
Wong wadon nunggang jaran
Wong lanang lungguh plengki
Wong bener tenger-tenger
Wong salah bungah-bungah
Wong apik ditapik-tampik
Wong bejat munggah pangkat
Akeh ndandhang diunekake kuntul
Wong salah dianggap bener
Wong lugu kebelenggu
Wong mulyo dikunjara
Sing culika mulya, sing jujur kojur
Para laku dagang akeh sing keplanggrang
Wong main akeh sing ndadi
Linak lijo linggo lica, lali anak lali bojo, lali tangga lali konco
Duwit lan kringet mug dadi wolak-walik kertu
Kertu gede dibukake, ngguyu pating cekakak
Ning mulih main kantonge kempes
Krugu bojo lan anak nangis ora di rewes
Abote koyo ngopo sa bisa-bisane aja nganti wong kelut,keliring zaman kalabendu iku. Amargo zaman iku bakal sirno lan gantine joiku zaman ratu adil, zaman kamulyan. Mula sing tatag, sing tabah, sing kukuh, jo kepranan ombyak ing zaman Entenana zamanne kamulyan zamaning ratu adil
Terjemahannya :
Inilah yang menjadi tanda zaman kehancuran :
"Gempa bumi 7 kali dalam sehari,
Tanah pecah belah merekah,
Manusia pada berguguran,
banyak manusia yang ditimpa penyakit,
terjadi berbagai bencana,
dan hanya sedikit saja yang selamat,
kebanyakan meninggal.Dan Jaman ini ditandai dengan :
Sudah ada kereta yang berjalan tanpa ditarik kuda.
(Kereta Api).
Tanah jawa dikelilingi oleh besi,
(mungkin maksudnya rel kereta api).
Perahu bisa berjalan di atas awan (pesawatkah?).
Sungai-sungai kehilangan danaunya (diurug jadi perumahan)
Pasar kehilangan keramaiannya (diganti mall - Supermarket)
Manusia menemukan, jaman sudah serba terbalik,
Kuda doyan sambal,
perempuan mengenakan pakaian pria (juga sebaliknya),Jaman "Kalabendu" itu,
mirip-mirip seperti jaman yang penuh kebahagiaan,
penuh dengan kenikmatan dunia,
namun sebenarnya jaman itu adalah jaman
kehancuran dan kekacauan dunia :
Banyak Bapak lupa sama anaknya (tidak peduli)
Banyak anak yang berani melawan ibu dan menantang bapaknya.
sesama saudara (kakak-beradik) saling berkelahi.
Kaum perempuan kehilangan rasa malunya,
dan kaum pria hilang kesatriaannya.
Banyak pria tidak menikah,
dan banyak wanita kehilangan kesetiaannya.
Banyak ibu yang menjual anaknya,
dan banyak wanita yang menjual dirinya.
Banyak orang yang tukar menukar pasangan.
Makin banyak perawan tua,
dan banyak janda yang melahirkan anak,
Banyak bayi lahir tanpa bapak,
kaum wanita melamar laki-laki,
kaum laki-laki merendahkan drajatnya sendiri.
Banyak anak lahir di luar nikah,
Janda sangat murah harganya,
nilainya hanya satu sen untuk 2 orang.
perawan pun harganya satu sen untuk 2.
Duda senilai harganya dengan 9 orang.
Jaman ini (Kalabendu) adalah jaman Edan :
wanita menunggang kuda (kerja keras?),
kaum pria duduk berpangku tangan.
Orang yang benar hanya bisa bengong,
orang yang salah berpesta pora.
Orang baik berusaha disingkirkan,
orang yang moralnya bejat malah naik pangkat.
Banyak komentar yang tidak ada isinya,
orang salah dianggap benar,
orang lugu/jujur malah terbelenggu.
yang salah dipuji dan dihormati,
orang jujur malah hancur.
Banyak pedagang yang menyimpang/curang.
Orang yang bermain judi semakin menjadi,
lupa anak lupa istri, lupa tetangga dan teman.
Uang dan keringat hanya untuk berjudi,
waktu pulang main, kantongnya kosong,
mendengar anak istri menangis tidak digubris.
Seberat apapun hidup,
jangan ikut larut dalam gejolak jaman Kalabendu.
karena jaman itu akan sirna,
dan diganti dengan jaman Ratu Adil,
jaman yang penuh dengan kemuliaan.
Karena itu : "Jadilah orang kokoh,
tegar dan tabah, serta jangan
melakukan hal-hal yang bodoh....!!"
Sebenarnya kebobrokan sosial, perilaku korupsi dan bentuk monopoli ini disebabkan perilaku dan rakus penguasa (Priyayi dan bangsawan) maupun Belanda yang ingin punya kekuatan pengaruhnya di tanah jajahan. Pada awal tahun 1980, Belanda mulai ikut campur dalam kepemimpinan kerajaan di nusantara. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern tulisan Adrian Vickers menyebutkan, Belanda sengaja mengubah sultan-sultan, raja-raja para bangsawan menjadi pegawai negeri sipil yang hidup digaji yang cukup. Dengan aturan ini, maka penguasa pribumi mulai bupati dan raja menjadi integrasi politik ke dalam bagian kolonialisme.
Berbagai manuver dilakukan para penguasa dan bupati agar bisa menyimpan sebagian pendapatan dari tanah mereka. Para penguasa dan bupati juga telah membuat perjanjian dengan perkebunan gula untuk memastikan bahwa ketika tanah sudah diambil alih, maka pembayarannya kepada para bangsawan. Bukan lagi ke para petani yang menggantungkan hidupnya pada tanah tersebut. Seperti jatuh tertimpa tangga, perkebunan gula sering menuntut corvée dari para petani. Padahal menurut Belanda, penolakan para bangsawan terhadap perubahan dalam kepemilikan tanah merupakan korupsi.
Contoh-contoh terungkap dalam serangkaian kasus yang didokumentasikan pada tahun 1905 oleh pegawai sipil Penasihat Urusan Pribumi, Snouck Hurgronje. Dia menyebut banyak bupati melakukan memeras uang dari kepala desa, membuat pinjaman palsu kepada pedagang dan menggunakan kas masjid, tetapi masih berutang sebuah printer Belanda.
Snouck juga terlibat dalam perebutan kekuasaan untuk menurunkan dan mempermalukan Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Madiun yang memerintah tahun 1885-1900. Kasus Brotodiningrat dipicu oleh pencurian tirai dari rumah seorang residen Belanda, pejabat daerah tertinggi zaman kolonial. Tirai ini digunakan untuk menjaga privasi ruang duduk si residen dan karena itu dipandang sebagai simbol kekuasaannya.
Bupati Brotodiningrat dikenal orang memandang hina orang-orang Belanda, dan hal ini membuat cemas si residen. Si residen yang gugup melihat kasus pencurian itu sebagai pukulan telak untuk meruntuhkan dirinya. Ia memerintahkan pengusutan tuntas yang secara tidak langsung diarahkan kepada keterlibatan Brotodiningrat dalam pencurian. Si residen menyatakan bahwa tindakan itu hanyalah cara lain dari si bupati untuk terus menentang kekuasaan Belanda. Sebagai akibat dari intrik-intrik ini, si Bupati dipaksa untuk mengundurkan diri.
Brotodiningrat lalu menyerang balik melalui serangkaian proses ke pengadilan di tanah Jawa yang berlarut-larut. Dimana Snouck yang awalnya bekerja di balik layar untuk mencapai kompromi, kemudian harus terlibat mencegah gugatan terakhir si Bupati.
Meskipun Bupati ini gagal dan kalah di pengadilan, langkah berani melawan pemerintah Belanda menginspirasi para bangsawan lain. Jika sebelumya bentuk perlawanan dengan mengangkat senjata, kini para bangsawan ini menemukan senjata baru melalui medan opini. Brotodiningrat bersama Tirto Adhi Suryo mendirikan sendiri koran berbahasa melayu dan serikat pegawai negeri sipil.
Dalam media koran ini, sering muncul tulisan kecaman para pegawai negeri yang korup dan mementingkan diri sendiri. Koran tersebut berusaha mengubah pandangan umum tentang sistem kesetiaan yang lama kepada pemerintah Hindia belanda, dengan tuntutan pemerintahan yang adil.
Kaum perilaku kaum bangsawan dan penguasa belanda itu sangat tepat seperti yang digambarkan puisi Ronggowarsito "Syair Zaman Kegelapan", yang ditulis pada dekade 1860-an.
Sekarang kemuliaan dunia
Tampak telah memudar
Tatkala pemerintahan dalam kehancuran
Karena kurangnya teladan
Apalah artinya menjadi pemimpin?
yang menabur benih kesalahan
disiram air kekilafan
dan akhirnya berbuah kegagalan
Puisi ini melukiskan zaman penjajahan sebagai "zaman edan." Ia adalah teriakan menghiba agar para bangsawan Jawa kembali hidup bermoral, mengemban amanat sebagai anggota kasta kesatria.
Beberapa bangsawan memang telah mencoba. Pada tahun 1920 Sultan Hamengku Buwono VII turun takhta, secara resmi karena usianya. Meskipun sebenarnya karena ia dipaksa turun oleh tekanan dari pemerintah Belanda untuk mereformasi kepemilikan tanah dan memangkas anggaran belanjanya kraton. Terutama untuk memutus anggota keluarga dari penggajian kerajaan.
Putranya, sultan berikutnya, berusaha menghidupkan kembali seni sebagai simbol tradisi, tetapi tidak bisa berbuat banyak dalam hal hak-hak politik. Hak-hak politik inilah yang diperjuangkan melalui bidang media massa dan organisasi-organisasi nasionalis kebangsaan. (pul)