abad.id-The Begandring Institute, sebuah divisi baru di bawah Perkumpulan Begandring Soerabaia, tancap gas. Divisi ini bertugas mensupply data yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan kegiatan Begandring. Salah satunya adalah kegiatan wisata sejarah, Surabaya Urban Track (Subtrack).
Secara umum Begandring Soerabaia dalam berkegiatan tidak lepas dari data dan sumber. Apalagi kegiatan kegiatan yang berbasis sejarah. Maka narasi narasi, yang dibangun, harus memiliki dasar. The Begandring Institute itulah yang bertugas menyediakan data data sebagai dasar narasi.
Subtrack Special Imlek di kawasan Pecinan Surabaya. Foto dok begandring
Misalnya, dalam kegiatan wisata sejarah Subtrack di kawasan Kampung Pecinan dalam rangka meramaikan Tahun Baru Imlek pada Minggu 22 Januari 2023, disajikan kemasan baru yang berbeda dari kegiatan serupa sebelumnya.
Biasanya the Walking Heritage Tour, Subtract, dinikmati sambil berjalan kaki menyusuri jalan dan lorong perkampungan. Yang tidak biasa adalah jika tour ini diselingi dengan kelas sejarah. Kelas sejarah adalah sesi presentasi melalui power point yang berisi tentang materi sejarah terkait dengan tema wisata sejarah yang disuguhkan. Presentasi power point ini bertempat di Rumah Abu Han di jalan Karet.
Melalui cara demikian, belajar sejarah menjadi lebih menyenangkan. Mereka bisa belajar sejarah sambil mengamati obyek obyek bersejarah terkait. Misalnya belajar sejarah tentang marga Han dan jejaknya langsung di Rumah Abu Han. Dengan begitu para pembelajar, yang tidak lain adalah para peserta tur, dapat melakukan pengamatan langsung terhadap benda benda yang menjadi saksi bisu keluarga Han.
Bagi pewaris keluarga Han, Robert Han dan Mega Tanuwijaya (istri), perpaduan model wisata dan belajar sejarah ini adalah wujud pelestarian dan pemanfaatan peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tidak hanya dipandang sebagai sebuah fisik obyek, tetapi ada nilai nilai di balik obyek bersejarah yang tidak kalah pentingnya.
Melintasi jaman di jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan Surabaya. Foto dok begandring
Bagi Robert Han menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur adalah cost oriented tetapi ini adalah a long live cultural preservation oriented yang tidak hanya penting bagi keluarga, tetapi juga penting bagi peradaban kota Surabaya. Selama ini, semua effort baik materiil dan non materiil dilakukan oleh keluarga demi menjaga dan menghormati leluhur yang telah membuat tempat bagi keluarganya pada jamannya.
Karenanya Robert Han selalu mengajak anaknya Hubert ketika mengunjungi dan berfikir tentang rumah peninggalan leluhur di jalan Karet itu.
"Yang kami lakukan ini jelas bukan profit oriented, tapi cost oriented. Namun semua demi menghargai dan menghormati leluhur kami yang telah berbuat sedemikian rupa", jelas Robert ketika ditemui di Rumah Abu Han menjelang Hari Raya Imlek.
Rumah Abu Han tidak hanya wujud peninggalan fisik, tetapi di sana ada pesan pesan luhur dari nenek moyang kepada generasi Han kapan pun.
"Dirumah ini masih banyak pesan pesan yang kami belum tahu maknanya karena pesan pesan itu disampaikan dalam bahasa yang sangat puitis. Ada makna makna tersirat. Yang saya tau adalah pesan hormatilah orang tuamu dan kamu akan bahagia di masa depanmu", terang Robert.
Subtrack Special Imlek 2023
Kukuh Yudha Karnanta, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), mengaku bahwa ia sudah pernah mengikuti wisata sejarah Subtrack beberapa kali sebelumnya dan kali ini memang berbeda.
Sesi kelas sejarah di Rumah Abu Han. Foto dok begandring
"Dengan adanya sesi presentasi dan diskusi interaktif dengan peserta, Subtrack menawarkan wisata sekaligus praktik aktivisme pemanfaatan warisan budaya dan sejarah kepada publik dengan cara yang elegan", jelas Kukuh.
Kukuh menambahkan bahwa sebagai giat wisata warisan sejarah dan budaya, peserta mendapatkan pengalaman berkesan bukan semata dari objek yang dikunjungi, namun dari interaksi antara sesama peserta maupun peserta dengan guidenya.
"Menariknya, seluruh informasi, itinerary, guide book, dan lain lain menggunakan arsip dan data yang sahih. Peserta seperti diajak menelusuri labirin masa lalu, dengan peta, kompas, serta navigator yang ulung dan bersahabat", imbuh Kukuh.
Subtrack Spesial dalam mengisi Tahun Baru Imlek ini diikuti oleh 35 peserta ditambah krew dan panitia pelaksana sekitar 15 orang.
Yuska Harimurti, salah seorang peserta, yang juga aktivis Gusdurian, mengaku bahwa Subtrack di kawasan Pecinan Surabaya ini memberi gambaran tentang masa masa mula Surabaya dengan nilai nilai kearifan lokal dan upaya dalam menjaga kearifan lokal itu sehingga Surabaya sekarang memiliki warna tersendiri diantara daerah daerah lainnya.
"Dari kawasan Pecinan ini kita bisa belajar dan mengenal bagaimana bangsa (kota) ini berproses dan menjaga dirinya sendiri. Ada yang tetap terjaga, ada juga yang sudah punah karena termakan zaman", kata Yuska.
Dari Subtrack di Pecinan, Yuska juga mengaku bahwa dirinya bisa melihat dan belajar bagaimana kota ini bermula dan bertumbuh. Kawasan Pecinan menjadi aset yang penting sebagai saksi bagaimana kota ini semakin bertumbuh.
Sementara peserta lainnya, Listya Damayanti mengatakan bahwa Subtrack selalu ngangeni.
"Subtrack bisa mendongeng sambil jalan jalan dan disisipi canda tawa hangat dan interaktif antara peserta dan pemandunya. Ini cara yang
menarik sekaligus seru untuk belajar sejarah. Pengalaman ini menambah kecintaan saya kepada Kota Surabaya khususnya, juga kepada Indonesia pada umumnya. Selain menambah wawasan saya, kegiatan ini menambah teman", kesan Listya yang sudah beberapa kali ikut Subtrack.
Tanggung Jawab Bersama
Sekarang, terhadap aset bersejarah yang ada tentu menjadi tanggungjawab bersama. Tidak hanya tanggung jawab dalam hal perlindungan, tapi juga pelestarian dan pemanfaatan agar keberadaannya semakin memberi nilai nilai tambah di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata kota.
Ketika Rumah Abu Han tampil sebagai obyek bangunan cagar budaya yang terawat dengan baik dan bisa dimanfaatkan oleh publik, namun jika di sekitarnya (kiri dan kanan bangunan) terlihat kumuh dan apalagi membahayakan bagi Rumah Abu Han, maka perlu ada upaya bersama untuk mengamankan bangunan cagar budaya ini.
Menikmati lesehan di atas marmer Italia. Foto dok begandring
"Tolong sampaikan kepada pemerintah bahwa ada bangunan sebelah yang kosong, di sana ada balok balok yang rapuh yang membahayakan bagi Rumah Abu Han. Saya akan tangani, tapi ini masuk wilayah properti orang lain. Sementara kami tidak tau siapa pemiliknya", terang Robert yang berharap Pemerintah Kota bisa melakukan tindakan dalam hal penyelamatan aset yang bersejarah bagi kota Surabaya.
"Pemerintah tentu tau siapa pemiliknya, dan jika tidak jelas serta tidak ada respon dari pemiliknya, maka pemkot bisa melakukan tindakan preventif untuk melindungi aset bersama, yaitu Rumah Abu Han", tambah Robert.
Lestari, termanfaatkan dan aman menjadi unsur keberlangsungan kegiatan bagi semua. Diantaranya adalah kegiatan wisata sejarah di Rumah Abu Han. Beragam pengunjung sudah masuk ke Rumah Abu Han ini dan akan semakin banyak lagi pengunjung seiring dengan program pemerintah kota Surabaya yang mengembangan kawasan Pecinan sebagai kawasan wisata sejarah kota Surabaya.
Wisata jalan jalan Subtrack Special Imlek 2023 di kawasan Pecinan Surabaya ini mengunjungi beberapa spot peradaban penting. Acara ini diawali dari Klenteng Hok An Kiong di jalan Coklat, kemudian berjalan ke bekas Kuburan Pecinan, Bong, yang saat ini telah berubah manjadi pasar. Namanya Pasar Bong.
Dari sana perjalanan dilanjutkan ke jalan Kembang Jepun yang dikenal sebagai pusat perdagangan dari jaman ke jaman. Di sana Subtrack memasuki gedung kolonial yang dulu adalah sebuah bank. Uni Bank. Kini ditempati harian Radar Surabaya.
Selanjutnya Subtrack menyisir Jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan. Letaknya ditepian sungai Kalimas yang dikenal sebagai jalur urat nadi perekonomian, perdagangan, perhubungan dan pembangunan kala itu. Di jalan Karet inilah, Subtrack mengunjungi rumah rumah peradaban kuno etnis Pecinan. Ada Rumah Abu Han, The dan Tjoa.
Kunjungan terakhir adalah klenteng Hok An Kiong di pojokan jalan Coklat dan Slompretan. Di sana peserta langsung menyaksikan aktivitas perayaan Imlek. (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono
Pameran Foto Membuka Wadah Kreativitas dan Ekonomi Kreatif
Penulis : Nanang Purwono
Gelaran Pameran Foto yang diselingi oleh serangkaian kegiatan pendukung dalam rangkaian Road to Gala Premier film Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi '45, menjadi ajang pengembang potensi diri, kreativitas dan ekonomi kreatif. Pameran ini berlangsung di Basement Balai Pemuda Surabaya mulai 4 sampai 18 Desember 2022.
Dalam pameran ini ditampilkan 90 lembar foto, yang sebagian dalam ukuran poster. Pemasangan poster dan foto foto nya dibuat sedemikian rupa seolah menghadirkan suasana ruang tunggu di gedong bioskop. Apalagi di tengah ruangan dipasang layar monitor LCD yang menayangkan filler film "Soera ing Baja".
Foto foto nya menyajikan suasana kegiatan di balik layar (Behind the Scene), frame yang sesuai dengan frame foto dokumen serta foto foto dokumen dari beberapa sumber. Adapun sumber terkini adalah para fotografer yang mengikuti dan mendokumentasikan jalannya proses produksi film. Para fotografer ini adalah Hengky Purwoko, Ithok dan Andre Arisotya.
Menurut kurator pameran foto, Yayan Indrayana yang juga pegiat dari Komunitas Begandring Soerabaia, sebetulnya ada lebih dari seribu foto foto hasil jepretan para fotografer, namun dari semua itu dipilih yang terbaik dari yang terbaik. Akhirnya terseleksi sekitar 100 foto.
Pemberdayaan Komunitas
Selama pameran, mulai dari 4 hingga 18 Desember 2022, ajang pameran ini menjadi media pembelajaran baik bagi pengunjung, maupun panitia. Panitia ini adalah gabungan dari unsur komunitas sejarah dan mahasiswa Unair. Ada Reenactor Djawa Timoer, Reenactor Jombang, Reenactor Mojokerto, Bangiler, Reenactor Bali yang dikoordinir oleh Begandring Soerabaia.
Mereka selama pameran terlibat sebagai pemandu pamer. Setiap hari ada jadwal tugas sebagai pemandu pameran. Ada dua shift setiap hari: pagi-siang dan sore-malam. Dengan berpakaian lengkap seperti yang digunakan oleh pelaku sejarah pertempuran Surabaya baik dari pihak Republik maupun pihak Sekutu, mereka dengan aktif melayani pengunjung dengan memberikan penjelasan di seputar foto dan kegiatan pembuatan film termasuk tentang isi film yang berjudul Soera ing Baja.
Selain dari komunitas sejarah, para pemandu pameran ini juga berasal dari Fakultas Fisip dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Adalah Bagas dari Fisip Unair yang ikut tampil sebagai pemandu. Ia berpakaian seorang perwira Jepang. Baginya bisa terlibat dalam kegiatan kesejarahan ini menjadi ajang aktualisasi hobi dan passion.
"Saya bisa berinteraksi dengan pengunjung dan berbagi cerita sejarah kota Pahlawan Surabaya", ujar mahasiswa Fisip jurusan Hubungan Internasional ini. Ia menambahkan bahwa ada tiga mahasiswa Fisip Unair yang ikut kegiatan edukasi bersama Begandring Soerabaia.
Sementara itu Jihan, mahasiswi dari Fakultas Ilmu Budaya, Unair yang juga menjadi relawan pemandu pameran mengatakan bahwa ia mendapat wadah pembelajaran di luar kuliah.
Tidak hanya mereka berdua yang mengakui bahwa pameran ini menjadi ajang aktualisasi diri. Secara konstruktif dan tematik, mereka berlatih berinteraksi dengan publik dan berdiskusi sesuai tema pameran.
Ada juga relawan relawan dari komunitas reenactment yang menjadi pemandu. Bagi mereka kesempatan ini adalah momen untuk bisa berbagi pengetahuan tentang sejarah Pertempuran Surabaya kepada orang lain.
Dari pengamatan media ini, pameran dengan kegiatan kegiatan pendukungnya memberi peluang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kapasitas diri di bidang kesejarahan kota Surabaya.
Tidak cuma kegiatan kepemanduan yang berlangsung harian, ada juga yang dijadwal secara insidentil seperti seminar. Pada 7 Desember diselenggarakan seminar tentang pakaian dalam peristiwa Pertempuran Surabaya. Kemudian pada 10 Desember digelar teatrikal reka ulang komando Keramat dan diskusi peristiwa asli dalam potongan film. Pada kegiatan insidentil terakhir, 15 Desember, diselenggarakan diskusi Behind the Scene film Soera ing Baja. Semua pengunjung pada acara acara itu bisa menjadi audience acara.
Tidak ketinggalan, ajang pameran ini juga menjadi wadah ekonomi kreatif dari para pegiat sejarah. Adalah Dedy "Kopral" Risdianto yang membuka atraksi produksi aksesoris berbahan kulit.
"Berawal dari hoby yang bersifat vintage dan historis, saya memulai membuat aksesoris yang dibutuhkan kawan kawan dalam beraktivitas. Awalnya dalam paguyuban sepeda onthel dimana banyak aksesoris yang dibutuhkan terbuat dari kulit. Saat itu saya mulai berkreasi membuat kerajinan aksesoris dari bahan kulit", cerita Dedy yang kini kegiatan itu menjadi sandaran hidupnya.
Banyak pesanan yang datang dari luar kota seperti Bandung, Bogor dan Jakarta. Bahkan pada malam kegiatan di ajang pameran pada Rabo, 7 Desember 2022, ada pemesan dari Bangil yang datang untuk mengambil pesanan.
Ajang atraksi produksi kerajinan dari kulit seperti sarung sangkur, pedang, peluru, ikat pinggang dan lain lain ikut meramaikan kegiatan pameran foto.
"Biasanya saya mengerjakan di rumah. Sekarang ada momen, saya mengerjakan di ajang pameran. Ke depan wadah komunitas Begandring ini berpotensi sebagai etalase berkreasi secara publik", pungkas Dedy Risdianto yang melabeli produknya DrCreation. (nng/pul)
Film amatir karya Wim Kooper. Rekaman keluarga yang sedang berlibur di telaga Sarangan, pada pertengahan 1930-an. Mereka mendaki gunung Lawu untuk menikmati panorama dan keindahan pemandangan alam di sekitar telaga Sarangan. Foto Ist
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id. Tempat wisata Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan sudah menjadi jujugan pengunjung sejak jaman Hindia Belanda. Tidak ada catatan resmi kapan warga Belanda mulai bermukim dan membuat villa di kawasan itu. Hanya dari berbagai dokuken yang muncul di banyak media sosial, mereka sangat mengagumi lokasi sarangan yang dianggap tidak jauh beda suhu udara negara asalnya.
“Orang Belanda sudah ada disini sejak 350 tahun lalu, mereka merasa nyaman dan ingin selalu singgah dan bahkan menetap di kawasan telaga sarangan,” kata Suprawoto Bupati Magetan saat menerima kunjungan wartawan 28/9/2019.
Karena sering disinggahi warga belanda, maka kawasan telaga saragan sempat dianggap wilayah wisata premium. Sangat jarang warga pribumi yang bertamasya di tempat itu, kecuali hanya pekerja vila atau pemilik ladang. Promosi wisata sarangan juga tidak gencar. Para warga Belanda yang merasa berkesan di tempat tersebut, kemudian menceritakan ke komunitas yang lain. Sehingga tempat ini menjadi ramai pengunjung. Bangunan vila yang disewakan mulai dibuat warga belanda itu. istilah bertamasya memang belum familier saat itu. namun kesadaran ingin melepas penat dengan merasakan hawa dingin dan suasana baru juga mulai dilakukan para pejabat lokal, bupati dan priyayi.
Pada tahun 1920 an keluarga Wongso Kojo seorang priyayi Jawa melakukan perjalanan tamasya di telaga Sarangan. Foto ist
Baru setelah Indonesia merdeka wisata Telaga Sarangan ini mulai dibangun untuk pariwisata. Di era tahun 1970an telaga ini mulai dikenal masyarakat namun belum terlalu banyak pengunjung. Kondisi wilayah itu masih berantakan terutama akses jalan. Hingga tahun 1980, telaga ini baru berkembang sedikit demi sedikit. Beberap pejabat pemerintah dan menteri mulai berkunjung sambil mempromosikan paket wisata dengan Tawang Mangu. “Alasan wisata sarangan dipilih karena lokasinya dekat dengan propinsi Jawa Tengah, sehingga banyak pengunjung datang dari warga sana,” tambah Suprawoto.
Tak hanya wisatawan luar negeri, turis domestik mulai membanjiri telaga Sarangan hingga sekarang. “Sarangan tambah maju dan berkembang hingga karena wujud nyata dari masyarakat untuk promosi wisata,” kata Suprawoto..
Telaga Sarangan ini berada pada ketinggian sekitar 1.287 Mdpl sehingga saat berada di telaga, wisatawan akan menikmati udara sejuk pada suhu 18-220 celsius. Kawasan sekitar telaga Sarangan ini banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang khas yakni pohon pinus dan cemara.
Di sekitar pepohonan inilah banyak penjual makanan hingga oleh-oleh yang berjejer, sehingga wisatawan dapat menikmati sejuknya suasana telaga ditemani makanan hangat di sekitar danau. Tak jarang kabut turun disini kerap turun saat siang atau sore hari sehingga membuat danau terlihat lebih mistis.
Selain menikmati suasana tenang, wisatawan juga bisa memilih makanan kuliner terutama sate kelinci dan jagung bakar di sepanjang telaga.
Telaga Sarangan memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman sekitar 28 meter. Ada yang unik dari telaga ini, yakni pulau yang ada di tengah telaga dan dikeramatkan oleh penduduk. Menurut warga setempat, pulau itu bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan, yaitu Kiai Pasir dan Nyai Pasir.
Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan, suami istri ini belum dikaruniai anak. Lalu Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai anak.
Akhirnya mereka pun mendapat seorang anak lelaki yang diberi nama Joko Lelung. Mereka bercocok tanam dan berburu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena pekerjaan yang dirasa berat maka Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kesehatan dan umur panjang kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya, pasangan suami istri tersebut mendapat wangsit bahwa keinginannya akan terwujud jika dapat menemukan dan memakan telur yang ada di dekat ladangnya.
Kemudian, pergilah Kiai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam di ladangnya. Karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-pohon besar, Ia menebang beberapa pohon besar satu demi satu hingga menemukan telur berwarna putih.
Tidak berpikir panjang lagi, Kiai Pasir segera pulang membawa telur tersebut dan diberikan kepada sang istri. Akhirnya suami istri itu sepakat untuk merebus telur tersebut. Telur kemudian dibagi dua. Setelah memakan telur tersebut, Kiai Pasir kembali pergi ke ladang. Dalam perjalanan itu badannya terasa panas dan gatal. Lantaran tak kuasa menahan gatal itu, Ia menggaruknya hingga menimbulkan luka lecet di seluruh tubuh. Kiai Pasir kemudian berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Hal yang sama juga terjadi dengan Nyai Pasir. Keduanya lalu berubah menjadi ular naga yang sangat besar dan berguling-guling di pasir hingga menimbulkan cekungan yang semakin lama semakin besar dan dalam. Dari dalam cekungan keluar air yang sangat deras dan menggenangi cekungan tadi.
Menyadari kemampuan yang dimilikinya, Kiai Pasir dan Nyai Pasir berniat untuk membuat cekungan sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan Gunung Lawu.
Mengetahui kedua orang tuanya berubah menjadi naga besar dan memiliki niat buruk, maka Joko Lelung bersemedi agar niat tersebut dapat diurungkan. Semedi Joko Lelung pun diterima oleh Hyang Widhi. Saat kedua orangtuanya sedang berguling-guling membuat cekungan baru, timbul wahyu kesadaran agar Kiai dan Nyai pasir mengurungkan niat menenggelamkan Gunung Lawu. (pul)
abad.id-The Begandring Institute, sebuah divisi baru di bawah Perkumpulan Begandring Soerabaia, tancap gas. Divisi ini bertugas mensupply data yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan kegiatan Begandring. Salah satunya adalah kegiatan wisata sejarah, Surabaya Urban Track (Subtrack).
Secara umum Begandring Soerabaia dalam berkegiatan tidak lepas dari data dan sumber. Apalagi kegiatan kegiatan yang berbasis sejarah. Maka narasi narasi, yang dibangun, harus memiliki dasar. The Begandring Institute itulah yang bertugas menyediakan data data sebagai dasar narasi.
Subtrack Special Imlek di kawasan Pecinan Surabaya. Foto dok begandring
Misalnya, dalam kegiatan wisata sejarah Subtrack di kawasan Kampung Pecinan dalam rangka meramaikan Tahun Baru Imlek pada Minggu 22 Januari 2023, disajikan kemasan baru yang berbeda dari kegiatan serupa sebelumnya.
Biasanya the Walking Heritage Tour, Subtract, dinikmati sambil berjalan kaki menyusuri jalan dan lorong perkampungan. Yang tidak biasa adalah jika tour ini diselingi dengan kelas sejarah. Kelas sejarah adalah sesi presentasi melalui power point yang berisi tentang materi sejarah terkait dengan tema wisata sejarah yang disuguhkan. Presentasi power point ini bertempat di Rumah Abu Han di jalan Karet.
Melalui cara demikian, belajar sejarah menjadi lebih menyenangkan. Mereka bisa belajar sejarah sambil mengamati obyek obyek bersejarah terkait. Misalnya belajar sejarah tentang marga Han dan jejaknya langsung di Rumah Abu Han. Dengan begitu para pembelajar, yang tidak lain adalah para peserta tur, dapat melakukan pengamatan langsung terhadap benda benda yang menjadi saksi bisu keluarga Han.
Bagi pewaris keluarga Han, Robert Han dan Mega Tanuwijaya (istri), perpaduan model wisata dan belajar sejarah ini adalah wujud pelestarian dan pemanfaatan peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tidak hanya dipandang sebagai sebuah fisik obyek, tetapi ada nilai nilai di balik obyek bersejarah yang tidak kalah pentingnya.
Melintasi jaman di jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan Surabaya. Foto dok begandring
Bagi Robert Han menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur adalah cost oriented tetapi ini adalah a long live cultural preservation oriented yang tidak hanya penting bagi keluarga, tetapi juga penting bagi peradaban kota Surabaya. Selama ini, semua effort baik materiil dan non materiil dilakukan oleh keluarga demi menjaga dan menghormati leluhur yang telah membuat tempat bagi keluarganya pada jamannya.
Karenanya Robert Han selalu mengajak anaknya Hubert ketika mengunjungi dan berfikir tentang rumah peninggalan leluhur di jalan Karet itu.
"Yang kami lakukan ini jelas bukan profit oriented, tapi cost oriented. Namun semua demi menghargai dan menghormati leluhur kami yang telah berbuat sedemikian rupa", jelas Robert ketika ditemui di Rumah Abu Han menjelang Hari Raya Imlek.
Rumah Abu Han tidak hanya wujud peninggalan fisik, tetapi di sana ada pesan pesan luhur dari nenek moyang kepada generasi Han kapan pun.
"Dirumah ini masih banyak pesan pesan yang kami belum tahu maknanya karena pesan pesan itu disampaikan dalam bahasa yang sangat puitis. Ada makna makna tersirat. Yang saya tau adalah pesan hormatilah orang tuamu dan kamu akan bahagia di masa depanmu", terang Robert.
Subtrack Special Imlek 2023
Kukuh Yudha Karnanta, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), mengaku bahwa ia sudah pernah mengikuti wisata sejarah Subtrack beberapa kali sebelumnya dan kali ini memang berbeda.
Sesi kelas sejarah di Rumah Abu Han. Foto dok begandring
"Dengan adanya sesi presentasi dan diskusi interaktif dengan peserta, Subtrack menawarkan wisata sekaligus praktik aktivisme pemanfaatan warisan budaya dan sejarah kepada publik dengan cara yang elegan", jelas Kukuh.
Kukuh menambahkan bahwa sebagai giat wisata warisan sejarah dan budaya, peserta mendapatkan pengalaman berkesan bukan semata dari objek yang dikunjungi, namun dari interaksi antara sesama peserta maupun peserta dengan guidenya.
"Menariknya, seluruh informasi, itinerary, guide book, dan lain lain menggunakan arsip dan data yang sahih. Peserta seperti diajak menelusuri labirin masa lalu, dengan peta, kompas, serta navigator yang ulung dan bersahabat", imbuh Kukuh.
Subtrack Spesial dalam mengisi Tahun Baru Imlek ini diikuti oleh 35 peserta ditambah krew dan panitia pelaksana sekitar 15 orang.
Yuska Harimurti, salah seorang peserta, yang juga aktivis Gusdurian, mengaku bahwa Subtrack di kawasan Pecinan Surabaya ini memberi gambaran tentang masa masa mula Surabaya dengan nilai nilai kearifan lokal dan upaya dalam menjaga kearifan lokal itu sehingga Surabaya sekarang memiliki warna tersendiri diantara daerah daerah lainnya.
"Dari kawasan Pecinan ini kita bisa belajar dan mengenal bagaimana bangsa (kota) ini berproses dan menjaga dirinya sendiri. Ada yang tetap terjaga, ada juga yang sudah punah karena termakan zaman", kata Yuska.
Dari Subtrack di Pecinan, Yuska juga mengaku bahwa dirinya bisa melihat dan belajar bagaimana kota ini bermula dan bertumbuh. Kawasan Pecinan menjadi aset yang penting sebagai saksi bagaimana kota ini semakin bertumbuh.
Sementara peserta lainnya, Listya Damayanti mengatakan bahwa Subtrack selalu ngangeni.
"Subtrack bisa mendongeng sambil jalan jalan dan disisipi canda tawa hangat dan interaktif antara peserta dan pemandunya. Ini cara yang
menarik sekaligus seru untuk belajar sejarah. Pengalaman ini menambah kecintaan saya kepada Kota Surabaya khususnya, juga kepada Indonesia pada umumnya. Selain menambah wawasan saya, kegiatan ini menambah teman", kesan Listya yang sudah beberapa kali ikut Subtrack.
Tanggung Jawab Bersama
Sekarang, terhadap aset bersejarah yang ada tentu menjadi tanggungjawab bersama. Tidak hanya tanggung jawab dalam hal perlindungan, tapi juga pelestarian dan pemanfaatan agar keberadaannya semakin memberi nilai nilai tambah di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata kota.
Ketika Rumah Abu Han tampil sebagai obyek bangunan cagar budaya yang terawat dengan baik dan bisa dimanfaatkan oleh publik, namun jika di sekitarnya (kiri dan kanan bangunan) terlihat kumuh dan apalagi membahayakan bagi Rumah Abu Han, maka perlu ada upaya bersama untuk mengamankan bangunan cagar budaya ini.
Menikmati lesehan di atas marmer Italia. Foto dok begandring
"Tolong sampaikan kepada pemerintah bahwa ada bangunan sebelah yang kosong, di sana ada balok balok yang rapuh yang membahayakan bagi Rumah Abu Han. Saya akan tangani, tapi ini masuk wilayah properti orang lain. Sementara kami tidak tau siapa pemiliknya", terang Robert yang berharap Pemerintah Kota bisa melakukan tindakan dalam hal penyelamatan aset yang bersejarah bagi kota Surabaya.
"Pemerintah tentu tau siapa pemiliknya, dan jika tidak jelas serta tidak ada respon dari pemiliknya, maka pemkot bisa melakukan tindakan preventif untuk melindungi aset bersama, yaitu Rumah Abu Han", tambah Robert.
Lestari, termanfaatkan dan aman menjadi unsur keberlangsungan kegiatan bagi semua. Diantaranya adalah kegiatan wisata sejarah di Rumah Abu Han. Beragam pengunjung sudah masuk ke Rumah Abu Han ini dan akan semakin banyak lagi pengunjung seiring dengan program pemerintah kota Surabaya yang mengembangan kawasan Pecinan sebagai kawasan wisata sejarah kota Surabaya.
Wisata jalan jalan Subtrack Special Imlek 2023 di kawasan Pecinan Surabaya ini mengunjungi beberapa spot peradaban penting. Acara ini diawali dari Klenteng Hok An Kiong di jalan Coklat, kemudian berjalan ke bekas Kuburan Pecinan, Bong, yang saat ini telah berubah manjadi pasar. Namanya Pasar Bong.
Dari sana perjalanan dilanjutkan ke jalan Kembang Jepun yang dikenal sebagai pusat perdagangan dari jaman ke jaman. Di sana Subtrack memasuki gedung kolonial yang dulu adalah sebuah bank. Uni Bank. Kini ditempati harian Radar Surabaya.
Selanjutnya Subtrack menyisir Jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan. Letaknya ditepian sungai Kalimas yang dikenal sebagai jalur urat nadi perekonomian, perdagangan, perhubungan dan pembangunan kala itu. Di jalan Karet inilah, Subtrack mengunjungi rumah rumah peradaban kuno etnis Pecinan. Ada Rumah Abu Han, The dan Tjoa.
Kunjungan terakhir adalah klenteng Hok An Kiong di pojokan jalan Coklat dan Slompretan. Di sana peserta langsung menyaksikan aktivitas perayaan Imlek. (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono
Pameran Foto Membuka Wadah Kreativitas dan Ekonomi Kreatif
Penulis : Nanang Purwono
Gelaran Pameran Foto yang diselingi oleh serangkaian kegiatan pendukung dalam rangkaian Road to Gala Premier film Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi '45, menjadi ajang pengembang potensi diri, kreativitas dan ekonomi kreatif. Pameran ini berlangsung di Basement Balai Pemuda Surabaya mulai 4 sampai 18 Desember 2022.
Dalam pameran ini ditampilkan 90 lembar foto, yang sebagian dalam ukuran poster. Pemasangan poster dan foto foto nya dibuat sedemikian rupa seolah menghadirkan suasana ruang tunggu di gedong bioskop. Apalagi di tengah ruangan dipasang layar monitor LCD yang menayangkan filler film "Soera ing Baja".
Foto foto nya menyajikan suasana kegiatan di balik layar (Behind the Scene), frame yang sesuai dengan frame foto dokumen serta foto foto dokumen dari beberapa sumber. Adapun sumber terkini adalah para fotografer yang mengikuti dan mendokumentasikan jalannya proses produksi film. Para fotografer ini adalah Hengky Purwoko, Ithok dan Andre Arisotya.
Menurut kurator pameran foto, Yayan Indrayana yang juga pegiat dari Komunitas Begandring Soerabaia, sebetulnya ada lebih dari seribu foto foto hasil jepretan para fotografer, namun dari semua itu dipilih yang terbaik dari yang terbaik. Akhirnya terseleksi sekitar 100 foto.
Pemberdayaan Komunitas
Selama pameran, mulai dari 4 hingga 18 Desember 2022, ajang pameran ini menjadi media pembelajaran baik bagi pengunjung, maupun panitia. Panitia ini adalah gabungan dari unsur komunitas sejarah dan mahasiswa Unair. Ada Reenactor Djawa Timoer, Reenactor Jombang, Reenactor Mojokerto, Bangiler, Reenactor Bali yang dikoordinir oleh Begandring Soerabaia.
Mereka selama pameran terlibat sebagai pemandu pamer. Setiap hari ada jadwal tugas sebagai pemandu pameran. Ada dua shift setiap hari: pagi-siang dan sore-malam. Dengan berpakaian lengkap seperti yang digunakan oleh pelaku sejarah pertempuran Surabaya baik dari pihak Republik maupun pihak Sekutu, mereka dengan aktif melayani pengunjung dengan memberikan penjelasan di seputar foto dan kegiatan pembuatan film termasuk tentang isi film yang berjudul Soera ing Baja.
Selain dari komunitas sejarah, para pemandu pameran ini juga berasal dari Fakultas Fisip dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Adalah Bagas dari Fisip Unair yang ikut tampil sebagai pemandu. Ia berpakaian seorang perwira Jepang. Baginya bisa terlibat dalam kegiatan kesejarahan ini menjadi ajang aktualisasi hobi dan passion.
"Saya bisa berinteraksi dengan pengunjung dan berbagi cerita sejarah kota Pahlawan Surabaya", ujar mahasiswa Fisip jurusan Hubungan Internasional ini. Ia menambahkan bahwa ada tiga mahasiswa Fisip Unair yang ikut kegiatan edukasi bersama Begandring Soerabaia.
Sementara itu Jihan, mahasiswi dari Fakultas Ilmu Budaya, Unair yang juga menjadi relawan pemandu pameran mengatakan bahwa ia mendapat wadah pembelajaran di luar kuliah.
Tidak hanya mereka berdua yang mengakui bahwa pameran ini menjadi ajang aktualisasi diri. Secara konstruktif dan tematik, mereka berlatih berinteraksi dengan publik dan berdiskusi sesuai tema pameran.
Ada juga relawan relawan dari komunitas reenactment yang menjadi pemandu. Bagi mereka kesempatan ini adalah momen untuk bisa berbagi pengetahuan tentang sejarah Pertempuran Surabaya kepada orang lain.
Dari pengamatan media ini, pameran dengan kegiatan kegiatan pendukungnya memberi peluang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kapasitas diri di bidang kesejarahan kota Surabaya.
Tidak cuma kegiatan kepemanduan yang berlangsung harian, ada juga yang dijadwal secara insidentil seperti seminar. Pada 7 Desember diselenggarakan seminar tentang pakaian dalam peristiwa Pertempuran Surabaya. Kemudian pada 10 Desember digelar teatrikal reka ulang komando Keramat dan diskusi peristiwa asli dalam potongan film. Pada kegiatan insidentil terakhir, 15 Desember, diselenggarakan diskusi Behind the Scene film Soera ing Baja. Semua pengunjung pada acara acara itu bisa menjadi audience acara.
Tidak ketinggalan, ajang pameran ini juga menjadi wadah ekonomi kreatif dari para pegiat sejarah. Adalah Dedy "Kopral" Risdianto yang membuka atraksi produksi aksesoris berbahan kulit.
"Berawal dari hoby yang bersifat vintage dan historis, saya memulai membuat aksesoris yang dibutuhkan kawan kawan dalam beraktivitas. Awalnya dalam paguyuban sepeda onthel dimana banyak aksesoris yang dibutuhkan terbuat dari kulit. Saat itu saya mulai berkreasi membuat kerajinan aksesoris dari bahan kulit", cerita Dedy yang kini kegiatan itu menjadi sandaran hidupnya.
Banyak pesanan yang datang dari luar kota seperti Bandung, Bogor dan Jakarta. Bahkan pada malam kegiatan di ajang pameran pada Rabo, 7 Desember 2022, ada pemesan dari Bangil yang datang untuk mengambil pesanan.
Ajang atraksi produksi kerajinan dari kulit seperti sarung sangkur, pedang, peluru, ikat pinggang dan lain lain ikut meramaikan kegiatan pameran foto.
"Biasanya saya mengerjakan di rumah. Sekarang ada momen, saya mengerjakan di ajang pameran. Ke depan wadah komunitas Begandring ini berpotensi sebagai etalase berkreasi secara publik", pungkas Dedy Risdianto yang melabeli produknya DrCreation. (nng/pul)
Film amatir karya Wim Kooper. Rekaman keluarga yang sedang berlibur di telaga Sarangan, pada pertengahan 1930-an. Mereka mendaki gunung Lawu untuk menikmati panorama dan keindahan pemandangan alam di sekitar telaga Sarangan. Foto Ist
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id. Tempat wisata Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan sudah menjadi jujugan pengunjung sejak jaman Hindia Belanda. Tidak ada catatan resmi kapan warga Belanda mulai bermukim dan membuat villa di kawasan itu. Hanya dari berbagai dokuken yang muncul di banyak media sosial, mereka sangat mengagumi lokasi sarangan yang dianggap tidak jauh beda suhu udara negara asalnya.
“Orang Belanda sudah ada disini sejak 350 tahun lalu, mereka merasa nyaman dan ingin selalu singgah dan bahkan menetap di kawasan telaga sarangan,” kata Suprawoto Bupati Magetan saat menerima kunjungan wartawan 28/9/2019.
Karena sering disinggahi warga belanda, maka kawasan telaga saragan sempat dianggap wilayah wisata premium. Sangat jarang warga pribumi yang bertamasya di tempat itu, kecuali hanya pekerja vila atau pemilik ladang. Promosi wisata sarangan juga tidak gencar. Para warga Belanda yang merasa berkesan di tempat tersebut, kemudian menceritakan ke komunitas yang lain. Sehingga tempat ini menjadi ramai pengunjung. Bangunan vila yang disewakan mulai dibuat warga belanda itu. istilah bertamasya memang belum familier saat itu. namun kesadaran ingin melepas penat dengan merasakan hawa dingin dan suasana baru juga mulai dilakukan para pejabat lokal, bupati dan priyayi.
Pada tahun 1920 an keluarga Wongso Kojo seorang priyayi Jawa melakukan perjalanan tamasya di telaga Sarangan. Foto ist
Baru setelah Indonesia merdeka wisata Telaga Sarangan ini mulai dibangun untuk pariwisata. Di era tahun 1970an telaga ini mulai dikenal masyarakat namun belum terlalu banyak pengunjung. Kondisi wilayah itu masih berantakan terutama akses jalan. Hingga tahun 1980, telaga ini baru berkembang sedikit demi sedikit. Beberap pejabat pemerintah dan menteri mulai berkunjung sambil mempromosikan paket wisata dengan Tawang Mangu. “Alasan wisata sarangan dipilih karena lokasinya dekat dengan propinsi Jawa Tengah, sehingga banyak pengunjung datang dari warga sana,” tambah Suprawoto.
Tak hanya wisatawan luar negeri, turis domestik mulai membanjiri telaga Sarangan hingga sekarang. “Sarangan tambah maju dan berkembang hingga karena wujud nyata dari masyarakat untuk promosi wisata,” kata Suprawoto..
Telaga Sarangan ini berada pada ketinggian sekitar 1.287 Mdpl sehingga saat berada di telaga, wisatawan akan menikmati udara sejuk pada suhu 18-220 celsius. Kawasan sekitar telaga Sarangan ini banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang khas yakni pohon pinus dan cemara.
Di sekitar pepohonan inilah banyak penjual makanan hingga oleh-oleh yang berjejer, sehingga wisatawan dapat menikmati sejuknya suasana telaga ditemani makanan hangat di sekitar danau. Tak jarang kabut turun disini kerap turun saat siang atau sore hari sehingga membuat danau terlihat lebih mistis.
Selain menikmati suasana tenang, wisatawan juga bisa memilih makanan kuliner terutama sate kelinci dan jagung bakar di sepanjang telaga.
Telaga Sarangan memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman sekitar 28 meter. Ada yang unik dari telaga ini, yakni pulau yang ada di tengah telaga dan dikeramatkan oleh penduduk. Menurut warga setempat, pulau itu bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan, yaitu Kiai Pasir dan Nyai Pasir.
Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan, suami istri ini belum dikaruniai anak. Lalu Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai anak.
Akhirnya mereka pun mendapat seorang anak lelaki yang diberi nama Joko Lelung. Mereka bercocok tanam dan berburu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena pekerjaan yang dirasa berat maka Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kesehatan dan umur panjang kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya, pasangan suami istri tersebut mendapat wangsit bahwa keinginannya akan terwujud jika dapat menemukan dan memakan telur yang ada di dekat ladangnya.
Kemudian, pergilah Kiai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam di ladangnya. Karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-pohon besar, Ia menebang beberapa pohon besar satu demi satu hingga menemukan telur berwarna putih.
Tidak berpikir panjang lagi, Kiai Pasir segera pulang membawa telur tersebut dan diberikan kepada sang istri. Akhirnya suami istri itu sepakat untuk merebus telur tersebut. Telur kemudian dibagi dua. Setelah memakan telur tersebut, Kiai Pasir kembali pergi ke ladang. Dalam perjalanan itu badannya terasa panas dan gatal. Lantaran tak kuasa menahan gatal itu, Ia menggaruknya hingga menimbulkan luka lecet di seluruh tubuh. Kiai Pasir kemudian berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Hal yang sama juga terjadi dengan Nyai Pasir. Keduanya lalu berubah menjadi ular naga yang sangat besar dan berguling-guling di pasir hingga menimbulkan cekungan yang semakin lama semakin besar dan dalam. Dari dalam cekungan keluar air yang sangat deras dan menggenangi cekungan tadi.
Menyadari kemampuan yang dimilikinya, Kiai Pasir dan Nyai Pasir berniat untuk membuat cekungan sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan Gunung Lawu.
Mengetahui kedua orang tuanya berubah menjadi naga besar dan memiliki niat buruk, maka Joko Lelung bersemedi agar niat tersebut dapat diurungkan. Semedi Joko Lelung pun diterima oleh Hyang Widhi. Saat kedua orangtuanya sedang berguling-guling membuat cekungan baru, timbul wahyu kesadaran agar Kiai dan Nyai pasir mengurungkan niat menenggelamkan Gunung Lawu. (pul)