Dampak kebijakan tanam paksa, rakyat jajahan menjadi sangat sengsara, melarat dan hampir tidak punya masa depan. Buruh tani banyak yang kelaparan dan penuh dengan penyakit. Foto dok net
abad.id-Pada abad ke-19 pada era kepemimpinan Herman Willem Daendels (1808-1811) seorang pengagum revolusi Perancis, mulai mempertegas pengelolaan wilayah koloni yang sebelumnya hanya mintra dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), dengan mulai membangun struktur masyarakat kapitalistik. Lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij (NHM) dan Javasche Bank mulai didirikan. Munculnya simbul kapitalis ini memberi kesempatan pengusaha Eropa untuk terlibat dalam industri perkebunan di nusantara.
Pada awal cultuurstelsel atau sistim tanam paksa, terdapat 30 kontraktor yang terlibat. Terdiri dari dari 17 Tionghoa, 7 Belanda dan 6 Inggris. Hanya orang-orang Inggris saja yang telah menggunakan tehnologi mesin uap, sedangkan lainnya masih menggunakan cara ‘tradisional.’ Orang-orang Belanda baru mendatangkan mesin-mesin canggih tahun 1835-1836 untuk mengolah gula.
Untuk mengelola industri hulu hingga hilir sektor perkebunan ini membutuhkan tenaga kerja warga bumiputera. Perjalanan buruh kolonial Hindia Berlanda ini menjadi penting sekitar periode 1830-1870 sebagai kurun Cultuurstelsel atau tanam paksa.
Dalam buku Gerakan Serikat Buruh tulisan Sugiri DS menyebutkan, terjadi peristiwa penting pada Mei 1842, yaitu rotasi penanaman lahan tebu di kabupaten Batang Karesidenan Pekalongan. Di desa Kaliepoetjang Koelon, Karanganjar dan Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman tebu. Residen meminta tanah baru yang kondisi subur akan digunakan menanam tebu dalam jangka dua tahun. Instruksi gubernemen ini disampaikan langsung oleh bupati Batang kepada para kepala desa.
Pada 22 Oktober 1842, terjadi penolakan oleh warga jajahan. Kontrolir Batang melaporkan sejumlah 46 desa yang penduduknya melakukan tanam paksa melakukan penolakan. Sebab kegiatan tanam paksa pada masa musim tanam tahun sebelumnya masih belum ada pelunasan upah. Keadaan semakin genting, sebab planter (penanam tebu) yang terlibat kerja tanam paksa tersebut tidak mau melunasi pajak natura yang dibebankan. Mereka justru berbalik melakukan tuntutan untuk kenaikan upah dari 14,22 gulden menjadi 25 gulden. Protes planter ini terjadi hingga 24 Oktober 1842, dan diikuti 600 planter.
Aksi konflik atas tanam paksa juga terjadi di Yogyakarta tahun 1882 hingga pemogokan pekerja. Gelombang pertama berlangsung sejak awal minggu terakhir bulan Juli 1882 sampai tanggal 4 Agustus 1882 melanda empat pabrik gula (PG). Gelombang kedua berlangsung dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 22 Agustus 1882, melanda 5 pabrik dan perkebunan. Gelombang ketiga berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai pertengahan Oktober 1882, melanda 21 perkebunan.
Lokasi pemogokan adalah Kabupaten Kalasan (pabrik gula Barongan), Kabupaten Sleman (PG. Padokan, PG. Cebongan, PG. Bantul). Isu pemogokan tersebut mulai soal upah, kerja gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga (wachtdiensten) yang dilakukan 1 hari untuk setiap 7 hari, kerja moorgan yang tetap dilaksanakan padahal tidak lazim lagi, upah tanam (plaantloon) yang sering tidak dibayar, banyak pekerjaan tidak dibayar padahal itu bukan kerja wajib, harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik terlalu murah bila dibandingkan harga pasar, serta beberapa pengawas Belanda sering memukul petani.
Pemerintah Hindia Belanda juga menerapkan kebijakan cultuurstelsel di Trenggalek setelah setelah perang Jawa usai. Peristiwa ini menjadi periode terburuk bagi warga tanah penjajahan. Dalam buku Selayang Pandang Sejarah Trenggalek, Abdul Hamid Wilis menulis catatan sejarah tanam paksa di Trenggalek tahun 1833 – 1870. Waktu itu, Trenggalek masuk Karesidenan Kediri. Sistem tanam paksa dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1834) ini mengeksploitasi tanah di Indonesia untuk menggenjot pertanian kopi, tebu, dan komiditi kebun. Ironisnya, penindasan Belanda itu juga melibatkan pejabat bumiputera. “Tanaman yang diutamakan yaitu tebu dan kopi. Salah satu lokasi tanam paksa di Trenggalek yaitu di Kecamatan Bendungan, yang sekarang dikenal dengan Agrowisata Dilem Wilis,” tulis Hamid.
Aturan sistem tanam paksa, setiap desa di Jawa dipaksa menyerahkan seperlima dari lahan suburnya untuk Belanda. Kemudian, petani dewasa harus meluangkan seperlima waktunya untuk bekerja untuk kepentingan tanam paksa. Sistem tanam paksa menjadi pengganti bagi kewajiban desa-desa untuk membayar pajak kepada Belanda. Sebab, sering kali desa-desa tidak mampu membayar pajak dengan lancar. Selain itu, tanam paksa menjadi salah satu bentuk hukuman terhadap rakyat Indonesia yang melakukan tindak pidana.
“Di Trenggalek, sistem tanam paksa dipengaruhi oleh masyarakat yang agraris dengan pola pertanian. Bagi rakyat yang tidak memiliki tanah garapan, separuh waktunya digunakan untuk merawat perkebunan milik Belanda,” tulis Abdul Hamid Wilis.
Dari hasil tanam paksa, Belanda mendapat keuntungan yang sangat besar. Ekonominya membaik pasca perang Jawa dan menjadi negara yang sangat kaya. Penduduk Belanda menjadi makmur dengan masa depan yang cerah. Hasil tanam paksa mampu membangun kejayaan Belanda di Eropa. Termasuk bangunan kanal-kanal pencegah banjir, dibangun dari kerja keras rakyat jajahan.
Sebaliknya kondisi Jawa, hasil tanam paksa juga digunakan untuk membangun kubu pertahanan, terusan, hingga jalan kereta api. Namun rakyat jajahan menjadi sangat sengsara, melarat dan hampir tidak punya masa depan. Buruh tani banyak yang kelaparan dan penuh dengan penyakit. “Beberapa kali di Trenggalek terjadi hongeroedeem (busung lapar) yang membawa korban meninggal sampai ribuan. Sedang penyakit yang merajalela saat itu ialah penyakit pes, cacar, typhus, colera, desentri, TBC, malaria, frambusia dan sebagainya,” tulis Abdul Hamid Wilis. (pul)