Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Abad.id - Tinggal selangkah saja Raperda Cagar budaya Kota Surabaya segera disahkan. Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Hj. Khusnul Khatimah, S.Pd.I., M.Pd.I., yang dihubungi melalui sambungan telephone celuler membenarkan bahwa pembahasan Raperda Pengelolaan Cagar Budaya telah selesai di tingkat Panitia Khusus (Pansus) pada Senin, 28 November 2022. Selanjutnya akan diparipurnakan.
Yang menarik dan menggembirakan dalam Raperda itu adalah dituangkannya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) dalam sebuah pasal. Dikutip dari Harian Jawa Pos edisi 29 November 2022, bahwa BPCB ini dituangkan dalam pasal 27.
Pasal tentang Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) adalah pasal yang selama ini ditunggu tunggu demi pemanfaatan Cagar budaya bagi masyarakat Surabaya. Dengan hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya maka Bangunan Cagar Budaya (BCB) tidak hanya berhenti pada pelestarian, tapi bisa berlanjut pada pengelolaan dan pemanfaatan sehingga bisa dapat memberi nilai lebih.
Surabaya kaya akan bangunan Cagar budaya dan nilai nilai sejarah dan budaya. Setidaknya ada sekitar 200 BCB yang tersebar di kota Surabaya. Melalui Perda Cagar Budaya yang baru (2022), maka eksistensi benda, struktur dan bangunan Cagar budaya tidak hanya diselamatkan melalui upaya upaya pelestarian, tapi lebih dari itu, keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata yang ujung ujungnya memberi nilai ekonomis.
Gedung Singa, monumental dunia yang nganggur di Surabaya. Perlu dikelola dan dimanfaatkan
Khusnul Khotimah mengatakan Badan Pengelola Cagar Budaya nantinya bisa merangsang tumbuhnya sektor ekonomi kreatif sebab bangunan Cagar budaya tidak sekedar menjadi bangunan mati, tetapi menjadi wadah kreativitas warga Surabaya.
Begandring Soerabaia Usulkan Badan Pengelola Cagar Budaya
Ketika Raperda Pengelolaan Cagar Budaya mulai dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) di DPRD Kota Surabaya pada awal tahun 2022, pihak Pansus yang ada di Komisi D DPRD Surabaya mengundang narasumber ahli di bidang bidang terkait. Komunitas sejarah Begandring Soerabaia adalah salah satu pihak yang diundang.
Setelah mempelajari draf Raperda yang dikirim ke Begandring Soerabaia, tim pengkaji Raperda dari Begandring mendapati satu hal penting yang seharusnya masuk dalam Raperda. Tetapi dalam draf tidak dituangkan. Yaitu Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB). Padahal Raperdanya sendiri berbunyi Raperda Pengelolaan Cagar Budaya.
Apalagi Raperda, yang diajukan Pemerintah Kota Surabaya ini, menjadi turunan dari Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya, dimana dalam pasal 97 terdapat aturan tentang Badan Pengelolaan Cagar Budaya. Karenanya, Begandring Soerabaia mengusulkan kepada Pansus agar memasukkan Badan Pengelola Cagar Budaya ke dalam Raperda.
Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) dalam Raperda Cagar Budaya Kota Surabaya dituangkan dalam Pasal 27, yang selangkah lagi Raperda ini akan diparipurnakan.
Sejarawan dan dosen Universitas Negeri Surabaya, Rojil Nugroho Bayu Aji, S.Hum., M.A. berharap keberadaan Badan Pengelola Cagar Budaya dalam Perda Cagar Budaya Kota Surabaya menjadi langkah bagus.
"Ke depan Badan Pengelola Cagar Budaya ini dapat menyelamatkan, menjaga dan memanfaatkan cagar budaya di Surabaya. Surabaya ini memiliki banyak bangunan cagar budaya dan kawasan bersejarah yang harus bisa dimanfaatkan untuk kemajuan kebudayaan dan edukasi bagi generasi mendatang", jelas Rojil, sapaan akrabnya.
Sementara itu Prof. Purnawan Basundoro, yang menjabat sebagai sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair berharap bahwa Badan tersebut bisa mengelola bangunan cagar budaya dengan lebih baik dan serius.
"Nantinya Badan Pengelola Cagar Budaya ini bisa mendorong agar bangunan cagar budaya bisa bermanfaat maksimal. Badan Pengelola diharapkan bisa lebih profesional mengelola cagar budaya", terang Purnawan Basundoro.
Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Khusnul Khotimah, berharap dengan terbentuknya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) nanti bisa menjadi mitra yang sejajar dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang sudah ada.
"Mereka bisa duduk bersama dalam langkah koordinasi menjalankan tugas tugasnya. TACB melakukan perlindungan, BPCB melakukan pemanfaatan", tambah Khusnul yang dihubungi melalui celuler pada Selasa malam, 29 November 2022.
Kehadiran BPCB dalam Perda Cagar Budaya Kota Surabaya ini memang sangat relevan dengan UU 11/2010, khususnya dengan Pasal 97.
Pasal 97 (1) berbunyi Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengelolaan kawasan Cagar Budaya. (2) Pengelolaan kawasan Cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar budaya dan kehidupan sosial.
Sedangkan pada ayat (3) berbunyi pengelolaan kawasan Cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat hukum adat.
Ayat (4) berbunyi Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas unsur pemerintah dan atau pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Sementara pada ayat (5) menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Cagar budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan, menurut UU, adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Sedangkan Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Karenanya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya ini penting sebagai penghubung antara Cagar Budaya dengan pemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat. Terlalu sayang, jika Surabaya yang begitu kaya akan Cagar budaya kurang atau tidak memanfaatkan kekayaan Cagar budayanya untuk menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pemanfaatan Rumah HOS Tjokroaminoto sebagai museum
Kolaborasi Pentahelix Dan Belajar dari Badan Pengelola Kota Lama Semarang
Dalam hal upaya pemanfaatan Cagar budaya, konsep kerjasama lintas lembaga sangat dibutuhkan karena masing masing lembaga memiliki kompetensi dan wewenang di bidangnya. Adalah kolaborasi pentahelix yang melibatkan lima institusi: pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media.
Konsep pentahelix ini sendiri sudah menjadi kerangka dalam unsur pembentukan Badan Pengelola sesuai dengan Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya. Dalam pasal 97 ayat (3) dan (4) disebutkan bahwa Badan Pengelola yang dibentuk oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat hukum adat dapat terdiri atas unsur pemerintah dan atau pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Studi banding ke Kota Lama Semarang. Dari kiri Tjahjono Rahardjo, Agus Surya Winarto, Dyah Katarina (Komisi D DPRD Surabaya), Penulis dan AH Thony (Wakil Ketua DPRD Surabaya)
Anggota Bagian Operasional Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Agus Suryo Winarto, menyambut akan hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya dalam Perda Cagar Budaya Surabaya dan sekaligus mengingatkan agar dalam kerja kolaboratif antar unsur dalam BPCB senantiasa melihat local wisdom dan local history.
"Jangan sampai jika suatu ketika ada intervensi pusat, lalu pusat melalui PUPR, seperti di Kota Lama Semarang, datang untuk membantu revitalisasi kawasan, tetapi mereka tidak berkoordinasi dengan Badan Pengelola yang notabene adalah orang orang lokal, dan yang terjadi adalah ketidak sesuaian hasil revitalisasi dengan kondisi sejarah lokal", jelas Agus seorang pengusaha yang tergabung dalam kepengurusan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPKKL) Kota Semarang.
Lebih lanjut beliau mencontohkan seperti pemasangan tiang tiang penerangan jalan umum (PJU) di kawasan Kota Lama Semarang yang tidak sesuai dengan data dan fakta sejarah.
"Yang dipasang itu tiang lampu taman, bukan tiang lampu jalan. Padahal tiang lampu jalan, berdasarkan fakta sejarah, tidak seperti itu", tegas Agus dalam zoom meeting antara dirinya, Tjahjono Rahardjo (keduanya mewakili BPKKL) dan penulis mewakili Begandring Soerabaia pada Selasa malam, 29 November 2022.
Agus Suryo Winarto (dari unsur Dunia Usaha) dan Tjahjono Rahardjo (dari unsur akademisi) dalam kepengurusan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama Semarang menyambut baik hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya di Kota Surabaya. Mereka berpesan agar unsur unsur yang duduk di Badan Pengelola bisa saling terbuka dan saling take and give demi menjalankan tugas bersama untuk pemanfaatan Cagar Budaya di Kota Surabaya.
"Masing masing unsur tidak boleh merasa lebih berkuasa dan mampu", pungkas Agus Surya Winarto yang terus idealis menjaga marwah sejarah dan kearifan lokal di kawasan Kota Lama Semarang. (Nanang).
Pameran Foto Membuka Wadah Kreativitas dan Ekonomi Kreatif
Penulis : Nanang Purwono
Gelaran Pameran Foto yang diselingi oleh serangkaian kegiatan pendukung dalam rangkaian Road to Gala Premier film Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi '45, menjadi ajang pengembang potensi diri, kreativitas dan ekonomi kreatif. Pameran ini berlangsung di Basement Balai Pemuda Surabaya mulai 4 sampai 18 Desember 2022.
Dalam pameran ini ditampilkan 90 lembar foto, yang sebagian dalam ukuran poster. Pemasangan poster dan foto foto nya dibuat sedemikian rupa seolah menghadirkan suasana ruang tunggu di gedong bioskop. Apalagi di tengah ruangan dipasang layar monitor LCD yang menayangkan filler film "Soera ing Baja".
Foto foto nya menyajikan suasana kegiatan di balik layar (Behind the Scene), frame yang sesuai dengan frame foto dokumen serta foto foto dokumen dari beberapa sumber. Adapun sumber terkini adalah para fotografer yang mengikuti dan mendokumentasikan jalannya proses produksi film. Para fotografer ini adalah Hengky Purwoko, Ithok dan Andre Arisotya.
Menurut kurator pameran foto, Yayan Indrayana yang juga pegiat dari Komunitas Begandring Soerabaia, sebetulnya ada lebih dari seribu foto foto hasil jepretan para fotografer, namun dari semua itu dipilih yang terbaik dari yang terbaik. Akhirnya terseleksi sekitar 100 foto.
Pemberdayaan Komunitas
Selama pameran, mulai dari 4 hingga 18 Desember 2022, ajang pameran ini menjadi media pembelajaran baik bagi pengunjung, maupun panitia. Panitia ini adalah gabungan dari unsur komunitas sejarah dan mahasiswa Unair. Ada Reenactor Djawa Timoer, Reenactor Jombang, Reenactor Mojokerto, Bangiler, Reenactor Bali yang dikoordinir oleh Begandring Soerabaia.
Mereka selama pameran terlibat sebagai pemandu pamer. Setiap hari ada jadwal tugas sebagai pemandu pameran. Ada dua shift setiap hari: pagi-siang dan sore-malam. Dengan berpakaian lengkap seperti yang digunakan oleh pelaku sejarah pertempuran Surabaya baik dari pihak Republik maupun pihak Sekutu, mereka dengan aktif melayani pengunjung dengan memberikan penjelasan di seputar foto dan kegiatan pembuatan film termasuk tentang isi film yang berjudul Soera ing Baja.
Selain dari komunitas sejarah, para pemandu pameran ini juga berasal dari Fakultas Fisip dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Adalah Bagas dari Fisip Unair yang ikut tampil sebagai pemandu. Ia berpakaian seorang perwira Jepang. Baginya bisa terlibat dalam kegiatan kesejarahan ini menjadi ajang aktualisasi hobi dan passion.
"Saya bisa berinteraksi dengan pengunjung dan berbagi cerita sejarah kota Pahlawan Surabaya", ujar mahasiswa Fisip jurusan Hubungan Internasional ini. Ia menambahkan bahwa ada tiga mahasiswa Fisip Unair yang ikut kegiatan edukasi bersama Begandring Soerabaia.
Sementara itu Jihan, mahasiswi dari Fakultas Ilmu Budaya, Unair yang juga menjadi relawan pemandu pameran mengatakan bahwa ia mendapat wadah pembelajaran di luar kuliah.
Tidak hanya mereka berdua yang mengakui bahwa pameran ini menjadi ajang aktualisasi diri. Secara konstruktif dan tematik, mereka berlatih berinteraksi dengan publik dan berdiskusi sesuai tema pameran.
Ada juga relawan relawan dari komunitas reenactment yang menjadi pemandu. Bagi mereka kesempatan ini adalah momen untuk bisa berbagi pengetahuan tentang sejarah Pertempuran Surabaya kepada orang lain.
Dari pengamatan media ini, pameran dengan kegiatan kegiatan pendukungnya memberi peluang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kapasitas diri di bidang kesejarahan kota Surabaya.
Tidak cuma kegiatan kepemanduan yang berlangsung harian, ada juga yang dijadwal secara insidentil seperti seminar. Pada 7 Desember diselenggarakan seminar tentang pakaian dalam peristiwa Pertempuran Surabaya. Kemudian pada 10 Desember digelar teatrikal reka ulang komando Keramat dan diskusi peristiwa asli dalam potongan film. Pada kegiatan insidentil terakhir, 15 Desember, diselenggarakan diskusi Behind the Scene film Soera ing Baja. Semua pengunjung pada acara acara itu bisa menjadi audience acara.
Tidak ketinggalan, ajang pameran ini juga menjadi wadah ekonomi kreatif dari para pegiat sejarah. Adalah Dedy "Kopral" Risdianto yang membuka atraksi produksi aksesoris berbahan kulit.
"Berawal dari hoby yang bersifat vintage dan historis, saya memulai membuat aksesoris yang dibutuhkan kawan kawan dalam beraktivitas. Awalnya dalam paguyuban sepeda onthel dimana banyak aksesoris yang dibutuhkan terbuat dari kulit. Saat itu saya mulai berkreasi membuat kerajinan aksesoris dari bahan kulit", cerita Dedy yang kini kegiatan itu menjadi sandaran hidupnya.
Banyak pesanan yang datang dari luar kota seperti Bandung, Bogor dan Jakarta. Bahkan pada malam kegiatan di ajang pameran pada Rabo, 7 Desember 2022, ada pemesan dari Bangil yang datang untuk mengambil pesanan.
Ajang atraksi produksi kerajinan dari kulit seperti sarung sangkur, pedang, peluru, ikat pinggang dan lain lain ikut meramaikan kegiatan pameran foto.
"Biasanya saya mengerjakan di rumah. Sekarang ada momen, saya mengerjakan di ajang pameran. Ke depan wadah komunitas Begandring ini berpotensi sebagai etalase berkreasi secara publik", pungkas Dedy Risdianto yang melabeli produknya DrCreation. (nng/pul)
Film amatir karya Wim Kooper. Rekaman keluarga yang sedang berlibur di telaga Sarangan, pada pertengahan 1930-an. Mereka mendaki gunung Lawu untuk menikmati panorama dan keindahan pemandangan alam di sekitar telaga Sarangan. Foto Ist
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id. Tempat wisata Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan sudah menjadi jujugan pengunjung sejak jaman Hindia Belanda. Tidak ada catatan resmi kapan warga Belanda mulai bermukim dan membuat villa di kawasan itu. Hanya dari berbagai dokuken yang muncul di banyak media sosial, mereka sangat mengagumi lokasi sarangan yang dianggap tidak jauh beda suhu udara negara asalnya.
“Orang Belanda sudah ada disini sejak 350 tahun lalu, mereka merasa nyaman dan ingin selalu singgah dan bahkan menetap di kawasan telaga sarangan,” kata Suprawoto Bupati Magetan saat menerima kunjungan wartawan 28/9/2019.
Karena sering disinggahi warga belanda, maka kawasan telaga saragan sempat dianggap wilayah wisata premium. Sangat jarang warga pribumi yang bertamasya di tempat itu, kecuali hanya pekerja vila atau pemilik ladang. Promosi wisata sarangan juga tidak gencar. Para warga Belanda yang merasa berkesan di tempat tersebut, kemudian menceritakan ke komunitas yang lain. Sehingga tempat ini menjadi ramai pengunjung. Bangunan vila yang disewakan mulai dibuat warga belanda itu. istilah bertamasya memang belum familier saat itu. namun kesadaran ingin melepas penat dengan merasakan hawa dingin dan suasana baru juga mulai dilakukan para pejabat lokal, bupati dan priyayi.
Pada tahun 1920 an keluarga Wongso Kojo seorang priyayi Jawa melakukan perjalanan tamasya di telaga Sarangan. Foto ist
Baru setelah Indonesia merdeka wisata Telaga Sarangan ini mulai dibangun untuk pariwisata. Di era tahun 1970an telaga ini mulai dikenal masyarakat namun belum terlalu banyak pengunjung. Kondisi wilayah itu masih berantakan terutama akses jalan. Hingga tahun 1980, telaga ini baru berkembang sedikit demi sedikit. Beberap pejabat pemerintah dan menteri mulai berkunjung sambil mempromosikan paket wisata dengan Tawang Mangu. “Alasan wisata sarangan dipilih karena lokasinya dekat dengan propinsi Jawa Tengah, sehingga banyak pengunjung datang dari warga sana,” tambah Suprawoto.
Tak hanya wisatawan luar negeri, turis domestik mulai membanjiri telaga Sarangan hingga sekarang. “Sarangan tambah maju dan berkembang hingga karena wujud nyata dari masyarakat untuk promosi wisata,” kata Suprawoto..
Telaga Sarangan ini berada pada ketinggian sekitar 1.287 Mdpl sehingga saat berada di telaga, wisatawan akan menikmati udara sejuk pada suhu 18-220 celsius. Kawasan sekitar telaga Sarangan ini banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang khas yakni pohon pinus dan cemara.
Di sekitar pepohonan inilah banyak penjual makanan hingga oleh-oleh yang berjejer, sehingga wisatawan dapat menikmati sejuknya suasana telaga ditemani makanan hangat di sekitar danau. Tak jarang kabut turun disini kerap turun saat siang atau sore hari sehingga membuat danau terlihat lebih mistis.
Selain menikmati suasana tenang, wisatawan juga bisa memilih makanan kuliner terutama sate kelinci dan jagung bakar di sepanjang telaga.
Telaga Sarangan memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman sekitar 28 meter. Ada yang unik dari telaga ini, yakni pulau yang ada di tengah telaga dan dikeramatkan oleh penduduk. Menurut warga setempat, pulau itu bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan, yaitu Kiai Pasir dan Nyai Pasir.
Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan, suami istri ini belum dikaruniai anak. Lalu Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai anak.
Akhirnya mereka pun mendapat seorang anak lelaki yang diberi nama Joko Lelung. Mereka bercocok tanam dan berburu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena pekerjaan yang dirasa berat maka Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kesehatan dan umur panjang kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya, pasangan suami istri tersebut mendapat wangsit bahwa keinginannya akan terwujud jika dapat menemukan dan memakan telur yang ada di dekat ladangnya.
Kemudian, pergilah Kiai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam di ladangnya. Karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-pohon besar, Ia menebang beberapa pohon besar satu demi satu hingga menemukan telur berwarna putih.
Tidak berpikir panjang lagi, Kiai Pasir segera pulang membawa telur tersebut dan diberikan kepada sang istri. Akhirnya suami istri itu sepakat untuk merebus telur tersebut. Telur kemudian dibagi dua. Setelah memakan telur tersebut, Kiai Pasir kembali pergi ke ladang. Dalam perjalanan itu badannya terasa panas dan gatal. Lantaran tak kuasa menahan gatal itu, Ia menggaruknya hingga menimbulkan luka lecet di seluruh tubuh. Kiai Pasir kemudian berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Hal yang sama juga terjadi dengan Nyai Pasir. Keduanya lalu berubah menjadi ular naga yang sangat besar dan berguling-guling di pasir hingga menimbulkan cekungan yang semakin lama semakin besar dan dalam. Dari dalam cekungan keluar air yang sangat deras dan menggenangi cekungan tadi.
Menyadari kemampuan yang dimilikinya, Kiai Pasir dan Nyai Pasir berniat untuk membuat cekungan sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan Gunung Lawu.
Mengetahui kedua orang tuanya berubah menjadi naga besar dan memiliki niat buruk, maka Joko Lelung bersemedi agar niat tersebut dapat diurungkan. Semedi Joko Lelung pun diterima oleh Hyang Widhi. Saat kedua orangtuanya sedang berguling-guling membuat cekungan baru, timbul wahyu kesadaran agar Kiai dan Nyai pasir mengurungkan niat menenggelamkan Gunung Lawu. (pul)
Hari Listrik Nasional dan Sejarah Penerangan di Surabaya
Abad.id, SURABAYA - Setiap 27 Oktober diperingati sebagai Hari Listrik Nasional (HLN). Penanggalan ini terkait dengan Surat Penetapan Pemerintah No. 1 tahun 1945, tanggal 27 Oktober 1945 ketika dibentuk Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, Republik Indonesia.
Namun, secara de facto, kehadiran listrik sebetulnya sudah ada sebelum tanggal tersebut. Menurut sumber dari Kementerian ESDM RI bahwa sejarah kelistrikan Indonesia telah dimulai pada akhir abad ke 19, pada saat beberapa perusahaan Belanda, antara lain pabrik gula dan pabrik teh mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri.
Kelistrikan untuk umum mulai ada pada saat perusahaan swasta Belanda yaitu N V. Nederlandsch Indiesch Gas Maastchappij (NIGM), yang semula bergerak di bidang gas, memperluas usahanya di bidang penyediaan listrik untuk umum. Pada tahun 1927 pemerintah Belanda membentuk s’Lands Waterkracht Bedriven (LWB), yaitu perusahaan listrik negara yang mengelola PLTA Plengan, PLTA Lamajan, PLTA Bengkok Dago, PLTA Ubrug dan Kracak di Jawa Barat, PLTA Giringan di Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA Tonsea lama di Sulawesi Utara dan PLTU di Jakarta.
Selain itu di beberapa Kotapraja dibentuk perusahaan-perusahaan listrik Kotapraja. Surabaya adalah salah satunya. Listrik adalah salah satu sumber penerangan yang pernah ada di Surabaya. Sebelum listrik, sumber penerangan di Surabaya berbahan bakar gas dan minyak.
Penerangan di Surabaya
Lampu minyak masih dipakai di sebuah rumah di Surabaya
Buku Oud Soerabaia ditulis GH Von Faber pada 1935. Di salah satu bab yang membahas “Penerangan Jalan”, ditulis bahwa seratus tahun lalu (1835) kondisi Surabaya masih gelap gulita: tidak ada penerangan jalan. Orang orang tidak keluar rumah di malam hari karena memang tidak ada yang dikerjakan di malam hari. Kalau toh mereka keluar ke club Societeit, umumnya didahului (dipandu) oleh budak pribumi yang berjalan di depan sebagai petunjuk jalan tanpa menggunakan penerang. Bisa dibayangkan betapa sulitnya berjalan di kegelapan.
Kondisi seperti ini benar benar dimanfaatkan oleh mereka yang kreatif dan inovatif. Adalah orang orang Cina yang bisa mengambil kesempatan itu. Ia menawarkan jasa penerangan dengan menyediakan sentir (Jawa = alat untuk menerangi atau lampu kecil dengan bahan bakar minyak). Per bulan orang ini bisa, mengumpulkan 230 gulden sebagai pengganti sumbu dan minyak.
Penerangan yang masih sangat tradisional itu terhitung model alat penerangan pertama di Surabaya. Cara ini membuat penyedia jasa penerangan mengeruk banyak keuntungan secara pribadi. Pada 1863, kontrak jasa penerangan antara penyedia jasa dan pengguna jasa diputus.
Pada 1864 baru muncul model penerangan lampu minyak sebagai pengganti sumbu minyak (sentir). Dengan alokasi anggaran dari kas kota sebesar 2.500 gulden, maka uang itu dibelanjakan untuk 100 lampu minyak (lentera) yang dipasang di jalanan Surabaya. Lentera lentera ini berhasil membuat kota lebih terang di malam hari, tapi belum bisa membuat kawasan Simpang, Kayoon, Keputran, Kaliasin, Embong Malang dan Kupang terang. Masih dibutuhkan lebih banyak lagi lentera untuk Surabaya.
Sentir minyak
Baru pada April 1867, timbullah cara penerangan baru dengan menggunakan lentera yang digantung dengan tali di tengah jalan sehingga pancaran sinarnya pun rata. Pola penerangan jalan seperti ini dianggap sebagai penemuan baru sehingga menjadi tontonan warga di malam hari. Warga pun berani keluar di malam hari dan beraktifitas. Tapi masih ada jalan jalan yang gelap.
Bagi warga yang di lingkungan rumahnya gelap dan menginginkan lingkungan rumahnya terang seperti di jalanan, maka muncullah iklan iklan yang menawarkan lentera penerangan lingkungan. “Tidak ada uang, tidak ada cahaya”. Bagi yang beruang, maka lingkungan rumahnya terang. Tetapi yang tidak beruang, lingkungannya masih gelap.
Dalam kondisi seperti ini semakin banyak tuntutan kepada pemerintah untuk pengadaan penerangan jalan. Baru pada 1877 dibuat persiapan untuk pembangunan pabrik gas di Gembong. Pembangunannya baru terealisasi pada 1879. Pabrik gas di Gembong ini diproduksi dan dikelola oleh Nedelandsche Indiesch Gas Maatschappij (Perusahaan Gas Negara Hindia Belanda).
Hadirnya gas negara ini bagai sebuah pesta yang penuh dengan gemerlap karena di malam hari, di kantor pabrik gas Gembong, api menyala nyala menerangi lingkungan pabrik. Hadirnya penerangan ini menjadi bahan berita surat surat kabar.
Sebenarnya, aliran gas bumi ini sudah mulai mengalir ke rumah rumah pada 1879, tapi penerangan jalan umum menjadi lebih masif dan resmi menyala pada 1881. Dalam kurun waktu tahun 1900, 1910 dan 1920 dengan interval 10 tahunan, jumlah lampu gas untuk penerangan jalan umum terus meningkat mulai dari 430, 733, 1174 hingga 1709 buah.
Listrik di Surabaya
Kantor ANIEM di Gemblongan, Surabaya
Sebenarnya di awal abad 20, tepatnya pada 26 April 1906 listrik sudah mulai hadir di Surabaya ketika perusahaan gas NIGM (Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij) mendirikan perusahaan listrik bernama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) atau Perusahaan Listrik Umum Hindia Belanda.
ANIEM merupakan perusahaan swasta yang diberi hak untuk membangun dan mengelola sistem kelistrikan di Hindia Belanda. Sejak itu penerangan di Surabaya berubah dari tenaga gas bumi ke tenaga listrik.
Pada 1945, setelah Belanda menyerah kepada Jepang dalam perang dunia II, maka Indonesia dikuasai Jepang. Perusahaan listrik dan gas juga diambil alih oleh Jepang, dan semua personil dalam perusahaan listrik tersebut diambil alih oleh orang-orang Jepang.
Selanjutnya, dengan jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu, dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh pemuda dan buruh listrik dan gas untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan listrik dan gas yang dikuasai Jepang.
Setelah berhasil merebut perusahaan listrik dan gas dari tangan Jepang, pada bulan September 1945 suatu delegasi dari buruh/pegawai listrik dan gas menghadap pimpinan KNI Pusat yang pada waktu itu diketuai oleh M. Kasman Singodimedjo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka.
Selanjutnya, delegasi bersama-sama dengan pimpinan KNI Pusat menghadap Presiden Soekarno, untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Soekarno, dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah No. 1 tahun 1945 tanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tanggal 27 Oktober kemudian diperingati sebagai Hari Listrik Nasional. (Nanang)
Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Abad.id - Tinggal selangkah saja Raperda Cagar budaya Kota Surabaya segera disahkan. Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Hj. Khusnul Khatimah, S.Pd.I., M.Pd.I., yang dihubungi melalui sambungan telephone celuler membenarkan bahwa pembahasan Raperda Pengelolaan Cagar Budaya telah selesai di tingkat Panitia Khusus (Pansus) pada Senin, 28 November 2022. Selanjutnya akan diparipurnakan.
Yang menarik dan menggembirakan dalam Raperda itu adalah dituangkannya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) dalam sebuah pasal. Dikutip dari Harian Jawa Pos edisi 29 November 2022, bahwa BPCB ini dituangkan dalam pasal 27.
Pasal tentang Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) adalah pasal yang selama ini ditunggu tunggu demi pemanfaatan Cagar budaya bagi masyarakat Surabaya. Dengan hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya maka Bangunan Cagar Budaya (BCB) tidak hanya berhenti pada pelestarian, tapi bisa berlanjut pada pengelolaan dan pemanfaatan sehingga bisa dapat memberi nilai lebih.
Surabaya kaya akan bangunan Cagar budaya dan nilai nilai sejarah dan budaya. Setidaknya ada sekitar 200 BCB yang tersebar di kota Surabaya. Melalui Perda Cagar Budaya yang baru (2022), maka eksistensi benda, struktur dan bangunan Cagar budaya tidak hanya diselamatkan melalui upaya upaya pelestarian, tapi lebih dari itu, keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata yang ujung ujungnya memberi nilai ekonomis.
Gedung Singa, monumental dunia yang nganggur di Surabaya. Perlu dikelola dan dimanfaatkan
Khusnul Khotimah mengatakan Badan Pengelola Cagar Budaya nantinya bisa merangsang tumbuhnya sektor ekonomi kreatif sebab bangunan Cagar budaya tidak sekedar menjadi bangunan mati, tetapi menjadi wadah kreativitas warga Surabaya.
Begandring Soerabaia Usulkan Badan Pengelola Cagar Budaya
Ketika Raperda Pengelolaan Cagar Budaya mulai dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) di DPRD Kota Surabaya pada awal tahun 2022, pihak Pansus yang ada di Komisi D DPRD Surabaya mengundang narasumber ahli di bidang bidang terkait. Komunitas sejarah Begandring Soerabaia adalah salah satu pihak yang diundang.
Setelah mempelajari draf Raperda yang dikirim ke Begandring Soerabaia, tim pengkaji Raperda dari Begandring mendapati satu hal penting yang seharusnya masuk dalam Raperda. Tetapi dalam draf tidak dituangkan. Yaitu Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB). Padahal Raperdanya sendiri berbunyi Raperda Pengelolaan Cagar Budaya.
Apalagi Raperda, yang diajukan Pemerintah Kota Surabaya ini, menjadi turunan dari Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya, dimana dalam pasal 97 terdapat aturan tentang Badan Pengelolaan Cagar Budaya. Karenanya, Begandring Soerabaia mengusulkan kepada Pansus agar memasukkan Badan Pengelola Cagar Budaya ke dalam Raperda.
Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) dalam Raperda Cagar Budaya Kota Surabaya dituangkan dalam Pasal 27, yang selangkah lagi Raperda ini akan diparipurnakan.
Sejarawan dan dosen Universitas Negeri Surabaya, Rojil Nugroho Bayu Aji, S.Hum., M.A. berharap keberadaan Badan Pengelola Cagar Budaya dalam Perda Cagar Budaya Kota Surabaya menjadi langkah bagus.
"Ke depan Badan Pengelola Cagar Budaya ini dapat menyelamatkan, menjaga dan memanfaatkan cagar budaya di Surabaya. Surabaya ini memiliki banyak bangunan cagar budaya dan kawasan bersejarah yang harus bisa dimanfaatkan untuk kemajuan kebudayaan dan edukasi bagi generasi mendatang", jelas Rojil, sapaan akrabnya.
Sementara itu Prof. Purnawan Basundoro, yang menjabat sebagai sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair berharap bahwa Badan tersebut bisa mengelola bangunan cagar budaya dengan lebih baik dan serius.
"Nantinya Badan Pengelola Cagar Budaya ini bisa mendorong agar bangunan cagar budaya bisa bermanfaat maksimal. Badan Pengelola diharapkan bisa lebih profesional mengelola cagar budaya", terang Purnawan Basundoro.
Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Khusnul Khotimah, berharap dengan terbentuknya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) nanti bisa menjadi mitra yang sejajar dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang sudah ada.
"Mereka bisa duduk bersama dalam langkah koordinasi menjalankan tugas tugasnya. TACB melakukan perlindungan, BPCB melakukan pemanfaatan", tambah Khusnul yang dihubungi melalui celuler pada Selasa malam, 29 November 2022.
Kehadiran BPCB dalam Perda Cagar Budaya Kota Surabaya ini memang sangat relevan dengan UU 11/2010, khususnya dengan Pasal 97.
Pasal 97 (1) berbunyi Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengelolaan kawasan Cagar Budaya. (2) Pengelolaan kawasan Cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar budaya dan kehidupan sosial.
Sedangkan pada ayat (3) berbunyi pengelolaan kawasan Cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat hukum adat.
Ayat (4) berbunyi Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas unsur pemerintah dan atau pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Sementara pada ayat (5) menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Cagar budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan, menurut UU, adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Sedangkan Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Karenanya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya ini penting sebagai penghubung antara Cagar Budaya dengan pemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat. Terlalu sayang, jika Surabaya yang begitu kaya akan Cagar budaya kurang atau tidak memanfaatkan kekayaan Cagar budayanya untuk menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pemanfaatan Rumah HOS Tjokroaminoto sebagai museum
Kolaborasi Pentahelix Dan Belajar dari Badan Pengelola Kota Lama Semarang
Dalam hal upaya pemanfaatan Cagar budaya, konsep kerjasama lintas lembaga sangat dibutuhkan karena masing masing lembaga memiliki kompetensi dan wewenang di bidangnya. Adalah kolaborasi pentahelix yang melibatkan lima institusi: pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media.
Konsep pentahelix ini sendiri sudah menjadi kerangka dalam unsur pembentukan Badan Pengelola sesuai dengan Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya. Dalam pasal 97 ayat (3) dan (4) disebutkan bahwa Badan Pengelola yang dibentuk oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat hukum adat dapat terdiri atas unsur pemerintah dan atau pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Studi banding ke Kota Lama Semarang. Dari kiri Tjahjono Rahardjo, Agus Surya Winarto, Dyah Katarina (Komisi D DPRD Surabaya), Penulis dan AH Thony (Wakil Ketua DPRD Surabaya)
Anggota Bagian Operasional Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Agus Suryo Winarto, menyambut akan hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya dalam Perda Cagar Budaya Surabaya dan sekaligus mengingatkan agar dalam kerja kolaboratif antar unsur dalam BPCB senantiasa melihat local wisdom dan local history.
"Jangan sampai jika suatu ketika ada intervensi pusat, lalu pusat melalui PUPR, seperti di Kota Lama Semarang, datang untuk membantu revitalisasi kawasan, tetapi mereka tidak berkoordinasi dengan Badan Pengelola yang notabene adalah orang orang lokal, dan yang terjadi adalah ketidak sesuaian hasil revitalisasi dengan kondisi sejarah lokal", jelas Agus seorang pengusaha yang tergabung dalam kepengurusan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPKKL) Kota Semarang.
Lebih lanjut beliau mencontohkan seperti pemasangan tiang tiang penerangan jalan umum (PJU) di kawasan Kota Lama Semarang yang tidak sesuai dengan data dan fakta sejarah.
"Yang dipasang itu tiang lampu taman, bukan tiang lampu jalan. Padahal tiang lampu jalan, berdasarkan fakta sejarah, tidak seperti itu", tegas Agus dalam zoom meeting antara dirinya, Tjahjono Rahardjo (keduanya mewakili BPKKL) dan penulis mewakili Begandring Soerabaia pada Selasa malam, 29 November 2022.
Agus Suryo Winarto (dari unsur Dunia Usaha) dan Tjahjono Rahardjo (dari unsur akademisi) dalam kepengurusan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama Semarang menyambut baik hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya di Kota Surabaya. Mereka berpesan agar unsur unsur yang duduk di Badan Pengelola bisa saling terbuka dan saling take and give demi menjalankan tugas bersama untuk pemanfaatan Cagar Budaya di Kota Surabaya.
"Masing masing unsur tidak boleh merasa lebih berkuasa dan mampu", pungkas Agus Surya Winarto yang terus idealis menjaga marwah sejarah dan kearifan lokal di kawasan Kota Lama Semarang. (Nanang).
Pameran Foto Membuka Wadah Kreativitas dan Ekonomi Kreatif
Penulis : Nanang Purwono
Gelaran Pameran Foto yang diselingi oleh serangkaian kegiatan pendukung dalam rangkaian Road to Gala Premier film Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi '45, menjadi ajang pengembang potensi diri, kreativitas dan ekonomi kreatif. Pameran ini berlangsung di Basement Balai Pemuda Surabaya mulai 4 sampai 18 Desember 2022.
Dalam pameran ini ditampilkan 90 lembar foto, yang sebagian dalam ukuran poster. Pemasangan poster dan foto foto nya dibuat sedemikian rupa seolah menghadirkan suasana ruang tunggu di gedong bioskop. Apalagi di tengah ruangan dipasang layar monitor LCD yang menayangkan filler film "Soera ing Baja".
Foto foto nya menyajikan suasana kegiatan di balik layar (Behind the Scene), frame yang sesuai dengan frame foto dokumen serta foto foto dokumen dari beberapa sumber. Adapun sumber terkini adalah para fotografer yang mengikuti dan mendokumentasikan jalannya proses produksi film. Para fotografer ini adalah Hengky Purwoko, Ithok dan Andre Arisotya.
Menurut kurator pameran foto, Yayan Indrayana yang juga pegiat dari Komunitas Begandring Soerabaia, sebetulnya ada lebih dari seribu foto foto hasil jepretan para fotografer, namun dari semua itu dipilih yang terbaik dari yang terbaik. Akhirnya terseleksi sekitar 100 foto.
Pemberdayaan Komunitas
Selama pameran, mulai dari 4 hingga 18 Desember 2022, ajang pameran ini menjadi media pembelajaran baik bagi pengunjung, maupun panitia. Panitia ini adalah gabungan dari unsur komunitas sejarah dan mahasiswa Unair. Ada Reenactor Djawa Timoer, Reenactor Jombang, Reenactor Mojokerto, Bangiler, Reenactor Bali yang dikoordinir oleh Begandring Soerabaia.
Mereka selama pameran terlibat sebagai pemandu pamer. Setiap hari ada jadwal tugas sebagai pemandu pameran. Ada dua shift setiap hari: pagi-siang dan sore-malam. Dengan berpakaian lengkap seperti yang digunakan oleh pelaku sejarah pertempuran Surabaya baik dari pihak Republik maupun pihak Sekutu, mereka dengan aktif melayani pengunjung dengan memberikan penjelasan di seputar foto dan kegiatan pembuatan film termasuk tentang isi film yang berjudul Soera ing Baja.
Selain dari komunitas sejarah, para pemandu pameran ini juga berasal dari Fakultas Fisip dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Adalah Bagas dari Fisip Unair yang ikut tampil sebagai pemandu. Ia berpakaian seorang perwira Jepang. Baginya bisa terlibat dalam kegiatan kesejarahan ini menjadi ajang aktualisasi hobi dan passion.
"Saya bisa berinteraksi dengan pengunjung dan berbagi cerita sejarah kota Pahlawan Surabaya", ujar mahasiswa Fisip jurusan Hubungan Internasional ini. Ia menambahkan bahwa ada tiga mahasiswa Fisip Unair yang ikut kegiatan edukasi bersama Begandring Soerabaia.
Sementara itu Jihan, mahasiswi dari Fakultas Ilmu Budaya, Unair yang juga menjadi relawan pemandu pameran mengatakan bahwa ia mendapat wadah pembelajaran di luar kuliah.
Tidak hanya mereka berdua yang mengakui bahwa pameran ini menjadi ajang aktualisasi diri. Secara konstruktif dan tematik, mereka berlatih berinteraksi dengan publik dan berdiskusi sesuai tema pameran.
Ada juga relawan relawan dari komunitas reenactment yang menjadi pemandu. Bagi mereka kesempatan ini adalah momen untuk bisa berbagi pengetahuan tentang sejarah Pertempuran Surabaya kepada orang lain.
Dari pengamatan media ini, pameran dengan kegiatan kegiatan pendukungnya memberi peluang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kapasitas diri di bidang kesejarahan kota Surabaya.
Tidak cuma kegiatan kepemanduan yang berlangsung harian, ada juga yang dijadwal secara insidentil seperti seminar. Pada 7 Desember diselenggarakan seminar tentang pakaian dalam peristiwa Pertempuran Surabaya. Kemudian pada 10 Desember digelar teatrikal reka ulang komando Keramat dan diskusi peristiwa asli dalam potongan film. Pada kegiatan insidentil terakhir, 15 Desember, diselenggarakan diskusi Behind the Scene film Soera ing Baja. Semua pengunjung pada acara acara itu bisa menjadi audience acara.
Tidak ketinggalan, ajang pameran ini juga menjadi wadah ekonomi kreatif dari para pegiat sejarah. Adalah Dedy "Kopral" Risdianto yang membuka atraksi produksi aksesoris berbahan kulit.
"Berawal dari hoby yang bersifat vintage dan historis, saya memulai membuat aksesoris yang dibutuhkan kawan kawan dalam beraktivitas. Awalnya dalam paguyuban sepeda onthel dimana banyak aksesoris yang dibutuhkan terbuat dari kulit. Saat itu saya mulai berkreasi membuat kerajinan aksesoris dari bahan kulit", cerita Dedy yang kini kegiatan itu menjadi sandaran hidupnya.
Banyak pesanan yang datang dari luar kota seperti Bandung, Bogor dan Jakarta. Bahkan pada malam kegiatan di ajang pameran pada Rabo, 7 Desember 2022, ada pemesan dari Bangil yang datang untuk mengambil pesanan.
Ajang atraksi produksi kerajinan dari kulit seperti sarung sangkur, pedang, peluru, ikat pinggang dan lain lain ikut meramaikan kegiatan pameran foto.
"Biasanya saya mengerjakan di rumah. Sekarang ada momen, saya mengerjakan di ajang pameran. Ke depan wadah komunitas Begandring ini berpotensi sebagai etalase berkreasi secara publik", pungkas Dedy Risdianto yang melabeli produknya DrCreation. (nng/pul)
Film amatir karya Wim Kooper. Rekaman keluarga yang sedang berlibur di telaga Sarangan, pada pertengahan 1930-an. Mereka mendaki gunung Lawu untuk menikmati panorama dan keindahan pemandangan alam di sekitar telaga Sarangan. Foto Ist
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id. Tempat wisata Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan sudah menjadi jujugan pengunjung sejak jaman Hindia Belanda. Tidak ada catatan resmi kapan warga Belanda mulai bermukim dan membuat villa di kawasan itu. Hanya dari berbagai dokuken yang muncul di banyak media sosial, mereka sangat mengagumi lokasi sarangan yang dianggap tidak jauh beda suhu udara negara asalnya.
“Orang Belanda sudah ada disini sejak 350 tahun lalu, mereka merasa nyaman dan ingin selalu singgah dan bahkan menetap di kawasan telaga sarangan,” kata Suprawoto Bupati Magetan saat menerima kunjungan wartawan 28/9/2019.
Karena sering disinggahi warga belanda, maka kawasan telaga saragan sempat dianggap wilayah wisata premium. Sangat jarang warga pribumi yang bertamasya di tempat itu, kecuali hanya pekerja vila atau pemilik ladang. Promosi wisata sarangan juga tidak gencar. Para warga Belanda yang merasa berkesan di tempat tersebut, kemudian menceritakan ke komunitas yang lain. Sehingga tempat ini menjadi ramai pengunjung. Bangunan vila yang disewakan mulai dibuat warga belanda itu. istilah bertamasya memang belum familier saat itu. namun kesadaran ingin melepas penat dengan merasakan hawa dingin dan suasana baru juga mulai dilakukan para pejabat lokal, bupati dan priyayi.
Pada tahun 1920 an keluarga Wongso Kojo seorang priyayi Jawa melakukan perjalanan tamasya di telaga Sarangan. Foto ist
Baru setelah Indonesia merdeka wisata Telaga Sarangan ini mulai dibangun untuk pariwisata. Di era tahun 1970an telaga ini mulai dikenal masyarakat namun belum terlalu banyak pengunjung. Kondisi wilayah itu masih berantakan terutama akses jalan. Hingga tahun 1980, telaga ini baru berkembang sedikit demi sedikit. Beberap pejabat pemerintah dan menteri mulai berkunjung sambil mempromosikan paket wisata dengan Tawang Mangu. “Alasan wisata sarangan dipilih karena lokasinya dekat dengan propinsi Jawa Tengah, sehingga banyak pengunjung datang dari warga sana,” tambah Suprawoto.
Tak hanya wisatawan luar negeri, turis domestik mulai membanjiri telaga Sarangan hingga sekarang. “Sarangan tambah maju dan berkembang hingga karena wujud nyata dari masyarakat untuk promosi wisata,” kata Suprawoto..
Telaga Sarangan ini berada pada ketinggian sekitar 1.287 Mdpl sehingga saat berada di telaga, wisatawan akan menikmati udara sejuk pada suhu 18-220 celsius. Kawasan sekitar telaga Sarangan ini banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang khas yakni pohon pinus dan cemara.
Di sekitar pepohonan inilah banyak penjual makanan hingga oleh-oleh yang berjejer, sehingga wisatawan dapat menikmati sejuknya suasana telaga ditemani makanan hangat di sekitar danau. Tak jarang kabut turun disini kerap turun saat siang atau sore hari sehingga membuat danau terlihat lebih mistis.
Selain menikmati suasana tenang, wisatawan juga bisa memilih makanan kuliner terutama sate kelinci dan jagung bakar di sepanjang telaga.
Telaga Sarangan memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman sekitar 28 meter. Ada yang unik dari telaga ini, yakni pulau yang ada di tengah telaga dan dikeramatkan oleh penduduk. Menurut warga setempat, pulau itu bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan, yaitu Kiai Pasir dan Nyai Pasir.
Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan, suami istri ini belum dikaruniai anak. Lalu Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai anak.
Akhirnya mereka pun mendapat seorang anak lelaki yang diberi nama Joko Lelung. Mereka bercocok tanam dan berburu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena pekerjaan yang dirasa berat maka Kiai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kesehatan dan umur panjang kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya, pasangan suami istri tersebut mendapat wangsit bahwa keinginannya akan terwujud jika dapat menemukan dan memakan telur yang ada di dekat ladangnya.
Kemudian, pergilah Kiai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam di ladangnya. Karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-pohon besar, Ia menebang beberapa pohon besar satu demi satu hingga menemukan telur berwarna putih.
Tidak berpikir panjang lagi, Kiai Pasir segera pulang membawa telur tersebut dan diberikan kepada sang istri. Akhirnya suami istri itu sepakat untuk merebus telur tersebut. Telur kemudian dibagi dua. Setelah memakan telur tersebut, Kiai Pasir kembali pergi ke ladang. Dalam perjalanan itu badannya terasa panas dan gatal. Lantaran tak kuasa menahan gatal itu, Ia menggaruknya hingga menimbulkan luka lecet di seluruh tubuh. Kiai Pasir kemudian berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Hal yang sama juga terjadi dengan Nyai Pasir. Keduanya lalu berubah menjadi ular naga yang sangat besar dan berguling-guling di pasir hingga menimbulkan cekungan yang semakin lama semakin besar dan dalam. Dari dalam cekungan keluar air yang sangat deras dan menggenangi cekungan tadi.
Menyadari kemampuan yang dimilikinya, Kiai Pasir dan Nyai Pasir berniat untuk membuat cekungan sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan Gunung Lawu.
Mengetahui kedua orang tuanya berubah menjadi naga besar dan memiliki niat buruk, maka Joko Lelung bersemedi agar niat tersebut dapat diurungkan. Semedi Joko Lelung pun diterima oleh Hyang Widhi. Saat kedua orangtuanya sedang berguling-guling membuat cekungan baru, timbul wahyu kesadaran agar Kiai dan Nyai pasir mengurungkan niat menenggelamkan Gunung Lawu. (pul)
Hari Listrik Nasional dan Sejarah Penerangan di Surabaya
Abad.id, SURABAYA - Setiap 27 Oktober diperingati sebagai Hari Listrik Nasional (HLN). Penanggalan ini terkait dengan Surat Penetapan Pemerintah No. 1 tahun 1945, tanggal 27 Oktober 1945 ketika dibentuk Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, Republik Indonesia.
Namun, secara de facto, kehadiran listrik sebetulnya sudah ada sebelum tanggal tersebut. Menurut sumber dari Kementerian ESDM RI bahwa sejarah kelistrikan Indonesia telah dimulai pada akhir abad ke 19, pada saat beberapa perusahaan Belanda, antara lain pabrik gula dan pabrik teh mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri.
Kelistrikan untuk umum mulai ada pada saat perusahaan swasta Belanda yaitu N V. Nederlandsch Indiesch Gas Maastchappij (NIGM), yang semula bergerak di bidang gas, memperluas usahanya di bidang penyediaan listrik untuk umum. Pada tahun 1927 pemerintah Belanda membentuk s’Lands Waterkracht Bedriven (LWB), yaitu perusahaan listrik negara yang mengelola PLTA Plengan, PLTA Lamajan, PLTA Bengkok Dago, PLTA Ubrug dan Kracak di Jawa Barat, PLTA Giringan di Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA Tonsea lama di Sulawesi Utara dan PLTU di Jakarta.
Selain itu di beberapa Kotapraja dibentuk perusahaan-perusahaan listrik Kotapraja. Surabaya adalah salah satunya. Listrik adalah salah satu sumber penerangan yang pernah ada di Surabaya. Sebelum listrik, sumber penerangan di Surabaya berbahan bakar gas dan minyak.
Penerangan di Surabaya
Lampu minyak masih dipakai di sebuah rumah di Surabaya
Buku Oud Soerabaia ditulis GH Von Faber pada 1935. Di salah satu bab yang membahas “Penerangan Jalan”, ditulis bahwa seratus tahun lalu (1835) kondisi Surabaya masih gelap gulita: tidak ada penerangan jalan. Orang orang tidak keluar rumah di malam hari karena memang tidak ada yang dikerjakan di malam hari. Kalau toh mereka keluar ke club Societeit, umumnya didahului (dipandu) oleh budak pribumi yang berjalan di depan sebagai petunjuk jalan tanpa menggunakan penerang. Bisa dibayangkan betapa sulitnya berjalan di kegelapan.
Kondisi seperti ini benar benar dimanfaatkan oleh mereka yang kreatif dan inovatif. Adalah orang orang Cina yang bisa mengambil kesempatan itu. Ia menawarkan jasa penerangan dengan menyediakan sentir (Jawa = alat untuk menerangi atau lampu kecil dengan bahan bakar minyak). Per bulan orang ini bisa, mengumpulkan 230 gulden sebagai pengganti sumbu dan minyak.
Penerangan yang masih sangat tradisional itu terhitung model alat penerangan pertama di Surabaya. Cara ini membuat penyedia jasa penerangan mengeruk banyak keuntungan secara pribadi. Pada 1863, kontrak jasa penerangan antara penyedia jasa dan pengguna jasa diputus.
Pada 1864 baru muncul model penerangan lampu minyak sebagai pengganti sumbu minyak (sentir). Dengan alokasi anggaran dari kas kota sebesar 2.500 gulden, maka uang itu dibelanjakan untuk 100 lampu minyak (lentera) yang dipasang di jalanan Surabaya. Lentera lentera ini berhasil membuat kota lebih terang di malam hari, tapi belum bisa membuat kawasan Simpang, Kayoon, Keputran, Kaliasin, Embong Malang dan Kupang terang. Masih dibutuhkan lebih banyak lagi lentera untuk Surabaya.
Sentir minyak
Baru pada April 1867, timbullah cara penerangan baru dengan menggunakan lentera yang digantung dengan tali di tengah jalan sehingga pancaran sinarnya pun rata. Pola penerangan jalan seperti ini dianggap sebagai penemuan baru sehingga menjadi tontonan warga di malam hari. Warga pun berani keluar di malam hari dan beraktifitas. Tapi masih ada jalan jalan yang gelap.
Bagi warga yang di lingkungan rumahnya gelap dan menginginkan lingkungan rumahnya terang seperti di jalanan, maka muncullah iklan iklan yang menawarkan lentera penerangan lingkungan. “Tidak ada uang, tidak ada cahaya”. Bagi yang beruang, maka lingkungan rumahnya terang. Tetapi yang tidak beruang, lingkungannya masih gelap.
Dalam kondisi seperti ini semakin banyak tuntutan kepada pemerintah untuk pengadaan penerangan jalan. Baru pada 1877 dibuat persiapan untuk pembangunan pabrik gas di Gembong. Pembangunannya baru terealisasi pada 1879. Pabrik gas di Gembong ini diproduksi dan dikelola oleh Nedelandsche Indiesch Gas Maatschappij (Perusahaan Gas Negara Hindia Belanda).
Hadirnya gas negara ini bagai sebuah pesta yang penuh dengan gemerlap karena di malam hari, di kantor pabrik gas Gembong, api menyala nyala menerangi lingkungan pabrik. Hadirnya penerangan ini menjadi bahan berita surat surat kabar.
Sebenarnya, aliran gas bumi ini sudah mulai mengalir ke rumah rumah pada 1879, tapi penerangan jalan umum menjadi lebih masif dan resmi menyala pada 1881. Dalam kurun waktu tahun 1900, 1910 dan 1920 dengan interval 10 tahunan, jumlah lampu gas untuk penerangan jalan umum terus meningkat mulai dari 430, 733, 1174 hingga 1709 buah.
Listrik di Surabaya
Kantor ANIEM di Gemblongan, Surabaya
Sebenarnya di awal abad 20, tepatnya pada 26 April 1906 listrik sudah mulai hadir di Surabaya ketika perusahaan gas NIGM (Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij) mendirikan perusahaan listrik bernama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) atau Perusahaan Listrik Umum Hindia Belanda.
ANIEM merupakan perusahaan swasta yang diberi hak untuk membangun dan mengelola sistem kelistrikan di Hindia Belanda. Sejak itu penerangan di Surabaya berubah dari tenaga gas bumi ke tenaga listrik.
Pada 1945, setelah Belanda menyerah kepada Jepang dalam perang dunia II, maka Indonesia dikuasai Jepang. Perusahaan listrik dan gas juga diambil alih oleh Jepang, dan semua personil dalam perusahaan listrik tersebut diambil alih oleh orang-orang Jepang.
Selanjutnya, dengan jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu, dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh pemuda dan buruh listrik dan gas untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan listrik dan gas yang dikuasai Jepang.
Setelah berhasil merebut perusahaan listrik dan gas dari tangan Jepang, pada bulan September 1945 suatu delegasi dari buruh/pegawai listrik dan gas menghadap pimpinan KNI Pusat yang pada waktu itu diketuai oleh M. Kasman Singodimedjo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka.
Selanjutnya, delegasi bersama-sama dengan pimpinan KNI Pusat menghadap Presiden Soekarno, untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Soekarno, dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah No. 1 tahun 1945 tanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tanggal 27 Oktober kemudian diperingati sebagai Hari Listrik Nasional. (Nanang)