images/images-1679978539.png
Sejarah
Data

Geger Sepoy, Saat Tahta Kesultanan Yogyakarta Dijarah Inggris

Pulung Ciptoaji

Mar 28, 2023

770 views

24 Comments

Save

Total jumlah naskah yang dibawa diperkirakan lebih dari 7000 buah. Setelah penjarahan itu, pada 1817 Thomas Stamford Raffles kemudian menerbitkan The History of Java, menjadi sumber sejarah paling awal dan penting untuk mengetahui kehidupan sosial, beragama, budaya dan aturan masyarakat Jawa. Foto dok net

 

abad.id- Sultan Hamengkubuwono II naik tahta untuk kedua kalinya tepat setahun setelah ia diturunkan oleh Daendels, yakni akhir tahun 1811.  Sebab tengah tahun sebelumnya, kekuasaan Daendels di Hindia Belanda berakhir. Ia digantikan oleh J.W. Jansens, meskipun hanya sebentar. Jabatan Jansens sebagai gubernur jenderal hanya beberapa bulan saja. Sebab, pasukan Inggris telah menyerbu dan memaksa Belanda menyerah kalah di Kali Tunntang, Salatiga, Jawa Tengah. Sejak saat itu terjadilah pergantian kekuasaan dari Belanda kepada Inggris.

 

Di tengah-tengah pergantian kekuasaan itu, Sultan Hamengkubuwono II bangkit dan merebut kembali tahta Kesultanan Yogyakarta. Dalam waktu sekejap, Sultan Hamengkubuwono II kembali nak tahta sebagai sultan keempat (pada periode dua) Kesultanan Yogyakarta. Saat baru saja dilantik, Sultan Hamengkubuwono II segera menangkap patih Danureja II yang berkhianat dan memerintahkannya agar dihukum mati.

 

Pada periode pemerintahannya ini, Sultan Hamengkubuwono II tidak lagi menghadapi Belanda, melainkan Inggris di bawah pimpinan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur jenderal penguasa kolonial Inggris di Jawa turut mengokohkan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono II, dengan tetap mengakui Sultan Hamengkubuwono II sebagai penguasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengkubuwono III sebagai putra mahkota. Namun demikian, karena Inggris juga berstatus penjajah, sikap Sultan Hamengkubuwono II tetap tidak berubah. Ia tetap menentang keras penjajahan Inggris di tanah Jawa. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles ketika gubernur Inggris itu berkunjung ke Yogyakarta pada bulan Desember 1811.

 

“Sikap keras Sultan Hamengku-buwono II kepada Rafles menyebabkan sang sultan mengalami hukuman buang ke Penang,” tulis @mbahK.Jogja dalam bukunya Jogja Hidden Story.

 

Kisah penangkapan dan hukuman kepada Sultan Hamengkubuwono II oleh penguasa Raffles dikenal dengan peristiwa Geger Sepoy. Awalnya Raffles meminta beberapa wilayah yang menjadi bekas kekuasaan Daendels kepada Sultan Hamengkubuwono II. Wilayah-wilayah itu, antara lain daerah Kedu, Bojonegoro, dan Mojokerto. Namun, Sultan Hamengkubuwono II dengan tegas menolak permintaan tersebut. Karena keinginannya ditolak, maka Raffles kemudian mengirimkan armada perang menuju Yogyakarta untuk menundukkan Sultan Hamengkubuwono II. Sultan

 

Malam itu tanggal 13 Juni 1812, sebanyak 1000 orang serdadu Inggris memasuki Benteng Vrederburg secara diam-diam. Selanjutnya menjelang Subuh, serdadu Inggris mulai membombardir keraton sebagai peringatan, namun sultan tetap mengabaikannya. Menjelang pagi pada tanggal 17 Juni 1812 Gubernur Raffles tiba di Yogjakarta, serdadu Inggris mulai berani masuk keraton dengan menggunakan tangga-tangga bambu yang telah disiapkan Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing.

 

Dari arah lain terjadi penembakan terhadap Plengkung Tarunasura dan Pintu Pancasura. Penyerangan tersebut mengakibatkan banyak keluarga Keraton              Jogjakarta tewas. Antara lain salah satu dari ketiga menantu sultan, KRT Sumadi-ningrat, panglima pasukan keraton dan Ratu Kedaton.

 

Akhirnya pada tanggal 20 Juni 1812, pasukan Inggris berhasil mengepung kedhaton. Sultan Hamengku Buwono II menyerah dengan berpakaian serba putih. Seluruh perhiasan di tubuh sultan dan rombongannya dilucuti oleh pasukan Inggris. Dalam pertempuran dua hari itu, Inggris berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah, yang terdiri atas serdadu asal Sepoy India dan serdadu Eropa, ditambah 500 prajurit Legiun Mangkunagaran dipimpin Pangeran Prangwedono.

 

Sementara prajurit keraton Jogjakarta ada sekitar 2500 orang. Sekitar 1500 prajurit keraton berjaga di benteng baluweri, sisanya bersiaga di dalam benteng dan kedhaton. Pertempuran utama terjadi pada tanggal 20 Juni 1812 akhirnya dimenangkan oleh Inggris.

 

Saat dilucuti prajurit Inggis, Sultan Hamengku Buwana II hanya bisa berdiri mematung. Tampak sekali di raut wajahnya amarah. Sedangkan para kerabat keluarga beserta pembantunya berlinang air mata ketika melihat Sultan dilucuti perangkat kebesarannya. Mulai keris, mahkota bahkan kancing pakaian Sultan yang terbuat dari berlian.

 

Sultan kemudian dibawa ke kediaman Residen. Turut dirampas semua senjata pusaka keraton, Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem. Barang-barang jarahan berpeti-peti diangkut pedati dan kuli panggul. Bahkan Gamelan, arsip, akta tanah, dan naskah-naskah berharga milik keraton ikut diangkut.

 

Hanya tersisa Al Qur'an berhias kaligrafi indah. Bagi tentara Inggris, Al Qur'an tidak diangkut karena tidak menjadi bagian dari budaya Jawa yang adiluhung. Penjarahan yang berlangsung 4 hari itutelah membuatnya Sultan Hamengku Buwana II nyaris bangkrut. Bangkrut harta dan bangkrut harga diri.

 

Di tengah-tengah penjarahan yang terus terjadi, Raffles di Bangsal Kencana Keraton Ngayogyakarto mengumumkan bawah Inggris mengangkat Pangeran Notokusumo untuk memimpin kepangeranan mandiri bergelar Pakualam. Wilayahnya meliputi Kedu dan sepertiga wilayah mancanegara timur menjadi milik Inggris. Dua minggu setelah penahanan di kediaman Residen, Sultan Hamengku Buwana II dibuang ke Malaka oleh Inggris. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023