images/images-1676092273.jpeg
Liputan

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

378 views

24 Comments

Save

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

 

 

Abad.id - Mengawali "Pekan Begandring" dalam rangka memeriahkan HUT ke-1 Begandring.com diisi dengan tiga kegiatan berbasis budaya secara berturut turut pada minggu dan senin (5-6 Februari 2023). Tiga kegiatan itu adalah pertama, bakti sosial pengobatan tradisional sebagai wujud upaya pemajuan kebudayaan sesuai undang undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

 

Sementara dua kegiatan lainnya yang ikut mengawali Pekan Begandring adalah workshop penulisan buku, yang dimentori oleh Dukut Imam Widodo (penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe) pada minggu sore (5/3/2023).

 

Diskusi Melacak Jejak Hujunggaluh di Lodji Besar di jalan Makam Peneleh 502023

 

Sedangkan pada senin malam (6/3/2023) digelar diskusi publik (Begandringan) dengan judul "Mencari Letak Hujunggaluh". Diskusi ini mendatangkan Nara sumber Dr. Amin Widodo (geolog ITS), Dr. Abimardha (epigrafer Unair) dan Nanang Purwono (pegiat Begandring Soerabaia dengan moderator TP Wijoyo (pegiat sejarah klasik Surabaya.

 

Dari judulnya "Mencari Letak Hujunggaluh" sudah dapat diduga apa maksud diadakannya begandringan ini. Yaitu mencoba untuk mengidentifikasi letak Hujunggaluh, yang selama ini menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan.

 

Para sejarwan Belanda di masa pemerintahan Hindia Belanda sudah memiliki pandangan yang berbeda beda mengenai letak Hujunggaluh. Misalnya sejarawan N.J. Krom dan Kern dalam buku "Geschiedenis Van Nederlansche Indie, Feel I, (1938)" mengatakan bahwa Hujunggaluh adalah Sidayu di Gresik. Ada pula yang mengatakan bahwa Hujunggaluh di Surabaya.

 

Ternyata perdepatan dan silang pendapat mengenai Hujunggaluh dan letaknya itu masih terjadi hingga sekarang. Padahal, selama ini Hujunggaluh dianggap terkait dengan sejarah Surabaya masa lalu.

 

Karenanya untuk memberi gambaran yang jernih tentang sejarah Surabaya masa lalu itu, Begandring Soerabaia dalam Pekan Begandring menghadirkan para ahli yang bisa memberi kontribusi pemahaman sejarah masa lalu Surabaya melalui sebuah diskusi publik "Begandringan".

 

Kegiatan ini adalah kontribusi Begandring.com dalam upaya mengurai benang kusut sejarah Surabaya. Melalui The Begandring Institute, yang selama ini melakukan kajian tentang sejarah Surabaya, khususnya sejarah Hujunggaluh, maka Begandring Soerabaia menghadirkan tenaga ahli terkait untuk menyoal isu Hujunggaluh.

 

Karenanya, turut berbagi wawasan dan pandangan serta temuan temuan lapangan adalah Dr. Abimardha (epigrafer dari Universitas Airlangga), Dr. Amin Widodo (geolog ITS) dan Nanang Purwono (pegiat dan peneliti Begandring Soerabaia).

 

Masing-masing memaparkan materi Hujunggaluh berdasarkan keilmuan dan penelitiannya. Dr. Abimardha, misalnya, menjelaskan isi dari Prasasti Kamalagyan, sebuah prasasti kuno dari era Raja Airlangga yang menuliskan kata "Hujunggaluh".

 

Abimardha, yang spesialis dalam pembacaan naskah naskah kuno, termasuk prasasti, membedah Prasasti Kamalagyan, khususnya kalimat kalimat kuno dimana terdapat tulisan "Hujunggaluh ". Hasil pembacaannya mencengangkan.

 

Epigrafer Abimardha (Unair) membedah prasasti Kamalagyan

 

Menurut Abimardha "Hujunggaluh" memiliki makna nama sebuah jabatan dan nama sebuah tempat. Sedangkan nama Hujunggaluh, yang tertulis pada Prasasti Kamalagyan, adalah nama sebuah tempat.

 

Abimardha, yang mengatakan bahwa Hujunggaluh adalah nama sebuah tempat, berpandangan bahwa letak Hujunggaluh berada di sekitar antara lokasi berdirinya prasasti (desa Kelagen, kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo) dan desa Wringin Sapto (tempat yang tersebut pada prasasti sebagai lokasi dibangunan bendungan).

 

"Dengan kata lain bahwa letak Hujunggaluh berada di hulu sungai", kata Abimardha.

 

Pendapat Abimardha ini dikuatkan oleh temuan Nanang Purwono yang didapat berdasarkan kajian literatur dan analisa lapangan. Beberapa literatur, yang menjadi referensi Nanang, memang menyebut dan menuliskan nama Hujunggaluh.

 

"Tapi Hujunggaluh yang ditulis dalam buku buku kuno, misalnya oleh N.J. Krom, Kern, Groenneveld, termasuk oleh sejarawan Didik Pradjoko dan Bambang Budi Utomo dalam

Atlas Pelabuhan Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013), tidak ada kaitannya dengan nama Hujunggaluh yang tersebut pada prasasti Kamalagyan", jelas Nanang.

 

Nanang, dalam paparannya, memunculkan hipotesa bahwa ada dua nama Hujunggaluh. Pertama, Hujunggaluh sebagai pelabuhan laut di pantai utara Jawa bagian Timur dan Kedua, Hujunggaluh sebagai nama pelabuhan sungai yang letaknya di pedalaman Jawa.

 

Menurut Nanang, yang menyebabkan bahwa Hujunggaluh dianggap berada di Surabaya dan dianggap bahwa Hujunggaluh adalah cikal bakal Surabaya adalah karena hasil penelitian para sejarawan, ilmuan dan peneliti yang tergabung dalam tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya dalam proses pencarian dan penentuan Hari Jadi Kota Surabaya selama kurun waktu dua tahun (1973-1975).

 

Dari hasil kajian merekalah muncul hasil hipotesa bahwa Hujunggaluh berada di Surabaya. Pernyataan ini tertulis dan terdokumentasikan dalam sebuah buku, yang berjudul "Hari Jadi Kota Surabaya, 682 Tahun Soera-ing-Baia", yang dikeluarkan oleh pemerintah Kotamadya Surabaya (1975).

 

Dalam buku ini dituliskan beberapa alasan, yang melatarbelakangi Hari Jadi Kota Surabaya yang lahir pada 31 Mei 1293. Pertama, ada nama jalan Galuhan yang dianggap sebagai nama yang berasal dari nama Hujunggaluh. Kedua, nama kawasan Ujung (di Tanjung Perak), yang dianggap dari nama Hujunggaluh. Ketiga, Surabaya sebagai Hujunggaluh dianggap sebagai pintu keluar Tartar dari pulau Jawa. Adapun pintubkeluar itu adalah kali Jagir di kawasan Ngagel Wonokromo.

 

Padahal ketiga alasan itu terbantahkan oleh hasil temuan dan penelitian The Begandring Institute.

 

Hasil temuan pertama adalah bahwa nama jalan Galuhan di kawasan Bubutan adalah nama jalan baru, yang disematkan pada nama yang berbau kolonial. Pergantian nama itu terjadi di bulan Maret 1950.

 

Hasil temuan kedua adalah bahwa kawasan Ujung bukan kawasan kuno karena Ujung baru terbentuk setelah ada sudetan kanal Kalimas pada awal abad 19 dan dikembangkannya kawasan pelabuhan pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Jadi Ujung bukanlah dari Hujunggaluh.

 

Hasil temuan ketiga adalah bahwa kali Jagir, yang dianggap tempat keluarnya serdadu Tartar pada 1293, ternyata disana baru ada kanal pada kisaran tahun 1860-an. Pada peta 1706, sungai Jagir belum ada.

 

Dari hasil temuan dan kajian The Begandring Institute itulah maka tiga alasan, yang menjadi latar belakang sejarah hari jadi kota Surabaya, bisa dianggap gugur.

 

Paparan Abimardha dan Nanang Purwono ini saling melengkapi berdasarkan keilmuan mereka masing masing.

 

"Jika Hujunggaluh, sebagaimana tertulis di prasasti Kamalagyan, dianggap berada di Surabaya, maka data ini perlu ditinjau kembali", tegas Abimardha ketika menyudahi paparannya.

 

Sementara Dr. Amin Widodo, geolog dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya memaparkan bahwa secara geologis letak garis pantai kawasan Sidoarjo di abad abad pada masa perpindahan pemerintahan klasik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Airlangga pada abad XI menjorok ke pedalaman hingga Krian.

 

Dr. Amin Widodo yang tidak bisa hadir pada malam itu diwakili oleh karya videonya yang memaparkan dimana letak pusat pusat pemerintahan klasik saat itu. Ternyata letak pusat pusat pemerintahan itu tidak jauh dari aliran aliran sungai.

 

Menurut Ir. Yayan Indrayana, peneliti The Begandring Institute, yang pernah mengikuti diskusi Dr. Amin Widodo mengenai posisi garis pantai di abad abad awal bahwa hipotesa mengenai garis pantai itu ditentukan berdasarkan dari hasil penelitian spesies yang hidup di kawasan pedalaman baik fauna maupun flora. Ternyata ada species hewan dan tanaman pantai yang hidup di pedalaman.

 

"Maka diduga bahwa di tempat dimana ditemukan species pantai, disitulah garis pantai di masa kuno", jelas Yayan.

 

Amin melalui videonya tidak menjelaskan dimana letak Hujung galuh. Nanang menyimpulkan bahwa ada dua nama Hujunggaluh yang masing masing berada di tempat yang ber beda. Satu ada di wilayah pantai utara Jawa bagian Timur dan satu lagi ada di wilayah pedalaman. (Tim)

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

Begini Respon TACB Perihal Reklame di Lokasi Cagar Budaya

Author Abad

Feb 26, 2023

Novelis Barbara Cartland Untuk Penghargaan Terhadap Perawan

Pulung Ciptoaji

Jan 28, 2023

Duar..!  Pesawat PANAM Tabrak Gunung, 107 Penumpang tewas

Pulung Ciptoaji

Jan 17, 2023