images/images-1672575920.jpg
Indonesiana

Strategi Hoax, Kebenaran Versus Pembenaran

Malika D. Ana

Jan 02, 2023

543 views

24 Comments

Save

 Strategi Hoax, Kebenaran Versus Pembenaran

 

"Aswatama, kau bawa semua cintaku dalam jiwamu. Sirna engkau, sirnalah aku." -Drona-

 

Abad.idHoax itu diibaratkan seperti kentut. Bila menyebar, tercium baunya, lalu timbul kegaduhan entah akibat bunyi kentut, entah karena efek baunya, tetapi barang yang jadi penyebab kegaduhan itu tak tampak alias tak berwujud. Siapa yang bisa melihat wujud kentut secara kasat mata? Ini analogi tentang hoax. Ya, berita sampah, kabar palsu alias hoax itu hakikinya tak ada, karena sifatnya fiktif, tidak riil, fantasi, omong kosong, ataupun lebih jauh disebut fitnah.

 

Dalam politik praktis, hoax kerap digunakan oleh pakar politik atau politikus untuk menggoreng sebuah kepentingan. Seperti deception (tipu muslihat) guna menutupi kasus misalnya, atau menyerang lawan politiknya melalui fitnah-fitnah, ataupun untuk tujuan membangun opini, untuk pembunuhan karakter atau hanya sekedar test the water untuk memancing atau mengetahui reaksi publik semata.

 

Strategi hoax sepertinya memang sudah ada sejak jaman pewayangan. Dikisahkan, saat perang Barathayuda, Pandawa 'keteteran'(kewalahan) tidak bisa mengalahkan Drona, maka dibuatlah strategi untuk menjebak. Dibuatlah hoax yang memberitakan anak Drona yaitu Aswatama gugur. Karena dengan kehilangan anak, Drona akan kehilangan semangat, sehingga bisa dengan mudah dikalahkan.

 

Dijaman pewayangan, hoax tersebut adalah ide dari sosok cerdas, penuh strategi dan perhitungan jitu. Dia guru kebijaksanaan sekaligus konsultan politik Pandawa yaitu Kresna. Saat peristiwa hoax kematian Aswatama, Kresnalah sosok yang mengatur siasat. Pandawa diminta membuat “kebohongan publik”. Strategipun dilancarkan, ibarat awak media, Bima ditugaskan menyebarkan kabar burung dan desas-desus bahwa Aswatama telah terbunuh. Dan kabar terbunuhnya Aswatama itu pun menjadi sangat viral. Padahal peristiwa yang sesungguhnya adalah Sang Bimasena membunuh gajah. Tetapi disebarluaskan seolah-olah Aswatama yang telah terbunuh. Hingga sang Resi Drona patah semangat.

 

Guru Drona tidak percaya begitu saja mendengar kabar kematian putranya, mengingat Aswatama diberikan karunia Dewa dengan umur yang panjang, bahkan tidak tersentuh kematian.

 

Maka dicarilah kebenaran, ia bertanya pada Yudhistira yang dipercaya tidak akan mungkin berbohong. Tapi perang memang harus diakhiri, maka Yudhistira pun akhirnya turut berbohong. Yudhistira sadar dirinya bisa ngeles dengan bilang tidak melakukan kebohongan, bahwa yang dimaksud itu adalah Aswatama nama gajah, bukan Aswatama anaknya guru Drona. Tapi yang namanya kebohongan tetaplah kebohongan mau sedikit atau banyak, mau disamarkan atau terang-terangan.

 

Guru Drona merasa hopeless, bukan karena anaknya sudah mati, melainkan karena harapan akan kejujuran eksis di dunia ini sudah cuma tinggal kenangan. Bahwa semua orang akan berbohong pada waktunya. Aswatama memang meninggal, tapi bukan Aswatama anaknya Drona, Aswatama nama seekor gajah. Yudhistira yang terkenal jujur akhirnya berbohong (bahwa Aswatama terbunuh), dan bohongnya Yudhistira ini menjadi penyebab kematian Guru Drona. Drestradyumnena, adik Drupadi dari kerajaan Pancala berhasil memenggal lehernya.

 

Hikmah cerita diatas adalah, kebohongan dalam bentuk apapun tidak akan pernah menghasilkan buah yang manis. Dan HOAX yang diciptakan pihak Pandawa akhirnya berbuah...Yudistira bertemu dengan karma yang sangat pedih. Seluruh keturunan Pandawa lenyap dibantai Aswatama ketika sedang terlelap dalam tidur. Sedang roda kereta perang yang dinaiki Yudhistira pun ambles ke dalam bumi.

 

Sekelumit kisah hoax dijaman Mahabarata semoga membuat kita tetap eling lan waspada, cerdas memahami situasi, karena demi melihat banyaknya isu-isu yang berhamburan belakangan ini, sudah dilevel yang sangat memprihatinkan. Politik memang layaknya kopi; hitam pekat, pahit dan misterius....tema utamanya tetaplah misteri.

 

Berita-berita yang dihamburkan, tentang agama versus budaya, setelah tempo hari gagal mengadu domba antara agama dengan negara, entah besok apalagi...  Dan seperti ABG baru puber, isu-isu menyangkut agama selalu sensitive. Sehingga membuat yang memberikan umpan lega, karena umpan dimakan dengan baik oleh kubu pro pluralisme, dan kebhineka-an, digoreng sedemikian rupa hingga gosong di timeline tiap hari tiap waktu. Orang-orang mendadak sibuk menjadi penyinyir agama. Yang notabenenya para spiritualis juga ikut melempar gorengan soal agama versus budaya, angin segar buat kelompok yang menyebut diri paling Nusantara, bak mendapatkan amunisi untuk menyerang dengan aneka macam penyebutan; pendatang, kadrun, agama import bla bla bla...dan selalu peyoratif ke Arab.

 

Padahal akulturasi budaya seharusnya sudah selesai. Sinkretisme itu berjalan sudah 500 tahun. Bangsa Indonesia menerima setiap yang dating, baik budaya, ideologi dari mancanegara selalu kemudian diadaptasi, diolah agar sesuai dengan kepribadian bangsa. Sehingga dengan bangsa pendatang bisa hidup rukun dan damai. Hingga tahun politik tiba, isu intoleransi dan anti kebhinekaan ini memanas lagi.

 

Baiklah, bukan ini yang mau saya garis bawahi, tapi hal diatas jika dilihat dari sudut pandang propaganda adalah tergolong bentuk trick deception (tipu muslihat), distorsi atau pemotongan fakta dengan tujuan menyesatkan orang lain. Yang kata Joseph Gobbelz, mentri propaganda Nazi Hitler; “sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik maka kebohongan itu akan menjadi sebuah kebenaran.” Dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja (seperti ngelesnya Yudhistira tentang matinya Aswatama). Intinya begini, kebenaran itu memang ada walaupun hanya sepersekian persen.

 

Bahwa dari sekian banyak isu yang yang dieksploitasi secara gegap gempita kepada publik memang tak semuanya hoax, tetapi seringkali hal remeh temeh, printilan peristiwa-peristiwa di panggung perpolitikan nasional ini entah sengaja atau tidak, diciptakan dan diblow up sehingga membuat publik menjadi abai terhadap proses-proses politik lainnya, dan menjadi lupa apa sesungguhnya permasalahan bangsa.

 

Akankah strategi hoax dan mainan isu akan terus digoreng ditahun-tahun politik mendatang? Dan kita asyik menelannya bulat-bulat tanpa berpikir atau memilih berpikir dan mengunyahnya sebelum menelannya?(mda)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022