images/images-1671416284.png
Sejarah
Tokoh

Roehana Khudus Wartawati Pertama Yang Pernah Digugat

Author Abad

Nov 25, 2022

606 views

24 Comments

Save

Roehana Khudus Wartawati Pertama Yang Pernah Digugat

Siti Roehana anak pertama dari tiga bersaudara, salah satunya saudara tiri Sutan Sjahrir, dan sepupu Agus Salim dan bibi (mak tuo) dari penyair Indonesia Chairil Anwar. Siti Roehana lahir di Kota Gadang  Bukit Tingi 20 Desember 1884. Sejak kecil Siti Roehana tidak pernah mendapatkan pendidikan tinggi, sebab belum ada sekolah formal di daerah tersebut.

Awalnya Roehana belajar dari ayahnya tentang membaca dan studi bahasa. Ayah Siti Roehana seorang Rasyat dengan gelar Maharaja Sutan sekaligus seorang jaksa.  Ketika ayahnya ditugaskan di Alahan Panjang, Sumatera Barat, dia meminta tetangganya (termasuk istri jaksa lain) untuk mengajarinya membaca dan menulis dalam aksara Jawi dan Latin, dan keterampilan rumah tangga. Setelah kematian ibunya pada tahun 1897, ia kembali ke Koto Gadang dan tertarik untuk mengajar gadis-gadis tentangga soal kerajinan tangan dan membaca Al-Qur'an, meskipun ia sendiri masih anak-anak.

Pada umur 11 tahun, Siti Roehana sudah pandai membaca dan menguasahi 3 bahasa. Yaitu bahasa Belanda, Arab dan Melayu. Sejak kecil Siti Roehana terbiasa dengan bacaan terutama koran. Setiap koran datang dia langsung membaca paling pertama dengan seuara keras, sehingga warga sekampung berdatangan untuk mengetahui berita terbaru. Ayahnya seorang pegawai pemerintah Belanda juga sering membawakan Roehana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya sangat tinggi membuat Roehana cepat menguasai materi yang diajarkan. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Roehana.


Awal Roehana terarik dalam dunia pendidikan yang terorganisir pada 1905, ketika ia mendirikan sekolah artisanal di Koto Gadang. Modalanya semangat dan pengetahuan yang dimiliki. Pada tahun 1908 di usia 24 tahun, Roehana menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris. Beruntung Abdoel Koeddoes mendukung upaya istrinya dalam dunia mendidik perempuan. Sejak saat itu, namanya lebih dikenal dengan Roehana khudus.


Pada Februari 1911, Ruhana memutuskan untuk mendirikan suatu perkumpulan pendidikan perempuan yang lebih terorganisir, bernama Kerajinan Amai Setia. Bentuknya sekolah khusus untuk mengajarkan keterampilan, membaca tulisan Jawi dan Latin serta mengelola rumah tangga. Alasan Roehana sangat sederhana, yaitu untuk menghadapi tentangan perubahan dan kemajuan perempuan. Dengan dukungan suaminya, Ruhana berhassil membujuk banyak orang untuk mendukung sekolah tersebut dan berhasil merekrut sekitar 60 siswa.

Sekolah yang terletak di Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Hindia Belanda pada 1915. Bahkan sempat menjadi pusat perajin untuk bekerja sama dengan pemerintah Belanda dalam penjualan karya mereka di kota-kota besar dan luar negeri.  

Foto Roehana khudus bersama murid muridnya sekitar tahun 1909.

 

Sebagai modal pertama mendirikan sekolah tersebut memakai uang pribadi. Baru pada tahun 1911, Roehana khudus melakukan penggalangan dana dalam bentuk lotre atas ijin Direktur Onderwijs en Eeredienst. Hasilnya untuk membantu penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang saat itu jumlah muridnya bertambah banyak.

Namun muncul rintangan yang harus dihadapi Roehana dalam mewujudkan cita-citanya itu. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang. Bahkan fitnah tak kunjung selesai menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya. Namun sukses Roehana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama.

Kisah yang berujung ke pengadilan Belanda  pada tanggal 22 Oktober 1916 ini berawal saat seorang murid tiba-tiba mengkianatinya.  Sang murid itu telah menjatuhkannya Roehana dari jabatan Direktris dan Peningmeester, dengan tuduhan penyelewengan keuangan. Roehana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi, dengan didampingi suaminya seorang yang mengerti hukum. Setelah beberapa kali persidangan, akhirnya tuduhan kepada Roehana itu tidak terbukti. Jabatan Direktris di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolak Roehana, karena dia berniat pindah ke Bukittinggi kampung halamannya.


Tiba di Bukittinggi Roehana langsung membuat gebrakan mendirikan sekolah dengan nama "Roehana School". Roehana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan hukum. Roehana School sangat terkenal dan muridnya sangat banyak. Para murid tidak hanya datang dari Bukittinggi saja, tetapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Roehana sudah cukup populer dengan hasil karya dan lulusan sangat baik. Roehana School juga diakui secara resmi oleh Gubernemen penerintah Hindia Belanda saat itu.

 

Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Roehana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir dari seorang Cina dengan menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya kuat, Roehana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Sejak saat itu Roehana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.

 


Foto yang diabadikana tahun 1913, Roehana bersama muridnya didepan mesin jahit yang sudah sangata modern merek singer.

 


Roehana juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda untuk memvasilitasi pemasaran hasil produksi sekolah. Tugas pemerintah Hindia Belanda juga sebagai mitra perantara memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa. Dalam hitungan tahun, sekolah Roehana berbasis industri rumah tangga itu telah memiliki koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan di Minangkabau.


Roehana Menjadi Pimpinan Redaksi Perempuan Pertama

Sembari aktif di bidang pendidikan, Ruhana rupanya sering menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Namun surat kabar tersebut dibredel pemerintah Hindia-Belanda. Rung aktualitasnya dibatasi, maka Roehana khudus langsung bergerak membuat surat kabar sendiri pada  tahun 1912. Perusahaan surat kabar tersebut berbahasa melayu dengan nama Sunting Melayu. Koran ini banyak membahas masalah masalah wanita dan ditulis oleh para wartawati.

Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Roehana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Roehana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Roehana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatra Barat.

Roehana tidak hanya menjadi guru yang gigih untuk memajukan wanita, namun juga seorang wartawati dan pemimpin redaksi wanita pertama di Indonesia. Nama surat kabar tersebut mengacu pada Sunting, hiasan kepala tradisional yang dikenakan oleh perempuan, tetapi juga merupakan plesetan dari kata lain yang berarti menyunting atau mengoreksi. Kegiatan redaksi ini Ruhana dibantu putri Soetan Maharadja, Zoebaidah Ratna Djoewita.

Karena banyak perempuan yang menjadi redaksi, maka segmen pembacanya juga banyak perempuan. Para pembaca selalu menunggu itu-isu terbaru tentang sosial tradisionalisme, poligami, perceraian, dan pendidikan anak perempuan.  Untuk pendanaan surat kabar ini  banyak disumbang para istri pejabat pemerintah atau bangsawan.


Tidak mau berhenti di Bukit Tinggi, Roehana masih terus berjuang dengan merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatra.


  Foto Roehana khudus pada tahun 1930.

 

Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi pasca proklamasi kemerdekaan, Roehana turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat para pemuda. Roehana mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Roehana Koeddoes meninggal dunia di Jakarta tepat tanggal 17 Agustus 1972, atau 27 tahun setelah cita-citanya Kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.  Dua tahun kemudian 1974, pemerintah daerah Sumatera Barat memberikan penghargaan kepadanya sebagai Wartawati Pertama. Roehana kudus juga mendapatkan penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia pada tahun 1987 dan Bintang Jasa Utama pada tahun 2007. Penghargaan terakhir pada 7 November 2019, pemerintah Indonesia mendeklarasikan Roehana Koeddoes sebagai Pahlawan Nasional. (pul)









 

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Stockholm Sindrom dan Penjajahan Modern

Malika D. Ana

Jan 04, 2023