images/images-1671519602.png
Riset
Dunia

Pieter Erberveld, Pria Eropa yang Dihukum Paling Sadis

Author Abad

Dec 20, 2022

798 views

24 Comments

Save

abad.id-Terlalu lama dijajah lebih dari 300 tahun oleh Belanda mengakibatkan nusantara memiliki kisah sejarah yang panjang dan beragam. Salah satunya kisah Pieter Erberveld. Memang, namanya tak setenar kisah lainnya yang menjadi berita di koran Batavia seperti Pitung atau si Jampang.

 

Namun sosok Pieter Erberveld diabadikan dalam 3 simbol yang berbeda. Pemberontak terkutuk bagi Belanda, simbol perlawanan terhadap kolonial bagi Jepang dan pejuang kemerdekaan bagi Indonesia. Bahkan bagi kaum pergerakan pada masa itu, sosok Peter dianggap pejuang kemerdekaan sejati bagi Indonesia. Tapi mengapa sosok berdarah Indo – Belanda – Jerman ini justru sama sekali tidak dikenal di buku-buku sejarah tanah air.

 

Namanya malah tenggelam oleh kebesaran Douwes Dekker, Laksamana Maeda dan tokoh-tokoh pejuang berdarah asing lainnya. Mengapa Erberveld layak disebut pejuang kemerdekaan sejati? Siapa dan bagaimana sepak terjang Erberveld sebenarnya?

 

Karena Peter Erberveld telah mengobarkan perlawanannya kepada negara-negara penjajah negeri kita Indonesia. Bagi Belanda, Peter disebut pemberontak terkutuk yang telah mengobarkan perlawanan kepada Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pun demikian bagi bangsa Jepang yang menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kolonial. Hanya Indonesia saja yang menjadikannya sebagai pejuang kemerdekaan meski namanya tak setenar Max Havelaar dan para warga asing pendukung perjuangan Indonesia lainnya.

 

Kisahnya hanya sejengkal dengan nasib tragis yang harus dialami Peter Erberveld. Ia divonis mati VOC dengan ditarik empat ekor kuda dari arah berlawanan hingga kulitnya terlepas dari raga. Tak berhenti di situ, kegeraman tentara VOC masih dilanjutkan dengan menancapkan kepala Erberveld di tombak dan didirikan depan rumah Erberveld. Hukuman paling sadis dengan sempurna yaitu rumahnya pun dihancurkan oleh VOC.

 

Karena kebiadaban eksekusi VOC inilah, Erberveld dikenang para pejuang dan diberi julukan Pangeran Pecah Kulit. Konon, lokasi eksekusi Erberveld itu menjadi cikal bakal Kampung Pecah Kulit di kawasan Jakarta Utara.

 

"Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722," demikian terjemahan bebas dari bunyi huruf-huruf berbahasa Belanda dan Jawa di tugu peringatan itu.

 

Sosok Peter Erberveld Dekat Dengan Pribumi

 

Pieter Erberveld dilahirkan di Ceylon, Belanda. Lelaki tampan itu lahir dari ibu berdarah Siam, meski dalam versi lain sejarawan Betawi, Alwi Shahab menyebut ibunya merupakan perempuan Jawa. Nama Erberveld menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari Elberfeld yang sekarang menjadi Kota Wuppertal di Nordrhein-Westfalen (NRW), Negara Bagian Jerman. Ayahnya hijrah ke Batavia sebagai penyamak kulit, yang kemudian diangkat sebagai anggota Heemraad atau pejabat lokal Belanda untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol.

 

Ayah Erberveld merantau dari Jerman ke Amsterdam pada 1670 untuk bergabung dengan VOC dan menjadi prajurit kavaleri. Pieter Erberveld senior juga menjadi salah satu orang kepercayaan Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda kala itu.

 

Keluarga Erberveld tinggal di Kawasan elit Jacatraweg yang kini dikenal dengan kawasan Pangeran Jayakarta di Jakarta Utara. Di kawasan itu merupakan tempat favorit para pejabat Hindia Belanda untuk bermukim. Keluarganya dikenal kaya-raya lantaran menjadi tuan tanah. Kekayaan inilah yang akhirnya diwariskan kepada anaknya, Peter Erberveld Junior yang kemudian meneruskan usaha ayahnya sebagai tuan tanah di sana.

 

 

 

Meski berdarah Eropa, Erberveld dikenal dekat dengan pribumi. Ia kerap berinteraksi dengan para pekerja dan warga pribumi lain yang mengenalnya sebagai sosok yang humble. Dari interaksi itulah yang menumbuhkan gejolak dalam diri Erberveld akan ketidakadilan pemerintah Batavia dalam kasus tanah di wilayah Pondok Bambu. Ia merasa dirugikan pemerintah kolonial karena ratusan hektar tanah miliknya dirampas dengan tudingan tak memiliki izin dari pejabat berwenang.

 

Karena perjuangannya mempertahankan tanah itulah, Erberveld justru mendapat simpati dan dukungan dari kalangan pribumi. Mendapat simpati warga setempat, Erberveld kian intens berkunjung ke rumah-rumah penduduk kampung (yang konon dinamakan Pecah Kulit pasca hukuman matinya).

 

Kedekatan Pieter dengan kaum pribumi bahkan konon disebut-sebut sampai menjadi mualaf yang taat. Bahkan masyarakat Betawi memiliki panggilan hormat yaitu Tuan Gusti. Kunjungan ke rumah-rumah warga itu tak lain untuk membantu perjuangan mereka dalam melancarkan perlawanan terhadap VOC.

 

Kebencian Erberveld terhadap kelicikan VOC yang tak terbendung itulah yang membuat tekadnya begitu bulat melakukan melawan bersama warga. Baginya, bisnis VOC sangat licik dan kejam. Maskapai dagang pertama di dunia itu juga sudah tidak asing lagi dengan image skandal korupsinya. Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung menyebut, kasus mega korupsi itulah yang menjadi biang keladi kebangkrutan VOC pada 1799.

 

Rupanya, perlawanan Peter Erberveld itu mendapat simpati dari bangsawan Banten, Raden Ateng Kartadria yang kerap berbisnis dengannya. Ia sering menjalin komunikasi dengan Kesultanan Banten dan 25 pengikutnya untuk mendukung aksi pembangkangan tersebut. Mereka rencanakan aksi pembunuhan semua warga Belanda pada 31 Desember 1721, menjelang perayaan tahun baru mengingat pengamanan selalu longgar pada saat itu.

 

Kartadria sendiri sudah mengumpulkan 17 ribu prajurit yang siap memasuki kota. Sayangnya, rencana itu bocor. Banyak versi yang menyebut bahwa rencana itu bocor karena diceritakan budak Erberveld. Ada juga versi yang menyebut jika rencananya bocor karena diceritakan putri Erberveld sendiri yang mencintai tentara Belanda. Namun ada pula versi yang mengatakan justru Kartandria sendiri yang sengaja menjerumuskan Erberveld.

 

Untuk versi terakhir ini masih patut dipertanyakan karena akibat penggerebekan itu, Komisaris VOC untuk urusan bumiputera, Reykert Heere bergerak cepat dan menangkap 23 pelaku pemberontakan termasuk Erberveld dan Kartadria.

 

Imbasnya, setelah proses penghakiman di Collage van Heemraden Schepenen,  Gubernur Joan Van Hoorn bukan hanya menyita tanahnya, tapi juga menjatuhi hukuman tambahan denda berupa 3.300 ikat padi yang harus dibayarkan pada pemerintah. Erberveld dan Kartadria pun harus merasakan pengapnya penjara selama 4 bulan, Erberveld, Katadria dan para pengikutnya langsung divonis mati. Eksekusi dilaksanakan pada 22 April 1722.

 

Kegeraman Belanda terhadap Erberveld nampaknya sudah sangat memuncak hingga hukumannya lebih sadis dibanding pesakitan umumnya. Jika biasanya hukuman mati terpidana dilakukan dengan cara digantung atau dipancung di depan Stadhuis, tidak demikian halnya dengan Erberveld. Hukuman mati baginya dilaksanakan di Kampung Pecah Kulit untuk memberikan shock therapy bagi warga pribumi yang berniat membangkang.

 

Dalam buku Betawi, Queen of East, Alwi Shahab menggambarkan eksekusi yang sangat sadis dengan mengikat kedua kaki dan tangan Erberveld dengan kuda.

 

"Tubuh mereka semua dicincang dan jantungnya dicopot. Lalu badan mereka ditarik dengan empat ekor kuda yang berlari secara berlawanan ke empat penjuru, sampai pecah-pecah menjadi empat bagian," tulis Alwi Shihab.

 

Lalu kepala Erberveld ditancapkan di sebatang tombak depan rumahnya yang hancur. Di dekatnya didirikan tugu peringatan bagi siapa saja yang melawan Belanda.

 

Namun sejak invansi Jepang ke Indonesia pada 1942, tugu itu dihancurkan tetapi prasastinya dapat diselamatkan. Replikanya akhirnya didirikan kembali. Dalam surat kabar Pandji Poestaka tahun XXI, 9/10 Maret 2603 (tahun Showa Jepang atau 1943) Erberveld disinggung secara hormat.

 

Di surat kabar itu disebutkan, Jepang memang membenci Belanda hingga sosok Erberveld bisa terekspose meskipun monumennya dihancurkan. Rupanya pemerintah Jepang memberikan penghargaan atas sikap Pieter itu.

 

"...Kepala Pieter Erberveld oleh pemerintah Belanda disoela dan ditantjapkan ditembok disoeatoe tempat di Djakarta, oentoek didjadikan lambang nasib mereka jang berani memberontak melawan kekoeasaan Belanda. Sekarang pada zaman peroebahan ini, djasa Pieter Erberveld mendapat penghargaan jang semestinja."

 

Meski dihancurkan, tugu tersebut sempat dibangun kembali untuk memperingati peristiwa tersebut sekaligus untuk kepentingan wisatawan. Sayangnya, kepentingan ekonomi berhasil mengalahkan kepentingan sejarah dan pendidikan masa lalu hingga sejak 1985, monumen itu dipindahkan ke Museum Prasasti Jakarta karena tempat tugu itu berdiri kini menjadi showroom mobil.

 

Sedangkan daerah tempat hukuman mati itu dilakukan kini bernama Kampung Pecah Kulit. Terletak di dekat Gereja Sion, tak jauh dari Stasiun Jayakarta. (dik/pul)

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022