images/images-1680838078.jpg
Sejarah
Data

Gerakan Resistensi Dari Tokoh Pribumi Bikin Repot Belanda

Pulung Ciptoaji

Apr 07, 2023

521 views

24 Comments

Save

Bapak Rama dan para pengikutnya berhasil ditangkap pada 17 Juni dan disidangkan pada 29 September 1869. Keputusannya, 29 orang dijatuhi hukuman mati dan 19 orang dihukum kerja paksa selama 15 tahun. foto dok net

 

abad.id- Sejak berdirinya cabang Serikat Islam di tanah Jawa pada tahun 1913, sikap tuan tanah terhadap petani penyewa mulai melunak. Tetapi bagaimanapun juga kekuasaan mereka masih tetap besar. Keadaan inilah mendorong timbulnya resistensi beberapa warga pribumi dengan melakukan perlawanan.

 

Jauh sebelumnya, kehidupan petani pribumi sangat tergantung partikelir. Dalam buku Jawa Bandit-Bandit Pedesaan tulisan Suhartono W Pranoto menyebutkan, munculnya kebijakan cuke, kompenian dan denda sangat memberatkan petani. Mereka merasa tidak tahan terhadap situasi makin buruk. Petani yang kekurangan terpaksa minta pinjaman pada tuan tanah dengan mengembalikan pada waktu panen yang dibayarnya jauh lebih banyak. Keadaan seperti ini banyak menimbulkan resistensi atau perlawanan, baik yang bersifat perbanditan biasa maupun perbanditan sosio-politik.

 

Saat itu keamanan di Banten jauh lebih baik dari pada di Batavia. Angka-angka kejahatan pada tahun 1883, di Batavia terdapat 781 narapidana rantaian, 1523 narapidana di luar rantaian, dan ada 98 orang narapidana diluar rantaian yang dihukum lebih setahun. Dari jumah itu 8 orang diantaranya wanita. Mereka adalah narapidana yang dihukum kerja paksa. Sedangkan yang ditindak polisi untuk kerja perbaikan jalan ada 348 orang, termasuk 11 orang wanita dan yang dihukum penjara 8 orang.

 

Pada tahun 1904 di Batavia terjadi 41 pembunuhan dan 56 perampokan. Pada tahun 1920 jumlah kejadian meningkat, pembunuhan terjadi 92, perampokan 149, dan pencurian hewan 322. Dibanding di Banten dapat dikatakan orang-orang yang dikenakan pidana jauh sangat kecil jumlahnya. Di tahun yang sama terjadi 35 pembunuhan, 17 perampokan, dan hanya 36 pencurian hewan.

 

Delapan Jago Dihukum Gantung

Ini contoh kisah resistensi atau perlawanan warga Bekasi pada tahun 1868. Saat itu masih banyak kawasan tanah yang dimiliki particuliere landeijen (perkebunan swasta). Para petani Tambun mengalami tindakan sewenang-wenang dari para tuan tanah mereka. Harta mereka dirampas dan dianggap sebagai pengganti pajak yang tidak sanggup mereka bayar. 

 

Menghadapi kenyataan itu seorang petani asal Cirebon, bernama Bapak Rama, merasa geram. Ia lalu mengatakan kepada para petani lain bahwa tanah-tanah yang terhampar antara Citarum dan Cisadane sejatinya hak penduduk pribumi, bukan milik tuan tanah.

 

Untuk melegitimasi pendapatnya itu Bapak Rama dan beberapa petani pergi ke Solo menemui salah seorang raja yang mengetahui perihal status kepemilikan tanah tersebut. Sepulangnya dari Solo, Bapak Rama meyakinkan para petani di Bekasi, Bogor dan sekitarnya akan kebenaran hak tanah. Ia lalu membagi-bagikan lahan kepada para petani pendukungnya. Tidak hanya itu, Bapak Rama kemudian diangkat menjadi pemimpin para petani dan diberi gelar Pangeran Alibashah.

 

Bapak Rama dan para pendukungnya itu bukan petani biasa, tetapi mereka sejatinya para jago silat, sehingga tidak gentar untuk berjuang memperoleh hak mereka. Suatu hari bulan Maret 1869, Bapak Rama memutuskan untuk melakukan aksi perebutan tanah-tanah partikelir yang dikuasai para tuan tanah. Perlawanan hingga tanggal 3 April 1869. Tanggal itu bertepatan dengan peristiwa gerhana bulan dan diyakini Belanda tidak akan mampu melihat pergerakan massa.

 

Namun aksi spiritual itu sudah tercium Belanda, dan Bapak Rama serta para pengikutnya berhasil ditangkap. Bapak Rama kemudian berhasil lolos dan kembali merencanakan aksi perlawanan pada tanggal 5 April dan hanya fokus di daerah Tambun.

 

Benar saja, pada 5 April terjadilah perlawanan yang dilakukan para petani yang telah lama tinggal di Bekasi. Mereka terdiri dari Bapak Rama, Arpan, Jungkat Bapak Nata, Bapak Selan, Dris, Adiarsa, Bapak Delang, Raden Mustafa, Manan Bapak Basirun, Bapak Tunda, Raden Sipat alias Arsain, Piun, Bungsu, Bapak Basirun, Bapak Djiba, Bapak Kollet, Aleng, Budin, dan Simin.

 

Bandit Batavia

Delapan orang yang dianggap membunuh asisten residen, dokter, dan tujuh orang lainnya dihukum gantung pada  24 Agustus 1870. Hukuman gantung itu dilaksanakan di Alun-alun Bekasi.  Para jago yang dihukum gantung tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda dijuluki ‘Achts Tamboenmoerdenaars’ atau Delapan Jagal dari Tambun. Foto dok net

 

Pada masa itu menjadi kebiasaan orang tua dipanggil sesuai nama anaknya, jadilah sebutan Bapak Rama, Bapak Selan, Bapak Delang, dan lainnya. Dalam gejolak sosial tersebut menewaskan asisten residen Meester Cornelis C.E. Kuijper, seorang dokter Jawa, dan tujuh orang lainnya. 

 

Bapak Rama dan para pengikutnya berhasil ditangkap pada 17 Juni dan disidangkan pada 29 September 1869. Keputusannya, 29 orang dijatuhi hukuman mati dan 19 orang dihukum kerja paksa selama 15 tahun. Bapak Rama tidak sempat disidang, sebab sudah meninggal dunia selama dalam tahanan.

 

Kerusuhan Anti Tuan Tanah Partikelir

 

Beberapa tahun kemudian, terjadi peristiwa Tangerang yang masuk kejadian besar. Merupakan resistensi anti-Cina pada tahun 1924. Resistensi ini merupakan fenomena antiekstorsi yang tidak diwujudkan dalam bentuk perbanditan pada umumnya, tetapi diwujudkan dalam resistensi anti tuan tanah. Resistensi dalam bentuk perbanditan tidak begitu tampak karena diferensiasi resistensi tidak terlalu banyak, sehingga yang muncul bentuk kombinasi aspek ekonomi dan religius.

 

Dalam peristiwa ini muncul seorang pemimpin bernama Kaiin Bapa Kayah dari desa Pangkalan. Resistensi Kaiin Bapa Kayah bertujuan membebaskan penduduk dari cengkeraman tuan Partikelir. Mereka akan mengusir orang Cina agar kembali ke negerinya.

 

Sudah sejak zaman Kompeni Belanda, daerah Tangerang menjadi tanah partikelir yang disewa orang-orang Cina secara turun-temurun. Jumlah mereka cukup banyak. Mereka tinggal di antara masyarakat setempat dan hidup dari perdagangan dan pertanian. Petani pribumi mengerjakan tanah milik tuan tanah harus membayar cuke sebesar 1/5 hasil panen. Pemakaian tanah untuk rumah, pekarangan, dan tegalan dikenakan tambahan sewa tanah dan kompenian untuk perbaikan jalan, jembatan dan ronda. Bagi petani yang tidak memenuhi ketentuan kompenian dapat diajukan ke pengadilan.

 

Sosok Kaiin Bapa Kayah merupakan petani kecil, dengan status sebagai bujang sawah (buruh) dan pernah menjadi petani bagi hasil. Rumahnya didirikan di pekarangan kakak perempuannya. Uang kompenian tidak pernah dibayar dengan baik. la pernah mejadi mandor, opas Asisten Wedana Teluknaga dan pada tahun 1913, lalu pindah ke Batavia menjadi opas seorang komisaris polisi. Akhirnya ia pulang ke kampung halamannya dan menjadi seorang dalang wayang di kawasan Kebayoran.

 

Setelah tahun 1922, ia berubah menjadi seorang pendiam. Gagasan Kaiin Bapa Kayah ingin orang Cina harus diusir dan tanahnya dirampas. Sebab tanah pangkalan diyakini milik leluhurnya. Pengikutnya harus mencari "ilmu' sakti dan kebal kepada guru sakti dan keramat. Pada tanggal 9 Februari 1924, dilakukan persiapannya melakukan resistensi.  Kaiin Bapa Kayah menggerakkan murid-muridnya dengan mengundang di acara pesta khitan anak tirinya.

 

Dalam pesta itu diumumkan bahwa pak dalang Kaiin Bapa Kayah akan menjadi raja di tanah Pangkalan dan Tanah Melayu. Orang-orang Cina akan diusir, cuke dan uang kompenian akan dihapus. Mereka mulai bergerak dengan menangkap satu-persatu orang Cina. Bagi yang berjanji akan pulang ke negerinya dibebaskan. Mereka juga menangkap tuan tanah dan semua yang ditemukannya dihancurkan, termasuk arsip kompenian.

 

Sebelum melanjutkan perjalannya, Kaiin Bapa Kayah menuju Bogor untuk minta izin Tuan Besar untuk mengusir orang Cina. Kaiin dan rombongan dapat dihentikan kemudian ditangkap setelah terjadi baku hantam dengan polisi. Sembilan belas orang meninggal dan 21 orang luka-luka. Resistensi yang dipimpin Kaiin Bapa Kayah di Tangerang akhirnya dapat diredakan.

 

Aksi resistensi Bapak Rama dan Kaiin Bapa Kayah berawal dari pungutan hasil bumi yang merupakan penghasilan tuan tanah. Terutama uang sewa tanah pekarangan dan pengganti kerja wajib. Keduanya menganggap besarnya pungutan tidak lebih dari seperlima hasil pekarangan, tetapi ketentuan ini kerap kali berubah-ubah. Ketidakpastian besarnya pungutan inilah yang menjadi alasan mengapa warga pribumi melakukan perlawanan. (pul)

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023