images/images-1671594503.jpg
Sejarah
Riset

Invited Colonialism, Penjajahan yang (sengaja) Diundang

Author Abad

Dec 03, 2022

870 views

24 Comments

Save

Invited Colonialism, Penjajahan yang (sengaja) Diundang

 

Abad.id - Ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) persekutuan dagang belanda untuk memonopoli perdagangan dibentuk pada tahun 1602, belum ada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan di wilayah cikal bakal Indonesia. Begitu masuk ke wilayah Nusantara, VOC membuat perjanjian dan kerjasama dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara ini. Dahulu Amangkurat I terguling oleh pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Karena kalah dari Trunojoyo, Amangkurat I terpaksa pergi mengungsi ke barat, ke wilayah Tegal hingga kemudian beliau meninggal disana.

 

Makam Amangkurat I – Makam raja Mataram Amangkurat I yang meninggal tanggal 12 Juli 1677 di Tegalwangi, Tegal

 

Penerus Amangkurat I kemudian meminta bantuan VOC. Adalah Adipati Anom, penerus Raja Amangkurat I, raja pertama yang dipilih dan dilantik Belanda. Dan tentu tidak ada makan siang gratis. Permintaan bantuan pada VOC itu meminta sejumlah imbalan sebagai timbal baliknya jika berhasil mengembalikan kerajaan. 

 

Akhirnya berkat bantuan VOC, Trunojoyo diundang ke acara Tayuban yakni pesta rakyat yang melibatkan sejumlah penari (ledhek) dan berhasil ditangkap disana serta dihukum penggal kepala. Selain itu raja penerus Amangkurat I juga memberikan konsesi dagang hingga memberikan wilayah pesisir Jawa.

 

Meminta bantuan VOC dilakukan juga oleh Raja Pakubuwono II, raja Mataram kesembilan yang memerintah tahun 1726–1742 dan menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745–1749, setelah pemberontakan Amangkurat V. Ia juga merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa (kemudian bergelar Mangkunagara I). Saat terjadi pemberontakan Amangkurat V (Sunan Kuning/Raden Mas Garendi) yang melibatkan kaum Tionghoa dalam Geger Pecinan (1740), Pakubuwono II sempat kehilangan tahtanya, ia melarikan diri ke Ponorogo, Jawa Timur dan meminta bantuan VOC agar tahtanya di Mataram dikembalikan. Jika VOC berhasil mengembalikan tahtanya, maka wilayah Jawa Timur termasuk Surabaya dan Madura Barat.

 

Hal yang sama terjadi juga di Makassar, ada pertikaian Aru Palaka versus Raja Bugis. Di Ternate dan Tidore, juga di kerajaan Blambangan Banyuwangi, yang pernah dijajah Bali. Jadi konflik politik internal dengan sesama anak bangsa itu akhirnya mengundang keterlibatan asing (VOC) untuk melakukan intervensi.

 

Karena VOC adalah perusahaan dagang profesional skala dunia, maka VOC tidak mau jika hanya diberi janji sekedar ucapan. Janji itu haruslah tertulis hitam diatas putih. Sejak 1602 hingga 200 tahun setelahnya, VOC selalu menggunakan perjanjian hitam diatas putih. Semua arsip perjanjian konsesi dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara itu didapat dengan cara yang legal, bertanda tangan. Semua perjanjian VOC itu dibukukan hingga 7 seri dan sekarang masih disimpan di Arsip Nasional dan Belanda.

 

Jadi, apa yang terjadi di Indonesia selama 350 tahun itu bisa diistilahkan sebagai 'Invited Colonialism', penjajahan yang sengaja diundang dan dipersilakan. Karena sering dimintai tolong menumpas rival-rival kerajaan, membuat VOC akhirnya memiliki banyak sekali aset dan konsesi dagang yang signifikan di Nusantara.

 

Kepentingan VOC adalah berdagang, mencari rempah-rempah dan hasil alam, dagang kan tujuannya untung. Jika perang terjadi terus-terusan secara berlebihan, dikhawatirkan tak akan ada lagi yang menanam rempah-rempah dan hasil alam. Maka untuk menciptakan keadaan damai, atas campur tangan VOC, kerajaan yang diperebutkan akhirnya dibagi-bagi pada pihak yang berkonflik agar terjadi win-win solution untuk meredam konflik internal. Kerajaan yang dibagi itu salah satunya adalah kerajaan Mataram, yang dibagi antara Hamengkubuwono, Pakubuwono dan Mangkunegaran.

 

Melalui cara transaksi perdagangan, VOC melakukan transaksi individual dengan raja dan sultan di Nusantara pada awalnya. Tetapi kemudian menjadi berambisi untuk menguasai karena kerajaan-kerajaan itu mudah dihasut dan diadu domba jika menyangkut tahta dan kekuasaan.

 


 

Pada abad ke-16 itu ratusan kerajaan di Nusantara sudah tidak lagi terikat dalam satu payung. Di Jawa pun sejak awal abad ke-16 terjadi penggempuran oleh Demak terhadap kerajaan yang berbasis pribumi. Ketika Mataram Panembahan Senopati bangkit, Kalimantan hingga pulau-pulau yang ada di timurnya dan timur Jawa berhasil disatukan. Panembahan Agung Hanyakrakusuma lalu melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia pada 1628 dan 1629 meski gagal. Kegagalan ini yang membuat VOC akhirnya bisa menguasai Nusantara secara keseluruhan.

 

Dengan bangunan kedatuan, kerajaan, dan kesultanan yang sudah dipecah-belah oleh penjajah yang awalnya menggunakan taktik dagang, membuat ajaran yang selama ini menjadi landasan hidup manusia di Nusantara hancur berantakan. Pada mulanya sejarah mencatat sejak awal Masehi tak ada pertikaian antara sub-etnik di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara. Demikian juga tidak terjadi pertikaian antar sub-etnik di pulau-pulau tersebut.

 

Dengan undangan permintaan bantuan untuk terlibat dalam konflik internal kerajaan-kerajaan itu, pihak penjajah melakukan adudomba dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah diajarkan dalam lontar-lontar kuno. Penjajah menyusup ke kedatuan, kerajaan, dan kesultanan, dan mulai memasukkan nilai-nilai yang menguntungkan penjajah, serta melakukan upaya agar nilai-nilai asal (lokal) dilupakan dengan sejumlah pengkaburan sejarah.

 

Akar nilai-nilai Pancasila selayaknya disaripatikan dari nilai-nilai yang ada pada lontar-lontar kuno yang berserakan di negeri ini. Kemudian barulah bagian yang bersifat norma dan persepsi yang melahirkan perilaku bisa diakulturasikan dan diasimilasikan dengan nilai-nilai yang berasal dari manca (luar). Inilah yang dinamakan sebagai dinamika budaya. Jika kita langsung menerima budaya manca dan melupakan nilai-nilai yang ada pada budaya sendiri, maka cepat atau lambat bangsa ini akan tercerabut dari asalnya, dan akhirnya tidak lagi mengenal jati dirinya.

 

Suatu bangsa yang telah meninggalkan budaya asalnya mustahil akan bisa bangkit lagi di dunia, karena akar yang menjadi penyebab hidupnya suatu bangsa itu telah mengering dan mati. Ajaran manca hanya bisa diakulturasikan atau diasimilasikan dengan lapisan tengah.

 

Kisah sejarah begini sayangnya tak pernah dimunculkan dalam buku-buku sejarah kita. Bahwa sejarah pernah mencatat tentang kebiasaan larut dalam konflik politik internal, seneng tawuran dan rebut bener di kalangan sendiri hingga melupakan ajaran-ajaran luhur yang ada di lontar-lontar kuno. Konflik-konflik internal ini yang pada waktunya mengundang intervensi asing. Pola yang sama itu kini sedang terjadi, diulang-ulang terus sepanjang jaman.

 

Saat Indonesia memasuki krisis ekonomi, pemerintah meminta bantuan Bank Dunia, IMF untuk meminta talangan dana, saat krisis kesehatan aka pandemi meminta campur tangan China juga, demikian juga dengan pembangunan IKN, kereta api cepat dan segenap infrastruktur gila-gilaan karena ambisi oligarki dan presiden, semuanya melibatkan pihak asing sebagai investor yang pada gilirannya menggerus kedaulatan kita. Cara-cara VOC dimasalalu kini diimitasi oleh China untuk menguasai Indonesia.

 

Jadi kapan nyadarnya untuk berpikir sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat??

 

Yang didoktrinkan dalam buku-buku sejarah adalah selalu playing victim, merasa sebagai bangsa yang menderita akibat 350 tahun dijajah. Tidak pernah sekalipun memberikan gambaran tentang konflik internal maupun pergulatan ideologi yang terus terjadi. Tidak pernah mengajak segenap anak bangsa untuk melakukan introspeksi. Senengnya menempatkan diri hanya sebagai obyek penderita dari segenap masalah bangsa yang hingga kini tak jelas jalan keluarnya. Menempatkan diri sebagai obyek sama artinya membiarkan orang lain menendang pantat kita. Tidak mengherankan jika sampai saat ini pemimpin di negeri masih saja serupa boneka yang mudah dikendaikan oleh pihak asing, diplokotho, karena mentalitas kita yang tak kunjung sadar untuk menjadi subyek dari situasi apapun. Takut pada kejujuran dan senang pada kebohongan maupun dibohongi, hingga jika melakukan kesalahan bukan lantas menyalahkan diri sendiri, namun cenderung mencari kambing hitam. Segala cara dilakukan demi mencapai tujuan. Kemaruk kekuasaan alias keserakahanlah yang menyebabkan permusuhan sesodara sebangsa.

 

Kelemahan yang tidak pernah disadari ini menjadikan bangsa ini mengulang-ngulang kesalahan sejarah yang sama. Meskipun sudah ada pengingat bahwa crah agawe bubrah, rukun agawe sentosa; pertengkaran membuat kerusakan, persatuan(kerukunan) membuat bangsa kuat, tapi tetap saja seneng gontok-gontokan, bertukar maki dan saling bully antar kubu dengan sebutan kadrun dan cebong entah sampai kapan berakhirnya.(mda)

 

 

Penulis : Malika D. Ana

 

*Refeferensi :  Ricklefs, Merle Calvin (20 September 2021). "Islam and the Reign of Pakubuwana II, 1726–49". Islam:Essays on Scripture, Thought and Society. 28: 237–252.

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Peradapan Kuno Dari Kepuhklagen Gresik

Author Abad

Oct 03, 2022

Hakikat Qurban dan Sejarahnya

Malika D. Ana

Jul 01, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #3

Author Abad

Mar 11, 2023