images/images-1681460541.png
Indonesiana

Perang Candu di Tanah Jawa

Pulung Ciptoaji

Apr 14, 2023

597 views

24 Comments

Save

Pria tua itu tergolek di atas bale-bale bambu. Badannya kurus kerontang, dimiringkan ke satu sisi. Sang pecandu menyodot gumpalan asap opium dari ujung pipa, yang biasa disebut bedutan. Usai menghirup candu itu, lelaki tua tadi meninggalkan pondok tempat mengisap opium. Foto Woodbury and Page, Leiden University Library

 

 

abad.id- Bunga opium (poppy), yang dalam bahasa Latin disebut Papaver somniferum, memang tidak ditanam di Pulau Jawa. Meski begitu, orang Jawa ditengarai sudah menggunakan opium jauh sebelum kedatangan Belanda. Setelah VOC mendarat di Nusantara,  mereka mulai bersaing keras dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium.

 

Cara VOC menguatkan kekuasaan di tanah jajahan awalnya dengan cara memberikan bantuan. Dari tulisan M Ali Surakhman berjudul Skandal Candu dan Perjanjian VOC dan Sultan Jambi, menyebutkan dalam pemberian bantuan itu diringi juga dengan perjanjian perjanjian yang mengikat. Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalaga terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor. Kerajaan Jambi mendapatkan bantuan dari VOC sehingga berhasil menang. VOC memberikan perjanjian-perjanjian pada kerajaan Jambi.

 

Dalam kontrak 6 Juli 1643, Sultan Jambi yang diwakili Pangeran Anom dengan VOC yang diwakili Pieter Soury menyebutkan, budak-budak kompeni yang terdiri dari orang orang Cina boleh tinggal dan berdagang di Jambi. Demikian pula rakyat Jambi boleh berdagang dan tinggal di Batavia. Lalu Kontrak 12 Juli 1681 antara Sultan Jambi dengan VOC yang diwakili oleh Adrian Wiland menyebutkan, kompeni memberikan perlindungan kepada kesultanan Jambi jika mendapat ancaman dari Palembang. Kontrak 11 Agustus 1683 antara Sultan Ingalaga dengan VOC menyebutkan kompeni memperoleh monopoli pembelian lada, impor kain dan opium (candu) di Jambi.

 

Sementara itu untuk penguasaan bisnis candu di tanah Jawa, Pada 1677, VOC harus mengalahkan persaingan. Kompeni berhasil memaksa Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Isi perjanjian itu, Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada VOC untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya.

 

Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa di tahun berikutnya. Posisi Cirebon yang dekat dengan pelabuhan menjadi lokasi kedatangan kapal pembawa opium. Sejak saat ini tonggak awal monopoli opium Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas perdagangan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata setiap tahun, 56 ton opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Belum lagi opium yang masuk secara ilegal bisa dua kali lipat dari jumlah impor resmi itu.

 

Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dipandang sebagai peranti keramah-tamahan dalam bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, menjadi lumrah jika para tamu pria disuguhi opium.

 

Hingga awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa. Dari Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup ke desa-desa dan wilayah Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium. Peningkatan berlipat ganda terjadi antara tahun 1802 sampai 1814 akibat pengaruh inflasi serta pelaksanaan monopoli Inggris yang lebih keras. Dekade selanjutnya 1814-1824 pajak dari perdagangan candu meningkat hingga lima kali lipat.

 

Bisnis Candu Dikuasahi Orang China

Semakin banyak duit dari pajak opium di daerah itu, berarti makin makmur pula warga setempat. Pedagang Cina berusaha memberikan penawaran tertinggi dan akan membayar pajak ke pemerintah daerah.

 

Maka para pejabat Jawa bersaing ketat memperebutkan bandar Cina yang bonafide. Sehingga, di kalangan orang Cina sendiri, lelang opium itu disebut ”peperangan antar raja”. Misalnya, dalam lelang di Kediri, residen setempat menyarankan mendukung Tan Kok Tong, yang memonopoli kebandaran lokal. Namun Direktur Keuangan Hindia Belanda merekomendasikan Tio Siong No, bandar pendatang baru asal Solo, yang telah memenangkan lelang di daerahnya. Tawaran dalam lelang diajukan dengan cara menyebutkan jumlah pajak, yang dalam bahasa Belanda disebut pachtshat, yang akan dibayar bandar dalam jangka waktu setahun di depan.

 

Jumlah angka pajak yang didapatkan bisa sangat fantastis. Misalnya, pajak dari bandar opium di Semarang pada 1881 bisa mencapai 26 juta gulden. Dari pajak yang dikutip dari para bandar opium ini saja, pemerintah kolonial Belanda sudah mampu membayar gaji seluruh pegawainya di Hindia Belanda.

 

Bagi pemenang lelang berhak atas monopoli peredaran candu di wilayah yang dimenangkannya. Bandar opium mendapat izin mendirikan pabrik pengolahan candu, yang bahan bakunya harus dibeli dari pemerintah kolonial. Untuk jalur distribusi, para bandar membentuk jaringan di wilayahnya masing-masing. Mereka pun menunjuk agen-agen opium di setiap kota, yang bertindak selaku distributornya.

 

Namun dibalik aturan main yang menguntungkan tersebut juga terdapat cara lain yang ilegal. Adalah Be Biauw Tjoan seorang petani opium kaya raya yang menjadi Majoor Tionghoa Semarang pada tahun 1860. Opium gelap hasil produksinya membanjiri Solo dan mengakibatkan Tio Siong Mo, seorang bandar lokal pemenang lelang mengeluh. Tio terancam bangkrut, dan terancam dicabut kontraknya pada 1854. Ia minta keringanan pajak dari Gubernur Jenderal Belanda. Tetapi, keluh kesah Tio itu dianggap sepi. Justru Tio Siong Mo dipenjarakan, lantaran tak sanggup membayar pajak.

 

Sebaliknya, di Negeri Belanda sendiri, parlemen Belanda menuduh pemerintah kolonial memberi karpet merah kepada Be Biauw Tjoan. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda baru berhasil mengungkap peran Be Biauw Tjoan dalam lingkaran kecurangan cartel candu.

 

Kedudukan dan pangkat mempengaruhi kekuasaan untuk mengelola bisnis candu. Memang, para bandar pada masa itu umumnya merangkap ”opsir” Cina. Pangkat tidak ada hubungannya dengan dunia kemiliteran, meskipun pangkat itu mulai dari ”luitenant” (letnan), ”kapitein” (kapten), sampai ”mayoor” (mayor). Para ”opsir” ini hanya ditugasi memimpin komunitas Cina di kota tertentu. untuk memperlancar pengungkapan cartel candu, Be Biauw Tjoan akhirnya dicopot sebagai mayoor de Chinesen.

 

perang candu

 

Seorang perempuan yang diduga istri dari Be Biauw Tjoan seorang pimpinan cartel candu dari Semarang. Tampak kehiduoan mewah dan kaya raya bagi siapapun yang menguasai perdagangan candu di tanah jawa.   Foto Woodbury and Page, Leiden University Library

 

 

Meskipun tampa jabatan,  Be Biauw Tjoan tidak keluar begitu saja dari bisnis candu. Bandar opium yang kaya ini terus mendominasi bisnis opium di Jawa Tengah. Ia sangat agresif di meja lelang, dan menyerang bandar-bandar opium saingannya. Modusnya dengan membuat ”opium ilegal”.

 

Aksi monopoli perdangan candu Be Biauw Tjoan ini pernah dilaporkan bandar opium Banyumas. Sebab telah mengedarkan opium di kawasan Banyumas pada 1867. Tapi, Be Biauw Tjoan sudah telanjur kuat. Sehingga  Be Biauw Tjoan tidak pernah terjamah hukum hingga meninggal dunia pada tahun 1904.

 

Dari tulisan Heddy Lugito, Gatra Nomor 13 Tahun ke 7, beredar 12 Februari 2001, disebutkan bisnis candu sangat menggiurkan bagi siapa saja yang bisa mengelola. Dari bisnis ini tidak hanya mampu mendatangkan uang yang besar, namun juga bisa membangun relasi dengan pemerintah Belanda. Hubungan relasi ini bisa mendatangkan komungkinan kolusi lain untuk kegiatan usaha yang lebih besar bersama pemerintah.

 

Pada akhir abad ke 19, hampir setiap kota di Jawa kedapatan sebuah keluarga opsir Cina yang secara turun-temurun mencari nafkah dari bisnis candu. Bandar opium terakhir dan terbesar adalah Oei Tiong Ham. Ayahnya, Oei Tjie Sien, tiba di Semarang pada 1858. Lima tahun kemudian, Oei Tjie Sien mendirikan kongsi dagang Kian Gwan, yang bergerak di bidang perdagangan gula. Pada 1886, Oie Tiong Ham, yang baru berumur 20 tahun, diangkat sebagai letnan de Chinesen.

 

Keluarga Oei masuk ke bisnis candu pada 1880, saat sebagian besar bandar opium bangkrut. Oie membeli lima wilayah opium sehingga bisa menguasai Semarang, Solo, Yogyakarta, Rembang, dan Surabaya. Dari bisnis opium ini, Oei Tiong Ham berhasil mengeruk keuntungan sekitar 18 juta gulden. Bisnis opium ini hanya sebagian kecil dari gurita bisnis Oei yang terus berkembang.

 

Pada 1893, Oie Tiong Ham menggabungkan kongsi Kian Gwan, membentuk Handel Maatschappij Kian Gwan, yang bergerak di bidang perdagangan gula, pelayaran, dan perbankan. Oei menguasai perdagangan gula di Jawa, memiliki lima pabrik gula di Jawa Timur. Ia mendominasi kebandaran opium Jawa Tengah dan Jawa Timur, hingga kebandaran opium yang dipegang orang-orang Cina dibubarkan pemerintah kolonial, pada 1902.

 

Belanda Kembali Mengatur Peredaran Opium

 

Kebijakan Opium Society dinilai sangat merugikan dan ditentang banyak orang terutama dari kelompok Anti Opium Bond pada tahun 1890. Kelompok ini menyarankan kepada pemerintah kolonial untuk mengganti sistem opiumpacht menjadi sistem opium regie. Saran ini diterima dan dijalankan hingga akhir abad ke-19. Konsepnya penjualan candu langsung dikendalikan oleh pemerintah secara keseluruhan, mulai impor hingga distribusi candu dari petani ke tangan pembeli.

 

Kebijakan Opium regie ini mengatur larangan penanaman opium di tanah Hindia Belanda. Opium tersebut diimpor dan diolah dipabrik yang didirikan di Batavia. Sistem opium regie mengharuskan penjual yang disebut mantri candu, mencantumkan papan nama di setiap bangunan yang menjual candu dengan nama “Kantor Penjualan”. Loket penjualan candu terdapat di dekat dengan pasar, perkebunan, dan pelabuhan. Loket candu masiih dibuka hingga malam pukul 22.00.

 

Tidak hanya itu, Belanda juga mendapatkan monopoli atas perdagangan madat di tanah Jawa. Wilayah Jawa dianggap pasar yang menjanjikan, sebab penduduknya padat dan belum ada aturan larangan dari pemerintah lokal kerajaan. Kegiatan madat dianggap hal yang lumrah dan bukan tabu. Bahkan pendatang China yang tinggal di pulau Jawa dianggap paling royal terhadap bahan madat ini. Beberapa tempat khusus madat disediakaan secara terbuka oleh pengusaha lokal, berikut pula bahan dan alatnya. Tumbuh suburnya kegiatan madat ini membuahkan keuntungan Belanda berkali-kali lipat.

 

Sementara itu untuk memberantas opium selundupan di luar wilayah edar, para bandar menebar mata-mata. Mereka bekerja sama dengan polisi Belanda. Pengedar opium gelap yang tertangkap diseret ke pangadilan. Tapi, sejauh itu polisi Belanda hanya dapat menangkap pengedar kelas teri. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa peredaran opium gelap itu merupakan ulah seorang bandar untuk menghancurkan bisnis bandar pesaingnya.

 

 

Namun masa keemasan madat ini berakhir pada tahun 1942, saat Jepang mengambil alih kekuasan Hindia Belanda. Jepang benar-benar melarang candu (Brisbane Ordinace) dan menghapus undang-undang  kebebasan madat. Pada masa pemerintahan Jepang lebih mengutamakan mobilitas dan stabilitas keamanan secara umum. Sehingga tempat yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum sangat dibatasi dan diatur ketat. Termasuk tempat prostitusi dan arena judi.

 

Masa kejayaan perdagangan segala jenis madat benar-benar berakhir saat pasca kemerdekaan. Untuk mencegah dampak buruk madat, tahun 1971 Presiden Suharto mengeluarkan Intruksi no 6/1971 dengan membentuk badan koordinasi yang dikenal dengan Bakorlak Inpres 6/71. Badan ini menghasilkan amandemen semua kegiatan penanggulangan berbagai bentuk penyimpangan yang dapat mengancam keamanan negara, mulai pemalsuan uang, penyelundupaan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap warga negara asing. (pul)

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023