images/images-1678505145.png
Sejarah

Supersemar, Langkah Soeharto Untuk Kudeta Merangkak

Pulung Ciptoaji

Mar 11, 2023

455 views

24 Comments

Save

Aksi demontrasi menuntut pembubaran PKI dan pemulihan ekonomi. Massa yang mengepung Istana Merdeka ini dianggap membahayakan Presiden Soekarno. Foto 30 Tahun Indonesia Merdeka 

 

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

abad.id- Tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat. Pada pokok persoalan isi surat itu berisi perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden/ Pangti ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan pemerintahan.

 

Sebelum keluarnya Supersemar, terdapat runtutan peristiwa yang sangat tegang, bersamaan dengan situasi Jakarta banyak aksi demontrasi. Seperti yang ditulis 30 Tahun Indonesia Merdeka, tanggal 11 Maret 1966 berlangsung sidang Kabinet Dwikora di Istana Negara Jakarta, yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Di tengah-tengah persidangan yang membahas situasi jakarta itu, Presiden Soekarno menerima laporan dari Ajudan Presiden/ KomandanPasukan Pengawal Cakrabirawa, bahwa di sekitar lstana terdapat pasukan liar yang tidak dikenal. Menerima laporan tersebut, Presiden Soekarno segera menyerahkan pimpinan sidang Kabinet kepada Waperdam II Dr.Leimena dan. Presiden segera meninggalkan sidang dan dengan menggunakan pesawat helikopter yang telah diparkir, keluar dari Istana dan pergi ke Bogor. Turut dalam romboban Presiden Soekarno ini Waperdam I.Dr.Soebandrio dan Waperdam Ill Chairul Saleh.

 

Setelah sidang Kabinet ditutup oleh Dr.Leimena, tiga orang perwira tinggi mewakili ABRI yang duduk dalam Kabinet, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmal waktu itu Menteri Veteran, Brigadir Jenderal M.Jusuf, waktu itu Menteri Perindustrian Dasar, dan Brigadir Jenderal Amirmachmud, waktu itu Pangdam V/Jaya langsung menghadap Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim. Kebetulan Letnan Jenderal Soeharto tidak bisa hadir dalam sidang Kabinet karena sakit.

 

Tiga perwira tinggi ABRI tersebut melaporkan tentang keadaan sidang Kabinet. Mereka meminta izin kepada Menteri/ Pangad untuk menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi yang sebenarnya di Jakarta. Yaitu bahwa tidak benar ada pasukan liar di sekitar Istana, serta unsur ABRI, khususnya TNI-AD tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno.

 

Mendengar laporan itu, menteri/ Pangad Letnan Jenderal Soeharto mengizinkan ketiga perwira tinggi pergi ke Bogor, disertai pesan untuk disampaikan kepada Presiden Soekarno. Bahwa Letnan Jenderal Soeharto sanggup mengatasi keadaan apabila Bung Karno mempercayakan hal itu kepadanya.

 

Tidak berselang lama, ketiga perwira tinggi itu menghadap Presiden Soekarno di Bogor. Mereka didampingi Dr.Soebandrio, Dr.Chairul Saleh, dan Dr.Leimena yang sudah menyusul ke Bogor setelah sidang kabinet. Turut hadir Ajudan Presiden Brigadir Jenderal M.Sabur.

 

Setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup mendalam akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk memberikan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto. Soekarno menugaskan kepada yang hadir, yaitu Dr.Soebandrio, Dr.Chairul Saleh, Dr.Leimena, ketiga perwira tinggi itu, dan Brigadir Jenderal Sabur untuk merumuskan surat perintah tersebut. Pada sore hari sekitar pukul 19.00, surat perintah tersebut sudah siap disusun dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Kemudian surat perintah tersebut dibawa langsung oleh ketiga perwira tinggi itu dan disampaikan pada malam hari itu juga kepada Letnan Jenderal Soeharto di Jakarta.

 

 

Menurut Pengamat Politik Airlangga Pribadi, pemberian surat perintah tersebut merupakan pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian wewenang kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Namun munculnya surat tersebut saat Soekarno dalam tekanan yang berat dengan pilihan-pilihan keputusan yang rumit.  “Namun Supersemar digunakan Soeharto untuk melangkah terlau jauh di luar batas kewenangan yang diberikan,” kata Angga.

 

Berlandaskan pada SUPERSEMAR, pengembannya, Letnan Jenderal Soeharto, telah mengambil langkah-langkah yang dianggap penting dan memberi arah baru kepada perjalanan hidup bangsa dan negara.

 

Soeharto melakukan “pembersihan” politik dengan melakukan pembantaian rakyat secara besar-besaran. Modusnya dikembangkan discourse bahwa yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan para jenderal adalah Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya. Hal ini menjadi pembenaran untuk melakukan pembantaian massal. Diduga korban pembunuhan rakyat antara 78 ribu  sampai 3 juta orang. Dari pengakuan almarhum Sarwo Edhi, lebih dari setengah juta orang dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan.

 

 

Berdasarkan wewenang yang bersumber dari Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden juga menetapkan membubarkan Partai Komunis Indonesia. Termasuk

seluruh bagian organisasinya dari tingkat pusat hingga daerah, beserta seluruh organisasi yang seasas/-berlindung/ bernaung di bawahnya. Lebih dari itu, Suoersemar dijadikan alat untuk menangkapi menteri-menteri dalam kabinet Soekarno.  “Supersemar itu perintah untuk mengamankan keadaan, bukan menyuruh Soeharto menangkap menteri-menterinya sendiri,” jelas Angga.

 

 

Angga menyebut, ampuhnya surat perintah dianggap sebagai pembuka dan manipulasi sebagai “Kudeta Merangkak”. Salah satunya menjadi dasar Keputusan Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS/ Pemimpin. Sehingga MPRS mengadakan sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967. MPRS menghasilkan ketetapan no. XXXIII/-MPRS/1967 yang memutuskan mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Soekarno dan menarik kembali mandat serta segala kekuasaan Soekarno. Soeharto diangkat menggantikan Soekarno dalam ketetapan yang sama dengan pencabutan mandat ke Soekarno. Soeharto dilantik MPRS pada 12 Maret 1967. Ketua MPRS pada waktu itu adalah Jenderal A.H. Nasution. (pul)

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023