Penulis : Pulung Ciptoaji
Surabaya, Hari ini 70 tahun yang lalu, bertepatan pada 17 Oktober 1952 terdapat peristiwa penting yang mengancam keselamatan Presiden Sukarno dan parlemen. Sebab puluhan tank dan meriam di hari itu mengepung Istana Merdeka. Aksi mosi tidak percaya itu merupakan puncak dari kekecewaan TNI terhadap DPRS. Sebab parlemen dianggap ikut campur di tubuh internal TNI AD dengan menginginkan rasionalisasi tentara sesuai fungsi. Di sisi lain, ada juga yang menginginkan tentara tetap memainkan fungsi ganda.
Kondisi ini muncul akibat politik Indonesia pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949. Saat itu pemerintahan Sukarno ditekan untuk mematuhi perjanjian KMB dengan membentuk RIS. Namun di sisi lain juga terdapat penolakan kelompok elit politik yang menginginkan kembali ke Negara Kesatuan. Politik memang belum sepenuhnya stabil. Kabinet yang dibentuk silih berganti karena munculnya berbagai konflik. Kondisi ini diperparah adanya sejumlah pejabat yang melakukan korupsi dan tindakan yang merugikan negara.
Pemandangan darai arah Istana Merdeka pada waktu terjadi demontrasi rakyat menuntut pembubaran parlemen pada 17 Oktober 1952. Foto net
Di tubuh militer, juga sedang melakukan konsolidasi di dalam proses peralihan antara tentara gerilaya dan struktural. Misalnya masalah bekas KNIL yang dibebaskan untuk memilih menjadi TNI atau rakyat biasa, atau menjadi misi khusus militer Belanda. Juga timbul persoalan-persoalan politik sistem liberal yang menempatkan angkatan sebagai ‘’alat sipil’’. Sebagian rakyat juga ingin pemilu digelar. Namun kenyataannya Pemilu selalu tertunda yang diduga akal licik DPRS untuk mempertahankan keadaan.
Beda pandang tersebut semakin memanas saat 13 Juli 1952, Kolonel Bambang Supeno orang dekat Bung Karno mendadak mengirim surat ke Perdana Menteri Wilopo, Presiden dan DPRS. Isi suratnya tak mempercayai lagi pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat yang dipimpin KASAD Nasution. Bambang Supeno yang melobi Bung Karno agar Kolonel Bambang Sugeng bisa menggeser Nasution sebagai KSAD.
Situasi semakin rumit, di luar TNI AD dua orang anggota parlemen, Bebasa Daeng Lalo dan Rodonuwo, telah mengirimkan surat kepada pemerintah yang mencela kebijaksanaan Kolonel Gatot Subroto, Panglima Tentara Teritolium VII/Indonesia Timur. Saat itu pemulihan keamanan di Sulawesi Selatan yang dianggap berlebihan. Surat ini telah menimbulkan kegemparan di kalangan anggota parlemen.
Dengan rentetan peristiwa-peristiwa tersebut, maka di parleman terjadilah perdebatan yang hangat mengenai angkatan perang. Terjadi tuduh menuduh mengenai partai atau golongan tertentu yang hendak menguasai angkatan perang dan kementerian pertahanan.
Pembicaraan di parlemen kemudian berkisar pada tiga buah usul mosi, yaitu mosi Baharudin dan kawan-kawan, Kasino dan kawan kawan dan Manai Sopian dan kawan kawan. Setelah melewati pemungutan suara, parlemen menerma mosi Manai Sopian. Isinya mendesak pemerintah membentuk suatu panitia yang anggotanya parlemen dan wakil pemerintah untuk mempelajari masalah masalah yang timbul di kementrian pertahanan dan angkatan perang. Serta menyampaikan usul-usul konkret mengenai penyelesaian kepada pemerintah
Atas keputusan itu, Pimpinan TNI AD mengaggap bahwa parlemen telah melakukan campur tangan dalam intenal. Hal tersebut telah membangkitkan rasa tidak puas di kalangan tentara dan kalangan masyarakat terhadap DPRS.
Puncak kemarahan TNI AD pada 4 bulan berikutnya tanggal 17 Oktober 1952. A.H. Nasution dan 7 panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Bahkan Kemal Idris salah satu dari 7 panglima itu, membawa tank dan mengarahkan moncong meriamnya ke Istana dengan dalih melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.
Demonstrasi itu bergerak ke gedung DPRS jalan Dr. Wahidin I kemudian menuju ke Istana Merdeka. Pimpinan TNI AD mendesak kepada presiden untuk membubarkan parlemen dan membentuk parlemen baru. Pimpinan angkatan darat beserta staf angkatan perang Mayjen TB Simatupang menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan pernyataan tersebut. Namun ternyata Presiden menolak membubarkan parlemen dan membentuk parlemen baru.
Peristiwa 17 Oktober 1952 ini justru mempertajam pertentangan antara TNI AD. Di beberapa daerah terjadi aksi ambil alih pimpinan teritorial secara liar. Antara kelompok pro dan kontra nyaris terjadi aksi baku tembak antar TNI AD. Atas kisruh di internal ini, Kolonel AH Nasution sebagai KASAD menyatakan bertanggung jawab dan mengajukan permohonan berhenti. Permohonan tersebut dikabulkan, pada 19 Desember 1952 dilakukan serah terima KASAD dari Kolonel Nasution kepada pengganatinya Kolonel Bambang Sugeng. Juga Mayjen Simatupang mengundurkan diri dan jabatan KSAP yang selanjutnya lembaga tersebut dibubarkan.
Upacara pelantikan pemangku jabatan KSAD Kolonel Bambang Sugeng di halaman Istana Merdeka pada bulan Desember 1952. Foto net
Namun mundurnya Nasution tersebut masih mnimbulkan api dalam sekam. Untuk menyelesaikannya para perwira TNI AD mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) di Yogjakarta pada 21-25 Februari 1955. Raco menghasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia yang ditandatangani oleh 29 perwira senior TNI AD. Dengan ditandatangainya piagam tersebut selesai sudah peristiwa 17 Oktober 1952 dalam lingkup TNI AD. (pul)