Penulis : Pulung Ciptoaji
Mojokerto, Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pernah tinggal dan bersekolah di kota Mojokerto. Soekarno pernah bersekolah di Inlandsche School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro), sebuah julukan bagi sekolah anak pribumi, yang kini menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Kota Mojokerto.
Berdirinya sekolah ongo loro itu tidak lebih dari program politik etis pemerinta Hindia Belanda terhadap bangsa jajahan. Sejak memasuki tahun 1900, banyak berdiri sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi anak anak yang tinggal di tanah jajahan. Namun sekolah tersebut dibangun tidak untuk mencerdaskan anak anak jajahan. Hanya sekedar punya pengetahuan dan tidak butuh huruf. Anak-anak pribumi itu digolongkan dalam sekolah khusus School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro). Untuk anak-anak yang masih memiliki darah priyayi dan indo keturunan masih bisa melanjutkan ke jenjang lenih tinggi. Aturan itu tentu membuat nasib mujur bagi Kusno yang bisa mengenyam sekolah pribumi sekaligus bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi.
Dalam catatan sejarah, Kusno panggilan kecil Sukarno pernah sekolah di sekolah rakyat ongko loro dan lulus tahun 1911. Saat itu Raden Sukemi ayah Kandung Sukarno tengah menjadi kepala sekolah. Tidak dijelaskan dimana keluarga khusno tinggal selama di Kota Mojokerto. Sebab sebagai guru sekolah rakyat, Raden Sukemi selalu berpindah kota. Raden Sukemi pernah mengajar di Pulau Bali, mengajar di Surabaya, dan pindah lagi ke Kota Mojokerto. Hingga pada akhirnya Raden Sukemi pindah ke Tulungaggung hingga pensiun menjadi guru rakyat.
Menurut Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik, bahwa Kusno kecil mengawali sekolah mulai kelas 2 hingga kelas 4. Khusno kecil juga harus belajar tanpa didampingi orang tua Raden Sukemi. Sebab, meskipun berstatus sebagai kepala sekolah School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro) Mojoketo, Raden Sukemi juga masih harus merangkap jabatan sebagai kepala sekolah di Sidoarjo. Dua kota ini memang sangat dekat, namun sangat melelahkan bagi Raden Sukemi yang menjabat menjadi kepala sekolah di dua sekolah sekaligus.
Selama tiga tahun itu, Kusno dikenal anak yang patuh terhadap guru serta menunjukan sifat istimewa. Diantara kawan sepermainan, Kusno dikenal cepat menguasai alat baru. Kusno paling tidak suka sepak bola, namun sangat pandai bermain kasti. Untuk pelajaran kesenian, Kusno kecil menguasai alat gamelan dan tetembangan jawa. Belum ada tumbuh jiwa nasionalisme saat usia kecil itu. Rasa nasionalisme dirasakan Kusno saat kelas 5. Saat Kusno dipindah sekolah ke ELS atau setingkat SMP masih di Kota Mojokerto.
"Di sekolah rakyat Ongko Loro ini Kusno belajar sekaligus bermain, maka itulah yang membentuk karakter Sukarno hingga masa dewasanya," kata Endang
Raden Sukemi harus menjelaskan kepada Kusno kecil tentang alasan harus pindah ke ELS. Pertama, bahwa jika ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi harus mendapatkan pendidikan setara dengan orang Belanda. Kusno harus mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun menjadi warga jajahan. Kedudukan status sebagai keluarga priyayi tentu membantu Kusno untuk bisa mendapatkan sekolah setara dengan anak anak golongan indo keturunan. Meskipun pada akhirnya, para priyayi dan indo keturunan itu hanya akan bisa bekerja sebagai pegawai rendahan.
Saat itu tengah tahun 1911, Raden Sukemi mengajak Sukarno ke Europesche Lagere School atau ELS untuk mendaftar. Sebagai kepala sekolah rakyat, nama Raden Sukemi cukup dikenal di kalangan para pendidik di Mojokerto. Namun bukan berarti urusan mendaftarkan Kusno bisa lebih mudah. Raden Sukemi harus menerima banyak persayaratan yang diskriminasi sebagai bangsa pribumi. Salah satunya tidak ada aturan tinggal kelas bagi pribumi di ELS jika tidak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pasti harus keluar. Syarat lain Bahasa Belanda harus dikuasai Kusno. Sebab di ELS ini semua mengantar pelajaran menggunakan Bahasa Belanda. Kemudian untuk sekolah di ELS tidak gratis bagi warga pribumi. Serta harus ada penjamin dari dari warga eropa bagi warga pribumi yang menitipkan sekolah di ELS.
Berbeda dengan sekolah Ongko loro yang siswanya kaum pribumi, jumlah kelas di ELS sangat sedikit. Untuk kelas 1 di ELS hanya menampung 2 kelas atau sekitar 40 siswa. Jumlah sedikit sangat beralasan, sebab pada masa itu memang tidak banyak anak priyayi dan indo keturunan yang tinggal di sekitar Mojokerto. Serta aturan ketat itu membuat banyak priyayi tidak menyekolahkan anaknya di ELS dan memilih melanjutkan ke pondok pesantren setelah lulus dari sekolah ongko loro.
Sementara itu bagi Kusno kecil, persyaratan itu dinilai sangat diskriminasi. Demi mewujudkan cita-cita orangtuanya, sejak hari pertama masuk sekolah di ELS yang saat ini masih menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto itu, Kusno belajar giat terutama Bahasa Belanda. Khusno harus les prifat Bahasa Belanda selama 3 bulan dengan biaya yang tidak murah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini, bisa mengantarkan Kusno melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Surabaya dan Bandung. (pul)
Jasa guru jelas tidak dapat kita abaikan. Dari mereka kita bisa melek ilmu pengetahuan. Untuk memperingati hari guru ini, tidak ada yang salah perlu mengenang para guru yang membuka informasi dunia.
Salah satu guru yang berjasa itu guru sekolah rakyat di 1921 di Desa Soreang Kabupaten Bandung. Ada guru sangat populer karena dedikasinya bernama Haji Muhammad Suwardji. Guru tersebut dilahiRkan tahun 1880, dan menjadi guru sekolah rakyat hingga tahun 1937. Menjadi guru sekolah rakyat juga harus bisa beradaptasi dengan kondisi sebagai warga jajahan. Haji Suwarji pernah berpindah-pindah tempat tugas, mulai mengajar di Desa Cilillin , Desa Lewo di Kota Garut, Kota Pleret kota Subang, Pulau Kalimantan dan terakhir mengajar di Batujajar hingga wafat tahun 1957.
Busana yang digunakan para guru waktu itu menyesuaikan dengan para muridnya warga pribumi. Para guru laki-laki harus menggunakan jas putih dengan kota-kotak kecil, dan kemeja lengan panjang warna putih juga dengan bahan kain kaci. Tidak lupa guru wajib menggunakana dasi kupu-kupu kecil dengan motif kotak-kota hitam. Celana panjang mengunakan bahan gabardin yang bentuknya besar besar di bagian atas, dan makin sempit pada kaki bagian bawah. Saat berangkat kerja, para guru menggunakan alas kaki tarumpah atau sandal japit dengan bahan kulit. Pada bagian tumit alas sandal itu lebih tinggi dengan bahan kulit mentah. Maka jika berjalan dipastikan terdapat suara yang keras, dan langsung didengar para murid yang sedang ramai di kelas. Namun ketika masuk kelas, para guru wajib lepas alas kakinya.
Ada yang khas para guru pada masa itu menggenakan tutup kepala. Jika suku Jawa, model blangkonnya bermotif batik lebih gelap, sementara jika suku sunda tutup kepala itu berama Bendo dengan motif batik warna lebih terang coklat muda.
Dedikasi seorang guru juga digambarkan pada sosok Raden Soekemi Sosrodiharjo ayak kandung presiden ke 1 Sukarno. Sejak lulus pendidikan guru di Probolinggo, Soekemi muda sudah harus berpindah tugas. Awalnya dia mengajar di Buleleng Bali pada tahun 1890. Dalam buku Biografi Sukarno yang ditulis Lambert Giebels, di Bali sudah berdiri sekolah rakyat pada tahun 1875. Sekolah tersebut awalnya hanya diperuntukan untuk anak-anak pegawai Belanda dan bangsawan Bali agar mendapatkan pendidikan Dasar. Selama di Bali, Soekemi tinggal di rumah kos yang dekat dengan sekolah.
Gaji menjadi sekolah guru juga sangat menjanjikan. Pemerintah Hindia Belanda sangat menghargai jerih payah guru karena dan memberi penghargaan lebih. Selama pindah dan tinggal di Jalan Pahlawan 88 Surabaya, Raden Soekemi masih mengajar di sekolah rakyat. Meneer Soekemi setiap bulan mendapatkan gaji 25 gulden perbulan. Dalam hitungan pada masa itu, 1 USD nilainya 2 gulden 50 sen. Dengan gaji sebesar itu sudah dipastikan sangat cukup untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Dari gaji 25 gulden itu, harus dipotong 10 gulden untuk sewa rumah di Surabaya. Dalam hitungan pada masa itu, sewa rumah 10 gulden sudah dipastikan sudah sangat mewah bertembok dan beratap genting tengah kota.
Namun untuk menjadi guru tidaklah mudah. Seorang harus lulus dari Kweekschool atau Sekolah Guru. Berdirinya sekolah guru di Hindia Belanda dimulai pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Sekolah guru menjadi sebuah upaya dari pemerintah Hindia Belanda untuk memajukan pendidikan untuk warga pribumi.
Politik etis pemerinah belanda kepada warga pribumi ini bukan berarti siap merugi. Tujuannya warga jajahan di buat pintar dengan mendapat materi pendidikan untuk menggantikan tenaga terampil dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya. Tenaga terampil terutama dibutuhkan kelompok pengusaha swasta. Tenaga terampil warga pribumi ini diharapkan memiliki harga yang lebih terjangkau dari pada tenaga terampil dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya.
Pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan untuk guru bumiputra. Peraturan ini diperlukan sebagai langkah awal dari pendirian sekolah dasar bumiputra. Praresta Sasmaya Dewi dalam artikel Perkembangan Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta Tahun 1900-1927, menyebutkan bahwa Kweekschool dibuka tahun 1852.
Salah satunya pendirian Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah Pelatihan Guru-guru Pribumi) di Yogyakarta yang tertera dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 156 tahun 1894. Pembukaan sekolah baru dilakukan pada tahun 1897. Dalam Staatsblad ini memuat informasi dari jumlah siswa, gaji direktur, pengurangan formasi tenaga pengajar, biaya alat tulis, alat peraga dan perawatan perabotan serta gaji pegawai bawahan dan para pembantu yang bekerja di Kweekschool tersebut.
Sekolah ini menerima siswa yang berusia 12 sampai 16 tahun. Syarat untuk diterima dan belajar di sekolah tersebut adalah lulus Sekolah Jawa kelas satu. Syarat lainnya adalah harus lulus ujian sejumlah materi di antaranya berhitung, berbahasa dan menulis Jawa, menulis indah, ilmu bumi dan bahasa Melayu dalam aksara latin. Ujian penerimaan tersebut dilakukan di hadapan komite sekolah oleh inspektur atau wakil inspektur yang dibantu para guru di sekolah tersebut.
Siswa yang belajar di Kweekschool ini tinggal di asrama yang sudah disediakan. Lembaga yang mengelola sekolah di masa Hindia Belanda ini menyebutkan bahwa siswa yang belajar menerima materi pembelajaran dan alat tulis secara gratis dengan masa belajar 4 tahun. Saat para siswa masuk tingkat tinggi akan diberikan materi praktik mengajar. " Pendidikan agama diberikan sebagai ekstra kurikuler, disebukan KH. Ahmad Dahlan juga mengajar untuk memberi materi tentang agama Islam pada para siswa Kweekschool," tulis Sasmaya Dewi.
Lulusan dari sekolah Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers akan mendapat gelar setara diploma. Mereka akan memulai masa dinasnya sebagai guru pembantu pada sekolah dasar Jawa kelas satu.
Memang, kehadiran Kweekschool menjadi penanda positif dalam sejarah Pendidikan di Indonesia. Kweekschool mencetak guru pribumi yang membantu memenuhi keterbatasan tenaga pengajar. Kehadiran guru dibutuhkan untuk mengimbangi munculnya sejumlah sekolah pada masa itu.
Seperti sebuah foto yang dibuat tahun 1903 ini, menggambakan mereka yang baru lulus Kweekschool (sekolah guru). Mereka sangat percaya diri setelah dilantik menjadi guru. Semua berpose dengan gagahnya. Rantai jam saku merupakan hiasan yang khas pada masa itu. siapapun yang memiliki jam dalam rantai emas bisa diketahui kelas sosialnya. Tapak juga para guru ini harus tanpa alas kaki saat berada di kelas. Semua murid calon guru akan menghormati pengajarnya, sebab mereka dididik secara keras dan tegas. Para guru ini tinggal di asrama khusus sekolah. Setiap harinya mereka dipantau langsung oleh penjaga asrama.
Digambarkan pula para pengajar di sekolah calon guru tidak kalah tegasnya. Dulu belum ada aturan tentang kekerasan dalam lingkungan sekolah. Sebab bentuk kekerasan itu pasti punya tujuan positif, yaitu mendidik disiplin. Sebab para priyayi dari berbagai daerah ini dikenal sangat manja di lingkungan keluarganya. Maka ketika masuk disekolah guru, tidak ada pilihan lain harus beradaptasi dengan budaya baru, yaitu disiplin. Para pengajar memegang cambuk dari rotan atau bambu. Cambuk ini tidak hanya untuk menakuti para murid, namun juga motivasi agar serius belajar. (pul)
Dibelakang foto terdapat kalimat berbahasa Belanda yang mencerminkan kegiatan pengawasan bersama pegendalian banjir di Gorontalo. Foto keluarka Theo Taihitu
Penulis: Pulung Ciptoaji
Abad.id. Sejumlah wilayah sekitar Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango hingga Gorontalo sering direndam banjir bandang sejak dulu. Pada Juli tahun 2020 lalu misalnya, banjir pada malam hari mengakibatkan ketinggian air sudah mencapai 1,5 meter. Bahkan di daerah yang lebih rendah, rumah warga sudah tenggelam menyisakan atapnya saja.
Berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), banjir terjadi di di Kecamatan Bone Kabupaten Bond Bolango tepatnya di Desa Molamahu, Taludaa, Masiaga dan Moodoliyo. Terdapat beberapa penyebab kondisi banjir tersebut. Salah satu kondisi fenomena Shearline atau belok angin yang kuat dan menyebabkan penumpukan massa udara. Penumpukan massa udara ini akan berakibat pada pertumbuhan awan hujan intensif. Kemudian hujan yang terlalu lama menyebabkan meluapnya sungai Bone. Hujan dengan durasi yang lama dapat menyebabkan kondisi tanah jenuh dan berpotensi longsor. Sebab, genangan dan luapan air sungai bisa membawa partikel padat.
Penyebab lain kondisi regional cuaca juga memiliki pengaruh terhadap peristiwa banjir bandang yang terjadi di Gorontalo dan sekitarnya. Kondisi regional cuaca yang terjadi adanya interaksi tidak langsung antara atmosfer di wilayah Gorontalo dengan bibit badai tropis di Philipina.
Namun munculnya fenomena banjir di wilayah Gorontalo bukan hanya terjadi di era teknologi pemantauan dan prakiraan cuaca sudah canggih seperti sekarang ini. Di tahun 1920 an, di kawasan Gorontalo sudah menjadi langganan banjir. Banjir karena intensitas hujan yang sangat deras dalam waktu lama. Serta juga diakibatkan kontur tanah yang rendah sudah tidak mampu lagi menyerap luapan air. Beberapa kanal yang disiapkan pemerintah Hindia Belanda yang merupakan cabang sungai Bone tampaknya sudah tidak bisa menampung debit air yang tinggi.
Langkah langkah yang dilakukan para pamong praja dengan melakukan sistim buka tutup di pintu air. Serta melakukan pemantauan di titik yang bisa menyebabkan air melngalir tidak lancar. Petugas pamong praja pengendali banjir tersebut, bekerja di bawah Bourgelijke & Openbare Werken ( Departemen Pekerjaan Umum). Setiap kali ada hujan sangat deras dan berpotensi banjir semua petugas diwajibkan melakukan pemantauan dengan berkeliling. Mereka selalu memeriksa sesuatunya.
Sebenarnya departemen pengendali banjir di bawah Bourgelijke & openbare Werken ( Departemen Pekerjaan Umum) sudah ada sejak kamar dagang VOC (Veredigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1799. Cikal bakal Kementerian Pekerjaan Umum terbentuk pada tahun 1866 yang diberi nama Departement van Burgerlijke Openbare Werken (BOW).
BOW adalah salah satu dari empat administrasi sipil (algemeen bestuur) yang ditetapkan berdasarkan Koninklijk Besluit (Keputusan Kerajaan Belanda) tanggal 21 September 1866. Dinas ini berawal dari sebuah lembaga Bangunan Sipil (Civiele Gebouwen) pada tahun 1819. Baru pada tahun 1828 dinas tersebut digabung dengan Hoofdinspectie Waterstaat (Inspektorat Pengairan) menjadi Administratie van den Waterstaat en der Civiele Gebouwen (Administrasi Pengairan dan Bangunan Sipil) sebagai cabang dari Directie der Producten en Civiele Magazijnen (Direksi Produksi dan Pergudangan Sipil).
Sebelum BOW dibentuk, bidang pengairan menjadi wewenang pemerintah daerah dan hanya ada beberapa karisidenan yang memiliki insinyur. Organisasi baru ini diharapkan dapat meningkatkan koordinasi bidang infrastruktur secara cepat dan terpusat. (pul)
Begandring Soerabaia Reinkarnasi Soerabaiascje Studie Club
Abad.id - Ada yang menarik dari dua perkumpulan di Surabaya yang beda jaman. Yaitu Soerabaiasche Studie Club yang berdiri di awal abad 20, tepatnya pada 1924, dan Begandring Soerabaia yang terbentuk di awal abad 21, tepatnya pada 2018.
Pada dasarnya kedua perkumpulan ini adalah club belajar, atau bahasa kerennya Study Club. Jika Soerabaiasche Studie Club adalah kelompok belajar kebangsaan. Sedangkan Begandring Soerabaia adalah kelompok belajar sejarah dan budaya. Penggeraknya adalah sama sama orang muda. Di Begandring Soerabaia, meski sudah ada yang usia manula, tapi semangatnya adalah anak muda.
Keduanya adalah kelompok yang dinamis dan visionir. Soerabaiasch Studie Club yang terbentuk pada 1924 memiliki pandangan untuk meraih kemerdekaan. Sementara Begandring Soerabaya yang terbentuk pada 2018 memiliki pandangan pelestarian sejarah, budaya dan cagar budaya sebagai aset pembangunan untuk masa depan.
Soerabaiasche Studie Club memiliki program dan kegiatan yang terencana melalui kegiatan kegiatan investigatif yang ada dan dihadapi masyarakat kala itu: mulai dari masalah sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Bukan politik, meski pada akhirnya club ini berubah menjadi sebuah partai politik yang bernama Partai Bangsa Indonesia.
Sedangkan Begandring Soerabaia juga memiliki program program terencana di bidang pendidikan, budaya dan pariwisata yang diawali dengan kegiatan investigatif hingga advokatif demi pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan cagar budaya dan sejarah di kota Surabaya. Tapi, Begandring Soerabaia sudah berkomitmen tidak bermetamorfosis menjadi partai politik.
Yang menarik dari Soerabaiasche Studie Club yang didirikan oleh dr Soetomo pada 1924 ini adalah bahwa Study Club ini bukanlah kelompok belajar yang mendiskusikan mata pelajaran sekolah pada umumnya dan yang selama ini kita ketahui. Tetapi, club ini mempelajari dan menginvestigasi persoalan persoalan yang ada di masyarakat dan mencari solusi agar tercipta ketahanan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan yang pada akhirnya menciptakan ketahanan kebangsaan guna meraih kemerdekaan.
Sifat club ini ada miripnya dengan Begandring Soerabaia. Dari namanya saja “Begandring”, kosa kata lokal Surabaya yang merupakan serapan dari kosa kata bahasa Belanda “vergadering”, yang berarti “rapat” atau kumpul kumpul mencari mufakat. Itulah Begandring Soerabaia. Perkumpulan ini basicnya adalah kumpul kumpul atas isu isu sejarah dan budaya.
Siapapun dapat membawa isu dan temuan tentang sejarah dan budaya, kemudian didiskusikan secara internal hingga mendapat kejelasan atas isu itu setelah dikaji berdasarkan sumber sumber literatur maupun data faktual dan bukti bukti. Selanjutnya temuan itu disampaikan ke publik melalui program program Begandring. Yaitu diskusi publik, jelajah sejarah Surabaya Urban Track (Sub track), penulisan dan pembuatan film.
Begandring Soerabaia dalam karya film kolaboratif, Koesno
Semuanya bertujuan untuk mengedukasi publik akan sejarah dan budaya Surabaya sehingga mereka bisa mengapresiasi nilai nilai sejarah dan budaya yang ada. Selain dalam rangka mengedukasi, Begandring juga melakukan advokasi cagar budaya dengan bermitra dengan stakeholder terkait baik dengan unsur legislatif maupun eksekutif.
Begandring juga bermitra dengan lembaga akademisi, media dan dunia usaha. Itulah kolaborasi pentahelix yang dianggap sebagai kekuatan bersama untuk meraih cita cita pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di kota Surabaya.
Seiring dengan perjalanan waktu, Begandring memandang perlu adanya partisipasi publik sebagai subyek dalam gerakan bersama. Karenanya dalam menjalankan kegiatannya, Begandring mulai memberdayakan masyarakat. Artinya masyarakat dilibatkan dalam penyelenggaraan kegiatan. Mereka sebagai subyek, bukan obyek.
Rupanya arah kegiatan Begandring ini mirip dengan arah kegiatan Soerabaiasche Studie Club yang pernah ada pada masa masa pergerakan kebangsaan di Surabaya pada awal abad 20. Jika dulu ada Soerabaiasche Studie Club, sekarang ada Begandring Soerabaia.
Sebuah diskusi publik di Lodji Besar
Jika Soerabaiasche Studie Club lahir di GNI di jalan Bubutan pada 1924, maka sebagai reinkarnasinya lahirlah Begandring Soerabaia di Lodji Besar di Peneleh pada 2018. Mereka tidak sekedar club, tapi agen pergerakan sesuai jamannya. (Nanang)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Mojokerto, Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pernah tinggal dan bersekolah di kota Mojokerto. Soekarno pernah bersekolah di Inlandsche School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro), sebuah julukan bagi sekolah anak pribumi, yang kini menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Kota Mojokerto.
Berdirinya sekolah ongo loro itu tidak lebih dari program politik etis pemerinta Hindia Belanda terhadap bangsa jajahan. Sejak memasuki tahun 1900, banyak berdiri sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi anak anak yang tinggal di tanah jajahan. Namun sekolah tersebut dibangun tidak untuk mencerdaskan anak anak jajahan. Hanya sekedar punya pengetahuan dan tidak butuh huruf. Anak-anak pribumi itu digolongkan dalam sekolah khusus School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro). Untuk anak-anak yang masih memiliki darah priyayi dan indo keturunan masih bisa melanjutkan ke jenjang lenih tinggi. Aturan itu tentu membuat nasib mujur bagi Kusno yang bisa mengenyam sekolah pribumi sekaligus bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi.
Dalam catatan sejarah, Kusno panggilan kecil Sukarno pernah sekolah di sekolah rakyat ongko loro dan lulus tahun 1911. Saat itu Raden Sukemi ayah Kandung Sukarno tengah menjadi kepala sekolah. Tidak dijelaskan dimana keluarga khusno tinggal selama di Kota Mojokerto. Sebab sebagai guru sekolah rakyat, Raden Sukemi selalu berpindah kota. Raden Sukemi pernah mengajar di Pulau Bali, mengajar di Surabaya, dan pindah lagi ke Kota Mojokerto. Hingga pada akhirnya Raden Sukemi pindah ke Tulungaggung hingga pensiun menjadi guru rakyat.
Menurut Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik, bahwa Kusno kecil mengawali sekolah mulai kelas 2 hingga kelas 4. Khusno kecil juga harus belajar tanpa didampingi orang tua Raden Sukemi. Sebab, meskipun berstatus sebagai kepala sekolah School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro) Mojoketo, Raden Sukemi juga masih harus merangkap jabatan sebagai kepala sekolah di Sidoarjo. Dua kota ini memang sangat dekat, namun sangat melelahkan bagi Raden Sukemi yang menjabat menjadi kepala sekolah di dua sekolah sekaligus.
Selama tiga tahun itu, Kusno dikenal anak yang patuh terhadap guru serta menunjukan sifat istimewa. Diantara kawan sepermainan, Kusno dikenal cepat menguasai alat baru. Kusno paling tidak suka sepak bola, namun sangat pandai bermain kasti. Untuk pelajaran kesenian, Kusno kecil menguasai alat gamelan dan tetembangan jawa. Belum ada tumbuh jiwa nasionalisme saat usia kecil itu. Rasa nasionalisme dirasakan Kusno saat kelas 5. Saat Kusno dipindah sekolah ke ELS atau setingkat SMP masih di Kota Mojokerto.
"Di sekolah rakyat Ongko Loro ini Kusno belajar sekaligus bermain, maka itulah yang membentuk karakter Sukarno hingga masa dewasanya," kata Endang
Raden Sukemi harus menjelaskan kepada Kusno kecil tentang alasan harus pindah ke ELS. Pertama, bahwa jika ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi harus mendapatkan pendidikan setara dengan orang Belanda. Kusno harus mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun menjadi warga jajahan. Kedudukan status sebagai keluarga priyayi tentu membantu Kusno untuk bisa mendapatkan sekolah setara dengan anak anak golongan indo keturunan. Meskipun pada akhirnya, para priyayi dan indo keturunan itu hanya akan bisa bekerja sebagai pegawai rendahan.
Saat itu tengah tahun 1911, Raden Sukemi mengajak Sukarno ke Europesche Lagere School atau ELS untuk mendaftar. Sebagai kepala sekolah rakyat, nama Raden Sukemi cukup dikenal di kalangan para pendidik di Mojokerto. Namun bukan berarti urusan mendaftarkan Kusno bisa lebih mudah. Raden Sukemi harus menerima banyak persayaratan yang diskriminasi sebagai bangsa pribumi. Salah satunya tidak ada aturan tinggal kelas bagi pribumi di ELS jika tidak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pasti harus keluar. Syarat lain Bahasa Belanda harus dikuasai Kusno. Sebab di ELS ini semua mengantar pelajaran menggunakan Bahasa Belanda. Kemudian untuk sekolah di ELS tidak gratis bagi warga pribumi. Serta harus ada penjamin dari dari warga eropa bagi warga pribumi yang menitipkan sekolah di ELS.
Berbeda dengan sekolah Ongko loro yang siswanya kaum pribumi, jumlah kelas di ELS sangat sedikit. Untuk kelas 1 di ELS hanya menampung 2 kelas atau sekitar 40 siswa. Jumlah sedikit sangat beralasan, sebab pada masa itu memang tidak banyak anak priyayi dan indo keturunan yang tinggal di sekitar Mojokerto. Serta aturan ketat itu membuat banyak priyayi tidak menyekolahkan anaknya di ELS dan memilih melanjutkan ke pondok pesantren setelah lulus dari sekolah ongko loro.
Sementara itu bagi Kusno kecil, persyaratan itu dinilai sangat diskriminasi. Demi mewujudkan cita-cita orangtuanya, sejak hari pertama masuk sekolah di ELS yang saat ini masih menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto itu, Kusno belajar giat terutama Bahasa Belanda. Khusno harus les prifat Bahasa Belanda selama 3 bulan dengan biaya yang tidak murah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini, bisa mengantarkan Kusno melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Surabaya dan Bandung. (pul)
Jasa guru jelas tidak dapat kita abaikan. Dari mereka kita bisa melek ilmu pengetahuan. Untuk memperingati hari guru ini, tidak ada yang salah perlu mengenang para guru yang membuka informasi dunia.
Salah satu guru yang berjasa itu guru sekolah rakyat di 1921 di Desa Soreang Kabupaten Bandung. Ada guru sangat populer karena dedikasinya bernama Haji Muhammad Suwardji. Guru tersebut dilahiRkan tahun 1880, dan menjadi guru sekolah rakyat hingga tahun 1937. Menjadi guru sekolah rakyat juga harus bisa beradaptasi dengan kondisi sebagai warga jajahan. Haji Suwarji pernah berpindah-pindah tempat tugas, mulai mengajar di Desa Cilillin , Desa Lewo di Kota Garut, Kota Pleret kota Subang, Pulau Kalimantan dan terakhir mengajar di Batujajar hingga wafat tahun 1957.
Busana yang digunakan para guru waktu itu menyesuaikan dengan para muridnya warga pribumi. Para guru laki-laki harus menggunakan jas putih dengan kota-kotak kecil, dan kemeja lengan panjang warna putih juga dengan bahan kain kaci. Tidak lupa guru wajib menggunakana dasi kupu-kupu kecil dengan motif kotak-kota hitam. Celana panjang mengunakan bahan gabardin yang bentuknya besar besar di bagian atas, dan makin sempit pada kaki bagian bawah. Saat berangkat kerja, para guru menggunakan alas kaki tarumpah atau sandal japit dengan bahan kulit. Pada bagian tumit alas sandal itu lebih tinggi dengan bahan kulit mentah. Maka jika berjalan dipastikan terdapat suara yang keras, dan langsung didengar para murid yang sedang ramai di kelas. Namun ketika masuk kelas, para guru wajib lepas alas kakinya.
Ada yang khas para guru pada masa itu menggenakan tutup kepala. Jika suku Jawa, model blangkonnya bermotif batik lebih gelap, sementara jika suku sunda tutup kepala itu berama Bendo dengan motif batik warna lebih terang coklat muda.
Dedikasi seorang guru juga digambarkan pada sosok Raden Soekemi Sosrodiharjo ayak kandung presiden ke 1 Sukarno. Sejak lulus pendidikan guru di Probolinggo, Soekemi muda sudah harus berpindah tugas. Awalnya dia mengajar di Buleleng Bali pada tahun 1890. Dalam buku Biografi Sukarno yang ditulis Lambert Giebels, di Bali sudah berdiri sekolah rakyat pada tahun 1875. Sekolah tersebut awalnya hanya diperuntukan untuk anak-anak pegawai Belanda dan bangsawan Bali agar mendapatkan pendidikan Dasar. Selama di Bali, Soekemi tinggal di rumah kos yang dekat dengan sekolah.
Gaji menjadi sekolah guru juga sangat menjanjikan. Pemerintah Hindia Belanda sangat menghargai jerih payah guru karena dan memberi penghargaan lebih. Selama pindah dan tinggal di Jalan Pahlawan 88 Surabaya, Raden Soekemi masih mengajar di sekolah rakyat. Meneer Soekemi setiap bulan mendapatkan gaji 25 gulden perbulan. Dalam hitungan pada masa itu, 1 USD nilainya 2 gulden 50 sen. Dengan gaji sebesar itu sudah dipastikan sangat cukup untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Dari gaji 25 gulden itu, harus dipotong 10 gulden untuk sewa rumah di Surabaya. Dalam hitungan pada masa itu, sewa rumah 10 gulden sudah dipastikan sudah sangat mewah bertembok dan beratap genting tengah kota.
Namun untuk menjadi guru tidaklah mudah. Seorang harus lulus dari Kweekschool atau Sekolah Guru. Berdirinya sekolah guru di Hindia Belanda dimulai pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Sekolah guru menjadi sebuah upaya dari pemerintah Hindia Belanda untuk memajukan pendidikan untuk warga pribumi.
Politik etis pemerinah belanda kepada warga pribumi ini bukan berarti siap merugi. Tujuannya warga jajahan di buat pintar dengan mendapat materi pendidikan untuk menggantikan tenaga terampil dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya. Tenaga terampil terutama dibutuhkan kelompok pengusaha swasta. Tenaga terampil warga pribumi ini diharapkan memiliki harga yang lebih terjangkau dari pada tenaga terampil dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya.
Pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan untuk guru bumiputra. Peraturan ini diperlukan sebagai langkah awal dari pendirian sekolah dasar bumiputra. Praresta Sasmaya Dewi dalam artikel Perkembangan Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta Tahun 1900-1927, menyebutkan bahwa Kweekschool dibuka tahun 1852.
Salah satunya pendirian Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah Pelatihan Guru-guru Pribumi) di Yogyakarta yang tertera dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 156 tahun 1894. Pembukaan sekolah baru dilakukan pada tahun 1897. Dalam Staatsblad ini memuat informasi dari jumlah siswa, gaji direktur, pengurangan formasi tenaga pengajar, biaya alat tulis, alat peraga dan perawatan perabotan serta gaji pegawai bawahan dan para pembantu yang bekerja di Kweekschool tersebut.
Sekolah ini menerima siswa yang berusia 12 sampai 16 tahun. Syarat untuk diterima dan belajar di sekolah tersebut adalah lulus Sekolah Jawa kelas satu. Syarat lainnya adalah harus lulus ujian sejumlah materi di antaranya berhitung, berbahasa dan menulis Jawa, menulis indah, ilmu bumi dan bahasa Melayu dalam aksara latin. Ujian penerimaan tersebut dilakukan di hadapan komite sekolah oleh inspektur atau wakil inspektur yang dibantu para guru di sekolah tersebut.
Siswa yang belajar di Kweekschool ini tinggal di asrama yang sudah disediakan. Lembaga yang mengelola sekolah di masa Hindia Belanda ini menyebutkan bahwa siswa yang belajar menerima materi pembelajaran dan alat tulis secara gratis dengan masa belajar 4 tahun. Saat para siswa masuk tingkat tinggi akan diberikan materi praktik mengajar. " Pendidikan agama diberikan sebagai ekstra kurikuler, disebukan KH. Ahmad Dahlan juga mengajar untuk memberi materi tentang agama Islam pada para siswa Kweekschool," tulis Sasmaya Dewi.
Lulusan dari sekolah Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers akan mendapat gelar setara diploma. Mereka akan memulai masa dinasnya sebagai guru pembantu pada sekolah dasar Jawa kelas satu.
Memang, kehadiran Kweekschool menjadi penanda positif dalam sejarah Pendidikan di Indonesia. Kweekschool mencetak guru pribumi yang membantu memenuhi keterbatasan tenaga pengajar. Kehadiran guru dibutuhkan untuk mengimbangi munculnya sejumlah sekolah pada masa itu.
Seperti sebuah foto yang dibuat tahun 1903 ini, menggambakan mereka yang baru lulus Kweekschool (sekolah guru). Mereka sangat percaya diri setelah dilantik menjadi guru. Semua berpose dengan gagahnya. Rantai jam saku merupakan hiasan yang khas pada masa itu. siapapun yang memiliki jam dalam rantai emas bisa diketahui kelas sosialnya. Tapak juga para guru ini harus tanpa alas kaki saat berada di kelas. Semua murid calon guru akan menghormati pengajarnya, sebab mereka dididik secara keras dan tegas. Para guru ini tinggal di asrama khusus sekolah. Setiap harinya mereka dipantau langsung oleh penjaga asrama.
Digambarkan pula para pengajar di sekolah calon guru tidak kalah tegasnya. Dulu belum ada aturan tentang kekerasan dalam lingkungan sekolah. Sebab bentuk kekerasan itu pasti punya tujuan positif, yaitu mendidik disiplin. Sebab para priyayi dari berbagai daerah ini dikenal sangat manja di lingkungan keluarganya. Maka ketika masuk disekolah guru, tidak ada pilihan lain harus beradaptasi dengan budaya baru, yaitu disiplin. Para pengajar memegang cambuk dari rotan atau bambu. Cambuk ini tidak hanya untuk menakuti para murid, namun juga motivasi agar serius belajar. (pul)
Dibelakang foto terdapat kalimat berbahasa Belanda yang mencerminkan kegiatan pengawasan bersama pegendalian banjir di Gorontalo. Foto keluarka Theo Taihitu
Penulis: Pulung Ciptoaji
Abad.id. Sejumlah wilayah sekitar Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango hingga Gorontalo sering direndam banjir bandang sejak dulu. Pada Juli tahun 2020 lalu misalnya, banjir pada malam hari mengakibatkan ketinggian air sudah mencapai 1,5 meter. Bahkan di daerah yang lebih rendah, rumah warga sudah tenggelam menyisakan atapnya saja.
Berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), banjir terjadi di di Kecamatan Bone Kabupaten Bond Bolango tepatnya di Desa Molamahu, Taludaa, Masiaga dan Moodoliyo. Terdapat beberapa penyebab kondisi banjir tersebut. Salah satu kondisi fenomena Shearline atau belok angin yang kuat dan menyebabkan penumpukan massa udara. Penumpukan massa udara ini akan berakibat pada pertumbuhan awan hujan intensif. Kemudian hujan yang terlalu lama menyebabkan meluapnya sungai Bone. Hujan dengan durasi yang lama dapat menyebabkan kondisi tanah jenuh dan berpotensi longsor. Sebab, genangan dan luapan air sungai bisa membawa partikel padat.
Penyebab lain kondisi regional cuaca juga memiliki pengaruh terhadap peristiwa banjir bandang yang terjadi di Gorontalo dan sekitarnya. Kondisi regional cuaca yang terjadi adanya interaksi tidak langsung antara atmosfer di wilayah Gorontalo dengan bibit badai tropis di Philipina.
Namun munculnya fenomena banjir di wilayah Gorontalo bukan hanya terjadi di era teknologi pemantauan dan prakiraan cuaca sudah canggih seperti sekarang ini. Di tahun 1920 an, di kawasan Gorontalo sudah menjadi langganan banjir. Banjir karena intensitas hujan yang sangat deras dalam waktu lama. Serta juga diakibatkan kontur tanah yang rendah sudah tidak mampu lagi menyerap luapan air. Beberapa kanal yang disiapkan pemerintah Hindia Belanda yang merupakan cabang sungai Bone tampaknya sudah tidak bisa menampung debit air yang tinggi.
Langkah langkah yang dilakukan para pamong praja dengan melakukan sistim buka tutup di pintu air. Serta melakukan pemantauan di titik yang bisa menyebabkan air melngalir tidak lancar. Petugas pamong praja pengendali banjir tersebut, bekerja di bawah Bourgelijke & Openbare Werken ( Departemen Pekerjaan Umum). Setiap kali ada hujan sangat deras dan berpotensi banjir semua petugas diwajibkan melakukan pemantauan dengan berkeliling. Mereka selalu memeriksa sesuatunya.
Sebenarnya departemen pengendali banjir di bawah Bourgelijke & openbare Werken ( Departemen Pekerjaan Umum) sudah ada sejak kamar dagang VOC (Veredigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1799. Cikal bakal Kementerian Pekerjaan Umum terbentuk pada tahun 1866 yang diberi nama Departement van Burgerlijke Openbare Werken (BOW).
BOW adalah salah satu dari empat administrasi sipil (algemeen bestuur) yang ditetapkan berdasarkan Koninklijk Besluit (Keputusan Kerajaan Belanda) tanggal 21 September 1866. Dinas ini berawal dari sebuah lembaga Bangunan Sipil (Civiele Gebouwen) pada tahun 1819. Baru pada tahun 1828 dinas tersebut digabung dengan Hoofdinspectie Waterstaat (Inspektorat Pengairan) menjadi Administratie van den Waterstaat en der Civiele Gebouwen (Administrasi Pengairan dan Bangunan Sipil) sebagai cabang dari Directie der Producten en Civiele Magazijnen (Direksi Produksi dan Pergudangan Sipil).
Sebelum BOW dibentuk, bidang pengairan menjadi wewenang pemerintah daerah dan hanya ada beberapa karisidenan yang memiliki insinyur. Organisasi baru ini diharapkan dapat meningkatkan koordinasi bidang infrastruktur secara cepat dan terpusat. (pul)
Begandring Soerabaia Reinkarnasi Soerabaiascje Studie Club
Abad.id - Ada yang menarik dari dua perkumpulan di Surabaya yang beda jaman. Yaitu Soerabaiasche Studie Club yang berdiri di awal abad 20, tepatnya pada 1924, dan Begandring Soerabaia yang terbentuk di awal abad 21, tepatnya pada 2018.
Pada dasarnya kedua perkumpulan ini adalah club belajar, atau bahasa kerennya Study Club. Jika Soerabaiasche Studie Club adalah kelompok belajar kebangsaan. Sedangkan Begandring Soerabaia adalah kelompok belajar sejarah dan budaya. Penggeraknya adalah sama sama orang muda. Di Begandring Soerabaia, meski sudah ada yang usia manula, tapi semangatnya adalah anak muda.
Keduanya adalah kelompok yang dinamis dan visionir. Soerabaiasch Studie Club yang terbentuk pada 1924 memiliki pandangan untuk meraih kemerdekaan. Sementara Begandring Soerabaya yang terbentuk pada 2018 memiliki pandangan pelestarian sejarah, budaya dan cagar budaya sebagai aset pembangunan untuk masa depan.
Soerabaiasche Studie Club memiliki program dan kegiatan yang terencana melalui kegiatan kegiatan investigatif yang ada dan dihadapi masyarakat kala itu: mulai dari masalah sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Bukan politik, meski pada akhirnya club ini berubah menjadi sebuah partai politik yang bernama Partai Bangsa Indonesia.
Sedangkan Begandring Soerabaia juga memiliki program program terencana di bidang pendidikan, budaya dan pariwisata yang diawali dengan kegiatan investigatif hingga advokatif demi pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan cagar budaya dan sejarah di kota Surabaya. Tapi, Begandring Soerabaia sudah berkomitmen tidak bermetamorfosis menjadi partai politik.
Yang menarik dari Soerabaiasche Studie Club yang didirikan oleh dr Soetomo pada 1924 ini adalah bahwa Study Club ini bukanlah kelompok belajar yang mendiskusikan mata pelajaran sekolah pada umumnya dan yang selama ini kita ketahui. Tetapi, club ini mempelajari dan menginvestigasi persoalan persoalan yang ada di masyarakat dan mencari solusi agar tercipta ketahanan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan yang pada akhirnya menciptakan ketahanan kebangsaan guna meraih kemerdekaan.
Sifat club ini ada miripnya dengan Begandring Soerabaia. Dari namanya saja “Begandring”, kosa kata lokal Surabaya yang merupakan serapan dari kosa kata bahasa Belanda “vergadering”, yang berarti “rapat” atau kumpul kumpul mencari mufakat. Itulah Begandring Soerabaia. Perkumpulan ini basicnya adalah kumpul kumpul atas isu isu sejarah dan budaya.
Siapapun dapat membawa isu dan temuan tentang sejarah dan budaya, kemudian didiskusikan secara internal hingga mendapat kejelasan atas isu itu setelah dikaji berdasarkan sumber sumber literatur maupun data faktual dan bukti bukti. Selanjutnya temuan itu disampaikan ke publik melalui program program Begandring. Yaitu diskusi publik, jelajah sejarah Surabaya Urban Track (Sub track), penulisan dan pembuatan film.
Begandring Soerabaia dalam karya film kolaboratif, Koesno
Semuanya bertujuan untuk mengedukasi publik akan sejarah dan budaya Surabaya sehingga mereka bisa mengapresiasi nilai nilai sejarah dan budaya yang ada. Selain dalam rangka mengedukasi, Begandring juga melakukan advokasi cagar budaya dengan bermitra dengan stakeholder terkait baik dengan unsur legislatif maupun eksekutif.
Begandring juga bermitra dengan lembaga akademisi, media dan dunia usaha. Itulah kolaborasi pentahelix yang dianggap sebagai kekuatan bersama untuk meraih cita cita pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di kota Surabaya.
Seiring dengan perjalanan waktu, Begandring memandang perlu adanya partisipasi publik sebagai subyek dalam gerakan bersama. Karenanya dalam menjalankan kegiatannya, Begandring mulai memberdayakan masyarakat. Artinya masyarakat dilibatkan dalam penyelenggaraan kegiatan. Mereka sebagai subyek, bukan obyek.
Rupanya arah kegiatan Begandring ini mirip dengan arah kegiatan Soerabaiasche Studie Club yang pernah ada pada masa masa pergerakan kebangsaan di Surabaya pada awal abad 20. Jika dulu ada Soerabaiasche Studie Club, sekarang ada Begandring Soerabaia.
Sebuah diskusi publik di Lodji Besar
Jika Soerabaiasche Studie Club lahir di GNI di jalan Bubutan pada 1924, maka sebagai reinkarnasinya lahirlah Begandring Soerabaia di Lodji Besar di Peneleh pada 2018. Mereka tidak sekedar club, tapi agen pergerakan sesuai jamannya. (Nanang)