Penulis : Pulung Ciptoaji
Mojokerto, Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pernah tinggal dan bersekolah di kota Mojokerto. Soekarno pernah bersekolah di Inlandsche School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro), sebuah julukan bagi sekolah anak pribumi, yang kini menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Kota Mojokerto.
Berdirinya sekolah ongo loro itu tidak lebih dari program politik etis pemerinta Hindia Belanda terhadap bangsa jajahan. Sejak memasuki tahun 1900, banyak berdiri sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi anak anak yang tinggal di tanah jajahan. Namun sekolah tersebut dibangun tidak untuk mencerdaskan anak anak jajahan. Hanya sekedar punya pengetahuan dan tidak butuh huruf. Anak-anak pribumi itu digolongkan dalam sekolah khusus School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro). Untuk anak-anak yang masih memiliki darah priyayi dan indo keturunan masih bisa melanjutkan ke jenjang lenih tinggi. Aturan itu tentu membuat nasib mujur bagi Kusno yang bisa mengenyam sekolah pribumi sekaligus bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi.
Dalam catatan sejarah, Kusno panggilan kecil Sukarno pernah sekolah di sekolah rakyat ongko loro dan lulus tahun 1911. Saat itu Raden Sukemi ayah Kandung Sukarno tengah menjadi kepala sekolah. Tidak dijelaskan dimana keluarga khusno tinggal selama di Kota Mojokerto. Sebab sebagai guru sekolah rakyat, Raden Sukemi selalu berpindah kota. Raden Sukemi pernah mengajar di Pulau Bali, mengajar di Surabaya, dan pindah lagi ke Kota Mojokerto. Hingga pada akhirnya Raden Sukemi pindah ke Tulungaggung hingga pensiun menjadi guru rakyat.
Menurut Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik, bahwa Kusno kecil mengawali sekolah mulai kelas 2 hingga kelas 4. Khusno kecil juga harus belajar tanpa didampingi orang tua Raden Sukemi. Sebab, meskipun berstatus sebagai kepala sekolah School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro) Mojoketo, Raden Sukemi juga masih harus merangkap jabatan sebagai kepala sekolah di Sidoarjo. Dua kota ini memang sangat dekat, namun sangat melelahkan bagi Raden Sukemi yang menjabat menjadi kepala sekolah di dua sekolah sekaligus.
Selama tiga tahun itu, Kusno dikenal anak yang patuh terhadap guru serta menunjukan sifat istimewa. Diantara kawan sepermainan, Kusno dikenal cepat menguasai alat baru. Kusno paling tidak suka sepak bola, namun sangat pandai bermain kasti. Untuk pelajaran kesenian, Kusno kecil menguasai alat gamelan dan tetembangan jawa. Belum ada tumbuh jiwa nasionalisme saat usia kecil itu. Rasa nasionalisme dirasakan Kusno saat kelas 5. Saat Kusno dipindah sekolah ke ELS atau setingkat SMP masih di Kota Mojokerto.
"Di sekolah rakyat Ongko Loro ini Kusno belajar sekaligus bermain, maka itulah yang membentuk karakter Sukarno hingga masa dewasanya," kata Endang
Raden Sukemi harus menjelaskan kepada Kusno kecil tentang alasan harus pindah ke ELS. Pertama, bahwa jika ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi harus mendapatkan pendidikan setara dengan orang Belanda. Kusno harus mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun menjadi warga jajahan. Kedudukan status sebagai keluarga priyayi tentu membantu Kusno untuk bisa mendapatkan sekolah setara dengan anak anak golongan indo keturunan. Meskipun pada akhirnya, para priyayi dan indo keturunan itu hanya akan bisa bekerja sebagai pegawai rendahan.
Saat itu tengah tahun 1911, Raden Sukemi mengajak Sukarno ke Europesche Lagere School atau ELS untuk mendaftar. Sebagai kepala sekolah rakyat, nama Raden Sukemi cukup dikenal di kalangan para pendidik di Mojokerto. Namun bukan berarti urusan mendaftarkan Kusno bisa lebih mudah. Raden Sukemi harus menerima banyak persayaratan yang diskriminasi sebagai bangsa pribumi. Salah satunya tidak ada aturan tinggal kelas bagi pribumi di ELS jika tidak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pasti harus keluar. Syarat lain Bahasa Belanda harus dikuasai Kusno. Sebab di ELS ini semua mengantar pelajaran menggunakan Bahasa Belanda. Kemudian untuk sekolah di ELS tidak gratis bagi warga pribumi. Serta harus ada penjamin dari dari warga eropa bagi warga pribumi yang menitipkan sekolah di ELS.
Berbeda dengan sekolah Ongko loro yang siswanya kaum pribumi, jumlah kelas di ELS sangat sedikit. Untuk kelas 1 di ELS hanya menampung 2 kelas atau sekitar 40 siswa. Jumlah sedikit sangat beralasan, sebab pada masa itu memang tidak banyak anak priyayi dan indo keturunan yang tinggal di sekitar Mojokerto. Serta aturan ketat itu membuat banyak priyayi tidak menyekolahkan anaknya di ELS dan memilih melanjutkan ke pondok pesantren setelah lulus dari sekolah ongko loro.
Sementara itu bagi Kusno kecil, persyaratan itu dinilai sangat diskriminasi. Demi mewujudkan cita-cita orangtuanya, sejak hari pertama masuk sekolah di ELS yang saat ini masih menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto itu, Kusno belajar giat terutama Bahasa Belanda. Khusno harus les prifat Bahasa Belanda selama 3 bulan dengan biaya yang tidak murah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini, bisa mengantarkan Kusno melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Surabaya dan Bandung. (pul)
abad.id-Kota Surabaya semakin metropolis, bahkan kosmopolis karena sudah menjadi tempat hunian warga manca negara. Dengan semakin beragamnya komunitas manca dan nusantara di Surabaya, maka akan bijak bila jati diri kota bisa tetap terjaga dan tidak punah.
Maka perlu ada upaya pelestarian kearifan lokal dan jejak sejarahnya sebagai bekal agar perkembangan dan pertumbuhannya tidak lepas dari akarnya. Akar suatu daerah, bisa berupa benda (artefak) dan nilai nilai (values).
Surabaya masih memiliki akar-akar itu. Tapi semua tergantung pada warganya, apakah mereka mau merawat, memupuk dan menyirami agar tetap dan bisa tumbuh menjadi pohon yang tak lepas dari akarnya.
Tim Begandring melakukan penelusuran data prasasti Kamalagyan pada 2021. Foto dok begandring
Dalam bahasa Jawa sendiri ada ungkapan yang berbunyi "kacang ora ninggal lanjaran", yang berarti kebiasaan anak selalu meniru dari orang tuanya. Ada identitas atau ciri dari tumbuhnya seseorang dan suatu daerah dari pendahulunya. Pun demikian dengan kota Surabaya, bahwa ada ciri dan sifat yang dimiliki Surabaya meski Surabaya Berkembang menjadi kota yang besar dan kosmopolis.
Kita tau bahwa sifat Surabaya itu "berani", sebagaimana sesanti Surabaya sedari dulu. Yaitu Sura ing Baya. Sura ing Baya berarti berani menghadapi bahaya atau tantangan.
Sekarang, di era moderen, pemerintah kota Surabaya pun menggunakan jargon "Surabaya Wani". Wani adalah nilai dasar, yang secara natural dan kultural, telah dimiliki oleh rakyat Surabaya dari zaman ke zaman.
Surabaya lahir dengan membawa sifat berani. Surabaya lahir dari lingkungan yang dihuni oleh orang orang yang berani atau lazim disebut pendekar. Umumnya pendekar telah hidup tidak jauh dari aliran sungai. Karena sungai, secara historis, menjadi tumpuan hidup suatu peradaban.
Begitu pula dengan Surabaya, yang telah menjadi wadah suatu peradaban. Dalam prasasti Canggu (1358) sudah disebutkan bahwa Curabhaya adalah salah satu desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang letaknya di hilir sungai.
Semakin Melek Sejarah
Surabaya boleh semakin moderen, tapi jangan sampai lupa akar dan bahkan tercabut dari akarnya. Ini semua tergantung dari warganya.
Untung, warga kota Surabaya semakin hari semakin melek sejarah. Ini bisa dibuktikan dengan adanya jalur akademik yang membuka jurusan jurusan ilmu sejarah. Di Universitas terkemuka seperti Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) adalah contohnya.
Belum lagi warga, yang secara mandiri mau belajar sejarah. Adalah komunitas sejarah yang semakin banyak jumlahnya. Mereka secara mandiri berburu data dan sumber sumber sejarah untuk memperkaya pemahaman mereka di bidang sejarah. Mereka menjadi praktisi dan pegiat pegiat di bidang kesejarahan. Bahkan mereka terlihat bagai sejarawan karena wawasan kesejarahannya.
Ketika Begandring menyampaikan nota perubahan hari jadi ke wakil walikota Armuji pada 2021. Foto dok begadring
Lainnya adalah penikmat sejarah, artefak, gedung gedung dan tempat tempat yang menyimpan jejak sejarah. Itu semua menjadi latar (background) untuk dunia fotografi yang instagramable untuk dinikmati. Setting itu menjadi identitas lokal ketika karya fotografi itu menembus batas ruang dan waktu.
Ringkasnya, mereka semakin pintar dan paham sejarah daerahnya. Kemudahan mendapatkan sumber sumber mengasah rasa keingin tahuan mereka, yang menjadi salah satu dari 18 nilai pendidikan karakter nasional.
Apalagi jika ada kelompok atau komunitas yang memang benar benar fokus membidangi sejarah. Mereka tentu akan mengawal lestarinya nilai nilai sejarah itu melalui kegiatan kegiatan yang mereka kreasi dengan tujuan edukasi.
Ketika mereka menemukan temuan temuan yang mutakhir dari kajian sejarah yang telah ada sebelumnya, maka bukan tidak mungkin perlu ada kajian kajian baru yang mengikuti perkembangan perkembangan perspektif (Adrian Perkasa, kandidat doktor di Universitas Leiden, Belanda).
Ternyata sejarah lahirnya kota Surabaya dan sekaligus Hari Jadi Kota Surabaya yang jatuh pada 31 Mei 1293 menjadi pertanyaan banyak pihak, seiring dengan adanya temuan temuan baru.
"Jadi penulisan sejarah, yang merupakan muara dari kajian atau penelitian, ibarat tanda koma (,) bukan (.) kalo dalam sebuah kalimat..', tambah Adrian Perkasa yang juga sejarawan Universitas Airlangga.
Pendapat Sejarawan dan intelektual Tentang Sejarah Hari Jadi Surabaya.
Adrian Perkasa, sejarawan Universitas Airlangga, secara lengkap mengatakan bahwa sebaiknya memang kajian sejarah harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan perspektif maupun temuan-temuan termutakhir. Jadi penulisan sejarah, yang merupakan muara dari kajian atau penelitian, ibarat tanda koma (,) bukan (.) kalo dalam sebuah kalimat.
Buku Hari Jadi Kota Surabaya yang memuat hasil penelitian Tim Peneliti Hari Jadi Surabaya. Foto dok begandring
Prof. Purnawan Basundoro, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur mengatakan bahwa Surabaya adalah kota yang sangat tua. Memiliki perjalanan sejarah panjang, namun belum banyak informasi atau sumber sejarah tertulis yang ditemukan, utamanya untuk periode pra Islam. Akibatnya, masyarakat menggunakan imajinasinya sendiri untuk menebak-nebak tentang sejarah masa lalu tersebut. Ini adalah tantangan bagi sejarawan dan penggiat sejarah untuk menemukan sumber-sumber sejarah tertulis yang lebih valid, yang bisa dijadikan bahan untuk menarasikan ulang sejarah Kota Surabaya.
A Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Surabaya dan Tokoh Kebudayaan Kota Surabaya berpendapat bahwa penulisan tentang hubungan Hujung Galuh dan Surabaya, dimana Hujung Galuh dianggap sebagai cikal bakal Surabaya oleh tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya, yang melakukan penelusuran dan penelitian dalam kurun waktu 1973-1975, adalah hasil dari penelitian yang kurang memiliki referensi masa lalu (sejarah) yang cukup. Apalagi penelitian itu mendasarkan pada nama jalan Galuhan yang dianggap sebagai toponimi Hujung Galuh.
Ia menambahkan bahwa sekalipun salah, keberadaanya telah mengilhami banyak hal yang bernilai positif. Sebagai warga yang baik, semua wajib menghormati karya mereka karena telah memiliki kesadaran awal dan spirit untuk mengisi ruang kosong sejarah surabaya yang lebih positif dalam rangka penyelamatan.
"Soal ternyata yang ditulis dinilai kurang tepat dan Komunitas Begandring Soerabaia menemukan bukti yang lebih kuat, saya rasa semua pihak tidak akan keberatan bila sejarah Surabaya terkait dengan Hujung Galuh dikoreksi, dan ini tradisi yang baik", harap Thony untuk mewujudkan rasa saling terbuka dan berbenah untuk lebih baik.
Menurut Thony, Begandring Soerabaia melalui karya film Koesno yang digarap secara kolaboratif dengan pihak akademik, media dan pemerintah dalam rangka meluruskan sejarah tempat lahirnya Bung Karno adalah metode yang baik dalam upaya pelurusan sejarah. Film itu dibuat berdasarkan kajian dengan sumber sumber sejarah yang valid.
Sementara itu, seorang epigraf Abimardha, dari Universitas Airlangga pernah dengan tegas mengatakan terkait dengan prasasti Kamalagyan yang menuliskan Hujunggaluh dan atas pembacannya bahwa letak Hujung Galuh tidak di Surabaya.
"Untuk permasalahan Hari Jadi Kota Surabaya perlu kajian ulang, termasuk toponimi Pacekan yang menarik disimak.", papar Abimardha.
Selanjutnya ia berharap agar kebenaran sejarah hari jadi kota Surabaya terus disuarakan agar generasi muda bisa benar, benar mengenal sejarah yang sebenarnya.
Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe (2003), sebenarnya sudah mempertanyakan sejarah Hari Jadi Kota Surabaya sebagaimana tertulis dalam salah satu bab di buku itu "Sudah Benarkah Tanggal Hari Jadi Kota Surabaya?".
Baru baru ini ketika komunitas Begandring Soerabaia menemukan data dan fakta yang mutakhir, Dukut berani menyatakan kembali keraguannya mengenai Hari Jadi Kota Surabaya tertanggal 31 Mei 1293.
Menurutnya para peneliti, yang dibentuk walikotamadya Surabaya kala itu (1973), dalam menjalankan kerjanya telah memiliki orientasi pemikiran (framing) yang mengkaitkan Hari Jadi Kota Surabaya dengan nilai kepahlawanan 10 November 1945.
Karena framing itulah maka dicarilah peristiwa yang mengandung nilai nilai kepahlawanan sesuai dengan peristiwa 10 November 1945.
Nilai kepahlawanan itu memang ada pada peristiwa kemenangan Raden Wijaya melawan Mongol pada 31 Mei 1293, sebagaimana ditulis dalam jurnal Archipelago Research In Asia yang berjudul "Mongol Fleet on the Way to Java: First Archeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia" yang ditulis oleh Hsiao-Chun Hung, Hartatik, Tisna Arif Ma'rifat dan Truman Simanjuntak.
Tapi, laporan itu tidak menyebut bahwa Monggol meninggalkan Jawa melalui Surabaya pada 31 Mei 1293 sebagaimana ditulis dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya (Humas Pemkot:1975). Apalagi buku itu menuliskan bahwa keluarnya Monggol melalui kali Jagir, yang ada di wilayah Kota Surabaya. Dasar ini yang kemudian dipakai oleh tim peneliti menggunakan 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Padahal ada kontradiksi informasi dari kedua sumber itu.
Kontradiksi itu semakin dipertajam oleh penulisan dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya bahwa Mongol meninggalkan Jawa melalui Kali Jagir. Secara alami, menurut peta Kota Surabaya tahun 1706 yang dikeluarkan "Grote Atlas van de Verenigging Ost Indisch Compagnie Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company", kali Jagir belum ada. Bagaimana bisa dikatakan bahwa Mongol keluar dari Jawa dengan malalui kali Jagir pada 1293?
"Masalahnya kota ini sudah terlanjur dikenal sebagai Kota Pahlawan. Seandainya saja tidak pernah terjadi peristiwa 10 November 1945, dan Surabaya sudah dikenal sebagai kota pelabuhan dengan Curabhaya nya sebagaimana tersebut pada prasasti Canggu ( 7 Juli 1358), mungkin arah pencarian atau framing akan berbeda", kata Dukut Imam Widodo.
Pencarian Hari Jadi Kota Surabaya hendaknya berdasarkan fakta fakta dan temuan temuan historis yang ada dengan didukung literasi yang cukup. Bukan dicari berdasarkan kepentingan dan framing, meski framing itu adalah baik, misalnya dicari dan disesuaikan dengan makna peristiwa kepahlawanan pada 10 November 1945.
Jika sudah ada framing seperti itu, maka akan mengesampingkan temuan historis yang ada.
Framing dalam penentuan Hari Jadi ini diperkuat dengan kesaksian wartawan senior Yousri Raja Agam yang mengatakan bahwa bulan Mei pada penanggalan 31 Mei 1293 dipilih agar tidak berdekatan dengan peringatan hari hari besar lainnya yang sudah ada seperti bulan Agustus (17 Agustus) dan November (10 November). Yousri Raja Agam menyampaikan ini dalam sebuah diskusi publik yang bertema "Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya" pada 31 Mei 2021. (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Ada yang menarik dari gedung Singa, yang beralamat di Jalan Jembatan Merah 19-23 Surabaya. Umumnya, untuk menandai proyek pembangunan sebuah gedung, di sana dipasang sebuah prasasti yang menyebut nama arsitek atau kontraktor pembangunan.
Diketahui bahwa nama arsitek Gedung Singa adalah HP Berlage. Tapi namanya tidak ada pada batu prasasti di gedung Singa, yang nama resminya adalah Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam,
Disana memang ada sebuah prasasti. Tapi yang terukir bukan nama arsitek (Berlage) dan kontraktor. Tapi Jan Von Hemert. Batu prasasti itu terpasang pada dinding depan bagian bawah, dekat pintu masuk utama. Bunyinya "De Eerste Steen is Gelegd op 21 Juli 1901 door Jan Von Hermet", yang artinya Peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hermet. Siapakah Jan Von Hermet?
Dari hasil pencarian dan penelusuran bersama antara Begandring Soerabaia dan Max Meijer (konsultan permuseuman dan heritsge di Belanda) diketahui bahwa Jan von Hemert adalah putra pasangan Pierre Theodore von Hemert (Amsterdam, 25 April 1865) dan Geertruide Johanna Zilver Rupe (Surabaya, 22 Januari 1871). Jan von Hemert sendiri lahir di Surabaya, 19 September 1893.
Lantas siapakah Piere Theodore Von Hemert? P. Th. Von Hemert adalah Kepala Perwakilan perusahaan asuransi De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau yang lebih populer disebut Gedung Singa.
Menurut Max dari hasil penelusuran nya di sumber arsip Belanda, delpher.nl, bahwa P. Th. Von Hemert adalah direktur atau pejabat perwakilan tertinggi perusahaan asuransi De Algemene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente di Hindia Belanda. Ketika ia mulai membangun kantor perwakilan pusat di Hindia Belanda, tepatnya di Surabaya pada tahun 1901, peletakan Batu pertama sebagai peresmian mulai dibangunnya kantor baru dilakukan oleh anaknya yang bernama Jan Von Hemert.
Ketika peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901, usia Jan Von Hemert masih 8 tahun. Ia lahir pada 19 September 1893. Selanjutnya ketika Jan Von Hemert berusia 18 tahun, bapaknya, Piere Theodore Von Hemert meninggal, tepatnya pada 10 April 1911 dan dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh.
Sebagai pejabat dari perusahaan yang terkenal di Hindia Belanda, kematian Piere Theodore Von Hemert meninggalkan luka mendalam bagi mitra, rekan, keluarga dan handai tolan. Banyak dari mereka yang menyampaikan rasa bela sungkawa. Selanjutnya, sebagai ucapan terima kasih, pihak keluarga mengiklankan di surat kabar baik yang terbit di Hindia Belanda maupun di Belanda.
Semasa hidupnya sebagai direktur perusahaan asuransi yang terkenal, ia tidak berpuas diri dengan pencapaian perusahaan. Hemert terus aktif mengiklankan perusahaannya melalui iklan iklan surat kabar agar semakin banyak nasabah dan klien. Dari arsip delpher.nl dapat diketahui bahwa perusahaan itu mengiklankan jasanya di koran dua atau tiga kali dalam sebulan. Hemert juga rutin mempublikasikan neraca perusahaan.
Dari hasil penelusuran komunitas Indonesia Graveyard, dr. Winanda Denis Kurniawan, diketahui dimanakah keberadaan makam Piere Theodore Von Hemert, direktur Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam di Surabaya. Bahwa ternyata makam direktur perusahaan asuransi yang berkantor di Gedung Singa itu ada di bagian selatan area makam Belanda Peneleh dengan nomor B. 3015.
Ketika Begandring Soerabaia dan Indonesia Graveyard mencari keberadaan makam P. Th. Von Hemert dan berhasil menemukannya, sayang sekali, makamnya sudah kehilangan prasasti, yang umumnya tertulis riwayat hidup orang yang mati. Makam pembesar perusahaan asuransi ini terlihat sederhana. Tidak ada bekas cungkup, yang umumnya satu paket dengan pagar. Makam hanya dibungkus Batu marmer putih. Itupun juga sudah hilang semua. Ada bekas pecahan Batu marmer di atas makam. Kecuali dua lembar marmer di bagian depan makam yang bertuliskan nomor registrasi B. 3015 dengan jelas. Dari nomor registrasi itulah keberadaan makam direktur perusahaan asuransi De Algemeene Maastchsppij dapat ditemukan.
Menurut petugas makam, Irul, bahwa kerusakan pada makam itu terjadi akibat penjarahan pada beberapa puluh tahun yang lalu, termasuk kerusakan yang terjadi di makam Piere Theodore Von Hemert.
"Saya ini penerus dari kakek dan bapak. Kakek saya, ketika masih hidup pernah menceritakan tentang makam ini. Salah satunya adalah tentang penjararahan yang pernah terjadi dulu", jelas Irul mengenang kakeknya ketika masih berdinas di makan Belanda Peneleh.
Dengan ketemunya makam direktur perusahaan asuransi Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Thdodore Von Hemert, terpecahkan juga nama Jan Von Hemert yang tertulis pada prasasti di Gedung Singa yang didesign oleh HP Berlage.
Kritik Arsitektur
Diduga ada kaitan erat antara arsitek Berlage dengan direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Theodore Von Hemert. Bagaimana kaitan itu?
Piere Theodore Von Hemert, yang menjabat sebagai direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam untuk Hindia Belanda, diduga salah satu dari direktur yang kemudian menjabat sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan asuransi di Hindia Belanda. Perusahaan ini sendiri sudah adai sejak 1880.
Menurut Journal for Southeast Asian Architectur (2003) yang ditulis oleh Paulin KM van Roosmalen bahwa ketika aktivitas komersial dimulai pada awal abad ke-20, permintaan akan bangunan perusahaan yang baru dan berkarakteristik meningkat pesat.
Salah satu desain pertama untuk bangunan perusahaan, yang mendapat pujian sebagai 'gaya arsitektur yang pas', adalah gedung kantor untuk perusahaan asuransi De Algemeene di Surabaya. Gedung, yang bisa dilihat sekarang, adalah hasil penyempurnaan oleh Berlage.
Petra Timmer, seorang peneliti asal Belanda yang tengah mempersiapkan peringatan 100 Berlage di Hindia Belanda, memberi penjelasan tentang cerita mengapa Berlage bisa ditunjuk untuk mendesign gedung untuk kantor perusahaan asuransi di Surabaya, Hindia Belanda.
Petra bercerita bahwa Hulswit (arsitek Belanda yang bekerja dan tinggal di Hindia Belanda), memang ditunjuk untuk membuat desain pertama. Kemudian design itu dikirim ke kantor pusat De Algemeene di Belanda. Saat itu Berlage sendiri memang sedang ditugaskan untuk mendesain kantor pusat De Algemeene di Amsterdam, Beurs van Berlage.
Kemudian pihak direksi meminta nasihat Berlage atas desain yang dibuat Hulswit. Ternyata Berlage menolaknya. Kemudian Huslwit membuat desain kedua lalu dikirim lagi ke Kantor Pusat di Belanda. Lagi lagi, Berlage kembali dimintai nasihat. Berlage tidak setuju. Lantas, Berlage membuat beberapa perubahan besar atas design Hulswit.
Salah satu upayanya adalah membeli dan meruntuhkan bangunan di sebelahnya agar kantor Algemeene bisa diperluas dan desain fasad dibuat simetris. Terjadi pertentangan antara Berlage dan Hulswit. Hulswit tidak setuju dengan perubahan Berlage dan tidak ingin membuat gambar baru.
Karena itu, Hulswit meninggalkan Surabaya dan pergi ke Batavia. Maka selanjutnya Berlage menjadi perancang gedung Algemeene di Surabaya.
"Sejauh mana desain 'Berlage', atau elemen mana yang tersisa dari desain Hulswit, saya belum belum tahu. Yang pasti penambahan patung Singa bersayap karya Da Costa dan keramik lukis karya Jan Toorop adalah gagasan Berlage", jelas Petra.
Di Belanda, karya design Berlage setelah Surabaya adalah gedung Bursa Efek, Beurs van Berlage di kota Amsterdam. Ini sepenuhnya karya Berlage.
Sementara menurut Paulin KM Van Roosmalen dalam jurnal ilmiahnya "Journal for Southeast Asian Architectur (2003) bahwa Hulswit membuat design dengan style Eropa. Design ini yang membuat Berlage tidak setuju. Ketidak setujuan itu diwujudkan dengan berkirim surat ke Dewan Direksi.
" Mungkin ada alasan bagus untuk ini (gaya Eropa), dan jika demikian saya akan senang mendengarnya. Tetapi saya tidak dapat melakukan selain memberikan penilaian (kritik) terhadap arsitektur Eropa semacam ini", kata Berlage sebagaimana ditulis oleh Roosmalen dalam tulisan ilmiahnya Journal for Southeast Asian Architectur (2003).
Di antara Dewan Direksi ini diduga ada Piere Theodore Von Hemert, karena dialah yang selanjutnya memegang jabatan untuk kantor baru di Hindia Belanda, khususnya di Surabaya. Apakah Piere Theodore Von Hemert, yang makamnya ada di Peneleh, pernah bertemu dengan Berlage? (nng/pul)
Mengasumsikan Demokrasi di Indonesia
Abad.id - Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Awalnya, tujuan demokrasi itu bagus berangkat dari pemikiran Vox Populi Vox Dei atau dalam bahasa nasional artinya Suara Rakyat Suara Tuhan. Dalam praktiknya, tidak selalu seindah angan-angan, pada kenyataannya justru rakyat lah yang "harus" mengikuti sang penguasa yang seolah-olah melebihi dari arti Tuhan.
Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan kebijakan.
Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara.
Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki(gerombolan).
Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Teori sih ideal...praktiknya, ASUdahlah!
Dan demokrasi di Indonesia nampaknya hanya dilihat secara arti dari demos dan kratosnya (pemerintahan dari rakyat), bukan pada nilai-nilai implementatif pada sektor kebutuhan masyarakat atas makna demokrasi itu sendiri.
Karena jika ditafsir beneran, jadi berdiksi "Demokrasi Wani Piro."
Ini terjadi karena high cost politik atau tingginya biaya politik masih menyuburkan praktek paternalistik antara politisi dengan pengusaha. Itu tak bisa dipungkiri. Bagaimana tidak, untuk menjadi pejabat publik disini memerlukan ongkos politik yang tidak bisa dibilang sedikit. Kalah menang tetep berbiaya mahal.
Flash back saja, karena Indonesia pernah mengalami beberapa bentuk demokrasi. Pertama, demokrasi terpimpin di Orde Lama, wasitnya tunggal. Pemimpin besar revolusi yang tidak pernah dipilih langsung dalam pemilu. Disebut juga sebagai Demokrasi Terpimpin. Lalu dalam masa Orde Baru, kita menjalankan demokrasi seolah-olah alias pseudo demokrasi yang sering kita kenal sebagai Demokrasi Pancasila yang pada praktiknya menggunakan DPR dan MPR (hanya) menjadi stempel kekuasan presiden. Dan dua-duanya adalah pengalaman buruk dimasa lalu.
Dimasa reformasi ini, secara formal dan praktik kita memang lebih baik. Presiden dipilih langsung. Tapi kita mafhum bahwa pemilu ataupun pilkada lebih banyak dimenangkan oleh uang. Artinya, pemilik modal (cukong) akan lebih menentukan hasil pemilu. Itu faktanya...
Saat ini mungkin kita sangat jengkel pada presiden terpilih yang ditetapkan pengumumannya tengah malam disaat orang-orang tidur. Tapi masalahnya bukan sekadar pada presiden. Pemerintahan bisa saja berganti-ganti setiap pemilu. Tapi jika uang yang punya kuasa dalam demokrasi, rusaklah esensi demokrasi itu sendiri, karena yang didengar adalah aspirasi para cukong, bukan aspirasi rakyat Indonesia.
Jika uang yang menang, jadi dimana nilai lebih baiknya?
Sudah gitu hasilnya asal jadi ajah, asal populer, wong parpol itu organisasi miskin aktor, sifat dan tabiatnya berkhianat; mengajak orang ikut bela, ikut milih, persis seperti makelar di terminal yang teriak-teriak Yogya...Yogya...tapi gak ikutan berangkat ke Yogya. Lalu, saat menang, kelangsungan hidup parpol-lah pihak pertama yang kudu dipikirkan. Rakyat? AKURAMIKIR....rakyat yang memilih pun dikhianati, dan dilacurkan amanahnya. Begini masih percaya bahwa pemerintahan (dari tingkat lurah/kades, camat, bupati/walikota, gubernur, hingga presiden) akan mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri, kelompok dan cukong ?
Maafkan saya karena termasuk orang yang skeptis melihat kekuasaan digunakan untuk kebaikan rakyat. Bagi saya, kekuasaan punya motivasi yang jelas yaitu uang, dan sebaliknya; hanya dengan uang seseorang benar-benar bisa berkuasa.
Karena demokrasi liberal selalu memunculkan aktor yang tidak punya narasi, visi misi yang jelas, gak ada konteks dan tujuan ideal kecuali hanya retorika alias OMDO, alias nggedabrus. Ya gitu deh jika demokrasinya demokrasi JUDI, demokrasi WANI PIRO... Makanya, karena tujuan itu antara politisi dan cukong bersimbiosis agar saling menguntungkan. Saat menang dan berkuasa, yang terpikir pertama kalinya adalah mengembalikan sejumlah modal dan hutang budi tersebut, dan akhirnya korupsi.
Jadi, orang-orang itu masuk politik buat apa sih sebenarnya? Jika kepentingan rakyat kecil bukan jantung dari perjuangan, mending bikin klub dansa aja deh, ngabis-ngabisin APBN saja. Rakyat yang disuruh bayar tapi bikin partai yang dipikirin gimana caranya menyelamatkan cash flow dirinya dan gerombolannya.
Seharusnya, saat kekuasaan diperebutkan dan dimenangkan, maka martabat manusia yang harus lebih didahulukan. Artinya kita bicara tentang mengentaskan kemiskinan, bicara pendidikan dan kesehatan murah dan memberi perlindungan, memajukan kesejahteraan umum, harkat serta martabat manusia yang didahulukan.
Pada titik ini saya berharap kita sadar sepenuhnya, bahwa ada yang keliru dalam sistem pemilu kita. Sudah saatnya untuk kembali pada tatanan adiluhung bangsa Indonesia yakni MUSYAWARAH dan MUFAKAT.
Jika pun terpaksa (yang terburuk); memilih tetap berdemokrasi, misal tak bisa lagi kembali ke musyawarah dan mufakat, setidaknya perlu revisi sistem pemilu sesegera mungkin. Sistem proporsional terbuka selama ini membuat yang terpilih tidak berakar di konstituennya. Harus segera diubah jadi sistem distrik. Sungguhpun berasal dari partai, dia adalah wakil distriknya.
Dampaknya, agar tak ada politikus karbitan yang didrop dari pusat. Tidak bisa semau-maunya pindah dapil dengan mengandalkan suara partai. Politikus harus membangun reputasi pribadi. Jadi orang akan tahu siapa dia dan pemikirannya.
Tapi diatas semuanya, sesungguhnya demokrasi model apapun yang dipilih dan sistem pemilunya, apakah proporsional terbuka atau proporsional tertutup (model Orba) atau sistem distrik, TIDAK AKAN menyelesaikan persoalan pemerintahan selama sistem ketatanegaraan dalam UUD 45 amandemen tidak dibenahi dulu.(mda)
Penulis : Malika D. Ana
Penulis : Pulung Ciptoaji
Mojokerto, Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pernah tinggal dan bersekolah di kota Mojokerto. Soekarno pernah bersekolah di Inlandsche School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro), sebuah julukan bagi sekolah anak pribumi, yang kini menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Kota Mojokerto.
Berdirinya sekolah ongo loro itu tidak lebih dari program politik etis pemerinta Hindia Belanda terhadap bangsa jajahan. Sejak memasuki tahun 1900, banyak berdiri sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi anak anak yang tinggal di tanah jajahan. Namun sekolah tersebut dibangun tidak untuk mencerdaskan anak anak jajahan. Hanya sekedar punya pengetahuan dan tidak butuh huruf. Anak-anak pribumi itu digolongkan dalam sekolah khusus School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro). Untuk anak-anak yang masih memiliki darah priyayi dan indo keturunan masih bisa melanjutkan ke jenjang lenih tinggi. Aturan itu tentu membuat nasib mujur bagi Kusno yang bisa mengenyam sekolah pribumi sekaligus bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi.
Dalam catatan sejarah, Kusno panggilan kecil Sukarno pernah sekolah di sekolah rakyat ongko loro dan lulus tahun 1911. Saat itu Raden Sukemi ayah Kandung Sukarno tengah menjadi kepala sekolah. Tidak dijelaskan dimana keluarga khusno tinggal selama di Kota Mojokerto. Sebab sebagai guru sekolah rakyat, Raden Sukemi selalu berpindah kota. Raden Sukemi pernah mengajar di Pulau Bali, mengajar di Surabaya, dan pindah lagi ke Kota Mojokerto. Hingga pada akhirnya Raden Sukemi pindah ke Tulungaggung hingga pensiun menjadi guru rakyat.
Menurut Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik, bahwa Kusno kecil mengawali sekolah mulai kelas 2 hingga kelas 4. Khusno kecil juga harus belajar tanpa didampingi orang tua Raden Sukemi. Sebab, meskipun berstatus sebagai kepala sekolah School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro) Mojoketo, Raden Sukemi juga masih harus merangkap jabatan sebagai kepala sekolah di Sidoarjo. Dua kota ini memang sangat dekat, namun sangat melelahkan bagi Raden Sukemi yang menjabat menjadi kepala sekolah di dua sekolah sekaligus.
Selama tiga tahun itu, Kusno dikenal anak yang patuh terhadap guru serta menunjukan sifat istimewa. Diantara kawan sepermainan, Kusno dikenal cepat menguasai alat baru. Kusno paling tidak suka sepak bola, namun sangat pandai bermain kasti. Untuk pelajaran kesenian, Kusno kecil menguasai alat gamelan dan tetembangan jawa. Belum ada tumbuh jiwa nasionalisme saat usia kecil itu. Rasa nasionalisme dirasakan Kusno saat kelas 5. Saat Kusno dipindah sekolah ke ELS atau setingkat SMP masih di Kota Mojokerto.
"Di sekolah rakyat Ongko Loro ini Kusno belajar sekaligus bermain, maka itulah yang membentuk karakter Sukarno hingga masa dewasanya," kata Endang
Raden Sukemi harus menjelaskan kepada Kusno kecil tentang alasan harus pindah ke ELS. Pertama, bahwa jika ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi harus mendapatkan pendidikan setara dengan orang Belanda. Kusno harus mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun menjadi warga jajahan. Kedudukan status sebagai keluarga priyayi tentu membantu Kusno untuk bisa mendapatkan sekolah setara dengan anak anak golongan indo keturunan. Meskipun pada akhirnya, para priyayi dan indo keturunan itu hanya akan bisa bekerja sebagai pegawai rendahan.
Saat itu tengah tahun 1911, Raden Sukemi mengajak Sukarno ke Europesche Lagere School atau ELS untuk mendaftar. Sebagai kepala sekolah rakyat, nama Raden Sukemi cukup dikenal di kalangan para pendidik di Mojokerto. Namun bukan berarti urusan mendaftarkan Kusno bisa lebih mudah. Raden Sukemi harus menerima banyak persayaratan yang diskriminasi sebagai bangsa pribumi. Salah satunya tidak ada aturan tinggal kelas bagi pribumi di ELS jika tidak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pasti harus keluar. Syarat lain Bahasa Belanda harus dikuasai Kusno. Sebab di ELS ini semua mengantar pelajaran menggunakan Bahasa Belanda. Kemudian untuk sekolah di ELS tidak gratis bagi warga pribumi. Serta harus ada penjamin dari dari warga eropa bagi warga pribumi yang menitipkan sekolah di ELS.
Berbeda dengan sekolah Ongko loro yang siswanya kaum pribumi, jumlah kelas di ELS sangat sedikit. Untuk kelas 1 di ELS hanya menampung 2 kelas atau sekitar 40 siswa. Jumlah sedikit sangat beralasan, sebab pada masa itu memang tidak banyak anak priyayi dan indo keturunan yang tinggal di sekitar Mojokerto. Serta aturan ketat itu membuat banyak priyayi tidak menyekolahkan anaknya di ELS dan memilih melanjutkan ke pondok pesantren setelah lulus dari sekolah ongko loro.
Sementara itu bagi Kusno kecil, persyaratan itu dinilai sangat diskriminasi. Demi mewujudkan cita-cita orangtuanya, sejak hari pertama masuk sekolah di ELS yang saat ini masih menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto itu, Kusno belajar giat terutama Bahasa Belanda. Khusno harus les prifat Bahasa Belanda selama 3 bulan dengan biaya yang tidak murah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini, bisa mengantarkan Kusno melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Surabaya dan Bandung. (pul)
abad.id-Kota Surabaya semakin metropolis, bahkan kosmopolis karena sudah menjadi tempat hunian warga manca negara. Dengan semakin beragamnya komunitas manca dan nusantara di Surabaya, maka akan bijak bila jati diri kota bisa tetap terjaga dan tidak punah.
Maka perlu ada upaya pelestarian kearifan lokal dan jejak sejarahnya sebagai bekal agar perkembangan dan pertumbuhannya tidak lepas dari akarnya. Akar suatu daerah, bisa berupa benda (artefak) dan nilai nilai (values).
Surabaya masih memiliki akar-akar itu. Tapi semua tergantung pada warganya, apakah mereka mau merawat, memupuk dan menyirami agar tetap dan bisa tumbuh menjadi pohon yang tak lepas dari akarnya.
Tim Begandring melakukan penelusuran data prasasti Kamalagyan pada 2021. Foto dok begandring
Dalam bahasa Jawa sendiri ada ungkapan yang berbunyi "kacang ora ninggal lanjaran", yang berarti kebiasaan anak selalu meniru dari orang tuanya. Ada identitas atau ciri dari tumbuhnya seseorang dan suatu daerah dari pendahulunya. Pun demikian dengan kota Surabaya, bahwa ada ciri dan sifat yang dimiliki Surabaya meski Surabaya Berkembang menjadi kota yang besar dan kosmopolis.
Kita tau bahwa sifat Surabaya itu "berani", sebagaimana sesanti Surabaya sedari dulu. Yaitu Sura ing Baya. Sura ing Baya berarti berani menghadapi bahaya atau tantangan.
Sekarang, di era moderen, pemerintah kota Surabaya pun menggunakan jargon "Surabaya Wani". Wani adalah nilai dasar, yang secara natural dan kultural, telah dimiliki oleh rakyat Surabaya dari zaman ke zaman.
Surabaya lahir dengan membawa sifat berani. Surabaya lahir dari lingkungan yang dihuni oleh orang orang yang berani atau lazim disebut pendekar. Umumnya pendekar telah hidup tidak jauh dari aliran sungai. Karena sungai, secara historis, menjadi tumpuan hidup suatu peradaban.
Begitu pula dengan Surabaya, yang telah menjadi wadah suatu peradaban. Dalam prasasti Canggu (1358) sudah disebutkan bahwa Curabhaya adalah salah satu desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang letaknya di hilir sungai.
Semakin Melek Sejarah
Surabaya boleh semakin moderen, tapi jangan sampai lupa akar dan bahkan tercabut dari akarnya. Ini semua tergantung dari warganya.
Untung, warga kota Surabaya semakin hari semakin melek sejarah. Ini bisa dibuktikan dengan adanya jalur akademik yang membuka jurusan jurusan ilmu sejarah. Di Universitas terkemuka seperti Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) adalah contohnya.
Belum lagi warga, yang secara mandiri mau belajar sejarah. Adalah komunitas sejarah yang semakin banyak jumlahnya. Mereka secara mandiri berburu data dan sumber sumber sejarah untuk memperkaya pemahaman mereka di bidang sejarah. Mereka menjadi praktisi dan pegiat pegiat di bidang kesejarahan. Bahkan mereka terlihat bagai sejarawan karena wawasan kesejarahannya.
Ketika Begandring menyampaikan nota perubahan hari jadi ke wakil walikota Armuji pada 2021. Foto dok begadring
Lainnya adalah penikmat sejarah, artefak, gedung gedung dan tempat tempat yang menyimpan jejak sejarah. Itu semua menjadi latar (background) untuk dunia fotografi yang instagramable untuk dinikmati. Setting itu menjadi identitas lokal ketika karya fotografi itu menembus batas ruang dan waktu.
Ringkasnya, mereka semakin pintar dan paham sejarah daerahnya. Kemudahan mendapatkan sumber sumber mengasah rasa keingin tahuan mereka, yang menjadi salah satu dari 18 nilai pendidikan karakter nasional.
Apalagi jika ada kelompok atau komunitas yang memang benar benar fokus membidangi sejarah. Mereka tentu akan mengawal lestarinya nilai nilai sejarah itu melalui kegiatan kegiatan yang mereka kreasi dengan tujuan edukasi.
Ketika mereka menemukan temuan temuan yang mutakhir dari kajian sejarah yang telah ada sebelumnya, maka bukan tidak mungkin perlu ada kajian kajian baru yang mengikuti perkembangan perkembangan perspektif (Adrian Perkasa, kandidat doktor di Universitas Leiden, Belanda).
Ternyata sejarah lahirnya kota Surabaya dan sekaligus Hari Jadi Kota Surabaya yang jatuh pada 31 Mei 1293 menjadi pertanyaan banyak pihak, seiring dengan adanya temuan temuan baru.
"Jadi penulisan sejarah, yang merupakan muara dari kajian atau penelitian, ibarat tanda koma (,) bukan (.) kalo dalam sebuah kalimat..', tambah Adrian Perkasa yang juga sejarawan Universitas Airlangga.
Pendapat Sejarawan dan intelektual Tentang Sejarah Hari Jadi Surabaya.
Adrian Perkasa, sejarawan Universitas Airlangga, secara lengkap mengatakan bahwa sebaiknya memang kajian sejarah harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan perspektif maupun temuan-temuan termutakhir. Jadi penulisan sejarah, yang merupakan muara dari kajian atau penelitian, ibarat tanda koma (,) bukan (.) kalo dalam sebuah kalimat.
Buku Hari Jadi Kota Surabaya yang memuat hasil penelitian Tim Peneliti Hari Jadi Surabaya. Foto dok begandring
Prof. Purnawan Basundoro, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur mengatakan bahwa Surabaya adalah kota yang sangat tua. Memiliki perjalanan sejarah panjang, namun belum banyak informasi atau sumber sejarah tertulis yang ditemukan, utamanya untuk periode pra Islam. Akibatnya, masyarakat menggunakan imajinasinya sendiri untuk menebak-nebak tentang sejarah masa lalu tersebut. Ini adalah tantangan bagi sejarawan dan penggiat sejarah untuk menemukan sumber-sumber sejarah tertulis yang lebih valid, yang bisa dijadikan bahan untuk menarasikan ulang sejarah Kota Surabaya.
A Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Surabaya dan Tokoh Kebudayaan Kota Surabaya berpendapat bahwa penulisan tentang hubungan Hujung Galuh dan Surabaya, dimana Hujung Galuh dianggap sebagai cikal bakal Surabaya oleh tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya, yang melakukan penelusuran dan penelitian dalam kurun waktu 1973-1975, adalah hasil dari penelitian yang kurang memiliki referensi masa lalu (sejarah) yang cukup. Apalagi penelitian itu mendasarkan pada nama jalan Galuhan yang dianggap sebagai toponimi Hujung Galuh.
Ia menambahkan bahwa sekalipun salah, keberadaanya telah mengilhami banyak hal yang bernilai positif. Sebagai warga yang baik, semua wajib menghormati karya mereka karena telah memiliki kesadaran awal dan spirit untuk mengisi ruang kosong sejarah surabaya yang lebih positif dalam rangka penyelamatan.
"Soal ternyata yang ditulis dinilai kurang tepat dan Komunitas Begandring Soerabaia menemukan bukti yang lebih kuat, saya rasa semua pihak tidak akan keberatan bila sejarah Surabaya terkait dengan Hujung Galuh dikoreksi, dan ini tradisi yang baik", harap Thony untuk mewujudkan rasa saling terbuka dan berbenah untuk lebih baik.
Menurut Thony, Begandring Soerabaia melalui karya film Koesno yang digarap secara kolaboratif dengan pihak akademik, media dan pemerintah dalam rangka meluruskan sejarah tempat lahirnya Bung Karno adalah metode yang baik dalam upaya pelurusan sejarah. Film itu dibuat berdasarkan kajian dengan sumber sumber sejarah yang valid.
Sementara itu, seorang epigraf Abimardha, dari Universitas Airlangga pernah dengan tegas mengatakan terkait dengan prasasti Kamalagyan yang menuliskan Hujunggaluh dan atas pembacannya bahwa letak Hujung Galuh tidak di Surabaya.
"Untuk permasalahan Hari Jadi Kota Surabaya perlu kajian ulang, termasuk toponimi Pacekan yang menarik disimak.", papar Abimardha.
Selanjutnya ia berharap agar kebenaran sejarah hari jadi kota Surabaya terus disuarakan agar generasi muda bisa benar, benar mengenal sejarah yang sebenarnya.
Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe (2003), sebenarnya sudah mempertanyakan sejarah Hari Jadi Kota Surabaya sebagaimana tertulis dalam salah satu bab di buku itu "Sudah Benarkah Tanggal Hari Jadi Kota Surabaya?".
Baru baru ini ketika komunitas Begandring Soerabaia menemukan data dan fakta yang mutakhir, Dukut berani menyatakan kembali keraguannya mengenai Hari Jadi Kota Surabaya tertanggal 31 Mei 1293.
Menurutnya para peneliti, yang dibentuk walikotamadya Surabaya kala itu (1973), dalam menjalankan kerjanya telah memiliki orientasi pemikiran (framing) yang mengkaitkan Hari Jadi Kota Surabaya dengan nilai kepahlawanan 10 November 1945.
Karena framing itulah maka dicarilah peristiwa yang mengandung nilai nilai kepahlawanan sesuai dengan peristiwa 10 November 1945.
Nilai kepahlawanan itu memang ada pada peristiwa kemenangan Raden Wijaya melawan Mongol pada 31 Mei 1293, sebagaimana ditulis dalam jurnal Archipelago Research In Asia yang berjudul "Mongol Fleet on the Way to Java: First Archeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia" yang ditulis oleh Hsiao-Chun Hung, Hartatik, Tisna Arif Ma'rifat dan Truman Simanjuntak.
Tapi, laporan itu tidak menyebut bahwa Monggol meninggalkan Jawa melalui Surabaya pada 31 Mei 1293 sebagaimana ditulis dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya (Humas Pemkot:1975). Apalagi buku itu menuliskan bahwa keluarnya Monggol melalui kali Jagir, yang ada di wilayah Kota Surabaya. Dasar ini yang kemudian dipakai oleh tim peneliti menggunakan 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Padahal ada kontradiksi informasi dari kedua sumber itu.
Kontradiksi itu semakin dipertajam oleh penulisan dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya bahwa Mongol meninggalkan Jawa melalui Kali Jagir. Secara alami, menurut peta Kota Surabaya tahun 1706 yang dikeluarkan "Grote Atlas van de Verenigging Ost Indisch Compagnie Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company", kali Jagir belum ada. Bagaimana bisa dikatakan bahwa Mongol keluar dari Jawa dengan malalui kali Jagir pada 1293?
"Masalahnya kota ini sudah terlanjur dikenal sebagai Kota Pahlawan. Seandainya saja tidak pernah terjadi peristiwa 10 November 1945, dan Surabaya sudah dikenal sebagai kota pelabuhan dengan Curabhaya nya sebagaimana tersebut pada prasasti Canggu ( 7 Juli 1358), mungkin arah pencarian atau framing akan berbeda", kata Dukut Imam Widodo.
Pencarian Hari Jadi Kota Surabaya hendaknya berdasarkan fakta fakta dan temuan temuan historis yang ada dengan didukung literasi yang cukup. Bukan dicari berdasarkan kepentingan dan framing, meski framing itu adalah baik, misalnya dicari dan disesuaikan dengan makna peristiwa kepahlawanan pada 10 November 1945.
Jika sudah ada framing seperti itu, maka akan mengesampingkan temuan historis yang ada.
Framing dalam penentuan Hari Jadi ini diperkuat dengan kesaksian wartawan senior Yousri Raja Agam yang mengatakan bahwa bulan Mei pada penanggalan 31 Mei 1293 dipilih agar tidak berdekatan dengan peringatan hari hari besar lainnya yang sudah ada seperti bulan Agustus (17 Agustus) dan November (10 November). Yousri Raja Agam menyampaikan ini dalam sebuah diskusi publik yang bertema "Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya" pada 31 Mei 2021. (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Ada yang menarik dari gedung Singa, yang beralamat di Jalan Jembatan Merah 19-23 Surabaya. Umumnya, untuk menandai proyek pembangunan sebuah gedung, di sana dipasang sebuah prasasti yang menyebut nama arsitek atau kontraktor pembangunan.
Diketahui bahwa nama arsitek Gedung Singa adalah HP Berlage. Tapi namanya tidak ada pada batu prasasti di gedung Singa, yang nama resminya adalah Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam,
Disana memang ada sebuah prasasti. Tapi yang terukir bukan nama arsitek (Berlage) dan kontraktor. Tapi Jan Von Hemert. Batu prasasti itu terpasang pada dinding depan bagian bawah, dekat pintu masuk utama. Bunyinya "De Eerste Steen is Gelegd op 21 Juli 1901 door Jan Von Hermet", yang artinya Peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hermet. Siapakah Jan Von Hermet?
Dari hasil pencarian dan penelusuran bersama antara Begandring Soerabaia dan Max Meijer (konsultan permuseuman dan heritsge di Belanda) diketahui bahwa Jan von Hemert adalah putra pasangan Pierre Theodore von Hemert (Amsterdam, 25 April 1865) dan Geertruide Johanna Zilver Rupe (Surabaya, 22 Januari 1871). Jan von Hemert sendiri lahir di Surabaya, 19 September 1893.
Lantas siapakah Piere Theodore Von Hemert? P. Th. Von Hemert adalah Kepala Perwakilan perusahaan asuransi De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau yang lebih populer disebut Gedung Singa.
Menurut Max dari hasil penelusuran nya di sumber arsip Belanda, delpher.nl, bahwa P. Th. Von Hemert adalah direktur atau pejabat perwakilan tertinggi perusahaan asuransi De Algemene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente di Hindia Belanda. Ketika ia mulai membangun kantor perwakilan pusat di Hindia Belanda, tepatnya di Surabaya pada tahun 1901, peletakan Batu pertama sebagai peresmian mulai dibangunnya kantor baru dilakukan oleh anaknya yang bernama Jan Von Hemert.
Ketika peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901, usia Jan Von Hemert masih 8 tahun. Ia lahir pada 19 September 1893. Selanjutnya ketika Jan Von Hemert berusia 18 tahun, bapaknya, Piere Theodore Von Hemert meninggal, tepatnya pada 10 April 1911 dan dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh.
Sebagai pejabat dari perusahaan yang terkenal di Hindia Belanda, kematian Piere Theodore Von Hemert meninggalkan luka mendalam bagi mitra, rekan, keluarga dan handai tolan. Banyak dari mereka yang menyampaikan rasa bela sungkawa. Selanjutnya, sebagai ucapan terima kasih, pihak keluarga mengiklankan di surat kabar baik yang terbit di Hindia Belanda maupun di Belanda.
Semasa hidupnya sebagai direktur perusahaan asuransi yang terkenal, ia tidak berpuas diri dengan pencapaian perusahaan. Hemert terus aktif mengiklankan perusahaannya melalui iklan iklan surat kabar agar semakin banyak nasabah dan klien. Dari arsip delpher.nl dapat diketahui bahwa perusahaan itu mengiklankan jasanya di koran dua atau tiga kali dalam sebulan. Hemert juga rutin mempublikasikan neraca perusahaan.
Dari hasil penelusuran komunitas Indonesia Graveyard, dr. Winanda Denis Kurniawan, diketahui dimanakah keberadaan makam Piere Theodore Von Hemert, direktur Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam di Surabaya. Bahwa ternyata makam direktur perusahaan asuransi yang berkantor di Gedung Singa itu ada di bagian selatan area makam Belanda Peneleh dengan nomor B. 3015.
Ketika Begandring Soerabaia dan Indonesia Graveyard mencari keberadaan makam P. Th. Von Hemert dan berhasil menemukannya, sayang sekali, makamnya sudah kehilangan prasasti, yang umumnya tertulis riwayat hidup orang yang mati. Makam pembesar perusahaan asuransi ini terlihat sederhana. Tidak ada bekas cungkup, yang umumnya satu paket dengan pagar. Makam hanya dibungkus Batu marmer putih. Itupun juga sudah hilang semua. Ada bekas pecahan Batu marmer di atas makam. Kecuali dua lembar marmer di bagian depan makam yang bertuliskan nomor registrasi B. 3015 dengan jelas. Dari nomor registrasi itulah keberadaan makam direktur perusahaan asuransi De Algemeene Maastchsppij dapat ditemukan.
Menurut petugas makam, Irul, bahwa kerusakan pada makam itu terjadi akibat penjarahan pada beberapa puluh tahun yang lalu, termasuk kerusakan yang terjadi di makam Piere Theodore Von Hemert.
"Saya ini penerus dari kakek dan bapak. Kakek saya, ketika masih hidup pernah menceritakan tentang makam ini. Salah satunya adalah tentang penjararahan yang pernah terjadi dulu", jelas Irul mengenang kakeknya ketika masih berdinas di makan Belanda Peneleh.
Dengan ketemunya makam direktur perusahaan asuransi Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Thdodore Von Hemert, terpecahkan juga nama Jan Von Hemert yang tertulis pada prasasti di Gedung Singa yang didesign oleh HP Berlage.
Kritik Arsitektur
Diduga ada kaitan erat antara arsitek Berlage dengan direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Theodore Von Hemert. Bagaimana kaitan itu?
Piere Theodore Von Hemert, yang menjabat sebagai direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam untuk Hindia Belanda, diduga salah satu dari direktur yang kemudian menjabat sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan asuransi di Hindia Belanda. Perusahaan ini sendiri sudah adai sejak 1880.
Menurut Journal for Southeast Asian Architectur (2003) yang ditulis oleh Paulin KM van Roosmalen bahwa ketika aktivitas komersial dimulai pada awal abad ke-20, permintaan akan bangunan perusahaan yang baru dan berkarakteristik meningkat pesat.
Salah satu desain pertama untuk bangunan perusahaan, yang mendapat pujian sebagai 'gaya arsitektur yang pas', adalah gedung kantor untuk perusahaan asuransi De Algemeene di Surabaya. Gedung, yang bisa dilihat sekarang, adalah hasil penyempurnaan oleh Berlage.
Petra Timmer, seorang peneliti asal Belanda yang tengah mempersiapkan peringatan 100 Berlage di Hindia Belanda, memberi penjelasan tentang cerita mengapa Berlage bisa ditunjuk untuk mendesign gedung untuk kantor perusahaan asuransi di Surabaya, Hindia Belanda.
Petra bercerita bahwa Hulswit (arsitek Belanda yang bekerja dan tinggal di Hindia Belanda), memang ditunjuk untuk membuat desain pertama. Kemudian design itu dikirim ke kantor pusat De Algemeene di Belanda. Saat itu Berlage sendiri memang sedang ditugaskan untuk mendesain kantor pusat De Algemeene di Amsterdam, Beurs van Berlage.
Kemudian pihak direksi meminta nasihat Berlage atas desain yang dibuat Hulswit. Ternyata Berlage menolaknya. Kemudian Huslwit membuat desain kedua lalu dikirim lagi ke Kantor Pusat di Belanda. Lagi lagi, Berlage kembali dimintai nasihat. Berlage tidak setuju. Lantas, Berlage membuat beberapa perubahan besar atas design Hulswit.
Salah satu upayanya adalah membeli dan meruntuhkan bangunan di sebelahnya agar kantor Algemeene bisa diperluas dan desain fasad dibuat simetris. Terjadi pertentangan antara Berlage dan Hulswit. Hulswit tidak setuju dengan perubahan Berlage dan tidak ingin membuat gambar baru.
Karena itu, Hulswit meninggalkan Surabaya dan pergi ke Batavia. Maka selanjutnya Berlage menjadi perancang gedung Algemeene di Surabaya.
"Sejauh mana desain 'Berlage', atau elemen mana yang tersisa dari desain Hulswit, saya belum belum tahu. Yang pasti penambahan patung Singa bersayap karya Da Costa dan keramik lukis karya Jan Toorop adalah gagasan Berlage", jelas Petra.
Di Belanda, karya design Berlage setelah Surabaya adalah gedung Bursa Efek, Beurs van Berlage di kota Amsterdam. Ini sepenuhnya karya Berlage.
Sementara menurut Paulin KM Van Roosmalen dalam jurnal ilmiahnya "Journal for Southeast Asian Architectur (2003) bahwa Hulswit membuat design dengan style Eropa. Design ini yang membuat Berlage tidak setuju. Ketidak setujuan itu diwujudkan dengan berkirim surat ke Dewan Direksi.
" Mungkin ada alasan bagus untuk ini (gaya Eropa), dan jika demikian saya akan senang mendengarnya. Tetapi saya tidak dapat melakukan selain memberikan penilaian (kritik) terhadap arsitektur Eropa semacam ini", kata Berlage sebagaimana ditulis oleh Roosmalen dalam tulisan ilmiahnya Journal for Southeast Asian Architectur (2003).
Di antara Dewan Direksi ini diduga ada Piere Theodore Von Hemert, karena dialah yang selanjutnya memegang jabatan untuk kantor baru di Hindia Belanda, khususnya di Surabaya. Apakah Piere Theodore Von Hemert, yang makamnya ada di Peneleh, pernah bertemu dengan Berlage? (nng/pul)
Mengasumsikan Demokrasi di Indonesia
Abad.id - Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Awalnya, tujuan demokrasi itu bagus berangkat dari pemikiran Vox Populi Vox Dei atau dalam bahasa nasional artinya Suara Rakyat Suara Tuhan. Dalam praktiknya, tidak selalu seindah angan-angan, pada kenyataannya justru rakyat lah yang "harus" mengikuti sang penguasa yang seolah-olah melebihi dari arti Tuhan.
Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan kebijakan.
Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara.
Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki(gerombolan).
Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Teori sih ideal...praktiknya, ASUdahlah!
Dan demokrasi di Indonesia nampaknya hanya dilihat secara arti dari demos dan kratosnya (pemerintahan dari rakyat), bukan pada nilai-nilai implementatif pada sektor kebutuhan masyarakat atas makna demokrasi itu sendiri.
Karena jika ditafsir beneran, jadi berdiksi "Demokrasi Wani Piro."
Ini terjadi karena high cost politik atau tingginya biaya politik masih menyuburkan praktek paternalistik antara politisi dengan pengusaha. Itu tak bisa dipungkiri. Bagaimana tidak, untuk menjadi pejabat publik disini memerlukan ongkos politik yang tidak bisa dibilang sedikit. Kalah menang tetep berbiaya mahal.
Flash back saja, karena Indonesia pernah mengalami beberapa bentuk demokrasi. Pertama, demokrasi terpimpin di Orde Lama, wasitnya tunggal. Pemimpin besar revolusi yang tidak pernah dipilih langsung dalam pemilu. Disebut juga sebagai Demokrasi Terpimpin. Lalu dalam masa Orde Baru, kita menjalankan demokrasi seolah-olah alias pseudo demokrasi yang sering kita kenal sebagai Demokrasi Pancasila yang pada praktiknya menggunakan DPR dan MPR (hanya) menjadi stempel kekuasan presiden. Dan dua-duanya adalah pengalaman buruk dimasa lalu.
Dimasa reformasi ini, secara formal dan praktik kita memang lebih baik. Presiden dipilih langsung. Tapi kita mafhum bahwa pemilu ataupun pilkada lebih banyak dimenangkan oleh uang. Artinya, pemilik modal (cukong) akan lebih menentukan hasil pemilu. Itu faktanya...
Saat ini mungkin kita sangat jengkel pada presiden terpilih yang ditetapkan pengumumannya tengah malam disaat orang-orang tidur. Tapi masalahnya bukan sekadar pada presiden. Pemerintahan bisa saja berganti-ganti setiap pemilu. Tapi jika uang yang punya kuasa dalam demokrasi, rusaklah esensi demokrasi itu sendiri, karena yang didengar adalah aspirasi para cukong, bukan aspirasi rakyat Indonesia.
Jika uang yang menang, jadi dimana nilai lebih baiknya?
Sudah gitu hasilnya asal jadi ajah, asal populer, wong parpol itu organisasi miskin aktor, sifat dan tabiatnya berkhianat; mengajak orang ikut bela, ikut milih, persis seperti makelar di terminal yang teriak-teriak Yogya...Yogya...tapi gak ikutan berangkat ke Yogya. Lalu, saat menang, kelangsungan hidup parpol-lah pihak pertama yang kudu dipikirkan. Rakyat? AKURAMIKIR....rakyat yang memilih pun dikhianati, dan dilacurkan amanahnya. Begini masih percaya bahwa pemerintahan (dari tingkat lurah/kades, camat, bupati/walikota, gubernur, hingga presiden) akan mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri, kelompok dan cukong ?
Maafkan saya karena termasuk orang yang skeptis melihat kekuasaan digunakan untuk kebaikan rakyat. Bagi saya, kekuasaan punya motivasi yang jelas yaitu uang, dan sebaliknya; hanya dengan uang seseorang benar-benar bisa berkuasa.
Karena demokrasi liberal selalu memunculkan aktor yang tidak punya narasi, visi misi yang jelas, gak ada konteks dan tujuan ideal kecuali hanya retorika alias OMDO, alias nggedabrus. Ya gitu deh jika demokrasinya demokrasi JUDI, demokrasi WANI PIRO... Makanya, karena tujuan itu antara politisi dan cukong bersimbiosis agar saling menguntungkan. Saat menang dan berkuasa, yang terpikir pertama kalinya adalah mengembalikan sejumlah modal dan hutang budi tersebut, dan akhirnya korupsi.
Jadi, orang-orang itu masuk politik buat apa sih sebenarnya? Jika kepentingan rakyat kecil bukan jantung dari perjuangan, mending bikin klub dansa aja deh, ngabis-ngabisin APBN saja. Rakyat yang disuruh bayar tapi bikin partai yang dipikirin gimana caranya menyelamatkan cash flow dirinya dan gerombolannya.
Seharusnya, saat kekuasaan diperebutkan dan dimenangkan, maka martabat manusia yang harus lebih didahulukan. Artinya kita bicara tentang mengentaskan kemiskinan, bicara pendidikan dan kesehatan murah dan memberi perlindungan, memajukan kesejahteraan umum, harkat serta martabat manusia yang didahulukan.
Pada titik ini saya berharap kita sadar sepenuhnya, bahwa ada yang keliru dalam sistem pemilu kita. Sudah saatnya untuk kembali pada tatanan adiluhung bangsa Indonesia yakni MUSYAWARAH dan MUFAKAT.
Jika pun terpaksa (yang terburuk); memilih tetap berdemokrasi, misal tak bisa lagi kembali ke musyawarah dan mufakat, setidaknya perlu revisi sistem pemilu sesegera mungkin. Sistem proporsional terbuka selama ini membuat yang terpilih tidak berakar di konstituennya. Harus segera diubah jadi sistem distrik. Sungguhpun berasal dari partai, dia adalah wakil distriknya.
Dampaknya, agar tak ada politikus karbitan yang didrop dari pusat. Tidak bisa semau-maunya pindah dapil dengan mengandalkan suara partai. Politikus harus membangun reputasi pribadi. Jadi orang akan tahu siapa dia dan pemikirannya.
Tapi diatas semuanya, sesungguhnya demokrasi model apapun yang dipilih dan sistem pemilunya, apakah proporsional terbuka atau proporsional tertutup (model Orba) atau sistem distrik, TIDAK AKAN menyelesaikan persoalan pemerintahan selama sistem ketatanegaraan dalam UUD 45 amandemen tidak dibenahi dulu.(mda)
Penulis : Malika D. Ana