Abad.id - Suasana makin bising menjelang Pemilihan Presiden 2024. Suara-suara di Medsos masing-masing pendukung kandidat Capres sudah jauh dari rasional atau lebih tepatnya cenderung ke fanatisme. Setiap pendukung saling menyajikan tontonan ‘aneh bin ngawur’, sekedar untuk memenangkan hati Capres tertentu.
Mencari sosok pemimpin di jaman sekarang tidak bisa asal coblos. Seorang pemimpin haruslah memiliki ciri-ciri kepemimpinan yang bisa menyesuaikan tuntutan jaman. Dari panggung sejarah dunia kita melihat, bangsa Mongol menonjol karena adanya Jengis Khan, Yunani berkibar karena Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), Arab menonjol karena kemunculan Muhammad SAW, dan sederet panjang pemimpin dengan karakter masing-masing.
Dalam tradisi Jawa sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, dikenal pemimpin-pemimpin dalam kurun waktu tertentu yang menonjol yang tentu saja juga dengan karakter masing-masing seperti Balitung, empu Sendok, Darmawangsa Teguh, Airlangga, Empu Bharada, Jayabhaya, Kertanegara, Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Fatahilah, Ki Juru Martani, Panembahan Senopati, Sultan Agung, Mangkubumi, Diponegara, dan lain-lain.
Karakter pemimpin tersebut tentu saja berkaitan dengan situasi dan kondisi jamannya yang menuntut sikap tertentu. Setidaknya ciri pemimpin dalam budaya Jawa memiliki ciri, yakni monocentrum (tunggal), etis (baik dan buruk), pragmatis, sinkretis, dan metafisis.
Merangkum dari berbagai sumber, sosok kepemimpinan diurut berdasarkan metafisis. Selama ini metafisis selalu dikaitkan dengan hal-hal metafisik seperti wahyu, pulung, drajat, keturunan (nunggak semi), dan sebagainya.
Kemampuan memimpin bukan sekedar capability, tetapi lebih condong sebagai miracle. Karena kepemimpinan bersifat metafisis, hampir-hampir tidak ada sistem rekruitmen pemimpin yang baik di negeri ini. Sebab pemimpin yang seperti ini muncul secara sporadis dan take for granted.
Dalam serat-serat Jawa hanya dicantumkan tentang karakter ideal seorang pemimpin, tetapi tidak ditunjukan ”bagaimana karakter itu dapat diproses”. Hal ini tergambar dalam konsep “raja gung binatara”. Gambaran tentang pengalaman metafisis para calon raja diuraikan panjang lebar oleh Berg (1974) dalam bukunya penulisan sejarah jawa. Secara praktis, pandangan ini masih dianut oleh calon pemimpin-pemimpin di Jawa.
Pemimpin sekaliber Soekarno saja pernah menyebut datangnya Ratu Adil di Indonesia. Soekarno berkeliling dan menemui seorang petani desa yang sabar dan giat bekerja di tengah hidup yang serba sulit di masa penjajahan. Soekarno pun bertanya-tanya, apa yang membuat petani desa itu terus saja sabar dan tekun dalam penderitaan? Ternyata petani desa itu masih punya harapan, bahwa suatu saat nanti di bumi Indonesia akan hadir sosok pemimpin yang akan membawa Indonesia menuju kejayaan, yaitu Ratu Adil.
Sampai sekarang rakyat Indonesia masih menanti-nanti datangnya Ratu Adil. Masyarakat ada menyebutnya sebagai: Putra Batara Indra, Pemuda Gembala, Sultan Herucakra, Ratu Amisan, Satria Piningit.
Secara dramatis gambaran Ratu Adil ini pernah diramal atau dikupas dalam tulisan-tulisan leluhur bangsa Indonesia. Paling sering kita dengar ramalan Jayabaya dan Ranggawarsita.
Tujuh Satriya Piningit
Menilik dari ramalan Jayabaya, raja Kerajaan Kediri sekaligus penerus Prabu Airlangga, ramalan Jangka Jayabaya hingga kini masih sering dilestarikan para pujangga. Serat ramalan Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
Paling terkenal ramalan Jayabaya yang menyebutkan “notonagoro”. Acapkali orang menggambarkan ramalan “notonagoro” dengan nama pemimpin yang berakhiran kata no, to, na, go, dan ro. Namun bila dilihat lebih detil lagi, gambaran ini sebenarnya adalah era kepemimpinan.
Era kepemimpinan bisa jadi memiliki jenis pemimpin yang sama seperti ketika era Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keduanya memiliki tipe sama dalam latar belakang, yakni sama-sama berasal dari nama besar orangtua. Yang dimaksud orangtua bisa jadi adalah orangtuanya sendiri ataupun mertuanya, atau kedekatan yang lain. Era kepemimpinan ini bisa jadi panjang atau pendek, tergantung pada figur pemimpin tersebut, apakah sesuai dengan kehendak rakyat atau bukan, memuaskan atau tidak dan juga pergolakan politik yang ada pada saat itu. Belum lagi nama Joko Widodo (Jokowi) yang sama sekali tidak masuk dalam ramalan “notonagoro”. Dan tentu saja dilihat dari urutan “notonagoro”, jelas ramalan ini sudah batal dan terlewati.
Namun bila dilihat dari ramalan R.Ng Ronggowarsito, pujangga agung keraton Surakarta, barangkali pencarian sosok pemimpin nusantara masih berlaku. Selama 47 tahun berkarya, sejak tahun 1826 hingga 1873, Ranggawarsita telah menghasilkan tidak kurang dari 60 judul buku dengan beragam bahasan. Tulisannya meliputi falsafah, kebatinan, lakon-lakon wayang, cerita Panji, dongeng, babad, sastra, bahasa, kesusilaan, adat istiadat, pendidikan, primbon, ramalan, dan sebagainya.
Ranggawarsita meramalkan bahwa raja-raja di Jawa adalah keturunan dari Nabi Adam yang kemudian juga menurunkan dewa-dewa seperti Batara Guru dan Semar yang tampak dalam Paramayoga. Khusus Semar, dianggap sebagai salah satu tanda turunnya wahyu sehingga siapapun yang diikuti Semar akan menjadi pemimpin yang baik.
Menurut Ranggawarsito ada tujuh Satriya Piningit (sebelum munculnya Ratu Adil) yang akan muncul sebagai tokoh yang di kemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit, di antaranya Satriya Kinunjara Murwa Kuncara, Satriya Mukti Wibawa Kesandhung Kesampar, Satriya Jinumput Sumela Atur, Satriya Lelana Tapa Ngrame, Satriya Piningit Hamong Tuwuh, Satriya Boyong Pambukaning Gapura, dan Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu.
Ketujuh era tersebut hingga kini belum rampung dan terlampaui. Bila ketujuh era tersebut terlampaui, tentu bangsa Indonesia akan memasuki masa jaman Jayabaya yaitu masa keemasan dari bangsa negeri begajul menjadi negeri yang ambeg paramarta, gemah ripah loh jinawi, rakyat makmur sejahtera dan gotong royong menjadi hal yang sangat ringan.
Era Satriya Kinunjara Murwa Kuncara. Adalah tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjara), yang akan membebaskan bangsa dari belenggu keterpenjaraan dan menjadi tokoh pemimpin tersohor di seluruh jagad (Murwa Kuncara). Tokoh ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
Era Satriya Mukti Wibawa Kesandung Kesampar. Adalah tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa atau ditakuti (Wibawa), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan atau kesalahan (Kesandung Kesampar). Karena cara-caranya menggaet kekuasaan dengan melalui pengorbanan rakyat tak bersalah yang jumlahnya hingga ratusan ribu bahkan jutaan nyawa. Ksatria ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden kedua RI dan pemimpin Rezim Orba yang sangat ditakuti namun kaya raya. Berkuasa tahun 1967-1998.
Era Satriya Jinumput Sumela Atur. Adalah tokoh pemimpin yang diangkat (Jinumput) sebagai selingan perubahan setelah satria yang Kesandung Kesampar dapat dijatuhkan oleh keadaan (Sumela Atur). Orang ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie Presiden Ketiga. Berkuasa hanya satu tahun. Berkuasa tahun 1998-1999.
Era Satriya Lelana Tapa Ngrame. Tokoh pemimpin yang dahulunya atau memiliki latar belakang suka mengembara atau keliling dunia (Lelana) dan memiliki jiwa kontroversial dengan melakukan dakwah atau laku prihatin secara partisipatif dalam banyak keadaan (Tapa Ngrame). Era ini dilambangkan dengan naiknya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden yang keempat. Berkuasa tahun 1999-2000.
Era Satriya Piningit Hamong Tuwuh, yaitu tokoh pemimpin yang muncul karena jasa-jasa orangtuanya atau membawa kharisma leluhurnya (Hamong Tuwuh). Megawati menjabat presiden kelima merupakan anak Soekarno. Sedangkan SBY yang seharusnya masuk di era Satriya Boyong Pambukaning Gapuro, hal itu tidak terjadi. Pasalnya SBY menjabat presiden keenam besar atas jasa dan nama besar mertuanya. Di era kepemimpinan Satriya Piningit Hamong Tuwuh baik Megawati dan SBY memiliki jenis pemimpin yang sama, yakni Hamong Tuwuh.
Satriya Boyong Pambukaning Gapura
Memasuki era Satriya Boyong Pambukaning Gapura, adalah era ketika negeri ini dipimpin oleh seorang ksatria atau tokoh yang berpindah-pindah tempat kekuasaan dan rumah untuk membuka hal baru dengan inovasi atau apa. Dengan kata lain ini adalah the rising star, boyongan dari sana kesini dan kesini kesana, bukan seperti tentara yang tugas ke sana kemari namun karena dinamika perjalanan karirnya yang melonjak.
Tokoh seperti Jokowi bisa saja menjadi pemimpin yang mensinergikan kekuatan Satriya Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak.
Era Satriya Boyong Pambukaning Gapura memang disebut-sebut menjadi pembuka jalan bagi Satriya Piningit ketujuh atau pemimpin baru yang akan memimpin nusantara, yakni Satriya Pinandita Sinisihan Wahyu. Sehingga tugas Satriya Boyong Pambukaning Gapura sebagai “pembuka pintu” (Pambukaning Gapura) sangat berat.
Ada yang menafsirkan, bahwa di era ini dengan terbukanya pintu sekaligus terungkapnya aib seluruh bangsa. Coba sekarang pikir, aib apa saja yang tidak mulai terkuak pada bangsa ini.
Di era Jokowi, sistem pemerintahan yang berjalan dinilai kurang baik. Yang terjadi banyak disintegrasi bangsa, anarkisme, radikalisme, dan seiring prahara terus-terusan terjadi di era ini, sehingga memandulkan kebijakan yang diambil. Yang ada hanya aib, aib, dan aib yang terus dipertontonkan.
Sosok Satriya Boyong Pambukaning Gapura dalam pewayangan digambarkan seperti Sisupala, Raja Cedi. Dialah yang membuka gapura aib semua orang sampai akhirnya aib sendiripun terkuak. Dalam lakon Sesaji Rajasuya Sisupala membuka aib bahwa Pandawa adalah anak-anak tidak sah Pandudewanata. Mereka semua lahir dari kekasih gelap Kunti, istri Pandu. Dari Dewa Darma lahirlah Yudistira. Dari Dewa Bayu lahirlah Bima. Dari Dewa Indra lahirlah Arjuna.
Sisupala pula yang membongkar aib Bisma, pepunden kaum Pandawa dan Kurawa. Menurutnya Bisma alias Dewabrata tak layak dihormati oleh karena lahir dari perempuan yang dikutuk pastu oleh dewata, yaitu Dewi Gangga. Dan seluruh bayi yang keluar dari rahim Gangga bukanlah anak Prabu Santanu, suaminya. Semuanya adalah arwah-arwah kutukan dewa yang mencari pembebasan melalui jalan keluar gua garba Gangga.
Di era Sisupala ini terjadi pembongkaran aib besar-besaran. Ada aib seperti korupsi, pembohongan publik, dan berita-berita hoax. Sementara lambat laun aib Sisupala terkuak sendiri di khalayak ramai yang ternyata ibunya, Dewi Sruta, permaisuri Prabu Darmagosa, Raja Cedi, kerjaannya hanya mengintip orang mandi. Pas seorang resi mandi dia merasa ada yang mengintip. Spontan muncul kutukan si resi. Maka lahirlah Sisupala yang bermata banyak. Bayi ini akhirnya bermata normal sepasang ketika pada selamatan selapan atau 35 hari dipangku oleh Kresna.
Nah, pada Pilpres 2024 mendatang, kita bisa saja bergeser dari era Satriya Boyong Pambukaning Gapura ke era ketujuh Satriya Pinandito Sinisihan Wahyu. Di era Jokowi ini, rakyat Indonesia tetap dipimpin Satriya Boyong Pambukaning Gapura. Sebab di era ini aib-aib bangsa ini semakin terbuka lebar. Di rezim Jokowi bisa jadi pintu (aib) terbuka separuh dan ketika dilanjutkan kepemimpinan berikutnya pintu menjadi terbuka lebar. Bisa jadi pemimpin berikutnya tahun 2024, tetap akan membuka aib bangsa dan masih dalam era Satriya Boyong Pambukaning Gapura.
Yang jelas bila merujuk era Satriya Pinandita Sinisihan Wahyu, yaitu masa dimana negeri ini dipimpin oleh seorang tokoh yang memiliki penampilan atau latar belakang keagamaan (Pinandita) dan memiliki wahyu yang bisa digambarkan sebagai wahyu kekuasaan (jika raja) ataupun wahyu yang lain seperti inovasi atau penemuan tertentu, atau bisa juga hal lain yang berdekatan dengan wahyu-wahyu ketuhanan. Tokoh pemimpin ini akan senantiasa bertindak atas dasar hukum dan petunjuk Tuhan (Sinisihan Wahyu). Tapi bukan berarti dia ulama atau rohaniawan, melainkan memiliki jiwa seperti rohaniawan atau Pinandita. Di era ini, bangsa Indonesia akan mencapai jaman keemasan yang sejati.
Ramalan tokoh pemimpin nusantara (Satriya Piningit) sebelum datangnya Ratu Adil memiliki banyak kelemahan. Acapkali penggambarannya tidak detail, sehingga yang terjadi orangnya jadi presiden baru masyarakat sadar bahwa orang itu sesuai dengan tulisan para leluhur nusantara.
Namun setiap penafsiran boleh saja dilakukan selama hal itu tidak bertentangan dengan norma-norma.
Seperti pesan Prabu Jayabaya dalam tulisannya, “Jangan keliru mencari dewa carilah dewa bersenjata trisula wedha”, sebuah pesan bahwa ke depan akan banyak orang yang mengaku-aku Satriya Piningit. Caranya, dengan melakukan pencitraan sedemikian rupa agar diakui kebaikan dan kehebatannya oleh rakyat.
Yang namanya Satriya Piningit atau Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu memang benar-benar ada, tapi bukan untuk ditunggu. Dia adalah manusia nusantara, mempunyai sifat “bisa merasa” dan tahu kalau dirinya hebat. Namun kehebatannya itu tidak dipoles melalui citra dengan mengiklan-iklankan diri “merasa bisa” memperbaiki Indonesia.@nov
Dari Indonesia muncul bibit-bibit peradaban seperti Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, dan Aztek.
Abad.id - Legenda yang berkisah tentang daratan Atlantis, pertama kali diungkapkan seorang filosof Yunani bernama Plato (427-347 SM). Saat itu Plato bilang bahwa ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya. Di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera. Itu adalah kerajaan Atlantis. Demikian kata Plato.
Diceritakan Plato, “Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena. Namun di luar dugaan Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir. Tidak sampai sehari semalam Atlantis tenggelam ke dasar laut. Negara besar yang melampaui peradaban tinggi lenyap dalam semalam,” kata Plato.
Dalam legenda dikatakan kerajaan Atlantis dibangun oleh seorang dewa bernama Poseidon. Poseidon sendiri, katanya, adalah saudara dari Dewa Zues.
Dikisahkan di sebuah pulau terdapat seorang gadis muda yang kedua orang tuanya meninggal. Poseidon memperistri gadis muda itu dan melahirkan lima anak kembar. Kemudian Poseidon membagi keseluruhan pulau menjadi 10 wilayah; masing-masing diserahkan pada 10 anak untuk menguasai, dan anak sulung lelaki ditunjuk sebagai penguasa tertinggi.
Anak sulung ini bernama Atlan. Oleh karena kerajaan dipimpin oleh Atlan, maka semua orang menyebut negeri itu sebagai kerajaan “Atlantis” yang diambil dari nama raja mereka.
Tercatat, kisah Atlantis sebenarnya dikisahkan oleh adik sepupu Critias. Critias adalah murid dari ahli filsafat Socrates. Tiga kali ia menekankan keberadaan Atlantis.
Kisahnya berasal dari cerita lisan Joepe yaitu moyang lelaki Critias. Sedangkan Joepe juga mendengarnya dari seorang penyair Yunani bernama Solon ( 639-559 SM).
Solon adalah yang paling bijaksana di antara 7 mahabijak Yunani kuno. Suatu kali ketika Solon berkeliling Mesir, dari tempat pemujaan makam leluhur mengetahui legenda Atlantis.
Catatan dalam dialog secara garis besar seperti berikut ini: “Ada sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik arah barat Laut Tengah yang sangat jauh, yang bangga dengan peradabannya yang menakjubkan. Ia menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya.
Istananya dikelilingi oleh tembok emas dan dipagari oleh dinding perak. Dinding tembok dalam istana bertakhtakan emas, cemerlang dan megah. Di sana, tingkat perkembangan peradabannya memukau orang. Memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah ia ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang.”
Gambaran peradaban Atlantis yang hilang. Foto_ ist.jpg
Itulah gambaran Atlantis. Atlantis seringkali digambarkan sebagai peradaban besar dengan tingkat kemajuan teknologi yang tinggi. Konon, pesawat terbang, pendingin ruangan, batu baterai, dan lain-lain telah ada pada masa itu.
Atlantis Rekaan
Menurut perhitungan versi Plato, waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis kurang lebih 11.150 tahun silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, keadaan kerajaan Atlantis diceritakan turun-temurun. Sama sekali bukan rekaannya sendiri.
Plato bahkan pergi ke Mesir untuk meminta petunjuk biksu dan rahib terkenal setempat. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan, bahwa kerajaan Atlentis adalah nyata. Nilainya jauh lebih kuat dibanding kisah yang direkayasa.
Jika semua yang diutarakan Plato memang benar-benar nyata, maka sejak 12.000 tahun silam, manusia sudah menciptakan peradaban. Namun yang menjadi pertanyaan, dimanakah kerajaan Atlantis itu?
Sejak ribuan tahun silam orang-orang menaruh minat yang besar terhadap hal ini. Hingga abad ke-20 sejak tahun 1960-an, laut Bermuda yang terletak di bagian barat Samudera Atlantik, di kepulauan Bahama, dan laut di sekitar kepulauan Florida pernah berturut-turut diketemukan keajaiban yang menggemparkan dunia.
Suatu hari di tahun 1968, kepulauan Bimini di sekitar Samudera Atlantik di gugusan Pulau Bahama–laut tenang dan bening bagaikan kaca yang terang–tembus pandang hingga ke dasar laut.
Beberapa penyelam dalam perjalanan kembali ke kepulauan Bimini, tiba-tiba menjerit dan kaget. Di dasar laut ada sebuah jalan besar. Beberapa penyelam secara bersamaan terjun ke bawah.
Dan ternyata memang ada sebuah jalan besar membentang tersusun dari batu raksasa. Itu adalah sebuah jalan besar yang dibangun dengan menggunakan batu persegi panjang dan polygon. Adapun besar kecilnya batu dan ketebalan tidak sama. Namun penyusunannya sangat rapi. Konturnya cemerlang. Apakah ini merupakan jalan posnya kerajaan Atlantis? Tidak juga.
Gambaran Kota Atlantis yang hilang ditelan lautan. Foto_ ist.jpg
Awal tahun ’70-an, sekelompok peneliti telah tiba di sekitar kepulauan Yasuel, Samudera Atlantik. Mereka telah mengambil inti karang dengan mengebor pada kedalaman 800 meter di dasar laut. Atas ungkapan ilmiah, tempat itu memang benar-benar sebuah daratan pada 12.000 tahun silam.
Kesimpulan yang ditarik atas dasar teknologi ilmu pengetahuan, begitu mirip seperti yang dilukiskan Plato. Namun, apakah di sini tempat tenggelamnya kerajaan Atlantis? Juga bukan.
Tahun 1974, sebuah kapal peninjau laut Uni Soviet telah membuat 8 lembar foto yang jika disarikan membentuk sebuah bangunan kuno mahakarya manusia! Apakah ini dibangun oleh orang Atlantis? Masih belum ditemukan korelasinya.
Tahun 1979, ilmuwan Amerika dan Perancis dengan peranti instrumen yang sangat canggih menemukan piramida di dasar laut “segitiga maut” laut Bermuda. Panjang piramida kurang lebih 300 meter, tinggi kurang lebih 200 meter, puncak piramida dengan permukaan samudera hanya berjarak 100 meter, lebih besar dibanding piramida Mesir. Bagian bawah piramida terdapat dua lubang raksasa, air laut dengan kecepatan yang menakjubkan mengalir di dasar lubang.
Piramida besar ini apakah dibangun oleh orang-orang Atlantis? Pasukan kerajaan Atlan pernah menaklukkan Mesir, apakah orang Atlantis membawa peradaban piramida ke Mesir? Benua Amerika juga terdapat piramida, apakah berasal dari Mesir atau berasal dari kerajaan Atlantis? Juga tidak.
Tahun 1985, dua kelasi Norwegia menemukan sebuah kota kuno di bawah areal laut “segitiga maut”. Pada foto yang dibuat oleh mereka berdua, ada dataran, jalan besar vertikal dan horizontal serta lorong, rumah beratap kubah, gelanggang aduan (binatang), kuil, bantaran sungai dan lain-lain.
Mereka berdua mengatakan: “Mutlak percaya, yang kami temukan adalah Benua Atlantik! Sama persis seperti yang dilukiskan Plato!” Benarkah itu? Hal itu belum terbukti sampai sekarang.
Hingga kini belum ada seorang pun ilmuwan dapat memastikan apakah sebuah bangunan yang benar-benar dibangun oleh tenaga manusia. Sebab mungkin saja sebuah puncak gunung bawah air yang berbentuk limas.
Sementara foto peninggalan bangunan kuno di dasar laut yang diambil tim ekspedisi Rusia, juga tidak dapat membuktikan di sana adalah bekas tempat kerajaan Atlantis.
Setelah itu ada tim ekspedisi menyelam ke dasar samudera jalan batu di dasar lautan Atlantik Pulau Bimini. Mereka mengambil sampel “jalan batu” dan dilakukan penelitian laboratorium serta dianalisa. Hasilnya menunjukkan bahwa jalan batu ini umurnya belum mencapai 10.000 tahun.
Jika jalan ini dibuat oleh bangsa kerajaan Atlantis, setidak-tidaknya tidak kurang dari 10.000 tahun. Mengenai foto yang ditunjukkan kedua kelasi Norwegia itu, hingga kini pun tidak dapat membuktikan apa-apa.
Satu-satunya kesimpulan tepat yang diperoleh adalah benar ada sebuah daratan yang karam di dasar laut Atlantik. Jika memang benar di atas laut Atlantik pernah ada kerajaan Atlantis, dan kerajaan Atlantis memang benar tenggelam di dasar laut Atlantik, maka di dasar laut Atlantik pasti dapat ditemukan bekas-bekasnya.
Namun apa yang terjadi, semua penyelidiki terhadap Atlantis belum membuahkan hasil. Kerajaan Atlantis tetap merupakan sebuah misteri sepanjang masa.
Indonesia
Prof. Arysio Nunes Dos Santos. Foto_ ist.jpg
Adalah Prof. Arysio Nunes Dos Santos, seorang peneliti asal Brazil yang telah 30 tahun menghabiskan waktunya meneliti keberadaan Atlantis yang hilang. Melalui bukunya “Atlantis The Lost Continents Finally Found”, Santos mengejutkan semua orang. Dia bilang benua Atlantis yang hilang itu: Indonesia.
Santos berhasil mematahkan semua kata-kata Plato yang menyebutkan jika benua hilang itu berada di Samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, atau kutub Utara. Melainkan, di Indonesia.
Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia, katanya mengulang-ulang.
Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusuri lokasi Atlantis adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology.
Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dan ibu dari peradaban dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga.
Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang diceritakan dalam bahasa setempat.
Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11.600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat.
Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari species mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua species manusia : Neandertal dan Cro-Magnon.
Sebelum terjadinya bencana banjir itu, pulau Sumatera, pulau Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.
Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari ‘Ring of Fire’.
Gunung utama yang disebut Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana ini adalah Gunung Krakatau dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan Gunung Toba). Gunung lain yang disebut-sebut (dalam kaitannya dengan kisah-kisah mitologi adalah Gunung Semeru, Gunung Agung, dan Gunung Rinjani.
Bencana alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar yaitu selat Sunda yang jadinya memisahkan pulau Sumatera dan Jawa.
Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah diantara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, di antaranya Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan.
Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) .
Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut.
Gletser di kutub Utara dan Eropah kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter diatas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah muka laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.
Dalam bukunya Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dari sekarang. Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di katulistiwa.
Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…”. Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan.
Akibat bencana hebat itu, penduduk Atlantis yang selamat lantas menyebar ke seluruh dunia dan membentuk suku-suku baru ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, dan Amerika. Mereka juga membentuk peradaban baru seperti Mesir, Mesopotamia, Palestin, Afrika Utara, dan Asia Utara.
Digambarkan pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, metal berbagai jenis, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya. Menurut Santos, hanya Indonesialah yang sekaya ini.
Di tempat-tempat baru tersebut mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka.
Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi cuci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut.
Suku Dravidas yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia. Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution.
Bahasa-bahasa dapat ditelusur berasal dari Sansekerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik. Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia.
Dari Indonesia sendiri muncullah bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Junani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain. Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis di berbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.
Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia. Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di Indonesia, teori Profesor Santos ini sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia.@nov
Abad.id - Tidak semua orang mengenal Wayang Timplong. Bahkan warga Nganjuk sendiri sudah lupa dengan kesenian asli Kabupaten Nganjuk ini. Padahal, Wayang Timplong merupakan wajah asli leluhur mereka.
Pementasan Wayang Timplong sangat sederhana. Sang dalang hanya dibantu lima panjak atau pemain gamelan. Foto_ ist
Sayangnya, sekarang ini pertunjukan wayang kayu khas Kabupaten Nganjuk ini sudah tak seramai di era tahun 1990-an. Keberadaannya seakan ikut tergerus oleh gemerlapnya dunia hiburan modern.
Hingga kini belum diketahui secara pasti kapan kesenian ini diciptakan. Berdasarkan kenyataan bahwa Nganjuk memiliki sejarah yang cukup tua, upaya untuk mengetahui asal-usul Wayang Timplong akan terkait erat dengan perjalanan sejarah kota Nganjuk. Hal itu dibutuhkan untuk menghadirkan peluang-peluang interpretasi demi tercapainya pemahaman tentang jenis wayang ini.
Namun menurut literatur yang diperoleh Abad.id, konon Wayang Timplong berasal dari Dusun Kedung Bajul, Desa Jetis, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk. Kesenian ini sudah ada sejak tahun 1910 dan diciptakan oleh Mbah Karto Guno (Mbah Bancol). Wayang Timplong sendiri sudah eksis selama enam generasi.
Mbah Bancol sendiri adalah pendatang berasal dari daerah Grobogan Jawa Tengah yang menetap di Desa Jetis. Semasa kecil, Mbah Bancol sangat menyukai wayang Krucil atau disebut wayang Klithik di wilayah Jawa Timur.
Setiap ada pagelaran wayang Krucil di wilayah Grobogan, Mbah Bancol selalu ingin melihatnya. Dari kebiasaan tersebut akhirnya tumbuh rasa menyenangi wayang Krucil. Dari sinilah Mbah Bancol ingin menciptakan suatu kesenian wayang Krucil yang berbeda dengan yang lain.
Seniman Wayang Timplong menyakini adanya suatu mitos dalam awal pembuatan wayang. Mitos yang berkembang pada seniman Wayang Timplong bahwa dulu melalui sebuah proses yang cenderung mistis.
Awalnya Mbah Bancol tengah membelah sebatang pohon pohon waru untuk kayu bakar. Namun anehnya pada satu belahan kayu itu terlihat sebentuk gambar yang mirip wayang. Selanjutnya seperti mendapat tuntunan gaib, Mbah Bancol selanjutnya memahat kayu itu dan mewujudkan bentuk gambar itu menjadi sebuah wayang.
Dari satu wayang yang berhasil dibuat, itu mendorong Mbah Bancol untuk terus membuat wayang yang lain hingga akhirnya terbentuk seperangkat. Dan sebagai pelengkap, Mbah Bancol juga menyiapkan seperangkap gamelan sederhana sebagai pelengkap. Terciptanya suatu karya seni tidak hanya bakat saja yang dibutuhkan.
Faktor-faktor pendukung lainnya, Mbah Bancol ingin menciptakan wayang baru, yang tidak membutuhkan banyak biaya dan menghibur semua kalangan masyarakat. Selain itu ada juga potensi masyarakat dalam bidang seni dengan banyak masyarakat bisa bermain gamelan dan sedikitnya hiburan di masyarakat secara tidak langsung potensi tersebut menjadikan suatu karya seni menjadi Populer.
Perajin Wayang Timplong. Foto_ ist.jpg
Lakon Wayang Merujuk Cerita Asli Rakyat
Wayang Timplong kemudian berkembang dan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat di wilayah Nganjuk. Dari Mbah Bancol lalu turun-temurun dan diteruskan oleh Mbah Tawar, Mbah Juwul, dan Mbah Budho.
Ihwal penamaan Timplong juga belum diketahui. Penduduk Nganjuk hanya menduga istilah tersebut dipilih untuk menamai wayang kayu yang dimaksud, karena mengacu pada bunyi gambang bambu yang merupakan unsur melodis paling dominan dalam iringan Timplong.
Keterangan ini cukup masuk akal karena dalang-dalang Timplong umumnya juga berpendapat demikian. Jika suara gambang bambu yang digunakan dalam iringan Wayang Timplong diperhatikan, maka yang terdengar adalah bunyi ‘plong … plong … plong’.
Perbedaan sangat mencolok antara wayang kulit dan Wayang Timplong bisa dilihat dari jalan cerita. Jika wayang purwa umumnya yang menceritakan kisah Mahabarata ataupun Ramayana, Wayang Timplong berkisar sejarah di Pulau Jawa dan cerita-cerita rakyat.
Adapun cerita yang diambil dalam pementasan kesenian Wayang Timplong adalah cerita Panji yang mengisahkan mengenai kemelut yang terjadi saat Raja Kediri dan Kerajaan Jenggala bermaksud mengawinkan putera-puterinya dengan putra dari kerajaan Jenggala.
Kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala pada awalnya berasal dari satu nenek moyang, yaitu Raja Airlangga. Setelah Raja Airlangga turun tahta dan menjadi pendeta, kerajaanya dibagi menjadi diwariskan kepada puteranya. Pada saat kerajaan Jenggala diperintah oleh Raja Lembu Amiluhur, Kerajaan Kediri diperintah oleh adik yang bernama Prabu Lembu Asmani.
Kedua saudara telah melakukan menjalin kesepakatan bahwa dikemudian hari bila mereka mempunyai anak akan dijodohkan untuk mempersatukan kembali dua kerajaan tersebut. Kebetulan Raja Lembu Amilur mempunyai putera bernama Panji Asma Bangun. Sedangkan Raja Kediri mempunyai putri yang cantik bernama Putri Sekartaji. Niat baik kedua raja untuk menjodohkan puteranya tidak berjalan mulus. Banyak sekali cobaan dan godaan dan peristiwa-peristiwa yang berusaha menggagalkan perkawinan Raden Asma Bangun dengan Dewi sekartaji. Akan tetapi pada akhirnya semua rintangan dan godaan tersebut dapat diatasi.
Pun dalam setiap pementasannya, Wayang Timplong tampil sangat sederhana. Para penabuh gamelan tidak sebanyak dan selengkap yang wayang kulit gaya Yogyakarta maupun Surakarta.
Untuk mengiringi pagelaran wayang, sang dalang hanya dibantu oleh lima orang panjak atau pemain gamelan yang terdiri dari kendang, dua kenong, gambang, dan gong kecil.
Gending-gending yang menyertai cerita lakon juga tidak terlampau njlimet, karena wayang ini hanya mengenal gending prahab (keluarnya wayang), grendel (jejeran), ngrangsang (peperangan), sendonan (sulukan), dan andek-andek (Onto Kencono).
Bahkan kendati kesenian wayang kulit era sekarang kerap dikemas dengan tampilan baru yang terasa lebih segar, karena memasukkan unsur-unsur lawakan dan pesinden lagu-lagu campursari, wayang asli bumi Nganjuk ini tetap pakemnya sendiri.
Artinya, sebagai generasi penerus dari para pendahulunya, para dalang tidak berniat mengubah eksistensi wayang timplong itu sendiri. “Ojo sampek ilang (jangan sampai hilang), Wayang Timplong itu wujudnya yang seperti itu,” terang almarhum Ki Talam yang sudah mendalang sejak tahun 1957.
Selain itu cerita Wayang Timplong tidak pernah terseret oleh kepentingan politik dan memang tidak ikut politik. Pasalnya khazanah seni tradisi Wayang Timplong telah membuka apresiasi terhadap aneka ragam seni wayang itu sendiri.
Sementara itu menurut Suwoto, panjak yang juga dalang Wayang Timplong, pada tahun 1991 wayang pimpinan Mbah Tawar mengaku sempat tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. “Tahun 1999 lalu sebagai dalang Wayang Timplong saya pentas di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Surakarta,” ujar Suwoto, anggota keluarga Ki dalang Talam.
Diakui Suwoto, selama ini cerita lakon berputar-putar dari cerita-cerita masa lampau, tidak tertutup kemungkinan akan lahir sosok dalang yang mengusung cerita-cerita lakon kekinian.
“Bakal jauh lebih menarik kalau mengangkat cerita si Tommy…,” kata Suwoto.
Tampilan Wayang Timplong juga patut mendapat perhatian. Sebab bentuknya sangat unik. Jika wayang umumnya terbuat dari kulit, atau boneka kayu (jika itu wayang golek), kalau Wayang Timplong terbuat dari bahan kayu waru atau pinus. Pembuatan wayang ini cukup rumit dikarenakan kayu harus dipahat sampai pipih layaknya wayang kulit. Pembuat Wayang Timplong juga harus memperhatikan bentuk detail dari wayang itu sendiri. Sementara tangannya terbuat dari kulit.
Hanya Pentas di Acara Ruwatan Desa
Kesenian Wayang Timplong asli Nganjuk yang mulai punah. Foto_ ist
Di Indonesia bahkan seluruh dunia, sekarang ini hanya ada lima dalang Wayang Timplong yang masih setia melestarikan kesenian leluhur tersebut.
Adalah Ki Gondo Maelan yang kini telah berusia 80an, asal Desa Getas, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Ki Gondo tetap menjaga kesenian Wayang Timplong agar tidak punah.
Diakui Ki Gondo, memang tidak banyak generasi muda yang peduli dengan kesenian ini. Hanya segelintir saja. Itu pun diwariskan dari generasi tua melalui keturunannya langsung.
“Di Nganjuk dan mungkin di seluruh dunia, paling cuma ada lima dalang Wayang Timplong, dan yang tertua, ya saya. Ada Ki Suwoto, Ki Djikan, Ki Gondo, Ki Suyadi dan Ki Talam (sudah meninggal). Biasanya yang meneruskan keahlian bertutur dalam melakonkan wayang Timplong. Wayang Timplong diturunkan ke anak cucu dari keturunan langsung sang dalang. Itu pun kalau para dalang mau mewarisi. Sebab, ada juga dalang yang tidak karena usianya sudah tua, tidak bisa menurunkan ilmunya ke generasi muda,” tutur Ki Gondo dalam acara bersih desa di Kecamatan Sukomoro.
Menurut Ki Gondo, Wayang Timplong mulai jarang ditampilkan. Mengingat kesenian ini sudah tergerus peradaban jaman yang sudah modern. Eksistensi Wayang Timplong terbatas pada komunitas pedesaan yang masih menghargai ritualitas.
Dalang Ki Gondo Warsito mengaku Wayang Timplong sering dipentaskan untuk acara ruwatan desa atau bersih desa. Foto_ ist.jpg
Ya, kelestarian Wayang Timplong bisa ditolong dengan sering dipentaskannya wayang tersebut untuk ruwatan desa atau bersih desa. Tujuannya untuk mengusir balak ataupun bencana. Selain itu, Wayang Timplong juga muncul pada saat gelar budaya untuk memperingati hari jadi Nganjuk. Kesenian Wayang Timplong di acara tersebut biasanya berbarengan dengan kesenian-kesenian tradisional Nganjuk lainya seperti Tayub dan Pogokan.
“Adanya ruwatan desa, bersih desa, atau panen raya di tengah-tengah masyarakat, menjadi ruang hidup seni Wayang Timplong. Kita pentas hanya di acara-acara ritual. Harapan kami kesenian ini bisa dipentaskan layaknya kesenian wayang kulit,” harap Ki Gondo.
Selama ini pagelaran Wayang Timplong dipentaskan secara sederhana. Di Nganjuk, kesenian ini hanya dapat disaksikan di pedesaan saja. “Bulan Suroan biasanya banyak tanggapan, kadang tiga, empat, sampai enam kali,” ujar Ki Gondo.
Lalu berapa tarifnya? Ternyata sangat murah. Berkisar Rp 750.000 hingga Rp 1 juta.
Paguyuban Wayang Timplong pimpinan Ki Djikan yang beranggotakan rata-rata orang tua (dengan usia sebagian besar 55-an), juga mengaku jika masyarakat kurang tertarik dengan Wayang Timplong ini.
Hal tersebut dikarenakan dalang, penabuh gamelan serta sinden sudah berumur tua, dan masyarakat sedikit yang mau mempelajari kesenian Wayang Timplong sebagai pelestarianya. Sedangkan generasi muda cenderung menyukai kesenian yang sifatnya baru sesuai dengan pola pikir masyarakat yang berubah modern.
Generasi muda saat ini justru meninggalkan kebudayaan-kebudayaan warisan leluhur sehingga budaya lelehur semakin tergerus globalisasi yang melanda Indonesia. Globalisasi dengan segala mekanismenya telah membukakan pintu yang sangat luas bagi generasi muda Indonesia untuk memandang dunia, memilih, mengambil, dan menginginkan cara-cara hidup yang dipandang sesuai.
“Generasi muda sebagai elemen penting dalam melestarikan kesenian khas daerah, lebih memilih untuk menampilkan dan menggunakan kesenian asing dari pada kesenian tradisional yang berasal dari daerahnya sendiri,” ujar Ki Djikan.
Menurut Ki Djikan, umumnya generasi muda merasa gengsi dan malu apabila mempertahankan dan menggunakan kesenian tradisional, karena dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Tanpa mereka sadari sesungguhnya kesenian tradisional atau kebudayaan lokal merupakan jati diri bangsa karena mencerminkan segala aspek kehidupan yang berada di dalamnya.
Apabila permasalahan ini berlangsung terus menerus, maka akan sangat berpengaruh hal kelangsungan kebudayaan suatu bangsa. Jelas masyarakat tidak lagi mewarisi nilai-nilai budaya leluhur, dan tidak memiliki jati diri.
Sebenarnya ruang untuk wayang langka ini masih perlu dibuka lebar, karena seni tradisi yang konon cuma hidup dan berkembang di daerah Nganjuk. Pemerintah Kabupaten Nganjuk bisa ‘menyulap’ menjadi sebuah ikon dan kekuatan.
Penerus Wayang Timplong, Suyadi, warga Desa Kepanjen, Kecamatan Pace, Kabuparten Nganjuk, bersama mahasiswa Unair. Foto_ ist
Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga pernah melakukan penelitian dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Sosial Humaniora (PKM-SH) dengan judul “Eksistensi Wayang Timplong Sebagai Upaya Pelestarian Kebudayaan Lokal di Desa Kepanjen, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk”. Hasilnya, penerus dalang Wayang Timplong selama ini terbatas hanya pada lingkup garis keturunan.
Diperkirakan inilah yang membuat para dalang juga kesulitan dalam mencari penerus. Apalagi selama ini minat masyarakat dan peran serta pemerintah terhadap keberlangsungan wayang kayu khas Nganjuk ini sangat rendah.
Padahal apabila dikembangkan dengan adanya program pemerintah, misalnya, serta adanya minat masyarakat, maka Wayang Timplong ini dapat menjadi media pembelajaran untuk pendidikan formal, sebab dalam cerita-ceritanya dapat memberikan pendidikan berkarakter untuk anak-anak dan remaja.
Seperti lazimnya wayang-wayang, Wayang Timplong sebenarnya bisa menjadi alat menyosialisasikan nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Tentu saja melalui cerita-cerita yang dipertunjukkan. Sayangnya, saat ini sudah jarang terlihat ada pertunjukan wayang tradisional ini, kecuali di desa-desa pada acara khusus seperti ritual. Kalangan remaja termasuk warga Nganjuk sendiri banyak yang belum pernah mendengar nama Wayang Timplong.
Pasalnya, pertunjukan Wayang Timplong hanya berlangsung di beberapa dusun dan yang meminati pertunjukan pun hanya kalangan orang-orang tua.
Keberadaan kesenian Wayang Timplong tidak lepas dari peran serta masyarakat, selama mereka masih menganggap dan membutuhkan kesenian Wayang Timplong tetap lestari. Dari keadaan inilah, Wayang Timplong perlu dukungan generasi penerus untuk melanjutkan dan melestarikan. Selain itu juga dapat dikembangkan ke dalam bidang industri kreatif, yaitu industri wisata di mana suatu kebudayaan lokal dikembangkan dan dipromosikan sebagai ikon suatu daerah. Jika upaya tersebut berhasil, maka akan memberi nilai tambah bagi keberlangsungan kesenian itu sendiri maupun untuk Kabupaten Nganjuk.@nov
Penulis : Noviyanto Aji
Abad.id - Bagi masyarakat Tuban, Tuak (toak, sebutan Jawa) memegang peran sentral dalam proses pembuatan hingga distribusi. Tuak sendiri merupakan minuman beralkohol khas tradisional Nusantara. Dan Tuban, menjadi salah satu daerah penghasilnya.
Rata-rata minuman ini diolah oleh masyarakat yang hidup di wilayah pesisir. Minuman yang dikenal akrab dengan budaya pribumi ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum masa kolonial Belanda. Perjalanan sejarahnya sangat panjang dan tersohor.
Dibeberapa komunitas adat (lokal) di Nusantara, tradisi produksi dan minum tuak juga telah berlangsung lama, dan bertahan hingga kini.
Ya, tuak jenisnya banyak dan menyebar di seluruh Nusantara. Selain Tuban, ada tuak Bali, Madura, Batak, hingga Toraja. Tentunya kadar alkohol tuak di pasaran berbeda-beda bergantung daerah pembuatnya.
Tuak jenis arak yang dibuat di Pulau Bali dikenal juga dengan nama Brem Bali, dikenal mengandung alkohol yang kadarnya cukup tinggi. Komunitas adat di Bali dan Lombok memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol.
Sampai kini, sangat dikenal jenis arak Bali. Bahkan arak Bali memiliki beberapa jenis. Sejenis dengan arak Bali, beberapa komunitas adat di Lombok memiliki minuman fermentasi yang populer dikenal dengan arak, ada pula yang menyebutnya brem.
Komunitas Dayak di Kalimatan Tengah juga memiliki minuman tradisi yang dikenal dengan baram. Selama ratusan tahun yang lalu, baram menjadi properti ritual untuk memberi penghormatan kepada roh-roh leluhur.
Sementara di Pulau Madura juga dikenal sebagai penghasil tuak. Sayangnya orang Madura tidak mempunyai kebiasaan minum yang kuat. Saat ini dapat dikatakan sangat sedikit orang Madura yang minum tuak atau arak.
Di wilayah Tapanuli (Sumatera Utara), khususnya masyarakat Batak, kebiasaan minum tuak dianggap sebagai tradisi yang menyehatkan badan karena mengandung efek menghangatkan tubuh. Komunitas Adat Batak Toba kerap menggunakan tradisi minum tuak dalam acara-acara keagamaan yang telah berlangsung lama, dari generasi ke generasi. Bahkan, dalam tradisi Batak Toba, perempuan Batak Toba yang baru saja melahirkan diwajibkan untuk minum tuak dalam ukuran yang terbatas.
Di Tuban, tradisi minum tuak sudah menjadi tradisi turun temurun. Minuman ini sifatnya “wajib” ada dan menjadi jamuan pada acara adat atau ritual tradisional di Tuban. Tidak jarang Tuak menjadi jamuan anak muda ketika kedatangan tamu dari daerah luar tuban. Pada saat kumpul-kumpul sering kita jumpai akan ada minuman tuak di dalamnya, serta di Tuban juga tidak sedikit toko yang menjual minuman ini.
Memang tak seluruh warung-warung di Tuban menyediakan tuak. Sifat tuak yang tak bisa bertahan lama, secara tak langsung menghambat distribusinya. Hanya warung-warung di sekitar Kecamatan Tuban, Semanding, Palang dan Plumpang yang kerap menyediakan tuak. Persepsi masyarakat atas tuak sebagai minuman yang diharamkan agama juga ikut membentuk terbatasnya peredaran tuak di masyarakat.
Para ahli yang telah meneliti minuman tuak menyebut, kandungan alkohol cukup kecil yaitu 4%, lebih rendah jika dibandingkan dengan anggur dan bir. Sehingga minuman tuak sebenarnya berfungsi untuk menjaga kondisi seseorang menjadi tenang karena mampu menekan syaraf peminumnya.
Meski pada umumnya tuak adalah minuman yang dapat memicu pertengkaran, pertikaian atau perkelahian, tetapi sebagian kecil masyarakat Tuban tidak akan pernah lepas dengan minuman yang memiliki rasa unik ini. Dan tuak sudah menjadi ikon budaya masyarakat Tuban. Bahkan tidak sedikit yang menyebut Tuban dengan sebutan “Kota Tuak”.
Membangun Kebudayaan dari Pohon Bogor
Penjual tuak jaman dulu. Tuak menjadi tradisi warga pesisir secara turun temurun. Foto_ ist
Tradisi minum tuak di Tuban biasa dikenal dengan nama nitik dan kemudian menjadi ikon.
Nitik adalah tradisi minum tuak bersama di suatu tempat yang sudah ditentukan dan konsisten. Para penikmat tuak disebut dengan beduak bala ngombe (pasukan/teman minum). Mereka yang berkumpul sebenarnya bukan untuk mabuk-mabukan melainkan untuk melestarikan tradisi yang sudah turun temurun.
Peminum tuak berasal dari berbagai lapisan masyarakat, golongan dan tingkatan sosial, petani, buruh, pegawai, pedagang, tentara, polisi, pengusaha, miskin, kaya.
Pada saat duduk nglesot bersama dalam majelis tuak, mereka tidak mempermasalahkan status sosial mereka sehingga tidak ada penghalang bagi mereka untuk menjalin keakraban.
Ada sebuah cerita seorang pria separuh baya sedang sakit dan diperiksa dokter. Karena penyakit yang dideritanya, dokter pun melarang pria tersebut dilarang makan jeroan, kacang-kacangan dan lain-lain. Pria itu menjawab tidak apa-apa jika dilarang makan yang enak-enak asalkan tidak dilarang minum tuak.
Dia menceritakan, orang Tuban dulunya suka bermalas-malasan dan gemar mabuk tuak. Para Sunan penyebar Islam harus bekerja keras memutar otak agar bisa menyebarkan ajaran Islam dengan mudah. Para Sunan melakukan macam cara dalam mensyi’arkan agama Islam, misal melalui wayang kulit, tayuban, slametan dan sedekah bumi. Cara penyebaran agama Islam tersebut dilaksanakan secara kontinum sehingga menjadi tradisi yang turun temurun antar generasi.
Namun demikian, cara-cara tersebut tidak bisa menghilangkan nitik dan tuak dari kehidupan masyarakat Tuban. Tuak telah menjadi bagian (sub sistem) dari sistem budaya masyarakat Tuban.
Penjual tuak berkeliaran di pasar-pasar dan perkampungan warga pada zaman Hindia Belanda. Foto_ ist
Bagi orang Tuban, tuak yang mengandung alkohol dapat menghangatkan tubuh secara keseluruhan, dan lebih cepat menghangatkan dibandingkan dengan minuman-minuman penghangat lainnya (teh panas, jahe panas), yang panasnya hanya terasa sesaat di daerah tenggorokan sampai lambung saja.
Sementara itu, panas yang dihasilkan oleh alkohol akan lebih merata di tubuh. Alkohol bisa masuk ke pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh dan menghasilkan energi panas.
Pekerja-pekerja berat merasa badannya lemas atau kurang bertenaga saat lupa meminum tuak sebelum bekerja. Hampir setiap hari mereka menyisihkan uang sebesar Rp 1000 untuk membeli segelas tuak. Gelas yang mereka pakai untuk mewadahi tuak bukan dibuat dari kaca atau plastik, namun gelas tradisional yang terbuat dari batang pohon bambu yang dipotong hingga menjadi sebuah wadah dan diberi nama centhak.
Masyarakat Tuban percaya bahwa dengan rutin minum tuak secukupnya (tidak berlebihan) akan menghindarkan dari penyakit batu ginjal.
Kondisi geografi Kabupaten Tuban yang terdiri dari pegunungan batu kapur menyebabkan sumber air yang digunakan sebagai sumber air bersih PDAM maupun digunakan langsung oleh masyarakat kandungan kapurnya sangat tinggi sehingga apabila mengkonsumsi air tersebut sangat kemungkinan timbul endapan batu ginjal, sehingga untuk menetralisirnya mereka meminum tuak secara rutin karena dipercaya bisa melarutkan endapan kapur atau batu ginjal.
Sukidi, warga Desa Sumurgung Palang, Tuban, mengaku sudah bertahun-tahun mengkonsumsi tuak. Dia hampir setiap hari minum tuak bersama teman-temannya.
“Selepas kerja, kami duduk bareng bala ngombe. Di situ ada banyak cerita, ada tawa canda, ada kesederhanaan, ada kebersamaan, dan semangat kegotong-royongan,” cerita Sukidi.
Di tangan orang-orang Tuban, dari generasi ke generasi, kuncup bunga pohon Bogor diolah menjadi minuman tradisi. Olahan itu menjadi jenis minuman yakni legen dan tuak. Legen, minuman yang diambil dari “getah” kuncup bunga. Kuncup bunga itu dinamakan Wolo. Wolo ini diikat sebanyak 3 atau 4 wolo, kemudian tetesan “getah”nya ditampung selama sehari atau semalam.
Petani tuak mengambil kuncup bunga pohon Bogor yang kemudian diolah menjadi minuman. Foto_ Ist
Tetesannya ditampung ke dalam bambu yang ditali, dikaitkan dengan kumpulan tangkai bunga Bogor yang telah diiris sebelumnya. Dalam istilah warga Tuban, bambu itu dinamakan Bethek.
Legen terasa manis, bercampur dengan “rasa soda” yang bersifat alami karena diproses dari alam secara langsung. Minuman ini tidak bisa bertahan lama. Rata-rata 4-5 jam sejak diambil dari penampungannya, legen sudah tidak bisa dikonsumsi lagi. Rasanya sudah berubah menjadi asam, dan jika diminum, membuat perut sakit.
Sama seperti legen, tuak juga bersumber dari “getah” irisan tangkai bunga pohon Bogor. Yang membedakan dengan legen, bambu untuk menampung “getah” tangkai bunga Pohon Bogor dicampuri dengan Bebekan.
Ada beragam jenis bebekan. Warga Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Tuban lebih gemar membuat bebekan dari pelepah kulit Pohon Juwet. Pelepah kulit Pohon Juwet dikeringkan, lalu dicincang, namun tak sampai lembut, cukup serat-serat kulitnya terurai. Tiap tetesan “getah” yang ditampung dalam bambu akan bercampur dengan bebekan. Percampuran kedua unsur inilah yang membentuk minuman tuak. Berbeda dengan warga Prunggahan kulon, warga Desa Tegalbang dan Tunah, Kecamatan Semanding, Tuban membuat bebekan dari pelepah kulit Pohon Mahoni.
Bebekan dari kulit pohon Mahoni rasanya sangat pahit, sehingga rasa tuaknya juga terasa pahit, dan rasa manis yang tipis. Sedangkan bebekan dari kulit pohon Juwet lebih variatif, perpaduan rasa manis, sedikit gurih, dan sedikit asam. Sama seperti legen, tuak juga tidak bisa bertahan lama. Dalam tempo 4-5 jam sejak diambil dari Pohon Bogor rasanya telah terasa pahit dan asam.
Sebagai minuman hasil fermentasi, tuak mengandung alkohol tidak begitu tinggi. Menurut kajian, kadar alkohol yang terkandung dalam tuak sebesar 2 – 4 persen.
Jika dibandingkan dengan minuman bir pilsener hasil pabrikan, kadar alkhohol yang terkandung di dalam tuak jelaslah lebih rendah. Rata-rata kadar alkohol bir antara 5-10 persen. Tuak bahkan jauh lebih rendah kadar alkoholnya jika dibandingkan dengan wine yang alkoholnya mencapai 15 persen.
Dalam relasi produksi minuman tuak dan legen, kaum perempuan di Tuban memegang posisi penting. Rata-rata pembuat bebekan tuak adalah kaum perempuan. Otomatis, penentu selera tuak menjadi enak atau tidak sangat bergantung bebekan yang dibuat kaum perempuan. Semakin cermat membuat komposisinya, tentu semakin memikat bala ngombe.
Selain menghasilkan “getah” untuk produksi legen dan tuak, bagian-bagian pohon Bogor masih memiliki kemanfaatan bagi penduduk setempat. Pelepah daunnya, oleh orang Tuban disebut lontar, dipakai oleh petani tadah hujan di kawasan ini untuk membuat penutup kepala (caping).
Beberapa tahun yang lalu, sebelum plastik mulai menggantikan, anyaman daun lontar dipakai oleh penduduk setempat sebagai tempat nasi. Lontar dianyam, mirip ketupat, namun dalam ukuran besar. Anyaman ini dipakai untuk tempat nasi dan lauk pauknya saat acara kenduri di kampung-kampung. Warga setempat menyebutnya tumbu.
Komposisi lain yang bernilai manfaat dari pohon Bogor adalah buahnya. Pada umumnya masyarakat menyebutnya buah Siwalan atau Ental. Buah ini mengandung air, selain selaput biji dalamnya yang lembut. Rasanya manis, segar, sangat cocok dinikmati di cuaca panas seperti Tuban. Saat belum dikelupas kulitnya, buah Siwalan dapat dikonsumsi hingga beberapa hari kedepan, sejak pengambilan dari pohonnya.
Dari pohon Bogor inilah, para petani tegal di Tuban membangun kebudayaannya dari hari ke hari. Tuak yang berumur tua, seumuran dengan sejarah Tuban sendiri, telah menjadi citra diri orang-orang Tuban, meskipun sebagian lainnya, yang menganut keislaman secara “kuat” menolak mengidentikkan Tuban dengan tuak.
Sekilas “batas-batas kultural” di Tuban nampak jelas. Persis gambaran Clifford Geertz melalui proyek Mojokuto-nya, bahwa di wilayah dekat pesisir dan pedalaman selatan corak keislamannya berbeda.
Di wilayah pedalaman selatan keislamannya lebih kuat karena banyak dihuni komunitas santri yang bermukim di sekeliling makam Sunan Bonang. Sementara di wilayah pesisir utara, tradisi keagamaan orangnya masih memberi wadah untuk praktik mistik Islam Jawa. Kelompok sosial ini kurang menyukai praktik keagamaan Islam secara normatif.
Meski mayoritas penduduk Kecamatan Semanding dan Palang Kabupaten Tuban beragama Islam, namun banyak di antara mereka yang sampai kini meminum tuak dan arak. Bahkan kedua minuman itu menjadi penopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Karena pohon Bogor bernilai ekonomis, para pemilik pohon Bogor dapat mentransaksikan atau menjualnya kepada pihak lain.
Satu pohon Bogor bernilai ratusan ribu, sangat tergantung kondisi pohonnya. Saat telah diperjualbelikan kepada pihak lain, pemilik tanah tidak mengenakan tarif sewa tanah atas keberadaan pohon Bogor yang dijualnya. Pembeli pohon Bogor dapat mengambil nilai ekonomisnya sampai pohon tersebut tidak berproduksi.
Dalam sehari, setiap pohon Bogor bisa menghasilkan 1 – 2 liter tuak atau legen. Semakin banyak seseorang memiliki pohon Bogor di tanah tegalan (sawah tadah hujan), otomatis petani itu akan semakin banyak menghasilkan tuak atau legen. Para petani tuak di Tuban mengambil tuak sehari dua kali, yakni pagi dan sore. Hasil tuak atau legen yang diambil pagi hari, dijual dengan memasok ke warung-warung kecil untuk jatah peminum menjelang siang.
Sedangkan tuak atau legen yang diambil siang hari, dipakai sebagai pasokan peminum tuak untuk sore sampai malam hari. Tuak dan legen yang diambil kemudian didistribusikan ke warung-warung sekeliling Kota Tuban dan Semanding.
Menjadi Mata Pencaharian Substitutif
Dari cerita lisan warga Tuban, produksi dan minum tuak sebenarnya telah berjalan selama berabad-abad. Misalnya pada abad 11 Masehi, ketika itu bala tentara Tar-Tar dari Mongolia berhasil mengalahkan bala tentara Kerajaan Daha (Kediri).
Mereka kemudian singgah di Tuban dan merayakan pesta kemenangan dengan minum tuak dan arak. Pada masa keemasan Kerajaan Singasari, Raja Kertanegara juga gemar minum tuak untuk perayaan-perayaan kerajaan. Tuak menjadi minuman yang melintas batas kelas, dari seorang petinggi negeri seperti raja hingga para petani biasa.
Namun menurut Sugeng, sejarawan asal Tuban mengungkapkan, cikal bakal sejarah kerajaan Majapahit juga ada kaitannya dengan tradisi minum tuak. Ceritanya, Raden Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit, berhasil memukul mundur pasukan Tar- Tar berkat minuman tuak itu.
Raden Wijaya mengajak seluruh pasukan Tar-Tar yang singgah di Tanah Jawa minum tuak bersama-sama. Tetapi, setelah seluruh prajurit Tar-Tar itu mabuk, pasukan Raden Wijaya menyerang mereka. Hingga akhirnya, pasukan Tar-Tar kembali ke Tiongkok.
Tradisi minum tuak, kata dia, diperkirakan sudah ada jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit pada tahun 1295 Masehi. Tradisi minuman tuak itu masih eksis hingga sekarang di Tuban.
“Tetapi, siapa yang pertama kali menemukan minuman tuak itu hingga kini belum diketahui. Minuman tuak seolah sudah menjadi bagian dari budaya sebagian masyarakat Tuban. Minuman tuak selain dijual di tempat yang disebut nitik, biasanya juga dihidangkan saat ada hajatan di kampung,” ungkapnya.
Kata Sugeng, istilah tuak awalnya berasal dari sebutan kata “noto awak” yang kemudian disebut toak. Tradisi minum tuak, kata dia, juga tidak selalu identik dengan hal yang negatif seperti bermalas-malasan atau mabuk-mabukan. Sebab, kata dia, tuak itu dulunya disajikan sebagai minuman khas masyarakat setempat saat berkumpul bersama.
“Setiap mereka berkumpul, mereka minum tuak itu. Di situlah bala ngombe muncul. Minum tuak bersama itu lebih mengakrabkan antar mereka,” tutur budayawan ini.
Hal ini diperkuat dengan riset yang pernah dilakukan ilmuan asal Jepang, Shigerhiro Ikegami dari Universitas Shizuoka tentang tradisi produksi dan minum tuak. Ikegami menunjukkan bukti foto-foto lama, terutama pada masa kolonial Belanda, bahwa penjual tuak berkeliaran di pasar-pasar dan perkampungan warga di Jawa, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, dan berbagai tempat di Nusantara. Bahkan ada pula yang membangun kedai khusus menjual tuak.
Warung yang hingga kini tetap eksis menjual tuak. Namun demikian keberadaan warung penjaja tuak kini sangat sulit ditemukan. Foto_ ist
Namun keberadaan warung tuak dan penjaja tuak keliling sekarang ini hanya tinggal sejarah. Sejak Belanda masuk ke Nusantara dan membawa minuman beralkohol lainnya, pamor tuak pun kian meredup. Ditambah pemerintah dilarang mengonsumsi minuman ini pada masa itu.
Kendati demikian, kini sangat sulit menemukan warung yang menjual legen dan tuak di Tuban. Bagi petani penghasil tuak dan legen, mereka biasanya menjual sendiri hasil olahan tuak dan legen di rumahnya, atau dijual langsung ke warung-warung penjual tuak dan legen.
Jika petani penghasil tuak dan legen memasoknya ke warung-warung, tentu mereka hanya mendapatkan keuntungan sedikit, jika dibandingkan dengan menjualnya secara langsung ke konsumen. Sementara bagi petani yang menghasilkan tuak dan legen dalam jumlah banyak, biasanya didistribusikan ke warung-warung, dan ia hanya menyisakan sedikit untuk dijual di rumahnya.
Saminah, warga Desa Jadi, Kecamatan Semanding, Tuban menyebut rumahnya lebih pantas disebut gubuk daripada tempat tinggal, sebab memang digunakan untuk tempat jualan tuak.
“Menjual tuak tak perlu modal cukup banyak mas. Kalau menjual bir atau lainnya, tentu butuh modal besar. Itu pun belum tentu tiap hari langsung laku. Kalau menjual tuak modalnya lebih rendah, dan setiap hari sering habis, sebab warga di kampung sini tiap hari menikmati tuak, terlebih menjelang sore dan malam hari sehabis kerja seharian,” ujar janda empat anak ini.
Rata-rata perempuan penjual tuak seperti Saminah dalam sehari bisa menjual 20 liter tuak, dan makanan pengiringnya (tambur). Praktis, Saminah dapat mengantongi keuntungan 15 sampai 25 ribu rupiah per hari. Nominal yang sangat penting bagi kelangsungan kebutuhan ekonominya. Berjualan tuak, oleh kebanyakan perempuan warungan di Tuban menjadi penyangga ekonomi keluarga. Memang, bagi sebagian pedagang, berjualan tuak dan tambur menjadi penghasilan sekunder. Penghasilan primernya dari hasil bercocok tanam.
Belakangan, di saat sektor pertanian apalagi pertanian tegal terpuruk, perempuan warungan yang menjual tuak dan tumbuh menjadi mata pencaharian substitutif. Kalangan keluarga seperti ini tentu sangat berharap bala ngombe tetap ada, dan bahkan mungkin berkembang, agar dapur mereka tetap mengepul.
Dalam sehari masa produksi, tak seluruh minuman tuak habis. Beberapa penjual tuak biasanya menimbun “tuak kadaluwarsa”. Setiap dua atau tiga hari sekali ada beberapa pengepul yang membeli tuak kadaluawarsa tersebut. Untuk 20 liter tuak kadaluarsa bisa dibeli oleh pengepul sebesar Rp 5.000. Nilai yang cukup berarti bagi para penjual tuak, daripada minumannya terbuang.
“Tuak-tuak kadaluwarsa ini banyak dibawa ke Lamongan dan Surabaya. Katanya diolah lagi dan dijual di sana,” ujar Likanah, warga Desa Ngino, Kecamatan Semanding, Tuban.
Berbeda dengan tuak fresh di Tuban yang diperjualbelikan secara bebas, dan terbuka di warung-warung, bahkan di pinggir jalan untuk melayani bala ngombe, tuak kadaluwarsa yang diolah kembali cenderung ditransaksikan secara tertutup dari tangan ke tangan, dan dari mulut ke mulut.
Peralihan formasi dan habitat tuak, dari tuak alami ke tuak olahan memang membawa pergeseran dan persepsi yang kian memperburuk cita rasa tuak. Diperdagangkannya tuak olahan di luar Tuban telah menempatkan tuak sebagai “barang kriminal”.
Ya, kontruksi tuak saat keluar dari Tuban telah bergeser total. Meski bala ngombe menyadari hal itu, toh mereka tak bisa berbuat banyak.
Sugeng membenarkan jika tuak saat ini sudah banyak disalahgunakan. Selain mengandung alkohol yang bisa memabukkan, tuak kadaluarsa juga kerap dijadikan “barang kriminal”. Sehingga keasliannya sulit terjaga.
Wajar jika kemudian brand tuak sebagai hasil racikan pribumi mendapat banyak pertentangan di daerahnya sendiri maupun di luar daerah.
“Kalau soal mabuk atau tidak, itu tergantung orangnya. Sayangnya banyak yang kemudian memanfaatkan untuk mereguk keuntungan semata tanpa menjaga kualitas dari tuak itu sendiri,” tuturnya.
Minuman tuak, kata Sugeng, memang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal di Tuban. Karena itu semestinya, lanjut Sugeng, minuman tuak dan legen bisa menjadi salah satu potensi hasil budaya yang bisa dijual oleh pemerintah daerah. “Jadi bukan dihilangkan, tetapi dikembangkan ke arah yang baik,” urainya.
Seperti yang dilakukan pemerintah daerah Bali, di mana minuman lokal tuak atau arak kini bisa dikenal hingga mancanegara. “Arak Bali Go Internasional” adalah salah satu destinasi favorit orang Jepang.
Arak Bali hasil olahan lokal yang dikemas menjadi minuman Go Internasional. Foto_ ist
Ribuan orang Jepang pergi ke Bali setiap tahun untuk menikmati budaya dan keindahan alamnya. Selain itu mereka juga dapat menikmati deretan botol Brem dan Arak Bali di beberapa conter bar, restaurant maupun hotel. Pemda Bali tampaknya sangat peduli kearifan lokal masyarakatnya. Bahkan minuman beralkohol tradisional khas Indonesia itu telah diekspor ke Korea Selatan.
Sejarah mencatat pada abad 17, arak asal Indonesia bernama Batavia Arrack pernah menjadi legenda di Asia hingga kepulauan Karibia, mengalahkan rum dan scotch. Merek itu sempat diulas koran The New York Times edisi Minggu dengan judul “Out of the Blue : Batavia Arrack Comes Back”.
Nah, agar minuman beralkohol tradisional asal Indonesia dapat diterima oleh pasar internasional dan mendatangkan devisa dan kesejahteraan petani, maka pemerintah harus melakukan pembinaan dan membantu permodalan. Bukan hanya dirazia dan dibunuh perlahan lantaran dianggap menjadi biang kerok kasus kematian akibat oplosan. Sekiranya pemerintah harus rajin menggiatkan budaya lokal, khususnya masyarakat Tuban. Tidak ada salahnya Pemda Tuban meniru Bali yang selalu menjaga kearifan lokal masyarakatnya. (nov)
Abad.id - Bangsa Indonesia mulai menapaki bulan November, bulan Pahlawan karena dibulan ini pada tanggal 10 diperingati sebagai Hari Pahlawan. Berbagai kegiatan oleh unsur unsur masyarakat sudah siap digelar. Bahkan sudah ada yang berjalan, seperti lomba penulisan sejarah, lomba design patung Bung Karno, pembuatan film dokumenter, diskusi, seminar dan napak tilas perjuangan.
Apapun model kegiatannya, tujuannya adalah satu “Jas Merah”, untuk tidak melupakan sejarah pada masa lalu. Yaitu sejarah bangsa Indonesia yang terjadi di Surabaya, tepatnya pada 10 November 1945.
Dihari itu, arek-arek Surabaya termasuk mereka dari luar kota Surabaya yang melebur jadi satu di Surabaya, “rawe rawe rantas, malang malang putung”, bahu membahu mempertahankan kemerdekaan di kota Surabaya dalam menghadapi Sekutu yang mengancam kedaulatan. Sekutu mengultimatum menghancurkan Surabaya dari serangan darat, laut dan udara. Tapi arek-arek Surabaya itu tidak gentar dengan semboyan “lebih baik mati daripada dijajah kembali”. Maka pecahlah perang Surabaya.
Perang Surabaya itu dahsyat, menakutkan, bagai neraka dunia. Perangnya berlangsung selama tiga minggu. Pertempuran itu telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Lainnya yang masih hidup mengungsi keluar kota.
Dalam rangka menghargai dan mengenang jasa jasa para pahlawan dan pejuang yang gugur, maka dibangunlah Tugu Pahlawan. Selanjutnya, pecah perang pada 10 November 1945 dipakai sebagai latar belakang ditetapkannya 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Perayaan Hari Pahlawan Nasional ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Melalui tetenger Tugu Pahlawan, bangsa Indonesia, terutama warga Surabaya, diajak untuk selalu ingat peristiwa besar dan jasa para pahlawan di masa lalu dalam mempertahankan kemerdekaan.
Secara fisik Tugu Pahlawan sendiri menyimpan pesan tentang peristiwa besar yang terjadi pada 10 November 1945. Penanggalan itu disimbolkan pada Tugu yang berdiri bagai sebuah paku yang terbalik. Tanggal 10 disimbolkan pada lekuk Tugu yang berjumlah 10, perlambang tanggal 10.
Gunungan, sabuk pengikat NKRI
Kemudian jumlah silinder yang tersusun membentuk batang Tugu ada 11 yang berarti bulan 11 atau November. Tahun seribu sembilan ratus (19) disimbolkan dengan banyaknya puncak gunungan yang teruntai bagai sabuk kesatuan pada bagian bawah batang Tugu. Gunungan ini berwarna emas. Sementara tinggi Tugu adalah 45 yards.
Jadi secara keseluruhan Tugu Pahlawan ini bermakna 10 November 1945. Ini adalah makna sebuah refleksi. Kita diajak untuk senantiasa ingat akan perjuangan para pahlawan pada masa lalu dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Karenanya Soekarno mengatakan “Jas Merah”, jangan sekali sekali melupakan sejarah.
Tugu Pahlawan Simbol Masa Depan
Tugu Pahlawan sudah diketahui secara jamak bahwa tugu, yang mulai dibangun pada November 1951 dan diresmikan pada 10 November 1952 ini, adalah simbol perjuangan masa lalu.
Namun tidak diketahui secara jamak bahwa Tugu Pahlawan ini juga sebagai simbol harapan masa depan bangsa Indonesia. Tugu Pahlawan adalah simbol proyeksi ke masa depan.
Pertanyaannya adalah dimanakah pesan proyeksi masa depan itu ditemukan atau dideskripsikan? Pesan masa depan (proyeksi) itu ada pada untaian simbol gunungan berwarna emas, yang mengikat bagian bawah batang Tugu. Ikatan gunungan berwarna emas ini juga simbol kesatuan dan persatuan NKRI.
Relief penciptaan anak manusia pada gunungan
Pada setiap gunungan (segitiga) dengan ukuran yang besar besar, terdapat relief yang bergambar rahim (yoni), penis (lingga), cakra (pusaka Krisna atau dewa Wisnu) dan trisula (pusaka dewa Siwa).
Rahim dan penis (yoni lingga) adalah perlambang penciptaan anak manusia. Sedangkan pusaka cakra dan trisula adalah perlambang putera puteri bangsa Indonesia. Pusaka ibarat pemuda pemudi Indonesia, yang menjadi subyek dalam meraih cita cita bangsa.
Relevan dengan pesan ini Bung Karno pernah berkata “Beri saya 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Ucapan ini sangat dalam maknanya, bahwa sebagai Generasi Muda harus berani menghadapi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri demi meraih cita cita bangsa.
Jika kita diingatkan pada makna refleksi 10 November 1945 (hari pahlawan), berarti kita diingatkan bagaimana para pendahulu mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan jika kita diingatkan pada mana proyeksi 10 November 1945 (hari Pahlawan), berarti kita juga diingatkan bagaimana generasi penerus harus mengisi kemerdekaan untuk meraih cita cita bangsa.
Sudahkah masyarakat Indonesia mengetahui dan mengerti makna dan cita cita masa depan bangsa pada Tugu Pahlawan?
Jika belum, maka saatnya seiring dengan mengenang jasa jasa para pejuang dan pendahulu dalam peringatan Hari Pahlawan, masyarakat Indonesia juga berfikir ke depan dalam mengisi kemerdekaan.
Jangan sampai dalam peringatan Hari Pahlawan, kita terjebak pada masa lalu dan kelangenan. Tetapi sebaliknya, dalam peringatan Hari Pahlawan, kita harus menatap masa depan dengan bekerja sesuai dengan bidang dan keahlian masing masing. Niscaya jika putera dan Puteri bangsa Indonesia yang bermodal dengan keahliannya masing masing, mereka niscaya akan mampu mengguncangkan dunia.
Orang Indonesia Pengguncang Dunia
Soekarno pernah berkata “Beri saya 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Siapakah orang orang itu. Berikut orang Indonesia yang berhasil mengguncangkan dunia misalnya melalui pidato pidatonya di PBB.
Pertama adalah Soekarno sendiri. Proklamator Indonesia, Soekarno, pernah mengguncang dunia dengan pidatonya di sidang PBB pada 30 September 1960. Adapun pidato itu bertajuk “Membangun Dunia Kembali”. Ketika itu Soekarno memperkenalkan dasar negara Indonesia yakni Pancasila. Konsep Pancasila tersebut dikatakan Soekarno sebagai inti peradaban Indonesia. Soekarno pun berhasil membuka mata dunia terkait isu antikolonialisme dan anti-imperialisme dan disambut positif oleh publik yang hadir.
Kedua Sutan Sjahrir. Ia berbicara di depan Dewan Keamanan PBB di New York pada 14 Agustus 1947. Pria berjuluk Bung Kecil itu menjelaskan sejarah Nusantara, dimulai dari masa Kerajaan Majapahit yang mampu memiliki hubungan dagang dengan Madagaskar di Afrika Timur. Ia juga menyampaikan bahwa pihak Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati dan justru mengajukan tuduhan yang tak terbukti kepada Indonesia. Pidato Sjahrir itu mampu membuat Dewan Keamanan PBB terkesan dan menindaklanjutinya dengan membentuk komisi Jasa Baik yang diisi oleh Amerika Serikat, Belgia, dan Australia.
Ketiga Agus Salim. Serupa dengan Sutan Sjahrir, Agus Salim juga turut menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB pada 14 Agustus 1947. Dalam pidato yang disampaikannya, ia berhasil menjaring dukungan dari mayoritas peserta PBB kepada Indonesia, terkait penyelesaian Agresi Militer Belanda I. Sebelumnya, Agus Salim ditunjuk sebagai ketua misi diplomatik Indonesia ke negara-negara Arab sepanjang April hingga Juli 1947.
Siapa tokoh tokoh Indonesia lainnya? Setidaknya ada seperti Rudy Hartono dan Liem Swie King yang mengharumkan nama Indonesia dari dunia olahraga bulutangkis.
Di bidang start up, pebisnis online dunia dibuat kagum oleh Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek, yang sekarang menjadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Juga ada nama Achmad Zaky, CEO Bukalapak.com. Ada lagi lainnya Gamal Ali Bin Said, asal Malang Jawa Timur, yang berhasil mencuri perhatian Pangeran Charles Inggris atas inovasi Asuransi Bank Sampahnya.
Mereka semua adalah putera dan Puteri bangsa Indonesia, yang berhasil mengguncangkan dunia lewat prestasi di bidang masing-masing. Kini saatnya dalam peringatan Hari Pahlawan, para pemuda pemudi diingatkan untuk menyongsong hari esok. (Nanang).
Penulis : Nanang Purwono