Foto-foto Soekarno dan Che menunjukkan hubungan yang sangat dekat.
abad.id- Di tengah kesibukan usai menjadi tuan rumah konfrensi Asia Afrika di Bandung, Sukarno Presiden Indonesia masih menyempatkan diri menerima tamu penting pemimpin negara undangan. Indonesia mendapat lawatan khusus Che pada tahun 1959. Dia menemui Presiden Soekarno di Jakarta. Keduanya berdiskusi panjang lebar soal revolusi di masing-masing negara.
Tampaknya keduanya cocok karena sama-sama anti imperialis. Selain berdiskusi, Che juga menjalin kerjasama di bidang ekonomi antara Indonesia dan Kuba. Che juga sempat berwisata ke Candi Borobudur. Dia terkesan dengan Soekarno kemudian mengundang Soekarno untuk ganti berkunjung ke Kuba.
Dasa Sila Bandung hasil konfrensi Asia Afrika telah menginsiprasi negara-negara jajahan eropa menuntut kemerdekaan.
Che dan Presiden Soekarno merasa punya hubungan emosional sangat dekat. Keduanya saling mengagumi dan mempunyai semangat yang sama untuk memajukan negara-negara dunia ketiga. Oleh karena itulah, Che pun tidak hanya mencintai bangsa Indonesia, namun juga mengagumi Soekarno.
Kedatangan Che Guevara mewakili Fidel Castro yang masih mengatur negara yang baru memenangkan revolusi di Kuba. Castro mengutus Che melawat ke negara-negara Asia. Ada 14 negara yang dikunjungi Che, sebagian besar negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Ada kisah unik dalam pertemuan dua flamboyan ini. Untuk menjebatani komunikasi, ditunjuk seorang penerjeah bahasa. Pada kesempatan itu dimanfaatkan tokoh revolusi Kuba, Che Guevara untuk bertanya apa saja, termasuk hal yang bersifat pribadi. Ada pertanyaan kepada Soekarno yang disebut-sebut hampir membuat sang penerjemah pingsan.
Seperti yang dituliskan Sigit Aris Prasetyo dalam bukunya yang berjudul Dunia dalam Genggaman Bung Karno (2017). Disebutkan, saat itu Che Guevara banyak bertukar pikiran dengan Soekarno tentang konsep kepemimpinan Indonesia. Tidak hanya itu, Che Guevara juga berkesempatan untuk menikmati budaya Indonesia.
Che Guevara memang sangat menyukai budaya Indonesia. Sebab pemimpin revolusioner Kuba itu rupanya juga memiliki hobi fotografi, dan pernah berpetualangan keliling benua Amerika untuk mengorbankan semangat revolusi. Pada suatu kesempatan Che Guevara menanyakan sesuatu yang agak pribadi kepada Soekarno.
Menurut penulis buku tersebut, pertanyaan Che Guevara itu muncul karena masih dibakar semangat darah muda. Pertanyaan itu diucapkan Che Guevara dalam bahasa Spanyol yang tidak dimengerti Sukarno.
"Tuan Sukarno, Tuan sudah menunjukkan saya koleksi yang Anda miliki, apakah Anda juga akan menunjukkan saya koleksi gadis Rusia yang katanya sebagai koleksi terbaik Tuan?" tanya Che.
Pertanyaan Che itu sontak membuat seorang penerjemah asal Kuba yang mendampinginya saat itu sontak kaget. Sang penerjemah tampaknya ketakutan untuk menerjemahkannya secara langsung kepada Soekarno. "Untung sang penerjemah tidak langsung menerjemahkan, yang pastinya akan sangat memalukan Soekarno," tulis Sigit.
Sebagai timbal balik kedekatan hubungan dua negara, tahun 1960, Soekarno gantian melawat ke Kuba. Pemimpin Kuba Fidel Castro langsung menyambutnya di Bandara Havana. Soekarno disambut meriah. Warga Kuba berdiri di sepanjang jalan membentangkan poster bertuliskan 'Viva President Soekarno'.
Dalam pertemuannya, Soekarno melanjutkan berdiskusi dengan Castro soal apa yang telah dilakukannya di Indonesia. Di tengah kepulan cerutu kuba yang legendaris, Soekarno memaparkan konsepnya soal Marhaenisme. Soekarno menjelaskan kemandirian di bidang ekonomi. Bagaimana rakyat bisa menjadi tuan di negerinya sendiri tanpa didikte imperialisme.
Fidel Castro yang juga anti-Amerika klop dengan Soekarno. Sejarah menunjukkan keduanya tidak pernah mau didikte Amerika Serikat.
Soekarno menghadiahi Castro keris, senjata asli Indonesia. Mereka tertawa seperti dua sahabat saat bertukar penutup kepala. Soekarno menukar kopiahnya dengan topi ala komandan militer yang menjadi ciri khas Castro. Che pun tampak senang mengenakan kopiah Soekarno.
Saat itu revolusi baru saja terjadi di Kuba. Castro dan Che baru menumbangkan rezim Batista dan mengambil alih kepemimpinan Kuba tahun 1959. Karena itu euforia revolusi terjadi di semua pelosok Kuba.
Yang unik, rombongan kepresidenan sempat berhenti hanya karena petugas polisi yang memimpin konvoi ingin menghisap cerutu. Cerita itu dituturkan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia.
Saat itu dalam konvoi Soekarno ada tiga polisi yang memimpin iring-iringan kepresidenan sekaligus membuka jalan. Tiba-tiba polisi pemimpin konvoi menghentikan motornya dan menyuruh konvoi berhenti. Tentu saja semua peserta bertanya-tanya kenapa konvoi berhenti.
Polisi itu lalu mengeluarkan cerutu, dan menghampiri sopir Soekarno. Rupanya dia mau pinjam korek untuk menyalakan cerutu. Setelah menyala, polisi itu lalu memberi hormat pada Soekarno. Dia menaiki motornya dan memimpin konvoi kembali dengan gagah. Sambil menghisap cerutu kuba tentu saja.
"Bung Karno tertawa berderai melihat itu. Rupanya dia cukup paham Kuba masih dalam revolusi," ujar Bambang.
Lawatan ke Kuba sangat mengesankan Soekarno. Sangat berbeda dengan lawatannya ke Washington beberapa waktu sebelumnya. Kala itu Soekarno tersinggung dengan Presiden Amerika Serikat Eisenhower yang sombong. (pul)
Foto-foto Soekarno dan Che menunjukkan hubungan yang sangat dekat.
abad.id- Di tengah kesibukan usai menjadi tuan rumah konfrensi Asia Afrika di Bandung, Sukarno Presiden Indonesia masih menyempatkan diri menerima tamu penting pemimpin negara undangan. Indonesia mendapat lawatan khusus Che pada tahun 1959. Dia menemui Presiden Soekarno di Jakarta. Keduanya berdiskusi panjang lebar soal revolusi di masing-masing negara.
Tampaknya keduanya cocok karena sama-sama anti imperialis. Selain berdiskusi, Che juga menjalin kerjasama di bidang ekonomi antara Indonesia dan Kuba. Che juga sempat berwisata ke Candi Borobudur. Dia terkesan dengan Soekarno kemudian mengundang Soekarno untuk ganti berkunjung ke Kuba.
Dasa Sila Bandung hasil konfrensi Asia Afrika telah menginsiprasi negara-negara jajahan eropa menuntut kemerdekaan.
Che dan Presiden Soekarno merasa punya hubungan emosional sangat dekat. Keduanya saling mengagumi dan mempunyai semangat yang sama untuk memajukan negara-negara dunia ketiga. Oleh karena itulah, Che pun tidak hanya mencintai bangsa Indonesia, namun juga mengagumi Soekarno.
Kedatangan Che Guevara mewakili Fidel Castro yang masih mengatur negara yang baru memenangkan revolusi di Kuba. Castro mengutus Che melawat ke negara-negara Asia. Ada 14 negara yang dikunjungi Che, sebagian besar negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Ada kisah unik dalam pertemuan dua flamboyan ini. Untuk menjebatani komunikasi, ditunjuk seorang penerjeah bahasa. Pada kesempatan itu dimanfaatkan tokoh revolusi Kuba, Che Guevara untuk bertanya apa saja, termasuk hal yang bersifat pribadi. Ada pertanyaan kepada Soekarno yang disebut-sebut hampir membuat sang penerjemah pingsan.
Seperti yang dituliskan Sigit Aris Prasetyo dalam bukunya yang berjudul Dunia dalam Genggaman Bung Karno (2017). Disebutkan, saat itu Che Guevara banyak bertukar pikiran dengan Soekarno tentang konsep kepemimpinan Indonesia. Tidak hanya itu, Che Guevara juga berkesempatan untuk menikmati budaya Indonesia.
Che Guevara memang sangat menyukai budaya Indonesia. Sebab pemimpin revolusioner Kuba itu rupanya juga memiliki hobi fotografi, dan pernah berpetualangan keliling benua Amerika untuk mengorbankan semangat revolusi. Pada suatu kesempatan Che Guevara menanyakan sesuatu yang agak pribadi kepada Soekarno.
Menurut penulis buku tersebut, pertanyaan Che Guevara itu muncul karena masih dibakar semangat darah muda. Pertanyaan itu diucapkan Che Guevara dalam bahasa Spanyol yang tidak dimengerti Sukarno.
"Tuan Sukarno, Tuan sudah menunjukkan saya koleksi yang Anda miliki, apakah Anda juga akan menunjukkan saya koleksi gadis Rusia yang katanya sebagai koleksi terbaik Tuan?" tanya Che.
Pertanyaan Che itu sontak membuat seorang penerjemah asal Kuba yang mendampinginya saat itu sontak kaget. Sang penerjemah tampaknya ketakutan untuk menerjemahkannya secara langsung kepada Soekarno. "Untung sang penerjemah tidak langsung menerjemahkan, yang pastinya akan sangat memalukan Soekarno," tulis Sigit.
Sebagai timbal balik kedekatan hubungan dua negara, tahun 1960, Soekarno gantian melawat ke Kuba. Pemimpin Kuba Fidel Castro langsung menyambutnya di Bandara Havana. Soekarno disambut meriah. Warga Kuba berdiri di sepanjang jalan membentangkan poster bertuliskan 'Viva President Soekarno'.
Dalam pertemuannya, Soekarno melanjutkan berdiskusi dengan Castro soal apa yang telah dilakukannya di Indonesia. Di tengah kepulan cerutu kuba yang legendaris, Soekarno memaparkan konsepnya soal Marhaenisme. Soekarno menjelaskan kemandirian di bidang ekonomi. Bagaimana rakyat bisa menjadi tuan di negerinya sendiri tanpa didikte imperialisme.
Fidel Castro yang juga anti-Amerika klop dengan Soekarno. Sejarah menunjukkan keduanya tidak pernah mau didikte Amerika Serikat.
Soekarno menghadiahi Castro keris, senjata asli Indonesia. Mereka tertawa seperti dua sahabat saat bertukar penutup kepala. Soekarno menukar kopiahnya dengan topi ala komandan militer yang menjadi ciri khas Castro. Che pun tampak senang mengenakan kopiah Soekarno.
Saat itu revolusi baru saja terjadi di Kuba. Castro dan Che baru menumbangkan rezim Batista dan mengambil alih kepemimpinan Kuba tahun 1959. Karena itu euforia revolusi terjadi di semua pelosok Kuba.
Yang unik, rombongan kepresidenan sempat berhenti hanya karena petugas polisi yang memimpin konvoi ingin menghisap cerutu. Cerita itu dituturkan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia.
Saat itu dalam konvoi Soekarno ada tiga polisi yang memimpin iring-iringan kepresidenan sekaligus membuka jalan. Tiba-tiba polisi pemimpin konvoi menghentikan motornya dan menyuruh konvoi berhenti. Tentu saja semua peserta bertanya-tanya kenapa konvoi berhenti.
Polisi itu lalu mengeluarkan cerutu, dan menghampiri sopir Soekarno. Rupanya dia mau pinjam korek untuk menyalakan cerutu. Setelah menyala, polisi itu lalu memberi hormat pada Soekarno. Dia menaiki motornya dan memimpin konvoi kembali dengan gagah. Sambil menghisap cerutu kuba tentu saja.
"Bung Karno tertawa berderai melihat itu. Rupanya dia cukup paham Kuba masih dalam revolusi," ujar Bambang.
Lawatan ke Kuba sangat mengesankan Soekarno. Sangat berbeda dengan lawatannya ke Washington beberapa waktu sebelumnya. Kala itu Soekarno tersinggung dengan Presiden Amerika Serikat Eisenhower yang sombong. (pul)
Strategi gerilya Pak Dirman menjadi puncak kegemilangan perjuangan anak bangsa. Bahkan Che Guevara yang dikenal tokoh revolusioner meniru perang gerilya Pak Dirman sebelum menumbangkan kediktatoran rezim Kuba.
Abad.id Tubuhnya kurus kering, wajah pucat, kurang istirahat. Ia mengalami sakit paru-paru dan harus dioperasi. Sehingga saat keluar masuk hutan bersama pasukannya, dia harus ditandu.
Dengan satu paru-paru, keadaan Panglima Besar Jenderal Sudirman benar-benar sangat lemah. Namun demikian, semangat dan kecintaan terhadap Tanah Air membuat lelaki kurus ini justru diperhitungkan. Belanda pun dibuat kalang kabut.
Pak Dirman, sebutan Jenderal Sudirman, memilih jalan gerilya karena suatu kondisi. Dengan jumlah pasukan, persenjataan dan logistik yang minim, tidak memungkinkan bagi pasukan Indonesia untuk berhadap-hadapan dengan Belanda.
Untuk urusan bela negara, Pak Dirman memang tak kenal kompromi. Ia telah mengambil sumpah jabatan untuk melindungi negara sampai mati. Sumpah yang ia tulis lalu ia bacakan sendiri saat pelantikannya sebagai panglima besar. Sementara Presiden Soekarno dan seluruh panglima divisi hanya menyaksikan dan mengamini pembacaan sumpah sakral itu.
Setelah membuat keputusan penting: ia keluar dari Kota Yogyakarta untuk berperang gerilya dan mulai memetakan rute gerilya.
Gunung Wilis dipilih menjadi tujuan akhir perjalanan mereka. Gunung Wilis dinilai strategis karena di tempat itu, panglima setempat telah menyiapkan Markas yang dilengkapi pemancar radio. Fasilitas itu memudahkan panglima untuk mengirimkan komando ke anak buahnya ke penjuru tanah air.
Ya, dalam perang gerilya, tugas prajurit bukan cuma memanggul senjata seperti lazimnya perang, melainkan juga memanggul ideologi. Bukan bukan cuma pelopor pertempuran tetapi pelopor ideologi.
Sejarah menunjukkan perang gerilya yang dipimpin Pak Dirman senantiasa sebagai pelopor perjuangan ideologi. Rakyat yang tertindas, rakyat yang terjajah, rakyat yang teraniaya oleh pendudukan, mengepalkan tangannya untuk mengenyahkan penjajahan, si penindas dan si penduduk yang kejam. Penderitaan perjuangan akan terasa ringan jika dipikul bersama dibandingkan dengan kesengsaraan penindasan, penjajahan dan pendudukan yang kejam.
Strategi gerilya Pak Dirman ini kemudian menjadi puncak kegemilangan perjuangan anak bangsa. Strategi itu berhasil mempersulit Belanda dan kemudian dicontoh Vietnam dalam perang melawan Amerika Serikat. Bahkan Che Guevara yang dikenal tokoh revolusioner juga melakukan hal serupa (perang gerilya) sebelum menumbangkan kediktatoran rezim Kuba.
Tokoh revolusioner Kuba, Che Guevara saat perang gerilya.
Dalam memimpin perang gerilya melawan Belanda sejak Desember 1948 hingga Juli 1949, Pak Dirman tidak main-main. Dan, ia tidak pernah sekalipun tertangkap. Bersama pasukannya, Pak Dirman telah menempuh perjalanan selama tujuh bulan sepanjang 1.000 kilometer.
Rute gerilya Pak Dirman menjadi sangat legendaris. Dia memulai taktik perang gerilya dari wilayah Yogyakarta dengan memasuki wilayah Mataraman. Wilayah Mataraman dipilih karena bukan tanpa alasan.
Menurut Achmad Zainal Fachris, sejarawan dan penggiat Komunitas Budayawan Eling Handarbeni Hangrungkepi Upaya Madya (Edhum) Kediri mengatakan, rute Pak Dirman menyusuri wilayah tertimur (Mataraman) hingga kembali ke barat dan berakhir di Yogya lagi, karena hasil perjanjian Renville wilayah Republik menyempit.
Disebutkan saat itu wilayah Arek sudah dikuasai Belanda. Jika masuk wilayah itu sama dengan bunuh diri. Dan yang tersisa adalah wilayah Mataraman. Di wilayah ini, Pak Dirman dan pasukannya menuju ke kantung-kantung gerilya yang jumlah massanya besar.
“Saat sampai kantung gerilya, Sudirman pun menggelorakan agar ikut serta melawan tentara Belanda,” ujar Zainal.
Kediri, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, dan Nganjuk dipilih karena masa itu memiliki pendukung besar. Hal itu bisa dirunut dari banyaknya mantan tentara yang berasal dari santri pondok. Pasalnya, pesantren-pesantren di wilayah Mataraman adalah basis massa bekas prajurit Pangeran Diponegoro.
“Sang Jenderal juga menyasar para pasukan Hisbullah maupun Sabilillah yang berasal dari kaum santri untuk ikut bergerilya,” terangnya.
Rute yang ditempuh Pak Dirman, yakni Yogyakarta, Bantul, dusun Bakulan (Kecamatan Jetis, Bantul), Kretek (Kecamatan Kretek, Bantul), dusun Grogol (Desa Parangtritis Kecamatan Kretek, Bantul), Parangtritis (Kecamatan Kretek, Bantul), Panggang (Kecamatan Panggang, Gunungkidul), Paliyan (Kecamatan Paliyan, Gunungkidul), Playen (Kecamatan Playen, Gunungkidul), Wonosari, Semanu, Bedoyo (Ponjong, Gunungkidul), Pracimantoro (Pracimantoro, Wonogiri), Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono (Wonogiri), Purwantoro (Wonogiri), Sumoroto (Kauman, Ponorogo), Ponorogo, Jetis (Jetis, Ponorogo), Sambit (Sambit, Ponorogo), Sawoo (Sawoo, Ponorogo), Nglongsor (Tugu, Trenggalek), Trenggalek, Kalangbret, Tulungagung, Kediri, Karangnongko, Goliman (Desa Parang Banyakan, Kediri), Bajulan (Loceret, Nganjuk), Salamjudeg, Makuto, Sawahan, Ngliman (Nganjuk), Gedangklutuk, Wates, Serang, Desa Jambu (Ponorogo), Desa Wayang (Pulung Ponorogo), Dusun Banyutowo (Pulung, Ponorogo), Desa Sedayu (Ponorogo), Dusun Warungbung (Sooko, Ponorogo), dusun Gunungtukul (Desa Suru Sooko, Ponorogo), Desa Ngindeng (Kecamatan Sawoo, Ponorogo), Desa Tumpakpelem (Kecamatan Sawoo, Ponorogo), Nglongsor (Kecamatan Tugu, Trenggalek), Trenggalek (Trenggalek), Karangan (Kecamatan, Karangan, Trenggalek), Suruhwetan (Suruh Trenggalek), Dongko (Trenggalek), Panggul (Kecamatan Panggul, Trenggalek), Desa Bodag (Panggul, Trenggalek), Desa Nogosari (Ngadirojo, Pacitan), Gebyur, Pringapus (Tulakan Pacitan), Desa Wonosidi (Tulakan, Pacitan), desa Ketro (Tulakan Pacitan) dusun Wonokerto (Kecamatan Nawangan, Pacitan), Tegalombo (Tegalombo, Pacitan), Mujing (Nawangan, Pacitan), Nawangan (Nawangan, Pacitan), Ngambarsari (Kecamatan Karangtengah, Wonogiri), Dusun Sobo (desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan, Pacitan). Kembali ke Yogyakarta : dusun Sobo (desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan, Pacitan), Tirtomoyo (Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri), Baturetno (Kecamatan Baturetno, Wonogiri), dusun Pulo (desa Kasihan kecamatan Ngadirojo Wonogiri), Karangbendo (Wonogiri), Ponjong (Kecamatan Ponjong, Gunungkidul), desa Karangmojo (Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul), desa Gari (Kecamatan Wonosari Gunungkidul), Piyungan (kecamatan Piyungan, Bantul), Prambanan (Kecamatan Prambanan, Sleman).
Rute gerilya tidak mengenakkan
Selama gerilya, pasukan Pak Dirman kadang melakukan tugas yang berbeda, tidak sekedar perang. Mereka harus mencari bahan makanan, keluar masuk desa menginap di rumah penduduk, merawat yang luka, menandu Pak Dirman atau kawan terluka hingga berkilo-kilo jauhnya.
Gerilya Pak Dirman dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mengepung daerah pertahanan musuh, melakukan serangan dengan mendadak dan kemudian menghilang di kegelapan malam atau masuk ke daerah persembunyian di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tak terhitung, berapa kali mereka berhadapan dengan serdadu Belanda selama bergerilya.
Sebagian pasukan pengawal gugur dalam pertempuran. Banyak prajurit yang bertempur di kota menyusul Pak Dirman untuk menambah kekuatan. Rute gerilya sangat tak mengenakkan di wilayah selatan, melalui Gunung Kidul. Rute ini dikenal daerah rawan kekurangan pangan.
Pelantikan Pak Dirman oleh Presiden Sukarno sebagai panglima besar.
Di sini Pak Dirman dan pasukannya berada di titik nadir, antara hidup dan mati. Mereka sangat kelaparan. Asupan gizi kurang. Makanan bergantung dari warga yang ikhlas mengirim bantuan makanan. Jika tak ada bantuan makanan, mereka terpaksa memakan buah-buahan yang ditemui di hutan untuk bertahan hidup.
“Bagaimana kami bertahan hidup selama berbulan-bulan bergerilya? Jawabannya adalah mukjizat Tuhan. Karena kami sering tidak makan, bahkan sampai tiga hari tidak makan,” terang Ajudan II Jenderal Soedirman, Mayor Purnawirawan Abu Arifin.
Meski keadaan Pak Dirman sangat lemah, tetapi dia masih memikirkan anak buahnya. Bahkan dia menawari pasukannya yang tidak kuat agar kembali ke kota. “Apa jawaban kami, tidak ada dari kami (prajurit) yang mau kembali, karena kami sudah seiya sekata dengan panglima sampai mati,” kata Abu.
Saat paling mengerikan saat tentara Belanda mengepung Pak Dirman di hutan rotan sekitar Kediri hingga 5 hari 5 malam. Itu kondisi sangat genting. Kesehatan Pak Dirman semakin menurun. Sakitnya kian parah. Ia tak bisa lagi digendong. Untuk memulihkan kondisi, Pak Dirman butuh asupan makanan. Sementara para pejuang sendiri juga menahan lapar karena berhari-hari tertawan di hutan. Di saat yang sama, serdadu Belanda tetap mengepung dan tak memberikan ruang untuk memperoleh bantuan makanan.
Namun Ajudan 1 Soepardjo Rustam alias Pardjo memilih ambil risiko. Ia mencoba keluar hutan meski kawasan itu telah dikepung tentara Belanda. Pardjo harus bisa keluar hutan menuju desa terdekat untuk mendapatkan makanan, bagaimanapun caranya.
Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman Mayor Purnawirawan Abu Arifin.
Tidak ada benda berharga yang dimiliki pengawal untuk ditukar dengan makanan ke penduduk desa. Pardjo akhirnya mengangkut kemeja usang dan sarung bekas dengan harapan bisa dibarter dengan nasi.
Ia mencari pos pasukan Belanda yang paling lemah. Dari situ, ia berusaha menyelinap meski maut tetap mengintai. “Boro-boro dapat nasi, rakyat saja susah cari makan. Akhirnya kemeja dan sarung itu ditukar dengan oyek (tiwul),” kenang Pardjo.
Tak pernah berhenti berdzikir
Di mata anak buahnya, Pak Dirman dikenal sosok penyabar dan saleh. Bahkan dalam kondisi sakit saat bergerilya di hutan, dia tidak pernah berhenti berdzikir. Menurut orang-orang yang pernah terlibat dalam gerilya, itulah rahasia kekuatan Pak Dirman.
Pernah suatu ketika, Pak Dirman nyaris ditangkap Belanda. Ada salah satu anak buahnya yang berkhianat dan memberitahu tempat persembunyian Pak Dirman. Belanda lantas mengepung. Pak Dirman yang juga seorang santri lantas memilih tidak bersembunyi. Dia malah ikut menggelar doa tahlilan bersama prajuritnya di rumah penduduk. Begitu para tentara musuh menyergap persembunyian Pak Dirman, mereka tidak percaya bahwa yang sedang tahlilan itu adalah Jenderal Sudirman.
Kesalehan Pak Dirman lainnya juga ditunjukkan saat ditanya oleh anak buahnya. Mereka bertanya mengapa Pak Dirman kuat bergerilya padahal kondisinya sedang sakit. Sudirman saat itu menjawab sambil tersenyum. Dia bilang bahwa dia tidak pernah “gantung wudu”. Artinya, dia selalu berwudu.
“Kamu mau tahu jimatku? Kamu tahu air kendi yang selalu aku bawa ini? Jimat pertamaku, aku selalu dalam keadaan suci. 24 jam setiap hari aku menjaga wudhu. Kalau batal aku langsung wudhu lagi. Jimat keduaku, aku menjaga salatku. Jimat ketigaku, aku berjuang hanya untuk negara dan bangsa ini tanpa pernah secuil pun memikirkan diriku pribadi,” jawab Pak Dirman.
Setiap bertemu dengan penduduk desa, Pak Dirman selalu minta air di dalam kendi untuk berwudhu. Menurut Sardiman, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), hal itu menguatkan anggapan jika kekuatan Sudirman pada air wudhu. Dia juga berprinsip tidak pernah meninggalkan salat dalam keadaan apa pun. Jika tidak bisa berdiri, ia salat dalam keadaan duduk. Jika tidak bisa duduk, salat dilakukan dengan berbaring.
Hampir semua orang tahu Pak Dirman sangat dekat dengan Islam. Para anak buahnya bahkan kerap memanggil Pak Dirman dengan sebutan Kajine, istilah Jawa untuk panggilan Pak Haji. Padahal dia belum pernah ke Mekkah.
Dalam perjalanan gerilya, setiap mampir di pedesaan atau kampung, Pak Dirman selalu menyelenggarakan pengajian. Tiap malam, walau ia tengah menderita penyakit paru-paru yang kronis, Pak Dirman selalu menunaikan salat tahajud. Maklum, Pak Dirman dulunya berasal dari keluarga santri.
“Dengan menjaga wudhu, salat dan rajin puasa itulah, Pak Dirman selalu ikhlas berjuang untuk rakyat. Sikap prihatinnya juga tampak ketika dia menghadapi masalah dan selalu sabar dalam mencari solusi,” tutur Sardiman.
Rombongan utusan Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertemu Jenderal Soedirman di rumah di Dusun Kerjo, Desa Genjahan, Ponjong, Gunungkidul.
Di kalangan tentara dan masyarakat, Pak Dirman kerap mengobarkan semangat jihad. Hubungan dengan pesantren-pesantren diugemi sebagai kedekatan antara santri dan ulama. Sebagai contoh, pada waktu pertempuran di Magelang, kemudian di Ambarawa, Pak Dirman sering ada di Payaman (sebelah utara Magelang) dan bekerja sama dengan pondok pesantren yang dipimpin Kyai Siraj. Pesantren ini banyak menggiring santrinya untuk berjihad dalam pertempuran Ambarawa.
Bukti lain Pak Dirman dekat dengan perjuangan Islam adalah pada pertengahan tahun 1946, beliau mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang di Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di rumah Kyai H. Adnan di Tegalsari, Surakarta. Kedatangan sang jenderal besar kontan makin menambah semangat juang anggota Hisbullah-Sabilillah yang tengah bersiap berangkat ke medan perang.
Keikhlasan yang dimiliki Pak Dirman selama gerilya, membuat rakyat menaruh hormat dan turut mendukung perjuangannya. Setiap perjalanan gerilya Pak Dirman, selalu mendapat tempat di hati warga.
Salah satu persinggahan Pak Dirman di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Menjadi lokasi untuk mengecoh lawan. Di sini semangat warga melindungi Pak Dirman dan pasukan sangat kentara.
Tukiyem, 80, wanita asal Dusun Salam Judeg Desa Blongko Kecamatan Ngetos, pernah menceritakan dia menjadi saksi hidup rumahnya disinggahi oleh Pak Dirman yang sedang menghindar dari kejaran Belanda.
Dalam ingatan Tukiyem, saat Belanda melakukan serangan di persinggahan Pak Dirman di Bajulan, kala itu pasukan memilih berpindah tempat dan menginap di rumah Tukiyem.
Sekitar pukul 15.00 WIB, saat itu Pak Dirman ditandu oleh pasukannya singgah dan diantar oleh Radi, seorang perangkat desa yang merupakan paman Tukiyem. Saat itu usia Tukiyem masih tujuh tahun dan dia tinggal bersama ibunya Rakiyem.
Tukiyem, saksi mata sejarah gerilya Pak Dirman.
“Kulo tasih iling pas dugi teng griyo enten suwanten bledosan dateng ngandap mriko (Saya masih ingat ketika datang ke rumah, ada suara ledakan di bawah sana),” ujar wanita lanjut usia ini.
Demi keamanan pasukan, Tukiyem diwanti-wanti ibunya agar merahasiakan keberadaan tamu besar dan memanggil Pak Dirman dengan sebutan Pakde (paman).
Kenangan lain yang dirasakan Tukiyem adalah saat dipan (tempat tidur dari bambu) miliknya yang terletak di ruang tengah rumah, tempat ia biasa istirahat digunakan untuk tidur oleh Sudirman. “Namung sewengi nginep terus mlampah maleh pas srengenge mletek (hanya semalam menginap lalu pergi lagi saat matahari terbit),” terang Tukiyem.
Yang paling diingat Tukiyem saat ia diminta untuk memasak dan menyajikan kepada pasukan Sudirman. Kala itu yang paling mungkin dan mudah didapat adalah memasak daun ubi kayu yang dikenal beracun. Ia dan ibunya menyajikan makanan dengan ikhlas. Istilah beracun itu bukan berarti daun yang mereka sajikan mengandung racun.
“Kulo kaleh biyung dikengken masak godhong ron racun. Ning nggih mboten mendemi (saya sama ibu diminta memasak daun singkong racun. Tapi ya tidak mematikan),” imbuh Tukiyem sambil pandangannya menerawang mengingat sesuatu.
Selama menginap di rumah Tukiyem, Pak Dirman dan pasukannya sempat menggali lubang sedalam satu meter di belakang rumahnya. Lubang itu dipakai untuk mengubur sejumlah dokumen penting yang dibawa Pak Dirman dari Desa Bajulan. Hingga kini menjadi sesuatu yang masih dirahasiakan dan tidak ada satupun yang mengetahui. “Mboten enten sing ngertos (tidak ada yang tahu),” kenang Tukiyem.
Adapun kenangan terakhir Pak Dirman sebelum berpisah dengan Tukiyem, dia berpesan agar kelak Tukiyem jangan menikah dengan tentara. “Pesan Pak Dhe, ojo rabi karo tentara, mergo ditinggal lungo nek usum perang, rabio karo tani sing iso mulyakne wong luwe (Pesan Paman, jangan menikah dengan tentara, jika musim perang ditinggal pergi, menikahlah dengan petani yang bisa mensejahterakan orang lapar),” pungkasnya.
Pak Dirman adalah satu contoh pemimpin yang mendedikasikan perjuangan untuk hal-hal yang tidak bersifat material. Keikhlasannya menjadi sumber kekuatan. Dia pun menjadi istimewa di mata rakyat. Dan, rakyat pun membalasnya dengan ikhlas.@dbs/nov
Abad.id Seorang pria paruh baya lunglai setelah dihujani peluru. Tak lama setelahnya, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Peluru-peluru tersebut telah mengakhiri kisah perjuangannya melawan kapitalis.
Tepat 9 Oktober 1967, Che Guevara tewas setelah peluru menghujam tubuhnya. Tokoh revolusioner ini meninggal dunia oleh hukuman tembak setelah sehari sebelumnya ditangkap tentara Bolivia.
Sejak itu nama Che Guevara terus terkenang hingga kini. Sebagian orang mengingatnya sebagai pemberontak, namun sebagian besar lainnya menganggapnya sebagai pahlawan. Kisah perjuangannya akan selaku dikenang.
Che Guevara akan selalu dianggap sebagai pejuang revolusi Marxis di Argentina. Lelaki ini terlahir pada 14 Juni 1928 dengan nama Ernesto Guevara Lynch de La Serna. Dia lahir di Rosario, kota terbesar di provinsi Santa Fe, di pusat Argentina (300 km barat laut dari Buenos Aires).
Sejak usia dua tahun, anak dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol menderita penyakit asma akut. Kondisi kesehatan Che yang demikian membuat orangtuanya mencari daerah yang lebih kering. Mereka ingin Che sehat dan daerah yang dipilihnya adalah Alta Gracia (Córdoba). Sayangnya kesehatan Che tak mengalami perubahan yang berarti.
Che lahir dari keluarga kaya, awalnya ia tak berminat di bidang politik, seluruh pikirannya hanya terpusat pada penyakitnya ‘asma’. Ia sangat tersiksa dengan penyakitnya ini, ia terus mencari tahu informasi tentang penyembuhan penyakitnya.
Hobi membacanya tumbuh karena ibunya Celia de la Serna, amat berminat di bidang sastra, ia ingin anaknya menyukai membaca, Celia tak hanya mengajari anaknya tentang huruf, ia mengajari kosa kata yang hidup, dari ibunya-lah pertama kali Che, mengenali bahwa ‘dibalik aksara’ ada kehidupan.
Karena itulah ia banyak membaca literatur tokoh dunia di perpustakaannya. Di umur 12 tahun ia suka sekali berkutat di ruang perpustakaan ayahnya. Dan ada satu buku yang amat menarik, sebuah buku berbahasa Spanyol terjemahan dari bahasa Jerman. Judulnya ‘Das Kapital’ karangan Karl Marx.
Ia menggeluti buku ini, ia mendefinisikan kemanusiaan, ia mendefinisikan bagaimana komoditi kemudian berkembang bukan sebagai ‘alat yang memudahkan manusia’ tapi sebagai alat penindasan–manusia terasingkan oleh kehidupannya.
Minat baca yang demikian tinggi telah menjadikannya seorang pemuda yang cerdas dan mengetahui tokoh-tokoh revolusioner dunia seperti Karl Marx, Engels, dan Sigmund Freud.
Untuk melanjutkan tingkat pendidikan dasarnya, Che kemudian dimasukan ke sekolah menengah pertama Colegio Nacional Deán Funes di Cordoba (1941). Di sekolah ini mendapat predikat terbaik untuk bidang sastra dan olahraga.
Terjunnya Che ke kancah perjuangan rakyat berawal saat dirinya melihat para pengungsi perang sipil Spanyol akibat rentetan krisis politik di Argentina. Krisis yang kemudian semakin memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis Juan Peron.
Kondisi ini membuat hati Che tergerak untuk melakukan perlawanan. Terlebih, Juan Peron merupakan pemimpin yang paling ditentangnya.
Sebagai wujud perlawanan pertamanya terhadap pemerintah fasis, Che mengangkatnya dalam sebuah karya sastra, pantomin.
Dia menuangkan kebencian akan politisi militer dan kaum kapitalis di sebuah pertunjukan pantomin Demokrasi di parlemen.
Namun, Che masih terlalu muda untuk terjun langsung ke dunia politik dan memimpin rekan-rekannya untuk melawan kapitalisme. Karenanya Che muda tidak bergabung dalam gerakan pelajar revolusioner.
Minat politiknya saat itu masih sangat sedikit. Dan itu dipelajarinya saat dia menuntut ilmu kedokteran di Universitas Buenos Aires, (1947).
Che memilih dunia kedokteran karena ingin mempelajari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Namun, sayangnya dia justru tertarik pada penyakit kusta.
Perjalanan ke Beberapa Negara
Usianya telah memasuki 21 tahun. Che muda memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang menjelajahi Argentina Utara pada 1949. Dengan menggunakan sepeda motor, Che mulai menelusuri desa-desa dan kota-kota terpencil dan terpelosok di Argentina Utara.
Ia mengajak kawannya Alberto Granado keliling Argentina. Semua hutan dimasukinya, melewati sungai, melihat perkampungan-perkampungan yang tak terlihat dengan motornya. Ia menaiki rakit dan berjalan terus menantang sinar matahari, dan tangannya mencoba meraih bulan di angkasa, hatinya penuh, ia bergembira sekaligus bertanya ‘kemanusiaan, kemanusiaan…’.
Ya, Che, menemukan kebahagiaan di atas tunggangannya, kuda besi dan dengan buku berlapis kulit ia mencatat seluruh yang ia lihat, orang miskin, para Indian yang terpinggirkan, mereka yang terlupakan, mereka yang harus berkutat dengan kehidupan, seluruh dari mereka yang tak bebas dan harus dibebaskan.
Dari situlah Che menyadari betapa sulitnya hidup di negara yang dipimpin oleh kaum kapitalis. Dalam perjalanannya, Che bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian.
Pengalaman dan pemikirannya dalam dunia politik mulai berkembang. Setelah menempuh ujian pertengahan semester, Che melanjutkan perjalanan panjangnya menjelajah Argentina dan beberapa negara Amerika Selatan lainnya pada 1951. Pada perjalanan keduanya, Che bersama seorang teman.
Dalam perjalanannya tersebut, dia bertemu dengan Salvador Allende saat berada di Chili dan di Peru. Dia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo. Kala berada di Kolombia, Che dapat merasakan bagaimana hebatnya La Violencia (perang sipil) yang terjadi pada 1948-1958.
Che Guevara dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Foto: ist
Namun kala berada di Venezuela, dia ditangkap tetapi dilepaskan kembali. Setelah itu dia mengunjungi Miami.
Kisah perjalanan Che ini kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul The Motorcycle Diaries, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Che kembali ke daerah asalnya.Namun, kehidupannya sebagai spesialis penyakit kulit tak membuatnya bahagia. Saat berada dalam masa revolusi nasional, Che kemudian pergi ke La Paz, Bolivia. Namun, dia justru dituduh sebagai seorang oportunis.
Tak berlama-lama berada di Bolivia, Che kemudian melanjutkan perjalanannya ke Guatemala. Kala itu Guatemala dipimpin oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang merupakan seorang sosialis. Meski sepaham, Che tidak serta merta bergabung dengan Partai Komunis pimpinan Jacobo. Karena itulah dia ditolak untuk menjadi tenaga medis pemerintah.
Che pun kemudian terpuruk dalam kemiskinan. Untuk mnyambung hidupnya dia memilih bertahan hidup dengan menjadi seorang penulis arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca.
Yakin Revolusi Menang
Guatemala menjadi awal perjalanan karirnya di dunia politik. Selama berada di Guatemala dan menjadi penulis arkeologi, Che lalu berkenalan dengan Hilda Gadea, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Bahkan mereka pun tinggal bersama.
Perjalanan politiknya dimulai. Kepada Che, Hilda kemudian mengenalkannya dengan Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Che lantas banyak belajar tentang revolusi. Dia melihat dan memperhatikan cara kerja CIA sebagai agen kontrarevolusi.
Dari situlah keyakinannya akan kemenangan sebuah revolusi harus dilakukan dengan jaminan persenjataan.
Perjalanan politiknya di Guatemala berakhir, ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Che lantas hijrah ke Kota Meksiko (September 1954) dan bekerja di rumah sakit umum. Demikian pula dengan Hilda Gadea dan Nico Lopez yang mengikuti Che ke Meksiko.
Rupanya Meksiko membawa perubahan besar dalam perjalanan hidup dari karir politiknya. Che bertemu dengan tokoh revolusioner Raul Castro dan Fidel Castro.
Che yakin Fidel Castro adalah sosok pemimpin yang patut diikutinya. Che pun memutuskan bergabung dengan pengikut Castro.
Bersama pengikut lainnya, dia dilatih perang gerilya oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo. Alberto Bayo juga merupakan seorang penulis buku Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959.
Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong. Kecerdasan Che membuat Bayo kagum dan menjadikannya murid kesayangan. Che pun ditunjuk sebagai pemimpin.
Pada Juni 1956, Che dan pasukannya menyerbu Kuba. Dalam penyerbuan Che diangkat menjadi komandan tentara revolusioner Barbutos.
Kepemimpinan Che semakin disegani. Che dinilai sebagai seorang pemimpin yang berdisiplin tinggi. Dia kerap menembak mati anggotanya yang ceroboh dan bisa membahayakan perjuangan demi melawan presiden Batista.
Revolusi pun dimenangkan. Che pun mendapat penghargaan sebagai orang kedua di bawah Fidel Castro untuk memimpin Kuba. Dalam pemerintahan ini, Che bertanggung jawab menggiring Castro ke komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks.
Dalam perjalanannya menuju komunisme merdeka, Che memimpin Instituto Nacional de la Forma Agraria dan kemudian menyusun hukum agraria.
Dalam hukum agraria besutan Che, pemerintah menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis.
Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet.
Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.
Che dan Indonesia
Setelah menjadi salah satu pemimpin di Kuba, Che melepas lanjang. Dia mempersunting Aledia March pada 1959. Tiga bulan setelah itu atau tepatnya 12 Juni 1959, Castro mengutusnya untuk mengunjungi 14 negara Asia.
Negara-negara yang dikunjungi kebanyakan peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Salah satunya Indonesia.
Che berkunjung ke Jakarta dan menyempatkan diri ke Borobudur. Aksi kunjungan Che dibalas oleh Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu melakukan kunjungan balasan ke Kuba setahun kemudian atau tepatnya 13 Mei 1960.
Che Guevara bersama idolanya Bung Karno. Foto: ist
Setibanya di Bandara Jose Marti, Havana, Soekarno disambut oleh Presiden Kuba Fidel Castro dan Che Guevara.
Usai mengunjungi 14 negara Asia, Che diangkat menjadi Menteri Perindustrian. Setelah menjabat, pada Februari 1960, Che menandatangani pakta perdagangan dengan Uni Soviet dan melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika.
Che yakin perjuangannya akan membawa keberhasilan bagi revolusi Kuba. “Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya,” ucap Che sesuai dengan ajaran Mao Ze Dong.
Che percaya daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Namun, aksinya itu justru mendatangkan petaka. Pada acara Solidaritas Asia-Afrika di Aljazair (Februari 1965), Che menuduh Uni Soviet sebagai kaki tangan imperialisme. Ia juga menyerang pemerintahan Soviet atas kebijakan hidup bertetangga dan juga atas Revisionisme.
Sebagai wujud pertentangannya dengan Uni Soviet, Che mengadakan konferensi Tiga Benua. Tujuannya konferensi tersebut adalah merealisasikan program revolusioner, pemberontakan, kerjasama gerilya dari Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Sikap Che yang tidak kenal kompromi pada negara kapitalis mendorong negara-negara komunis meminta Castro memberhentikan Che. Akhirnya pada 1965, Che diberhentikan.
Che pun terbang ke Kongo, Afrika. Namun dia dikabarkan telah tewas. Target Che di Kongo adalah mengadakan survei akan kemungkinan mengubah pemberontakan Kinshasa menjadi sebuah revolusi komunis dengan taktik gerilya Kuba. Untuk menerapkan taktiknya dia mengirim 120 orang Kuba ke Kongo.
Sayangnya, niatnya tak semulus kenyataan. Che dan pasukannya gagal di Kongo. Mereka sia-sia saja melawan kekejaman Belgia. Che pun pada 1965, meminta Castro untuk menarik mundur bantuan dari Kuba.
Penghargaan Melawan Kapitalisme
Perjalanan panjang Che Guevara berakhir pada 9 Oktober 1967. Dia bergerilya ke Bolivia. Namun malang, Che ditangkap oleh tentara Bolivia pada 8 Oktober 1967. Sehari setelah penangkapan, Che mendapat hukuman tembak.
Berita kematian Che pun lantas tersebar. Berbagai penghormatan atas kegigihannya melawan kapitalisme mendapat apresiasi dari berbagai kalangan.
Berbagai tokoh sastra, musik dan seni telah mempersembahkan komposisinya kepada Che Guevara. Penyair Chili Pablo Neruda mempersembahkan kepadanya puisi Tristeza en la Muerte de unHéroe (Kesedihan karena kematian seorang pahlawan) dalam karyanya Fin del Mundo (Akhir dunia) pada 1969.
Pengarang Uruguay, Mario Benedetti menerbitkan pada 1967 serangkaian puisi yang dipersembahkan kepadanya dengan judul A Ras del Sueño (Pada tingkat impian). Penyanyi Carlos Puebla mempersembahkan sebuah lagu Hasta Siempre Comandante Che Guevara (Untuk selamanya komandan Che Guevara) dan Los Fabulosos Cadillacs, Gallo Rojo (Ayam jantan merah), yang muncul dalam album El León (Singa) pada 1991.
Pada 12 Juli 1997, jenazahnya dikuburkan kembali dengan upacara kemiliteran di Santa Clara di provinsi Las Villas, di mana Guevara mengalami kemenangan dalam pertempuran ketika revolusi Kuba.
Che menjadi legenda. Ia dikenang karena kehebatannya dalam memimpin sebuah revolusi. Ia juga idola para pejuang revolusi dan bahkan kaum muda generasi 1960-1970 atas tindakan revolusi yang berani yang tampak oleh jutaan orang muda sebagai satu-satunya harapan dalam perombakan lingkup borjuis kapitalisme, industri dan komunisme.
Che, bukanlah pemimpin yang senang hidup nyaman, ia berjuang hanya karena “harus” berjuang. Ia melihat bagian dunia lain masih sengsara, ia ingin membebaskan dunia, tapi kadang-kadang manusia punya kenaifannya, mungkin di Kuba Revolusi menemukan momentum-nya, tapi tidak di dunia lain.
Che gagal di Kongo, Afrika begitu juga saat ia memasuki Bolivia, Che ditangkap tentara pemerintah Bolivia, ia mati dengan kepala ditembusi peluru, peluru penindasan……
Itulah Che, seorang pejuang abadi, seorang yang menolak kemapanan, memilih revolusi angkat bersenjata sebagai jalan hidupnya, seorang yang berkata kepada isterinya,
“Kuberikan kebebasanku pada dunia, tapi aku tak bisa membebaskan dunia, aku mencintaimu sekali lagi mencintaimu”.
Dan seorang bapak yang amat mencintai anaknya seperti surat yang ia kirimkan kepada anak sulungnya Hildita, di hari ulangtahun Hildita :
Anakku, kau musti berjuang menjadi yang terbaik di sekolah, terbaik dalam setiap pengertian, dan kau akan mengetahuinya kelak: belajar dan bersikaplah revolusioner.
Apa itu sikap revolusioner? Sikap itu adalah kelakuanmu yang baik, cintamu yang tulus pada revolusi, pada persamaan manusia, persaudaraan.
Aku sendiri tidak bersikap demikian disaat usiaku sama denganmu, aku hidup dalam masyarakat yang berbeda, masyarakat yang kolot dan berpaham sempit, ‘dimana manusia menjadi ancaman bagi manusia lainnya’. Tapi kau nak, hidup dalam masa yang indah, memiliki kemudahan hidup di jaman yang lain dari jaman bapak-mu, kau harus bersyukur soal itu.
Bermainlah dalam dunia kanak-kanakmu, bermainlah ke rumah tetanggamu untuk menyapa mereka dan ceritakan pada mereka bagaimana kelakuan baik seharusnya dijalankan. Dekati adikmu Aleidita, ajarkan bagaimana bertindak baik, yang butuh perhatian besar darimu, sebagai anak tertua.
Oke, Tuan Putri……Sekali lagi aku berharap hatimu mekar berbahagia di hari ulang tahunmu ini, Peluk mesra untuk ibumu dan Gina. Aku memelukmu, memeluk dengan keabadian, memeluk sebagai rasa cinta bapak kepada anaknya hingga akhirnya kita berpisah. Papamu, Che Guevara.@dbs/nov