abad.id- Jaringan kereta api masuk Surabaya ditandai dengan dibukanya stasiun kereta api Surabaya Kota (Semut) pada 1878 dan dibukanya jalur Surabaya - Bangil - Pasuruan dengan jarak sekitar 60 km.
Selain untuk sarana angkut penumpang, jaringan kereta api ini juga untuk mendukung sarana angkut komoditi hasil perkebunan berupa gula, kopi, kakau, dan teh.
Di kota Surabaya, pada jalur selatan, terdapat tiga stasiun. Stasiun paling utara (penghabisan) adalah Stasiun Kota (Semut). Di selatan Stasiun Semut adalah Stasiun Gubeng. Paling selatan adalah Stasiun Wonokromo.
Stasiun kota dibangun persis pada bekas tapal batas kota (Benedenstad) di kawasan Bibis, persis di timur sungai Kalimas. Dalam sejarahnya Stasiun Kota (Semut) ini pernah mengalami perkembangan.
Setelah pembangunan Stasiun Pertama (lama) pada 1878, kemudian stasiun ke dua (baru) didirikan pada 1898. Selanjutnya stasiun pertama (1878) dibongkar. Stasiun pertama berada di sebelah barat. Stasiun ke dua dibangun di sebelah timur nya.
Nama "Semut" disematkan karena lokasinya berada di Kampung Semut. Sementara nama "Kota" juga digunakan karena lokasi kampung Semut berada dekat Kota Surabaya.
Di era yang sama, 1878, juga dibangun Stasiun Gubeng, yang berjarak sekitar 6 km di selatan Stasiun Kota. Secara arsitektur, keduanya memiliki langgam yang sama.
Sementara kampung kampung di luar tapal batas kota belumlah disebut Kota, tetapi Njaba Kota atau luar kota yang diantaranya seperti Tunjungan, Ketabang, Gubeng, Darmo hingga Wonokromo.
Seiring dengan berjalannya waktu, Surabaya semakin berkembang. Pertumbuhan ekonomi semakin baik. Pembangunan semakin meluas, khususnya ke arah selatan. Kawasan permukiman di Jaba Kota kian tertata. Infrastruktur kawasan permukiman semakin lengkap. Ada kantor kantor pemerintahan, rumah sakit, gereja, sekolah, taman taman, jalan dan jembatan. Selanjutnya kawasan Jaba Kota itu disebut Bovenstad alias kota elit.
Lalu lintas kendaraan semakin banyak ketika memasuki abad 20. Karenanya, infrastruktur jalan semakin diperbaiki. Termasuk menata persimpangan arus kendaraan dan kereta api yang terdapat di Gubeng (Kertajaya dan Gubeng).
Rel kereta api, yang melintas jalan darat, dinaikkan dengan membuat viaduk. Viaduk ini melintas di atas jalan yang menjadi pertemuan jalan Kertajaya dan jalan Sulawesi. Viaduk dibangun pada tahun 1926. Dengan demikian, pembangunan viaduk itu dapat mengatasi terjadinya kemacetan di jalan dan menghindari potensi kecelakaan.
Dalam pembangunan viaduk yang menjadi sarana umum, secara fungsi adalah untuk menghindari persilangan kereta api dengan kendaraan darat seperti mobil, sepeda dan sebagainya dan untuk memperlancar jalannya kereta api.
Tidak kalah pentingnya adalah estetika dalam design arsitektur bangunan agar serasi dengan penataan tata kota. Seorang arsitek terkenal HP Berlage asal Belanda pada 1923, yang berbicara di depan Dewan Kota di Surabaya ketika ada proyek pembangunan jembatan Gubeng, dia mengatakan bahwa pembangunan haruslah memikirkan estetika kota, disamping juga fungsi bangunan itu sendiri (jembatan gubeng).
Karenanya design viaduk dibuat agar penumpang kereta bisa menikmati pemandangan di bawah (urban view) ketika kereta melewati viaduk. Pemandangan bawah yang dapat dilihat dari balik jendela kaca kereta adalah hiburan bagi penumpang.
Begitu pun sebaliknya, kereta yang sedang lewat di viaduk juga menjadi pemandangan eksotik bagi mereka yang ada di bawah. Dulu, anak anak kecil bersama keluarga selalu menjadikan kereta lewat sebagai obyek wisata murah. Anak anak senang melambaikan tangan kepada para penumpang kereta.
"Da..da… .. Da.. da.. ", begitu sapaan anak anak kepada penumpang kereta.
Apakah aksi ini sudah hilang? Tidak. Aktivitasnya memang sudah berkurang. Tidak sesering seperti dulu lagi.
Untuk akses saling sapa antara penumpang dan warga di luar kereta, pagar viaduk dibuat rendah sehingga bagian dari roda kereta kelihatan. Minimal jendela kaca kereta tidak tertutup.
Ini semua demi akses keindahan. Keindahan adalah bagian dari estetika. Karenanya, dalam Perda 5/2005 Kota Surabaya tentang Cagar Budaya, bahwa estetika menjadi salah satu kriteria yang menjadi penetapan suatu bangunan Cagar budaya.
Dalam pasal 28 ayat 1 diamanahkan bahwa pendirian bangunan baru pada lahan bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya harus menyesuaikan situasi dan kondisi bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya.
Selanjutnya, pendirian bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus serasi dengan lingkungan baik bentuk, ketinggian dan nilai arsitekturnya.
Evaluasi Papan Reklame Viaduk Gubeng
Pemasangan papan reklame di viaduk kereta api di pertemuan jalan Kertajaya dan Sulawesi menjadi sorotan publik. Bahkan anggota dewan pun urun bicara. Mereka mengkritik pemasangan yang dianggap menyalahi aturan perda cagar budaya karena viaduk itu telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Sementara bagi Tim Ahli Cagar Budaya, pemasangan itu tidak merusak bangunan cagar budaya. Tidak ada kerangka papan reklame yang menempel pada bidang bangunan mulai dari pangkal bawah hingga atas.
Salah satu anggota Pansus Penataan Reklame DPRD Surabaya, Imam Syafi'i, memandang bahwa pembangunan papan reklame itu menutupi keindahan dan estetika bangunan, yang telah menjadi salah satu kriteria dalam penetapan cagar budaya sebagaimana tersebut dalam pasal 9 Perda 5/2005 tentang Cagar Budaya Kota Surabaya.
Karenanya melewati Pansus, pemasangan reklame pada viaduk Kertajaya itu harus dikaji ulang. Ia mengkuatirkan jika kebijakan yang bertentangan dengan aturan ini terus berjalan, bukan tidak mungkin akan ada praktek praktek yang sama di kemudian hari.
Sementara itu dalam rapat TACB Kota Surabaya (23/2/2023) diusulkan akan menata ulang penempatan reklame di obyek cagar budaya viaduk kereta. Usulan itu adalah melepas aksesoris di depan bangunan yang menjadi peletakan tiang reklame yang kesannya seperti menancap pada badan bangunan. (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono