Stockholm Sindrom dan Penjajahan Modern
Abad.id - Yang repot dalam masalah bernegara itu sebenarnya adalah mindset. Rakyat Indonesia yang mungkin karena hidup di negara bekas jajahan ini merasa defaultnya adalah semua hal itu tidak boleh dilakukan kecuali diijinkan negara (atau aparatnya). Kulina atau terbiasa disuruh-suruh, dijadikan jongos, batur, atau budak dahulunya oleh petinggi-petinggi kerajaan hingga jaman penjajahan oleh bangsa Eropa.
Di negara barat beda lagi. Setelah masyarakat lepas dari kekuasan monarki dan kepausan, mereka mengambil default dari sisi berbeda. Apa saja boleh sebelum ditentukan tidak boleh oleh negara. Karena mereka sadar betul bahwa negara itu ada memang dengan wewenang sebagai pembatas kebebasan. Liberty for all! Bebas begini begitu...
Makanya pembatasan kemerdekaan di Barat benar-benar diyakini sebagai jalan untuk mendapatkan harmoni sosial yang lebih baik. Kalau bukan karena itu, mereka tidak akan mau mengorbankan hak-hak mereka sebagai manusia yang bebas. Maka setiap undang-undang itu selalu dibaca sebagai hak apa yang sedang dikorbankan dan digunakan untuk manfaat apa. Jadi clear! Hak apa yang dikorbankan, lalu rewards apa yang akan mereka dapatkan.
Di Indonesia, karena mindsetnya kebalik...maka undang-undang itu akhirnya dibaca sebagai apa yang sekarang diperbolehkan. Dan dengan aturan yang seperti apa diperbolehkannya. Tidak terasa jika kemudian aturan-aturan itu justru merenggut hak-hak sebagai warga negara. Maka jangan heran kalau pemerintah berlomba-lomba bikin undang-undang.
Karena fokus dengan aturan seperti apa diperbolehkannya, maka undang-undang itu pada akhirnya menambah terus kekuasaan dan wewenang negara aka pemerintah. Tidak ada check and balancesnya, alias tidak ada penyeimbangannya. Malah sebisanya punishment dibanyakin tapi hak-hak warga negara dikebiri. Sebut saja Polisi Indonesia; boleh dibilang tidak ada pihak diluar lembaganya yang bisa mengontrol atau menjadi penyeimbangnya.
Sebangun dengan jaman penjajahan. Bedanya dulu dilakukan oleh Londo putih sekarang oleh Londo ireng alias bangsa sendiri. Kenapa? Karena watak kekuasaan di negara ini tidak pernah benar-benar berubah. Begitupun sikap kita... Kita tidak satu suara dalam banyak hal, sehingga kegaduhan yang terjadi justru kontra produktif, dan ini melemahkan sistem Ketahanan Nasional. Ini juga yang disebut devide et impera dari sisi internal, dan kita dengan sukarela dan bahagia lahap menyantapnya. Banyak ragamnya, antara lain:
Adu jangkrik rasa lembaga, sabung ayam aroma ormas, belah bambu bermenu partai, antarmazhab bahkan antaragama, antar suku dan golongan, dan bahkan antar sesama warga. Ini skema penjajahan gaya baru. Tanpa desingan peluru dan bau mesiu, tapi sebuah bangsa bisa lumpuh Ketahanan Nasionalnya.
Sejak merdeka kebebasan kita hanya bergantung pada kemurahhatian penguasa. Kita pernah punya Orde Baru dan kita segera (dan mungkin telah) memasuki Orde Baru jilid 2 karena pada dasarnya kita sebagai rakyat merelakan hal itu terjadi. Biasa dijajah sih...jadi ya seneng ajah. Keseringan disakiti, dibohongi, dibodohi, ditidak jujuri, dikalahkan, dimelaratkan dan dihisap sumber daya hidupnya menimbulkan sensasi ketagihan rasa sakit, seneng ditindas, dan justru jatuh cinta sama penindasnya.
Ini menjadikan sindroma akut di alam bawah sadar yang menjangkiti hampir sebagian besar bangsa Indonesia. Sindroma yang disebut dengan Stockholm Sindrom. Karena terbiasa, jadi pengen terus seperti kebiasaan. Biasa dijajah, biasa disiksa, biasa disakiti, biasa menderita, lama-lama menikmati dan menjadi kepribadian yang sakit (sakit jiwa) "jatuh cinta" pada keadaan yang demikian bahkan kepada oknum yang membuatnya demikian. Rindu disakiti terus!
Inilah modus penjajahan modern, bukan dengan cara menghancurkan negara target/obyek dengan perang militer, lalu merampok sumber daya yang dimiliki. Tapi modus dalam penjajahan modern itu justru negara obyek dipelihara dalam sebuah sistem kolonialisme ---hidup segan mati tak mau--- sehingga "susu" dan “saripati”-nya (potensi ekonomi dan SDA) dihisap oleh kaum kolonialis tapi si obyek yang dihisap dan dikeruk potensi sumber daya alamnya tidak merasa, bahkan malah minta diperas lagi, dihisap lagi. Seperti itulah narasi stockholm syndrom, obyek yang dijajah malah jatuh cinta kepada entitas perampas kehidupannya.
Sungguhpun ini bukan refleksi 17 Agustusan tapi pesannya memang kesana. Masih panjang perjalanan bangsa ini untuk memaknai kemerdekaannya. Atau akankah tercerai berai sebelum sampai ke sana? (mda