images/images-1671518839.JPG
Pariwisata
Dunia

Legenda Lima Kambing Menjadi Kota Guangzhou

Author Abad

Dec 20, 2022

620 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Guangzhou termasuk kota metropolitan di China yang sering juga dijuluki Kota Kambing. Keunikan lain, Guangzhou, salah satu kota tertua dan menyimpan keunikan sejarah. Lalu mengapa kambing? Seperti legenda sebuah kota Sura dan Baya, ternyata Guangzhou mempunyai cerita rakyat yang ada hubungannya dengan kambing.

 

Diceriyakan lebih dari 2.000 tahun yang lalu, Guangzhou hanya kota yang miskin dan tandus di china bagian selatan. Meski dilanda kelaparan, masyarakat di kota ini tetap berusaha bekerja keras. Suatu hari ada lima orang suci dengaa baju wana berbeda datang dengan menunggangi lima kambing ukuran besar dengan diiringi oleh lantunan musik. Setiap kambing tersebut membawa bibit padi di setiap mulut mereka. Tidak lupa, orang suci tersebut juga meninggalkan bibit padi ke masyarakat Guangzhou dan memberikan doa-doa memberi keberkahan. "Setelah lima orang suci itu meninggalkan Guangzhou, kelima kambing itu pun secara ajaib berubah menjadi batu," tutur pemandu wisata Edi karimun.

 

Saat kelima orang suci itu pergi, kelima kambing tersebut pun berubah menjadi batu. Namun sejak kehadiran batu kambing itu, Guangzhou berubah secara perlahan menjadi kota yang subur." Menurut cerita rakyat ada lima kambing yang menjaga kota ini agar makmur dan sejahtera," ujar kata Edi Karimun.

 

Sejak itu, kota Guangzhou sendiri kemudian menjadi kaya dan terkenal. Ekonomi Guangzhou secara perlahan membaik dan akhirnya berhasil menjadi sejahtera seperti yang diminta warga kepada kelima orang suci tersebut.  Dipilihnya kawasan Yuexiu Park untuk dibangun monumen, sebab berada di tengah kota dan masih hutan belantara. Terdapat kawasan perbukitan batu yang bisa dijadikan taman tempat sejarah dan asri.

 

Kelima patung kambing tersebut menjadi ikon kota Guangzhou berada di taman Yuexiu Park. Untuk menuju ke landmark ini sangat mudah. Untuk mencapai kawasan Yuexiu Park tidaklah sulit karena bisa dijangkau dengan naik subway line dua dan turun di stasiun Yuexiu Park yang merupakan pemberhentian kedua setelah Gongyuanqian. Dari pintu keluar stasiun Yuexiu Park, pengunjung tinggal jalan kaki untuk sampai ke taman.  Namun secara kebetulan saya dan rombongan naik bus menuju kawasan taman Yuexiu Park tersebut.

 

Turun dari bus disambut udara dingin musim gugur. Rombongan berjalan menuju taman kota yang tidak pernah sepi. Butuh sedikit tenaga untuk menuju patung 5 kambing itu. Sebab  berada di sebuah bukit yang kiri kanannya penuh dengan taman bunga. Mungkin jika musim semi taman Yuexiu Park lebih indah pemandangan dengan tanaman hijau memanjakan mata.

 

Patung lima ekor kambing yang menjadi ikon kota Guangzhou ini terletang di tengah-tengah Yuexiu Park. Untuk meraihnya diperlukan untuk menaiki tangga hingga ke puncak taman. Foto Pulung

 

Menutut Edi, banyak warga di hari libur banyak melakukan aktifitas di taman ikon kota ini. Mereka warga lokal melakukan kegiatan berolahraga, bercengkrama, hingga menari bersama.  Sedangkan mereka yang suka menari para lansia. Banyak orang juga memanfaatkan lapangan besar untuk olahraga termasuk olahraga tradisional mereka, seperti kungfu dan sepak bulu.

 

Taman seluas 80 hektare juga terdapat banyak pohon rindang yang sudah tua umurnya dan danau. Sedangkan patung Lima Kambing tersebut menjadi populer di kalangan turis lantaran kisah kambing yang ada kaitannya dengan cerita asal usul Kota Guangzhou. Patung tersebut tidak sekadar hiasan, melainkan sebagai ikon Kota Guangzhou. Sebelum pulang,  para pengunjung juga bisa membeli oleh-oleh khas Guangzhou di pusat perbelanjaan di tempat wisata. Umumnya berupa miniatur patung lima kambing dengan bahan batu giok, atau perhiasan lain pernik-pernik rumah hingga baju untuk ukuran dewasa dan anak anak.

 

Guangzhou Menjadi Kota Modern

Guangzhou telah lama menjadi salah satu kota utama di Tiongkok Selatan. Posisinya sebagai basis kekuatan lokal dan pusat keuangan dan komersial terbentang lebih dari dua milenium, sementara wilayah tersebut telah dihuni sejak zaman Neolitikum. Sepanjang sejarah, itu berfungsi, dengan sengaja atau tidak, sebagai titik kontak antara Tiongkok dan dunia luar, menjadikannya tempat berkembang biak bagi ide-ide baru, perbedaan pendapat, dan revolusi. Setelah diabaikan pada masa-masa awal berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, kota ini baru-baru ini memantapkan dirinya kembali sebagai basis nasional yang penting untuk industri dan perdagangan.

 

Selain cerita rakyat Kota Kambing, peninggalan arkeologi lain menunjukkan bahwa manusia hidup di wilayah Guangzhou sejak 5000 SM. Pemukim dari lembah Sungai Yang Tze pertama kali memperkenalkan pertanian pada abad ke-8 SM. Pada tahun 214 SM, setelah kampanye penaklukan dan penyatuannya, kaisar pertama Tiongkok, Qin Shi Hang, menciptakan prefektur (wilayah administratif lama) Nan Hai, dengan Guangzhou sebagai kedudukan administratifnya. Saat itu, kota itu sudah menjadi pelabuhan sungai dan laut yang penting. Dengan pengakuan resmi ini, ia berkembang pesat menjadi pusat regional utama.

 

Selama Dinasti Tang (618-609BC), banyak pengunjung asing ke China pertama kali singgah di Guangzhou, dan perdagangan segera berkembang dengan pedagang Arab, India, dan Persia. Secara khusus, populasi Islam berkembang pesat, dan pada akhir milenium pertama, kota ini memiliki sekitar 10.000 populasi asing. Orang Eropa pertama tiba pada awal abad ke-16, dengan Portugis memperoleh monopoli perdagangan pada tahun 1511. Inggris mematahkan monopoli ini pada abad ke-17, dan mereka diikuti oleh Belanda dan Prancis, semuanya mencari bagian mereka dalam perdagangan yang menguntungkan. teh, porselen dan sutra. Setelah 1760, semua perdagangan luar negeri di Cina dibatasi ke Guangzhou.

 

Popularitas perdagangan luar negeri justru menaburkan benih kemerosotan bagi Guangzhou dan akhirnya bagi seluruh kekaisaran Cina. Pada awal 1770-an, Inggris, yang khawatir dengan defisit perdagangan yang meningkat, mulai mengimpor opium India melalui Guangzhou. Ini memiliki efek yang diinginkan untuk memperbaiki neraca perdagangan dan memperlambat aliran perak ke tangan orang Cina, tetapi menyebabkan masalah sosial yang meluas di dalam negeri Cina. Khawatir dengan perkembangan ini, pemerintah Qing melarang perdagangan opium, sebuah keputusan yang diabaikan oleh pedagang Inggris.

 

Pada tahun 1839, Komisaris Tinggi Kekaisaran, Lin Ze Xu, memulai kampanye anti-opium, menyita dan menghancurkan ribuan ton obat di Guangzhou. Militer Inggris menggunakan ini sebagai dalih untuk mengirim armada, dan situasinya dengan cepat memburuk menjadi konflik yang dikenal sebagai "Perang Candu". Pada tahun 1842, kedua negara menandatangani Perjanjian Nanjing (yang pertama dari banyak yang disebut "perjanjian" yang dipaksakan kepada Tiongkok oleh kekuatan asing), di mana pulau Hong Kong diserahkan ke Inggris, dan Guangzhou menjadi salah satu dari lima "pelabuhan perjanjian" terbuka untuk perdagangan luar negeri yang tidak dibatasi.

 

Selama periode ini, Guangzhou memantapkan reputasinya sebagai sarang radikalisme dan pemberontakan. Hong Xiu Quan, pemimpin "Pemberontakan Tai Ping" anti-Qing yang luar biasa berdarah pada tahun 1850-an adalah seorang lokal Guangzhou. Dia melakukan kegiatan revolusioner awal di kota. Sun Yat-sen, pendiri Partai Nasionalis China, juga lahir di dekat situ, dan dia meluncurkan beberapa upaya kudeta yang gagal dari Guangzhou. Dia akhirnya memicu protes yang mengakibatkan runtuhnya Dinasti Qing dan pembentukan Republik China pada tahun 1911.

 

Selama awal 1920-an, Guangzhou mempertahankan rentetan pemberontakan ini. Kota ini menyaksikan sejumlah protes yang dipimpin oleh mahasiswa dan pekerja menentang kehadiran asing yang terus berlanjut. Beberapa dari demonstrasi ini ditanggapi dengan kekerasan dari pasukan asing, dan lebih banyak serangan dilakukan sebagai pembalasan. Guangzhou bahkan mendapat julukan "Kota Merah" di antara beberapa pengamat, pertanda luar biasa sejak salah satu komune pertama di Cina didirikan di sini (walaupun sebentar) di bawah bimbingan Soviet pada tahun 1927.

 

Sejarah modern Guangzhou terus bergejolak. Kota ini muncul sebagai basis industri penting selama tahun 1930-an, tetapi direbut oleh marinir Jepang pada tahun 1938 dan tetap berada di bawah kendali Jepang selama perang. Setelah Jepang, pasukan Nasionalis Chiang Kai-shek menduduki Guangzhou. Pada tahun 1949, kekuasaan yang berkuasa berpindah tangan sekali lagi. Kali ini, kota itu jatuh ke tangan pasukan Komunis di bawah pimpinan Lin Biao. Karena kerentanan strategisnya, sebagian besar diabaikan dalam kebijakan pusat yang ditulis oleh Mao Ze Dong. Namun, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, Guangzhou adalah salah satu kota pertama yang dialokasikan untuk reformasi pasar terbuka di bawah kebijakan reformasi ekonomi Deng Xiao Ping. Sejak saat itu, Guangzhou merebut kembali tempatnya sebagai salah satu kota paling makmur dan berkembang di Tiongkok.

 

Guangzhou Berjarak sekitar 182 kilometer dari Hong Kong atau lebih dari satu jam perjalanan dengan kereta api.  Guangzhou telah menjadi magnet dunia dengan berkembang sebagai pusat industri jasa modern, pusat logistik di kawasan Asia, pusat moneter regional, pusat ekshibisi internasional, serta kota kreasi internasional. Guangzhou berada di tepi utara Sungai Pearl. Distrik Yueh Hsiu adalah lokasi tua yang tetap menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan. Distrik ini juga memiliki Museum Pemerintah Kota Guangzhou yang terletak di sebuah pagoda merah sejak 1380.

 

Ada juga Masjid Huai Sheng yang dibangun pada 627 M dan dianggap masjid tertua di Tiongkok. Bahkan di tengah masjid tersebut terdapat taman dan makam sahabat nabi Muhammad SAW yang menyebarkan Islam di Tiongkok.

 

Jalan-jalan selalu dipadati manusia serta terdapat banyak gedung pencakar langit. Salah satu gedung tertinggi di dunia yakni Guangzhou Tower. Menara ini dibangun pada 2005 dan selesai pada 2009. Sampai dengan tahun 2010. Dari ketinggian sekitar 610 meter, pengunjung menara bisa menikmati panorama kota dari kaca tembus pandang. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)

Author Abad

Oct 29, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han

Malika D. Ana

Jan 14, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Kapan Indonesia Siap Berdemokrasi?

Author Abad

Nov 01, 2022