Cheng Ho dan Klaim Sejarah Penyebar Islam di Nusantara
Abad.id - Tersebutlah Cornelis Poortman yang dikenal sebagai residen Poortman adalah seorang pejabat pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda. yang saat itu memimpin penggeledahan Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang terdapat disana, sebagian telah berusia 400 tahun pada saat itu, sebanyak 3 cikar (pedati yang ditarik lembu), pada tahun 1928 dalam rangka tugas yang diembannya dari pemerintah kolonial Belanda untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Tionghoa atau bukan.
Kini kita menjadi korban sejarah yang dimanipulasi oleh Poortman, seorang residen kolonial yang kemudian dongeng tentang pengaruh Islam orang Cina di Indonesia itu dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan dalam karyanya yang berjudul Tuanku Rao. Tulisan Poortman juga banyak dikutip oleh Slamet Muljana tahun 1971 dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Serta sejarawan sekaliber Graaf dan Pegeud dalam Chinese Muslim Indonesia Java juga kecele melanjutkan tradisi dongeng yang disebarkan oleh Poortman.
Hingga kemudian data-data tentang pengaruh Muslim Cina di Indonesia itu diruntuhkan oleh analisa Lombard dan Sartono Kartodirdjo, bahwa data-data tentang itu tidak ada rujukan aslinya dan tertolak dalam diskursus akademik.
Anehnya orang-orang kita yang sejak melek literasi masih menghubungkan Chen Ho dengan penyebaran Islam di Jawa. Padahal diketahui tidak ada sumber primer yang mengatakan Cheng Ho berperan besar dalam dakwah Islam di Indonesia. Dan secara simbolis bahkan Indonesia sudah meyakini bahwa Cheng Ho adalah pemeluk Islam melalui pembangunan Masjid Cheng Ho yang tersebar di pelbagai daerah. Namun, di Cina yang merupakan negeri asalnya, apa sebenarnya agama yang dianut laksamana Dinasti Ming itu, masih terus dipertanyakan oleh para sejarawan sampai sekarang.
Jika klaim itu berdasarkan pada sejumlah bangunan, maka Klenteng atau Masjid Cheng Ho adalah bangunan baru dan Cheng Ho layak dikatakan sebagai tokoh fiktif.
Banyak motif yang membuat seseorang itu kemudian membuat barang biasa menjadi barang kuna atau kelihatan kuna. Motif ekonomi, motif proxy, motif eksistensi dan lain-lain. Sangat banyak. Kita tidak bisa melihat satu persatu motif tersebut. Hanya saja kita bisa melihat dengan adanya motif tersebut, siapa yang diuntungkan. Dan ternyata dengan kasat mata kita bisa melihat siapa yang diuntungkan dengan cerita sejarah seperti ini.
Kita bandingkan dengan teks Cina sendiri. Informasi Cheng Ho yang seakan-akan besar ternyata hoax menurut informasi kerajaan Cina sendiri. Sebab Kaisar Cina tahun 1447 dicatat menyatakan sebagai rakyat Majapahit. Kalau Cheng Ho dinyatakan membawa kebesaran Cina, tapi saat Kaisar Cina menyatakan diri sebagai rakyat Majapahit, itu sudah kontradiktif. Kebesaran maritim Cina disebut hilang setelah Cheng Ho meninggal. Dari awal hanya jajahan Mongol, kemudian tiba-tiba muncul dengan maritim besar kelihatan sekali hoaxnya. Terlebih kapal Mongol juga merupakan kapal kecil saat datang di Jawa. Banyak data yang kontradiktif tentang Cheng Ho.
Kaisar Cina dicatat melayangkan sebuah surat kepada Raja Majapahit. Surat itu berbunyi: “Berbagai negara di seberang lautan semuanya harus membawa upeti tiga tahun sekali; Anda, oh, Raja, harus mengasihi rakyatmu dan melaksanakan pengaturan ini.”(Groeneveldt, W.P, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta. Komunitas Bambu, 2009 : 54-55).
Tapi ya interpretasi dari penulis sejarah bisa saja begitu. Interpretasi seorang Sejarawan dalam menulis Sejarah tidak bisa dianggap sebagai KEBENARAN MUTLAK. Sama saja dengan SEJARAWAN lainnya yang teorinya bisa diperdebatkan. Dalam interpretasi Groeneveldt, WP, Cheng Ho ternyata hanya sebatas duta dari Cina yang ber-Mitreka Satata (bermitra dan bersahabat) dengan Jawa.
Peran dakwahnya tidak banyak dibahas karena misinya memang bukan untuk menyebarkan agama Islam atau berdakwah. Cheng Ho memang ada tapi tidak sedahsyat yang digambarkan saat ini karena dongeng tentang Cheng Ho itu sudah dibawa ke ranah kepentingan kelompok. Belum lagi klaim-klaim lainnya. Cheng Ho justru hanya ramai didiskusikan sejak jaman Dahlan Iskan melakukan operasi ganti hati ke China, dan Gus Dur meramaikannya dengan mengatakan bahwa dia adalah keturunan Raden Patah dan berdarah China. Lucunya, tokoh sepenting Cheng Ho malah tidak banyak diceritakan di negerinya sendiri.
Adanya klaim tentang peran Cheng Ho dalam meyebarkan agama Islam di Nusantara ini berbahaya. Dinasti Yuan Mongol dan Dinasti Ming China saat itu ingin menguasai Nusantara karena berbagai komoditas yang dihasilkan seperti beras dari Jawa, belerang, garam dan lain-lain. Sementara dari Indonesia Timur menghasilkan rempah-rempah yang sangat mahal harganya dan mendatangkan keuntungan besar. Pada saat Majapahit berjaya, kekayaan alam dikelola oleh Nusantara yang dipimpin oleh Kerajaan Majapahit sebagai pemimpin federasi.
Pada masa Gajah Mada menjadi Patih Mangkubumi di Majapahit semua upaya Dinasti Yuan Mongol berakhir dengan kegagalan. Dinasti Yuan Mongol runtuh kemudian diganti Dinasti Ming China. Dinasti Ming China memang memiliki tujuan menguasai Nusantara dengan memecah belah Majapahit dengan cara mengadu Majapahit Barat dan Majapahit Timur. Majapahit Barat ketika dipimpin Hayam Wuruk dan Majapahit Timur dipimpin oleh Wijayarajasa masih rukun. Tetapi pada era Wikramawadhana, Majapahit diadu domba.
China terus berupaya menggagalkan persatuan antara Majapahit Barat dan Majapahit Timur supaya Nusantara tetap lemah. Orang-orang Islam yang tinggal di pesisir utara Jawa di Kerajaan Majapahit itu bukan orang orang lokal tetapi orang-orang yang berasal dari China Selatan dan Champa Muslim yang ditempatkan ke kota kota pesisir pantai utara Jawa setelah ekspedisi Cheng Ho dan periode periode setelahnya sebagai upaya Dinasti Ming China mengendalikan perdagangan di Kerajaan Majapahit yang sudah terpecah belah dalam konflik perang saudara.
Kebijakan-kebijakan antar raja penguasa China bahkan di dinasti yang sama pun berbeda-beda terkait kemaritiman. Bahkan dari arsip-arsip bangsa Eropa ketika perdagangan mereka intens dimasa Ming dan Qing menyebutkan dalam suatu era kerajaan kerap terjadi pengetatan perdagangan maritim karena beberapa faktor (ini dijelaskan dari buku Visible Cities nya Blusse). Di jaman yang seiring dengan jaman Majapahit sendiri, kebijakan kaisar Yong Le yang mengirim armada kapal besar-besaran ke selatan ternyata juga tidak populer di Cina sendiri mengingat kebijakan ini tidak pernah dilanjutkan oleh penggantinya (kalo ndak salah Yong Le sendiri bukanlah sosok yang memiliki legitimasi besar untuk menjadi kaisar). Dari keterangan Odorico di Pordenone, kaisar yang sering berperang dengan raja Jawa adalah Khan yang berkuasa di Cathay, ini berarti kronologinya terjadi di dinasti Yuan atau era sebelum Ming. Jika menilik dari pola ekspansi yang dilakukan Cina sendiri, kekaisarannya belum ada contoh yang kuat terkait kebijakan ekspansi kepulauan jarak jauh seperti Nusantara. Terbukti terhadap pulau yang dekat saja seperti kepulauan Jepang mereka hanya beberapa kali berusaha menginvasi, dan kebetulan gagal karena bencana alam.(mda)
*Dari berbagai sumber