images/images-1666944103.jpg
Pariwisata

Legenda Watu Blorok, Kisah Ksatria Majapahit Dikutuk Jadi Batu

Author Abad

Oct 28, 2022

2959 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

Abad.id Jika anda melintas di jalur Mojokerto Kecamatan Jetis menuju Dawarblandong dan Balongpanggang Gresik, maka akan melihat pemandangan sebuah hutan wisata yang dikelola Perum Perhutani. Lalu anda akan melihat sebuah tenda warna aputih di tepi hutan di sekitar jalan di Desa Kupang, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Isi tenda putih yang kusam itu  terdapat sebuah batu yang sangat dikeramatkan.

 

Jaraknya 54 kilometer dari barat Surabaya. Melintasi jalur Driyorejo, Wringinanom dan masuk ke kecamatan Jetis Mojokerto.  Foto Pulung

 

Namun jangan coba-coba para pengendara yang melintasi disepanjang hutan tersebut membunyikan klakson. Sebab dipercaya akan membawa malapetaka atau perjalanan bisa ada hambatan. Selain itu, beberapa pengendara yang melintas justru melemparkan uang koin atau taburan bunga.

 

Watu Blorok, merupakan sebuah batu besar yang dipercaya sebagai benda keramat dan memiliki misteri. Benda tersebut hingga kini, masih dijaga dengan baik, bahkan sebagian masyarakat kerap melakukan ritual.

 

Menurut Srigati salah satu peilik warung yang berada di sekitar petilasan Watu Blorok, membunyikan klakson, melempar uang koin, hingga menabur bunga sudah biasa dilakukan. Hal tersebut sebagai tanda permisi, karena melewati batu yang dianggap keramat.

 

“Kebiasaan ini hampir tidak pernah terlewatkan, konon jika sampai mengabaikannya maka akan terjadi kecelakaan,” kata Srigati.

 

Bahkan dulu sebelum wabah covid 19 terjadi, kawasan Watu Blorok selalu ramai yang melintas. Wana wisata di kawasan tersebut tidak pernah sepi dari penunjung. Banyak warung berdiri di sepanjang jalan didekat Watu Blorok. Namun karena larangan berpergian, jumlah pengunjung dan pengendara yang melintas berkurang. Satu persatu warung memilih tutup dan pemiliknya pindah profesi lain.

 

 

Batu dengan diameter sekitar 1 meter ini nampak mencolok karena diberi tenda berbahan galvalum. Kain putih lusuh menyelimuti Watu Blorok. Taburan kembang mengering menghiasi puncaknya. Aroma wangi menyebar dari dupa yang dibakar. Foto Pulung

 

Dalam Bahasa Jawa, watu berarti batu. Sedangkan Blorok merupakan kata sifat untuk menggambarkan ayam betina yang bulunya berbintik hitam putih. Disebut Watu Blorok karena permukaan batu tersebut tidak rata dan sarat benjolan kecil-kecil.

 

Lalu, apa yang menjadi daya pikat watu blorok ini. Jika di Sumatra Barat terdapat legenda rakyat Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu, ternyata legenda Watu Blorok tidak jauh berbeda. Menurut cerita yang beredar, terdapat sosok Roro Wilis dan Joko Welas yang mendiami batu tersebut.

 

Seperti halnya batu Malin Kundang yang sama sekali tidak berbentuk manusia, atau patung Roro Jongrang yang sangat mirip. Watu Blorok hanya sebuah bongkahan batu yang unik secara struktur maupun bahannya. Batu ini muncul tepat berada di pinggir jalan, serta tidak ada cerita siapa yang membawa dan asalnya dari mana.

 

Legenda yang selama ini dipercaya masyarakat setempat, Watu Blorok merupakan jelmaan Roro Wilis. Mereka merupakan kakak beradik yang dikutuk menjadi batu karena nekat masuk ke hutan terlarang. “Dulunya Alas Watu Blorok ini hutan terlarang," kata Srigati.

 

Versi lain menyebutkan, Hutan yang kini dikelola Perum Perhutani ini dulu disebut Hutan Mojoroto. Dikisahkan pada masa itu ada seorang kesatria abdi kerajaan bernama Wiro Bastam. Wiro ditugaskan raja untuk berburu karena permaisuri mengidam hati kijang kencana. Kijang tersebut konon hanya ada di Hutan Mojoroto. Namun, perburuan yang dilakukan Wiro gagal. Kijang kencana kabur dengan tombak yang masih menancap di tubuhnya.

 

Anak Wiro Bastam yang laki-laki bernama Joko Welas dan perempuan bernama Roro Wilis mencoba membantu ayahnya mencari jejak kijang kencana. Dalam perjalanan ke Hutan Mojoroto itu, Joko Welas bertemu pertapa. Namun bukan mendapat bantuan mencari kijang kencana, keduanya justru salah paham hingga terjadi perang.

 

Sedangkan adiknya, Roro Wilis yang ikut melakukan pencaraian justru tercebur ke sebuah sumur beracun di hutan Bendo, Jolotundo gara-gara dijebak seorang nenek tua. Sekujur tubuh Roro Wilis menjadi berbintik-bintik hitam putih (blorok) karena terkena air sumur beracun. Saat adik kakak ini bertemu hingga akhirnya mereka lupa satu sama lainnya.

 

Beberapa waktu kemudian Wiro Bastam menghampiri keduanya. Wiro Bastam melihat kedua anaknya saling berdebat saling menyalahkan. Saat ditanya apa yang sedang terjadi, keduanya malah diam seperti batu. Wiro Bastam marah dan mengutuk kedua anaknya tersebut benar-benar menjadi batu. (pul)

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

Menyoal Aplikasi Android Untuk Penerima Subsidi

Author Abad

Nov 02, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023