Bung Tomo, tokoh penting di balik pertempuran 10 November 1945. Di mata istrinya, Sulistina, pejuang yang membakar semangat arek-arek Surabaya itu bukan hanya dianggap sebagai “pahlawan keluarga” tapi juga sosok yang romantis.
Abad.id Buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan” merupakan hasil kumpulan surat-surat Sutomo–nama panjang Bung Tomo–yang dikumpulkan alm Sulistina (istri) selama puluhan tahun.
“Saya menyalin sendiri tulisan-tulisan itu dengan laptop saya,” kata Sulis, panggilan akrabnya, semasa hidup.
Ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu itu menceritakan perjalanan kisah cintanya dengan Bung Tomo pada masa pergolakan revolusi. Dan, cerita-ceritanya hingga kini masih relevan untuk diceritakan pada generasi muda.
Sulis menceritakan, saat itu, dia–yang tercatat sebagai anggota PMI cabang Malang–sedang ditugasi kantornya ke Surabaya. Di kota itulah, gadis kelahiran kota dingin Malang itu bertemu Bung Tomo yang usianya lebih tua lima tahun.
Menurut Sulis, saat itu tidak banyak lelaki yang berani mendekatinya. Namun, pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, yang disebut Mas Tomo itulah yang berani mendekatinya.
“Bahkan ia berani menyatakan cintanya kepada saya. Dari sana saya menyadari bahwa di balik sosok Mas Tomo yang keras, juga memiliki sisi romantis” kata Sulis.
Meski mereka resmi sudah memadu kasih sejak Januari 1946, namun karena kota Surabaya masih dikuasai tentara Sekutu, mereka pun bertemu secara sembunyi-sembunyi.
Bung Tomo yang dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) saat itu merupakan salah satu tokoh yang diincar oleh tentara sekutu. Pada 19 Juni 1947 pasangan itu memutuskan untuk menikah di kota Malang.
Pernikahan pun diputuskan di Jalan Lowokwaru IV/2 Malang. Banyak kawan-kawan beliau dari BPRI dan PMI (Teman-teman istrinya) yang hadir, tetapi bukan berarti mudah menjadi istri Bung Tomo karena masih diburu-buru Belanda, mereka harus pindah ke Jogjakarta.
Untuk urusan dapur beliau memang jago memasak rawon, lodeh, sayur asem, sambel goreng taoco. Bahkan beliau sendiri yang mengajari istrinya memasak. “Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah” ucap Bung Tomo kepada istrinya.
Di bawah tekanan hidup di awal kemerdekaan yang serba susah, termasuk posisi Bung Tomo yang masih “diburu” Sekutu, pasangan muda itu memutuskan pindah ke kota Malang. Di kota dingin itu, Sulis mengaku bahagia kendati kehidupan ekonominya sangat berat. “Saya sampai harus gali lobang tutup lobang. Tapi, yang saya salut Bung Tomo tidak mau menyerah menghadapi kenyataan yang berat itu,” katanya.
Meski kejadiannya sudah lebih lebih setengah abad lalu, Sulis masih bisa mengingat secara tepat tanggal-tanggal yang dianggapnya sangat istimewa. Dia ingat betul kapan Bung Tomo menyatakan cintanya hingga peristiwa-peristiwa politik yang menimpa suami, termasuk saat Bung Tomo meninggal saat naik haji pada 1981.
Menulis Surat Cinta
Di mata Sulis, sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa ksatria, pemberani, dan romantis. Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya di balik kamar tahanan.
Karena merasa surat-surat itu sangat berharga, wanita itu mengumpulan kumpulan surat yang didokumentasikan melalui buku yang disusunnya. “Jika dihitung-hitung jumlahnya ratusan. Bahkan kalau diukur panjangnya bisa mencapai 15 meter,” katanya.
Seperempat abad lebih setelah kematian Bung Tomo di tanah suci Makkah pada 1981, cinta Sulistina kepada sang suami seperti tak pernah pupus. Bahkan, sampai hari ini pun, wanita kelahiran Malang itu mengaku masih terkenang dengan si Bung yang disebutnya sebagai “perayu ulung” itu.
Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya. Namun, Sulistina memilih membuat buku. “Saya sedang mempersiapkan buku kumpulan sajak-sajak Bung Tomo,” kata Sulis, panggilan akrab Sulistina.
Menurut Sulis, buku adalah persembahan cinta terbaik bagi suami. Sebab, dengan menulis, jiwa dan pikiran Bung Tomo tidak hanya bisa dibaca oleh anak keturunannya, tapi juga publik secara luas.
Salah satunya adalah surat cinta Sulis kepada Bung Tomo yang dibacakan budayawan tersohor Taufik Ismail. Taufik membawakan puisi tersebut dengan syahdu hingga orang yang hadir, termasuk Sulis, terpana. Dia mulai menyadari arti penting surat-surat yang ditulis Bung Tomo yang disimpannya secara apik selama puluhan tahun.
Bung Tomo yang suaranya menggelegar membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya pada pertempuran 10 November 1945, kata Sulis, adalah sosok yang romantis. Dengan mengandalkan laptop milik cucunya, Tami Rahmilawati, Sulis mengetik ulang sajak-sajak romantis yang ditulis pada 1951-1971 itu dengan penuh emosi siang dan malam.
“Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan lima surat,” kata wanita yang pandai berbahasa Belanda itu.
Selain surat cinta, buku itu juga memuat surat-surat Bung Tomo selama masa tahanan rezim Orde Baru pada 1977-1978. Saat itu, suaminya ditahan di Penjara Nirbaya, di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Bung Tomo adalah sosok yang kritis kepada rezim Soekarno maupun Soeharto. Akibat sikapnya itu, Bung Tomo oleh Orde Lama maupun Orde Baru diasingkan secara politik, bahkan dibui.
Dari ratusan pucuk surat dan puisi romantis Bung Tomo, ada beberapa yang paling membuat Sulis terharu. Salah satunya adalah puisi cinta berjudul Melati Putih, Pujaan Abadi Hatiku.
Puisi tersebut dibuat Bung Tomo di Penjara Nirbaya pada 26 Juni 1978. Dalam puisi itu, pejuang kemerdekaan tersebut berusaha mengungkap kembali perasaan cinta kedua insan yang menikah pada saat pergolakan revolusi pada 1947. Sajak itu dedikasikan untuk putri pertama mereka, Tien Sulistami, yang lahir pada 29 Juni 1948.
“Mas Tom merupakan perayu yang ulung. Dia tidak pernah berhenti menyanjung saya setiap waktu. Pada puisi itu, Mas Tom menyebut saya sebagai Melati Putih, hati siapa yang tak tersanjung disebut seperti itu,” katanya.
Masih saat di Penjara Nirbaya, Bung Tomo yang ketika itu sudah berusia 58 tahun tetap bersemangat menulis puisi untuk istrinya. Dalam puisi itu, lagi-lagi Bung Tomo memuji kecantikan wajah istrinya saat bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini.
Ini Hari Kartini, Dik!
Terbayang wajahmu nan cantik
Penaku kini henti sedetik
Terlintas semua jasamu
Sejak kita bertemu
Sulis tidak pernah merasa kecil hati mengungkap seluruh dokumen pribadinya kepada pembaca. Justru dia ingin itu menjadi sejarah yang tidak terlupakan. “Biar pembaca bisa mengambil hikmah dan mengerti betapa indahnya hidup ini,” ujarnya.
Menolak Dimakamkan
Sulis mengakui kehidupan cintanya bersama Bung Tomo dilalui lewat pasang surut perjalanan republik. Dulu, keduanya memadu cinta ketika Bung Tomo masih diburu tentara sekutu di Surabaya.
Keromantisan Bung Tomo tampak dalam setiap surat-suratnya. “Tiengke” panggilan sayang untuk Sulistina selalu menghiasi kop surat. Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke Sayang”.
Dalam sebuah surat yang ditulis pada 13 Maret 1951 Bung Tomo memahami bahwa istrinya sudah terlalu lama ditinggal di rumah bersama anak-anaknya. Selain menanyakan kabar buah hatinya, Bung Tomo juga berpesan: “Bila kesepian, ambilah buku pelajaran bahasa Inggris kita, en…success,”. Indahnya ucapan itu hingga Sulistina mengaku selalu tak sabar menunggu surat-surat berikutnya.
Selera humor Bung Tomo juga membuat Tiengke terpesona. Dalam satu kesempatan di 20 Maret 1951 surat Bung Tomo diterima. Dalam suratnya pria yang lahir pada 1920 itu menceritakan bahwa foto Sulistina dipuji teman-temannya dan beberapa ibu-ibu.
“Malah ono sing kanda (malah ada yang bilang) een paar’dames (beberapa ibu-ibu) memper (mirip) Ingrid Bergman! Bintang film Swedia di USA,’’ begitu petikan surat Bung Tomo.
Kemesraan yang terjalin melalui surat-surat Bung Tomo tak membuat nafas perjuangannya hilang. Dalam surat balasan kepada Bung Tomo, Sulistina pernah bertanya, kapan perang kemerdekaan ini akan selesai? Karena jarang sekali mereka berdua bertemu dan anak-anaknya selalu menanyakan kapan Bung Tomo datang.
Melihat istrinya mengeluh dengan perjuangannya yang tak kunjung berakhir, Bung Tomo menulis: “Tieng kowe tak seneni ya? Sesuk-sesuk adja sok kanda kapan telase merdeka ini, ya? Wong sedih merga ora bareng-bareng dua minggu wae kok ndukani “Merdekane”. (Tieng aku boleh marah ya? Lain kali jangan pernah bilang kapan selesainya perang kemerdekaan ini. Cuma sedih karena tidak bersama-sama dua minggu saja, kok menyalahkan “Merdekanya”).
Dukungan seorang istri atas perjuangan suami benar-benar menjadi sebuah perekat hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana tidak? Saat Bung Tomo ditahan selama setahun (1978-1979) oleh rezim Soeharto, Sulistina tak tinggal diam. Presiden pun disurati. Dalam surat itu Sulistina menyebut Pak Harto saja, tanpa embel-embel presiden.
“Orang yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya, tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri,” protes Sulistina dalam surat itu.
Di era kemerdekaan Bung Tomo lalu berkarir sebagai politisi di Jakarta, sebelum kemudian berseberangan dengan Bung Karno. Saat Orde Baru lahir, Bung Tomo ikut mendukung. Tapi, sikap kritisnya membuat Soeharto berang sehingga Bung Tomo ditahan.
Wanita itu bersyukur, perkawinan mereka dikaruniai empat anak yang berbakti. Mereka adalah Tin Sulistami (59), H M. Bambang Sulistomo (57), Sri Sulistami (56), dan Ratna Sulistami (49).
Seperti dia, sebagian besar anak-anak Bung Tomo itu menetap di Perumahan Kota Pesona, Bogor, setelah rumah warisan ayah mereka di Menteng, Jakarta, dijual.
Lantaran begitu cintanya kepada istri, tutur Sulis, Bung Tomo pernah berkelakar aneh kepada dia. Intinya, Bung Tomo ingin Sulis menyusul mati tiga hari setelah kematiannya. Alasannya, supaya Sulis punya cukup waktu untuk membaca tulisan wartawan soal kematiannya. “Supaya saya menceritakan ulang tulisan wartawan kepadanya di akhirat,” kata Sulis seperti yang ditulis dalam buku Bung Tomo, Suamiku.
Kelakar pejuang itu ternyata “benar-benar” terjadi. Saat keduanya menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, tiba-tiba Bung Tomo jatuh sakit dan meninggal di Makkah tepatnya di Padang Arafah. Sulis yang saat itu pontang-panting mengurus jenazah sang suami sehat-sehat saja. Tapi, tepat tiga hari, ibu Sulis–mertua Bung Tomo–yang meninggal dunia.
Hanya, Sulis tidak bercerita apakah ibunya sempat membaca berita-berita koran yang saat itu ramai memberitakan kematian suaminya.
Meski hingga kini Bung Tomo tak kunjung dinobatkan sebagai pahlawan nasional, Sulis tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, dia tetap menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan baginya. “Saya yakin masyarakat Indonesia tetap menganggapnya sebagai pahlawan. Begitu pula saya,” ceritanya.
“Sampai sekarang, nama Bung Tomo tidak pernah hilang. Saya saja yang tidak pernah berjuang ikut terbawa harum,” katanya sambil tertawa.
Bung Tomo mempertahankan kekecewaannya kepada pemerintah sampai wafat. Dalam wasiatnya, dia dengan tegas mengaku tidak mau dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Alasannya, di sana dimakamkan banyak koruptor,” ungkap Sulis.
Menurut Sulis, setahun setelah meninggal di tanah suci, jenazah suaminya dibawa kembali ke tanah air. Sesuai dengan amanahnya, Bung Tomo dimakamkan di pekuburan rakyat di Ngagel, Surabaya. Di jalan menuju makam itu, kini berdiri plang Jalan Bung Tomo.
Kesetiaan Sulistina kepada Bung Tomo tidak perlu diragukan lagi. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu. Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Sulistina tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.
Surat-surat Cinta Bung Tomo
“Datanglah. Waktuku amat sempit. Ada yang ingin aku ceriterakan padamu” atau, “Aku rindu padamu tetapi tak punya waktu,. Bisa Jeng menemuiku?”
“Jeng Lies aku cinta padamu. nanti kalau perang sudah usai. Dan…Kita akan membuat Mahligai.”
“Tak terlalu tinggi cita-citaku. Impianku kita punya rumah diatas gunung. Jauuuh dari keramaian. Rumah yang sederhana seperti pondok. Hawanya bersih, sejuk & pemandangannya Indah. Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri. aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.”
“Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah.”
“Waktu bebas, aku tidak mempunyai kesempatan membaca, nah sekarang kesempatan itu ada dan harus ku pergunakan. Tuhan memberi cobaan, tentu ada hikmahnya.”
“You are a hero, a patriot, a great lover sampai hari akhirmu.” @nov
*) diolah dari berbagai sumber