images/images-1668938677.jpg
Sejarah
Indonesiana

Menggugat Peringatan Hari Kartini

Malika D. Ana

Nov 21, 2022

1028 views

24 Comments

Save

Menggugat Peringatan Hari Kartini
 
 
Kartini bersama suami dan adik-adiknya. (Foto Dok. KITLV Leiden)
 
 
Abad.id - 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Sudah tertulis di buku-buku sejarah, bahwa Kartini adalah pejuang emansipasi wanita. Penulis hanya berusaha sedikit "ndunungké" atau berusaha meletakkan masalah pada porsinya, bahwa Kartini sebenarnya tidak lebih besar dari Dewi Sartika, tidak juga lebih hebat dari Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati dan perempuan-perempuan hebat sebelum ia.
 
Kenapa? 
 
Kartini dalam amatan penulis sengaja diangkat Belanda demi percontohan "berhasilnya" Etische Politiek (Politik Etis) atau politik balas budi. Adalah Conrad van Deventer (1857-1915), seorang ahli hukum Belanda, yang sekaligus adalah tokoh Politik Etis (1901) yang memperjuangkan bidang edukasi, emigrasi dan irigasi untuk kaum inlander agar bisa mengecap pendidikan yang sama dengan kaum ningrat dan golongan berpunya. Ia mendirikan Kweekschool voor Inlader Onderijzeressen, yakni sekolah bagi kaum inlander di banyak daerah, salah satunya di Salatiga. Sebagaimana diketahui bahwa dimasa kolonial, tidak semua orang bisa mendapatkan pendidikan kecuali orang-orang dengan strata sosial tinggi seperti priyayi, orang kaya dan ningrat. Dengan politik balas Budi, Belanda ingin dicitrakan baik hati kepada bangsa jajahan. Dan Lalu mengangkat Kartini sebagai simbol keberhasilan pendidikan Politik Etis nya tersebut.
 
Sedangkan Dewi Sartika ditenggelamkan citranya oleh Belanda karena nenek maupun bapaknya terlibat dalam pemberontakan Tegallega. Yang satu putri bupati "baik-baik", yang lain anak bupati atau Patih yang dibuang ke Ternate... Demikian juga ditulis H. Mahbub Djunaidi kepada sahabatnya, sebagaimana ditulis dalam Biografi Hussein Badjerei (2003), hlm. 233-234). 
 
Sebagai informasi, H. Mahbub Djunaidi adalah seorang penulis, kolomnis, dan aktifis pergerakan yang cukup dikenal. Ia aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan di PBNU. Tulisan-tulisannya tersebar luas. Menggelitik dan kritis. Akibatnya, ia sempat mendekam dalam penjara. Uniknya, ia bersahabat karib dengan Hussein Badjerei, seseorang yang hidupnya banyak dihabiskan sebagai aktivis Al-Irsyad, yakni organisasi pembaharu yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Soorkati.
 
Tak hanya Mahbub yang mempertanyakan sosok Kartini yang lebih ditonjolkan sebagai pejuang wanita Indonesia dibandingkan perempuan-perempuan hebat yang semasa dengannya, tetapi juga ada nama-nama lain yang merupakan sejarawan senior, seperti Prof Harsja W Bachtiar dan Dr. Taufik Abdullah. Baik Mahbub, Harsja, maupun Taufik Abdullah, semuanya memiliki pandangan bahwa Kartini ditonjolkan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa Politik Etis telah berhasil.
 
Pemilihan Kartini sebagai pahlawan ditetapkan oleh Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964. Pernah pula Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar Guru Besar UI mengkritik  perihal pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia dalam “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979) yang dijadikan propaganda menentang Feminisme oleh peneliti INSIST Tiar Anwar Bachtiar.
 
Demikianlah...tulisan rekonstruksi sejarah begini pasti akan menuai banyak protes. Karena sudah pakem di buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah demikian yang tertulis. Tidak dikomparasikan betapa jauh sebelum Kartini, perempuan-perempuan secara adi kodrati sangatlah 'berdaya' dan punya kedudukan yang sama dan sejajar dengan laki-laki. Bahwa kemudian terjadi sub-ordinasi atas peran perempuan, adalah akibat budaya feodal warisan penjajah Belanda. Betapa peran perempuan yang sangat berpengaruh dimasa lalu, berusaha dihilangkan dari ingatan bangsa Indonesia, hanya dianggep sebagai "konco wingking", yang hanya berkutat soal dapur, sumur dan kasur. Secara busana pun, diberikan kain sinjang alias jarit, untuk membatasi langkah-langkahnya ben ra pecicilan jalannya. Sudah begitu, kalo jalan disuruh menunduk, "tumungkul", tidak boleh menatap mata, hanya boleh bersuara jika diminta, seolah takdir pun ditentukan, pasangan hidup dipilihkan...dan lain-lain, masih banyak lagi aturan feodal untuk membelenggu perempuan. Dengan feodalisme, Belanda berusaha menutupi peran besar perempuan dalam sejarah dan filosofi bangsa Indonesia.
 
Secara adi kodrati, perempuan di bumi Nusantara dihormati sebagai simbol penguasa lautan, ada Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan, bumi pun disebut dengan Ibu Pertiwi, Ibu Bumi. Juga ada "unen-unen" soal Sabda Pandita Ratu, ini simbolisasi kekuatan perempuan yang "malati", cerdas, dan berotak cemerlang. Bahwa di balik seorang Raja, ada Ratu yang kata-kata nya bertuah, kawan berdiskusi dan bahkan ahli strategi. Bukan disebut Sabda Pandita Raja; di belakang seorang raja selalu ada pembisiknya, yaitu ratu. Hingga ada plesetan bahwa dibalik tokoh laki-laki antagonis, selalu ada wanita sebagai pengontrol dan pengatur skenarionya.
 
Dalam kisah sejarah, dijaman kerajaan Singhasari, yang disebut berhati SINGHA (singa) sebenarnya adalah Kendedes. Patut diduga, ialah tokoh yang menyingkirkan Tunggul Ametung dan Ken Arok karena dianggap tidak menepati janjinya, yakni membawa trah Jenggala di Tumapel untuk mendominasi wilayah kerajaan Singhasari. Ini mungkin salah satu contoh bahwa perempuan diera itu sudah berperan menjadi semacam silent operator.
 
Artefak Ibu dari Wangsa Rajasa, Pradnya Paramitha Singhasari alias Ken Dedes
 
 
Pada masa itu kaum perempuan sangat dihormati bahkan pada masa Majapahit perlindungan terhadap perempuan sampai diundangkan dalam Kitab Perundang-undangan “Āgama”. Karena kaum wanita sangat dihormati, maka layaklah mereka disebut “per-empu-an” asalnya dari kata “empu” yang merupakan gelar kehormatan.
 
Bahkan dalam filosofi Jawa pun, bencana alam atau katastropi, juga disimbolkan sebagai kekuatan Shakti (perempuan), bukan Syiwa (laki-laki) yang jika marah dan mengamuk bisa memporak-porandakan segalanya termasuk peradaban.
 
Bisa dibayangkan betapa keberadaan feodalisme berusaha mengecilkan dan mensubordinasi peran perempuan dalam sejarah dan filsafat bangsa. Bahkan dengan penonjolan tokoh Kartini yang termehek-mehek menulis kegalauannya dalam surat kepada sahabatnya yang orang Belanda itu jadi semacam mendegradasi peran perempuan Nusantara yang begitu hebatnya.
 
Bukan salah Kartini pula secara personal kenapa dijadikan icon perjuangan perempuan, tentunya karena beliau sudah meninggal. Pahlawan tidak meminta dipahlawankan. Semua nama-nama perempuan yang tersebut diatas punya peran besar dan kebetulan Belanda menokohkan Kartini. Bagaimanapun sejarah itu milik pemenang, dan Belanda menyukai Kartini untuk dijadikan figur heroik.
 
Tulisan ini pun tidak ditujukan untuk menghakimi Kartini secara personal. Sudut pandang tidak harus sama, mau ditulis sesuai sudut pandang apapun sangat bisa, ada yang mengulik soal kecerdasan spiritualnya, ada yang soal tulisan-tulisan curhatnya tentang sub-ordinasi peran peran perempuan kepada sahabat Belandanya, ada yang melihat soal keikhlasan dan pengorbanannya dijadikan istri ketiga. Sudut pandang apapun sah-sah saja karena pengelaborasian sejarah tokoh justru memperkaya khasanah sejarah nasional. (mda)
 
 
*artikel ditulis oleh Malika Dwi Ana 
 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #3

Author Abad

Mar 11, 2023

Begini Respon TACB Perihal Reklame di Lokasi Cagar Budaya

Author Abad

Feb 26, 2023

A.H. Thony: "Dulu jadi panutan pembongkaran, kini kok mau dipasangi reklame lagi. Mesakne Mas Wali"

Malika D. Ana

Feb 24, 2023