images/images-1667402847.jpg
Indonesiana

Kebaya versus Jilbab

Author Abad

Nov 03, 2022

401 views

24 Comments

Save

Abad.id - Belakangan ada yang sengaja membenturkan soal hijab dan kebaya dengan profokasi bahwa kebaya itu busana nasional, sedang hijab itu budaya Timur Tengah. Ada klaim lebih nasionalis pancasilais kalo kebaya itu budaya asli nusantara. Seolah-olah kita memang punya set budaya sendiri, padahal sebenarnya kebudayaan maupun peradaban nusantara hanyalah replika.
 
Pendapat tersebut berdasar pada realitas sejarah. Belanda datang dan membangun replika kebudayaan Eropa di Indonesia, begitu pula Islam yang membuat replika kekhalifahan Cordova di Indonesia, budaya-budaya replika ini kemudian kita jadikan acuan sebagai basis budaya nasional dengan cap sebagai budaya "asli". Dan kebaya adalah hasil reka cipta Belanda untuk pakaian wanita Belanda di koloninya, model dasarnya diambil dari pakaian wanita Tionghoa karena bahan-bahan kebaya waktu itu, terutama kain katun banyak diperdagangkan oleh saudagar-saudagar Cina. Sehingga boleh disimpulkan bahwa kebaya itu lahir di era "kolonial", dan tidak "berakar" pada budaya Austronesia sendiri, yang aslinya bukan pake kain katun tetapi pake kain tenun ikat.
 
Karena tidak berakar dari basis Austronesianya, maka tidak ditemukan pola hiasan kebaya pada semua pola tenun ikat. Kebaya adalah hasil budaya "kontemporer", bukan root culture, sehingga derajat kebaya menjadi sama dengan pakaian lain yang datang setelah era kolonial, termasuk pakaian dengan jilbab.
 
Jadi jika anda suka menyebut budaya "Arab" sebagai ejekan, dan kerap membandingkannya dengan budaya Nusantara dengan kisah-kisah wayang dan kerajaan-kerajaannya, maka itu pun salah kaprah. Kalau Arab budayanya "gurun" pasir, maka budaya Sanskert adalah budaya "stepa" atau "lembah", dua-dua nya sama-sama budaya benua, dua-duanya tidak makan beras, dua-duanya tidak kenal lompat pulau. Jadi sesama pendatang dilarang saling ejek, malu sama orang Jawa Asli yang keturunannya sekarang ada di timurnya Indonesia. Sudahlah, kalo mau asli-aslian, kembali saja pada keadaan berbusana bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa-bangsa pendatang. Ya kayak di Papua itu, yang laki pake koteka dan telanjang, sedang yang perempuan, pinggang keatas tidak pake awer-awer alias wudo gondal-gandul. Gelem po?! Itu namanya totalitas menusantara. Kok ya jadi kayak trend, kayak ngga keren kalo ngga membenturkan Islam dengan budaya, tradisi, dan ajaran-ajaran leluhur. Yang dimunculkan dan didramatisir adalah selalu citra Islam yang intoleran, keras, dan anarkis. Uniknya mereka-mereka itu tetep betah dan maju hidupnya ditengah-tengah umat Islam yang katanya ini itu. Sebenarnya tidak ada namanya intoleransi, karena jika itu terjadi, orang-orang yang hidup di lingkup Islam bisa punah dong, omong kosong besar intoleransi.
 
Kembali saja pada relnya. Kita ini negara dengan keragaman yang sangat besar. Mbok ya yang pake kebaya jangan merasa paling nasionalis atau merasa paling Nusantara. Sebaliknya, yang pake hijab dan burqa, juga jangan merasa paling islami dan punya kapling di surga. Menjalani hidup dalam keberagaman itu sunnatullah, keniscayaan... Tuhan toh tidak menciptakan manusia ini seragam, tapi beragam...berbangsa-bangsa dengan beraneka budaya, bahasa dan adat istiadat. Dalam perbedaan ya bisa-bisa nya kita menjaga keselarasan, keharmonisan, alias tepa slira, dan tenggang rasa kata butir-butir P4 dulu.
 
Mestinya juga harus disadari orang itu hidup dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Jadi ngga bisa juga kita menghakimi orang yang ingin masuk sorga dengan cara melaksanakan seruan agamanya, yakni berhijab. Yang penting kita tegaskan koridornya. Ruang publik kita atur bersama. Yang privat biarlah diurus individu atau keluarga. Di ruang privat sih bebas. Saya ngga pernah mau negara ikutan ngatur. Bahaya kalo dikasih jalan masuk. Tetapi susah banget buat ngasih pesan begini. Yang satu pengennya bisa telanjang dimana-mana, yang satunya...orang dewasa mau tidur di kamarnya dengan siapa saja pengen diurusin.
 
Saya mah berpijaknya jelas. Ruang publik adalah ruang bersama. Mari kita atur bersama pada titik kompromi tertentu. Bukan main menang-menangan lalu lawan dilabelin radikal atau antek setan. Kapan kelar urusannya? Saya memang sebal saat kelompok liberalis bawa-bawa bhineka buat nyerang lawan politik. Dua-duanya buat saya sama katroknya. Mbok sudahi, berbusana itu soal kenyamanan. Apalagi katanya demokrasi...misal ada orang mau telanjang, sepanjang ia merasa nyaman ya mboyak, luwéh kono. Sebaliknya yang nyaman dengan pakaian tertutup juga monggo ajah. Kalo saya sih, pakaian ternyaman ya daster, saya tidak akan memaksa yang tidak berdaster untuk ikut-ikutan berdaster, sampai saya main klaim bahwa daster itu pakaian asli rumahan, padahal di rumah masih ada yang suka pake baby doll, celana pendek atau celana training dan kaus. Apalagi pak bapak, jelas gak akan saya paksa pake daster batik seperti punya saya, mbok wani sumprit to!
 
Alih-alih menumbuhkan kecintaan berbusana nusantara tapi sambil menginjak kelompok lainnya. Lalu tepuk dada merasa paling bhineka...pusing pala eykeh bo'! (mda)
 
 
Penulis : Malika D. Ana
Dokumentasi Pribadi
 
 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022