abad.id- Raden Trunojoyo seorang pejuang Madura yang ikut menyingkirkan Amangkurat I dari tahta Mataram. Gelar pahlawan diberikan kepadanya, karena terlibat melawan kesewenang-wenangan mataram. Lalu, siapakah sebenarnya Raden Trunojoyo ini.
Raden Trunojoyo sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Mataram di masa Sultan Agung. Kakek dari Trunojoyo adalah adik ipar Sultan Agung. Dalam silsilahnya, Trunojoyo adalah putra dari Raden Demang Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo. Adapun Raden Maluyo adalah anak ketiga dari Cakraningrat I alias Raden Praseno, putra Arosbaya. Nah,Cakraningrat I (1624-1648) ini merupakan gelar yang diberikan Sultan Agung kepada adik iparnya itu. Sultan Agung sangat memperhatikan wilayah timur pulau Madura.
Dengan gelar Cakraningrat 1 ini, maka seluruh Madura berada di bawah pimpinan Raden Praseno, wilayah timur tetap tunduk dan patuh kepada kekuasaan Kerajaan Mataram Sultan Agung di Jawa. Dengan demikian, Trunojoyo masih memilih hubungan dekat dengan Mataram.
Pada masa Mataram dipimpin Amangkurat I, Trunojoyo menjadi satu-satunya bangsawan Madura yang berhasil memberontak terhadap pemerintahan Jawa. Bahkan, dalam pemberontakan tersebut, pasukan Trunojoyo yang bermarkas di Kediri berhasil menjarah Keraton Mataram, sehingga menyebabkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya.
Di satu sisi Trunojoyo dianggap sebagai pemberontak, tetapi di sisi lain dianggap sebagai pahlawan. Namun, tampaknya, sebutan pahlawan lebih tepat diberikan, karena langkah Trunojoyo itu mendapat dukungan rakyat yang tertindas. Sebab raja Amangkurat I yang berkuasa dikenal sangat sewenang-wenang dan kejam tidak memperhatikan rakyatnya.
Pemberontakan Trunojoyo memberikan warna baru bagi kekuasaan Mataram yang semena-mena itu. Dengan alasan tersebut, maka Trunojoyo lebih tepat dianggap sebagai pahlawan daripada pemberontak. Dan, faktanya, sekarang pun Trunojoyo menjadi salah satu pahlawan Indonesia.
Sebenarnya, hubungan dekat terjalin antara Trunojoyo dengan Amangkurat I. Betapa tidak, saat kecil, Trunojoyo tinggal dan dibesarkan di lingkungan Keraton Mataram yang pada waktu itu sudah dipimpin oleh Amangkurat I. Namun, pada tahun 1648, keluarga Trunojoyo menjadi korban rezim Amangkurat I yang dianggap melawan. Keluarga besar mereka pun dibunuh, termasuk Cakraningrat I (kakek Trunojoyo) dan Raden Demang Mloyo Kusumo (ayah Trunojoyo).
Karena sang kakek penguasa Madura telah wafat, maka tampuk kekuasaan Madura jatuh kepada putra kedua Cakraningrat I yang bernama Raden Undakan. Raden Undakan ini kemudian bergelar Cakraningrat II yang berkuasa sejak 1648 sampai 1707. Nah,ketika memerintah Madura, ternyata Cakraningrat II tidak mendapat simpati rakyat, karena sifat-sifatnya sangat buruk. Cakraningrat II sangat tidak bijaksana, sehingga banyak bawahannya melakukan kekerasan terhadap rakyat Madura. Bahkan Cakraningrat II malah sering berada di Keraton Mataram.
Melihat realitas demikian, Trunojoyo merasa terpanggil untuk membebaskan rakyat Madura dari penindasan pamannya. Kebetulan, saat pengaruh Cakraningrat II semakin melemah, dengan mudah Pangeran Trunojoyo mengambil simpati rakyat Madura. Akhirnya, tampillah Trunojoyo sebagai penguasa baru Madura, dengan wilayah mulai Bangkalan sampai Sumenep.
Setelah menjadi penguasa Madura, Trunojoyo banyak melancarkan serangan terhadap orang-orang yang bertindak kejam dan tidak adil. Tidak hanya VOC saja yang menjadi musuh Utama Trunojoyo, tetapi saudaranya sendiri, yakni Amangkurat I.
Perjuangan Trunojoyo terhadap Mataram sebenarnya sangat berat, sebab yang dilawannya masih dari kalangan kerabat sendiri. Serangan tersebut berhasil membuat sang sultan berada di pelarian hingga akhir hayatnya. Pasukan Trunojoyo didukung oleh beberapa adipati dan mantan putra Mahkota Mataram sendiri, Amangkurat II, lebih dikenal dengan nama "Pemberontakan Trunojoyo".
Keterlibatan Adipati Anom (Amangkurat II) yang dipecat dari posisinya sebagai putra mahkota oleh ayahnya, karena kecewa dengan Amangkurat I. Namun ia tidak berani memberontak secara terang-terangan. Maka, ia diam-diam meminta bantuan Trunojoyo yang sudah memiliki kekuatan cukup kuat di Madura untuk melawan Mataram.
Adipati Anom kemudian membuat perjanjian dengan Trunojoyo, bahwa apabila Trunojoyo berhasil menyingkirkan ayahnya Amangkurat I, dari tahta Mataram, maka Adipati Anom akan menjadi raja Mataram menggantikan Amangkurat I. Adapun imbalan kepada Trunojoyo adalah Madura dan sebagian Jawa Timur. Dengan perjanjian itu, maka Trunojoyo pun menyetujuinya. (pul)
Kardinah, Kartini dan Roekmini, diperkirakan di Semarang tahun 1900. Foto Fb
abad.id- Raden Ajeng Kartini seorang tokoh perempuan Pahlawan Nasional Indonesia. Untuk mengenang perjuangannya emansipasi wanita, di hari kelahirannya setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Penetapan Hari Kartini dilakukan pemerintahan Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indoensia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Banyak peneliti dan penulis yang membicarakan tentang sosok Kartini. Mereka membahas dari berbagai aspek dengan perspektif dan kepentingan. Namun sangat jarang yang membicarakan aspek spiritual keagamaan tokoh Kartini ini. Apakah Kartini beragama Islam, kejawen, Budha atau Kristen.
Ada sudut pandang lain yang menyatakan Kartini ini beragama Budha. Hal ini dibuktikan dari surat kepada sejumlah sahabatnya Rosa Abendanon-Mandri yang berada di luar negeri. Dalam surat yang dikirimkan kepada salah seorang sahabat penanya, Kartini pernah mengaku sebagai anak Buddha dan tidak makan daging.
RA Kartini bersama suami. Foto Fb
Lalu, apakah hanya tidak memakan daging ini sudah disebut beragama Budha ?
Saat masih kecil, RA Kartini sempat sakit keras, badannya terus mengigigil. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang merupakan Bupati Jepara, panik. Sejumlah dokter yang didatangkan untuk mengobati Kartini tak kunjung membuahkan hasil. Sampai kemudian datanglah orang China yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda ke rumah Kartini. Orang Cina tersebut sebelumnya memang sudah dikenal oleh anak-anak R.M Adipati Ario Sosroningrat.
Dia menawarkan bantuan dan berhasil mengobati Kartini dengan memberikan air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, kecamatan di Jepara. Kartini merasa kagum, dan ia beranggapan, apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar berhasil dengan obat tradisional. Sejak saat itu Kartini pun mengaku sebagai anak Buddha.
Hal ini dia tuangkan dalam sebuah suratnya kepada Rosa Abendanon-Mandri. Rosa Abendanon-Mandri adalah sahabat penanya yang juga istri dari seorang Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, Jacques Henrij Abendanon. Berikut adalah isi surat tersebut yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno.
“Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Buddha dan itu sudah jadi alasan untuk pantang makan daging,” demikian bunyi pengakuan Kartini dalam suratnya kepada Rosa Abendanon.
Sementara itu bagi Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja disebutkan, bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya. Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli ”Tugas Manusia adalah menjadi Manusia", tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan.
Menurut Kartini, tolong menolong dan tunjang menunjang, cintai mencintai, itulah nada dasar segala agama. Dus kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripadanya. Sebelumnya Kartini telah menegaskan,Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk, baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.
Kartini dan Al Quran
Kartini hidup di lingkungan keluarga bangsawan dengan nilai-nilai budaya Islam Jawa. Dia tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan kritis. Kartini muda juga mengalami pergulatan batin mengenai sejumlah aturan-aturan yang menurutnya tidak masuk akal. Penolakan itu selalu disampaikannya melalui surat-suratnya yang disampaikan kepada temannya di Belanda.
Meski dinilai terbuka dengan agama lain, sejumlah pengamat sejarah menilai agama Kartini adalah Islam. sebab sejumlah pergolakan batin Kartini akhirnya terjawab ketika ia bertemu dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat. Ali Menachen seorang Ulama sekaigus Ahli Filolog menyebut Kartini belajar khusus tentang Al Quran berbahasa Jawa dari Kiai Sholeh Darat.
Sejak pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat ini, pandangana Kartini tentang Islam disoroti secara positif. ”Segenap perempuan bumiputra diajak kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya," tulis surat kepada Ny.Van Kol,
Sejak lama Kartini resah, sebab tidak mampu mencintai Al Quran."Karena Al Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana pun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Al Quran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti," Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap AI Quran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Secara khusus kepada Kiai Sholeh Darat, Kartini pernah menyampaikan merindukan tafsir Al Quran agar dapat dipelajari.
Pada saat abad ke-19 Al-Quran belum boleh diterjemahkan baik ke dalam bahasa Jawa ataupun Melayu. Di satu sisi R.A. Kartini merasa bahwa dia ingin mendalami ajaran Islam, ingin menjadi muslimah yang sejati. Tapi di sisi lain, dia mengalami keterbatasan akses karena memang pendidikan bahasa Arab yang tidak merata di seluruh bangsawan Jawa.
Namun netapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Al Quran, seperti digambar-kannya kepada EC Abendanon," Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami," Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya "Barulah sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!”
Dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah yang ditulis Asvin Warman Adam disebutkan, Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat. Namun, ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Kartini menggambarkan, ada hubungan dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhan itu pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya. Meski dalam banyak perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua. Sebab itu ketika Ny. Van Kol mengintroduksi ungkapan "Tuhan sebagai Bapa”, Kartini segera menyambutnya dengan semangat. Ungkapan itu dianggap tepat, sebagai cetusan pengalaman batinnya sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami jika dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny.Van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: "Ibu sangat gembira...beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!”
Pada surat lain, Kartini menulis "Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu,Tuhan yang Maha Esa!”
Dari Ny.Van Kol pula Kartini belajar membaca Alkitab. Dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari ajaran Kristen. Bahkan, turut pula mengambil alih beberapa kata yang punya arti tertentu dalam cerita Alkitab, seperti taman Getsemani, tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.
Dalam surat kepada Ny. Van Kol Agustus 1901, Kartini menyebut derita neraka yang dialami kaum perempuan disebabkan ajaran Islam yang disampaikan para guru agama saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan harus menanggung segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini.
Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meski hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang.
Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti Islam. Tetapi, sebetulnya tidak demikian, ujar Haji Agus Salim. ”Suara itu harus menjadi peringatan kepada kita bahwa besar utang kita dan berat tangguingan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak bahaya itu. Dan kepada almarhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya dengan karena kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya,”
Asvin Warman Adam menutup penilaiannya tentang Kartini bahwa, sejak tidak jadi belajar ke negeri Belanda, ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun, wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap hidup, baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam maupun Kristen, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan. Ia tampaknya ditakdirkan menjadi milik semua golongan. (pul)
Pria tua itu tergolek di atas bale-bale bambu. Badannya kurus kerontang, dimiringkan ke satu sisi. Sang pecandu menyodot gumpalan asap opium dari ujung pipa, yang biasa disebut bedutan. Usai menghirup candu itu, lelaki tua tadi meninggalkan pondok tempat mengisap opium. Foto Woodbury and Page, Leiden University Library
abad.id- Bunga opium (poppy), yang dalam bahasa Latin disebut Papaver somniferum, memang tidak ditanam di Pulau Jawa. Meski begitu, orang Jawa ditengarai sudah menggunakan opium jauh sebelum kedatangan Belanda. Setelah VOC mendarat di Nusantara, mereka mulai bersaing keras dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium.
Cara VOC menguatkan kekuasaan di tanah jajahan awalnya dengan cara memberikan bantuan. Dari tulisan M Ali Surakhman berjudul Skandal Candu dan Perjanjian VOC dan Sultan Jambi, menyebutkan dalam pemberian bantuan itu diringi juga dengan perjanjian perjanjian yang mengikat. Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalaga terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor. Kerajaan Jambi mendapatkan bantuan dari VOC sehingga berhasil menang. VOC memberikan perjanjian-perjanjian pada kerajaan Jambi.
Dalam kontrak 6 Juli 1643, Sultan Jambi yang diwakili Pangeran Anom dengan VOC yang diwakili Pieter Soury menyebutkan, budak-budak kompeni yang terdiri dari orang orang Cina boleh tinggal dan berdagang di Jambi. Demikian pula rakyat Jambi boleh berdagang dan tinggal di Batavia. Lalu Kontrak 12 Juli 1681 antara Sultan Jambi dengan VOC yang diwakili oleh Adrian Wiland menyebutkan, kompeni memberikan perlindungan kepada kesultanan Jambi jika mendapat ancaman dari Palembang. Kontrak 11 Agustus 1683 antara Sultan Ingalaga dengan VOC menyebutkan kompeni memperoleh monopoli pembelian lada, impor kain dan opium (candu) di Jambi.
Sementara itu untuk penguasaan bisnis candu di tanah Jawa, Pada 1677, VOC harus mengalahkan persaingan. Kompeni berhasil memaksa Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Isi perjanjian itu, Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada VOC untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya.
Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa di tahun berikutnya. Posisi Cirebon yang dekat dengan pelabuhan menjadi lokasi kedatangan kapal pembawa opium. Sejak saat ini tonggak awal monopoli opium Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas perdagangan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata setiap tahun, 56 ton opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Belum lagi opium yang masuk secara ilegal bisa dua kali lipat dari jumlah impor resmi itu.
Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dipandang sebagai peranti keramah-tamahan dalam bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, menjadi lumrah jika para tamu pria disuguhi opium.
Hingga awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa. Dari Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup ke desa-desa dan wilayah Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium. Peningkatan berlipat ganda terjadi antara tahun 1802 sampai 1814 akibat pengaruh inflasi serta pelaksanaan monopoli Inggris yang lebih keras. Dekade selanjutnya 1814-1824 pajak dari perdagangan candu meningkat hingga lima kali lipat.
Bisnis Candu Dikuasahi Orang China
Semakin banyak duit dari pajak opium di daerah itu, berarti makin makmur pula warga setempat. Pedagang Cina berusaha memberikan penawaran tertinggi dan akan membayar pajak ke pemerintah daerah.
Maka para pejabat Jawa bersaing ketat memperebutkan bandar Cina yang bonafide. Sehingga, di kalangan orang Cina sendiri, lelang opium itu disebut ”peperangan antar raja”. Misalnya, dalam lelang di Kediri, residen setempat menyarankan mendukung Tan Kok Tong, yang memonopoli kebandaran lokal. Namun Direktur Keuangan Hindia Belanda merekomendasikan Tio Siong No, bandar pendatang baru asal Solo, yang telah memenangkan lelang di daerahnya. Tawaran dalam lelang diajukan dengan cara menyebutkan jumlah pajak, yang dalam bahasa Belanda disebut pachtshat, yang akan dibayar bandar dalam jangka waktu setahun di depan.
Jumlah angka pajak yang didapatkan bisa sangat fantastis. Misalnya, pajak dari bandar opium di Semarang pada 1881 bisa mencapai 26 juta gulden. Dari pajak yang dikutip dari para bandar opium ini saja, pemerintah kolonial Belanda sudah mampu membayar gaji seluruh pegawainya di Hindia Belanda.
Bagi pemenang lelang berhak atas monopoli peredaran candu di wilayah yang dimenangkannya. Bandar opium mendapat izin mendirikan pabrik pengolahan candu, yang bahan bakunya harus dibeli dari pemerintah kolonial. Untuk jalur distribusi, para bandar membentuk jaringan di wilayahnya masing-masing. Mereka pun menunjuk agen-agen opium di setiap kota, yang bertindak selaku distributornya.
Namun dibalik aturan main yang menguntungkan tersebut juga terdapat cara lain yang ilegal. Adalah Be Biauw Tjoan seorang petani opium kaya raya yang menjadi Majoor Tionghoa Semarang pada tahun 1860. Opium gelap hasil produksinya membanjiri Solo dan mengakibatkan Tio Siong Mo, seorang bandar lokal pemenang lelang mengeluh. Tio terancam bangkrut, dan terancam dicabut kontraknya pada 1854. Ia minta keringanan pajak dari Gubernur Jenderal Belanda. Tetapi, keluh kesah Tio itu dianggap sepi. Justru Tio Siong Mo dipenjarakan, lantaran tak sanggup membayar pajak.
Sebaliknya, di Negeri Belanda sendiri, parlemen Belanda menuduh pemerintah kolonial memberi karpet merah kepada Be Biauw Tjoan. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda baru berhasil mengungkap peran Be Biauw Tjoan dalam lingkaran kecurangan cartel candu.
Kedudukan dan pangkat mempengaruhi kekuasaan untuk mengelola bisnis candu. Memang, para bandar pada masa itu umumnya merangkap ”opsir” Cina. Pangkat tidak ada hubungannya dengan dunia kemiliteran, meskipun pangkat itu mulai dari ”luitenant” (letnan), ”kapitein” (kapten), sampai ”mayoor” (mayor). Para ”opsir” ini hanya ditugasi memimpin komunitas Cina di kota tertentu. untuk memperlancar pengungkapan cartel candu, Be Biauw Tjoan akhirnya dicopot sebagai mayoor de Chinesen.
Seorang perempuan yang diduga istri dari Be Biauw Tjoan seorang pimpinan cartel candu dari Semarang. Tampak kehiduoan mewah dan kaya raya bagi siapapun yang menguasai perdagangan candu di tanah jawa. Foto Woodbury and Page, Leiden University Library
Meskipun tampa jabatan, Be Biauw Tjoan tidak keluar begitu saja dari bisnis candu. Bandar opium yang kaya ini terus mendominasi bisnis opium di Jawa Tengah. Ia sangat agresif di meja lelang, dan menyerang bandar-bandar opium saingannya. Modusnya dengan membuat ”opium ilegal”.
Aksi monopoli perdangan candu Be Biauw Tjoan ini pernah dilaporkan bandar opium Banyumas. Sebab telah mengedarkan opium di kawasan Banyumas pada 1867. Tapi, Be Biauw Tjoan sudah telanjur kuat. Sehingga Be Biauw Tjoan tidak pernah terjamah hukum hingga meninggal dunia pada tahun 1904.
Dari tulisan Heddy Lugito, Gatra Nomor 13 Tahun ke 7, beredar 12 Februari 2001, disebutkan bisnis candu sangat menggiurkan bagi siapa saja yang bisa mengelola. Dari bisnis ini tidak hanya mampu mendatangkan uang yang besar, namun juga bisa membangun relasi dengan pemerintah Belanda. Hubungan relasi ini bisa mendatangkan komungkinan kolusi lain untuk kegiatan usaha yang lebih besar bersama pemerintah.
Pada akhir abad ke 19, hampir setiap kota di Jawa kedapatan sebuah keluarga opsir Cina yang secara turun-temurun mencari nafkah dari bisnis candu. Bandar opium terakhir dan terbesar adalah Oei Tiong Ham. Ayahnya, Oei Tjie Sien, tiba di Semarang pada 1858. Lima tahun kemudian, Oei Tjie Sien mendirikan kongsi dagang Kian Gwan, yang bergerak di bidang perdagangan gula. Pada 1886, Oie Tiong Ham, yang baru berumur 20 tahun, diangkat sebagai letnan de Chinesen.
Keluarga Oei masuk ke bisnis candu pada 1880, saat sebagian besar bandar opium bangkrut. Oie membeli lima wilayah opium sehingga bisa menguasai Semarang, Solo, Yogyakarta, Rembang, dan Surabaya. Dari bisnis opium ini, Oei Tiong Ham berhasil mengeruk keuntungan sekitar 18 juta gulden. Bisnis opium ini hanya sebagian kecil dari gurita bisnis Oei yang terus berkembang.
Pada 1893, Oie Tiong Ham menggabungkan kongsi Kian Gwan, membentuk Handel Maatschappij Kian Gwan, yang bergerak di bidang perdagangan gula, pelayaran, dan perbankan. Oei menguasai perdagangan gula di Jawa, memiliki lima pabrik gula di Jawa Timur. Ia mendominasi kebandaran opium Jawa Tengah dan Jawa Timur, hingga kebandaran opium yang dipegang orang-orang Cina dibubarkan pemerintah kolonial, pada 1902.
Belanda Kembali Mengatur Peredaran Opium
Kebijakan Opium Society dinilai sangat merugikan dan ditentang banyak orang terutama dari kelompok Anti Opium Bond pada tahun 1890. Kelompok ini menyarankan kepada pemerintah kolonial untuk mengganti sistem opiumpacht menjadi sistem opium regie. Saran ini diterima dan dijalankan hingga akhir abad ke-19. Konsepnya penjualan candu langsung dikendalikan oleh pemerintah secara keseluruhan, mulai impor hingga distribusi candu dari petani ke tangan pembeli.
Kebijakan Opium regie ini mengatur larangan penanaman opium di tanah Hindia Belanda. Opium tersebut diimpor dan diolah dipabrik yang didirikan di Batavia. Sistem opium regie mengharuskan penjual yang disebut mantri candu, mencantumkan papan nama di setiap bangunan yang menjual candu dengan nama “Kantor Penjualan”. Loket penjualan candu terdapat di dekat dengan pasar, perkebunan, dan pelabuhan. Loket candu masiih dibuka hingga malam pukul 22.00.
Tidak hanya itu, Belanda juga mendapatkan monopoli atas perdagangan madat di tanah Jawa. Wilayah Jawa dianggap pasar yang menjanjikan, sebab penduduknya padat dan belum ada aturan larangan dari pemerintah lokal kerajaan. Kegiatan madat dianggap hal yang lumrah dan bukan tabu. Bahkan pendatang China yang tinggal di pulau Jawa dianggap paling royal terhadap bahan madat ini. Beberapa tempat khusus madat disediakaan secara terbuka oleh pengusaha lokal, berikut pula bahan dan alatnya. Tumbuh suburnya kegiatan madat ini membuahkan keuntungan Belanda berkali-kali lipat.
Sementara itu untuk memberantas opium selundupan di luar wilayah edar, para bandar menebar mata-mata. Mereka bekerja sama dengan polisi Belanda. Pengedar opium gelap yang tertangkap diseret ke pangadilan. Tapi, sejauh itu polisi Belanda hanya dapat menangkap pengedar kelas teri. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa peredaran opium gelap itu merupakan ulah seorang bandar untuk menghancurkan bisnis bandar pesaingnya.
Namun masa keemasan madat ini berakhir pada tahun 1942, saat Jepang mengambil alih kekuasan Hindia Belanda. Jepang benar-benar melarang candu (Brisbane Ordinace) dan menghapus undang-undang kebebasan madat. Pada masa pemerintahan Jepang lebih mengutamakan mobilitas dan stabilitas keamanan secara umum. Sehingga tempat yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum sangat dibatasi dan diatur ketat. Termasuk tempat prostitusi dan arena judi.
Masa kejayaan perdagangan segala jenis madat benar-benar berakhir saat pasca kemerdekaan. Untuk mencegah dampak buruk madat, tahun 1971 Presiden Suharto mengeluarkan Intruksi no 6/1971 dengan membentuk badan koordinasi yang dikenal dengan Bakorlak Inpres 6/71. Badan ini menghasilkan amandemen semua kegiatan penanggulangan berbagai bentuk penyimpangan yang dapat mengancam keamanan negara, mulai pemalsuan uang, penyelundupaan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap warga negara asing. (pul)
Para begal, preman dan copet ketika diamankan serdadu Belanda. Mereka mengaku bekas Laskar Diponegoro yang tidak pernah menyerah meskipun Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan. Foto dok net
Gubernur Jenderal De Kock tak bisa lagi sesumbar, untuk menangkap Diponegoro hanya butuh waktu tiga bulan. Ternyata terbukti sudah berbulan-bulan, yang ia dengar justru jumlah serdadu Belanda yang terus berkurang. Sementara Diponegoro masih belum juga ditangkap. Belanda bagaikan berperang melawan hantu pencabut nyawa.
Lalu, seberapa besar kekuatan laskar Diponegoro sehingga membuat serdadu Belanda kewalahan. Dalam buku Diponegoro, Pangeran Bermata Tajam Berkilat Iman tulisan Yudhi AW menjelaskan, sebelum menyatakan diri perang melawan Belanda, rupanya Diponegoro telah menyusun kekuatan tentara dan gerakan rakyat Permesta. Diponegoro juga telah membangun hubungan dengan orang-orang dari Timur Tengah dan Turki, sehingga berhasil membangun tiga pabrik mesiu senapan. Jelas, orang seperti Diponegoro ini tak boleh diremehkan.
Kekuatan dukungan juga datang dari para ulama dan kelompok bangsawan Jawa. Sistim kemiliteran ala Daulah Usmaniyah Turki ia terapkan atas peran Syekh Mustafa dan beberapa mitra Timur Tengah. Diponegoro memakai istilah Pasha untuk menyematkan gelar senopati, dan Ali Pasha untuk panglima. Sentot Prawirodirjo yang masih muda, namanya juga dikenal dengan sebutan Ali Pasha, bagi lidah Jawa disederhanakan menjadi Ali Basah. Jadilah ia salah satu panglima perang. Ali Basah Sentor Prawirodirjo, membawahi beberapa komandan brikade, daulah atau komandan batalyon dan komandan kompi.
Para prajurit perang sabil ini terbagi menjadi beberapa kesatuan yang disesuaikan dengan nama pasakan elite Turki Usmani. Yakni suatu pasukan infanteri, Baliyo atau pasukan elite dengan keahlian di atas rata-rata, pasukan berkuda, dan turkiyo atau pasakan pembersih. Juga terdapat pasukan cadangan pribumi yang kurang terlatih, dapat dipakai sewaktu-waktu yang diberinya nama batisa. Jumlahnya sangat bannyak, mencampai ratusan ribu orang. Terdiri dari para pemuda di kampung-kampung. Diponegoro berhasil memobilisasi mereka tanpa harus turun bertatap langsung. Pasukan lain yang berharga peran para kajineman atau mata-mata yang berprofesi sebagai petani, pedagang, atau malah gelandangan yang tak mampu dideteksi oleh Belanda. Jumlahnya sangat banyak dan tersebar di tiap desa.
Diponegoro juga dikenal pandai bergaul dan menyentuh semua kalangan. Dia juga mampu menarik simpati para preman, pencuri, kecu, rampok, garong, copet, dan aneka profesi hitam lainnya. Jika sebelumnya kelompok ini diberi fasilitas oleh Belanda untuk membuat takut rakyat yang membangkang, namun ternyata oleh Diponegoro mampu dijadikan bagian pasukan perang sabil. Mereka bertugas membuat kekacauan di tempat-tempat yang dikuasai Belanda. Dalam catatan sejarang mereka terkenal dengan sebutan Pasukan Berandal.
Aksi berandal membuat resah di wilayah yang dikuasai serdadu Belanda beberapa kali terjadi di Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat lokal menyebut sebagai gerombolan ‘kecu’. Mereka mengincar aparat birokrat, orang China yang mendukung Belanda, pemerintah tingkat desa yang disebut ‘ bekel’ yang berkianat kepada rakyat. Pernah suatu ketika sekitar 20 orang tak dikenal menyerbu rumah ‘bekel’ di desa Kretek, Sragen. Tak cukup membawa 11 ekor kerbau, mereka juga mengambil beberapa pikul padi, dan membawa kekayaan seharga 108, 84 gulden. Belum puas, Berandal juga membunuh isteri tua dari bekel tersebut. Aksi mereka tergolong cerdik karena kemudian tak bisa ditangkap.
Meski sifatnya ‘murni kriminal’, namun sebenarnya aksi Berandal di Jawa lebih banyak bersifat sebagai protes. Secara khusus perbanditan yang banyak terjadi di pedesaan disebut 'kecu', rampok, 'koyok', dan sejenisnya. Pada dasarnya aksi mereka muncul karena rakyat pedesaan kehilangan orientasi dan lepas dari kehidupan budayanya akibat kemiskinan, penindasan, dan penghisapan oleh pihak kolonial Belanda. Aksi ini bisa saja dilakukan oleh individual atau sekelompok orang yang ingin mendapatkan haknya kembali setelah dirampas.
Aksi Berandal juga merupakan ekpresi dari perlawanan rakyat, dan melakukan tindakan perusakan terhadap berbagai perusahaan milik Belanda. Di tempat lain, aksi Berandal dilakukan dengan melakukan pembakaran terhadap kebun tebu, los tembakau, perusakan saluran irigasi, dan gudang dan bangunan.
Memang, seluruh komponen rakyat Jawa saat itu sedang menyakinkan ramalan kehadiran ‘ratu adil’ yang akan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan dan keangkara murkaan. Dari mulut ke mulut masyarakat mengabarkan kehadiran Diponegoro berbagai simbol tertentu yang dinilai punya kekuatan mistik. Bahkan tidak jarang ada penilaian dan cerita yanag berlebihan, sehingga semakin yakin atas kehadiran Diponegoro sebagai sang ratu adil.
Maka inilah kekuatan sebenarnya dari laskar Diponegoro. Yaitu perang melibatkan semua unsur rakyat dan menjadi jelas tujuannya. Bagi para pribumi Jawa, kelompok Berandal, dan kaum awam menganggap ini perang suci untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman para durjana yang semena-mena terhadap rakyat. Sedangkan bagi para santri, ini adalah perang sabil, perang suci dari kaum kafir yang hendak menodai kesucian agama Islam. (pul)
abad.id- Memasuki tempat perundingan di Kedu, Diponegoro disambut dengan upacara kebesaran. Para pejabat, termasuk Residen Kedu dan Kolonel Cochius ikut serta dalam penyambutan itu. Bak menyambut kedatangan seorang Gubernur Jenderal saja. Diponegoro diperlakukan dengan sangat ramah. Sebuah penginapan yang sangat nyaman telah dipersiapkan kepada Pangeran dan keluarganya.
Gubernur jenderal De Kock memang pandai bersandiwara, meskipun saat itu ia sedang sibuk membuat pasal-pasal kesalahan Diponegoro sebagai syarat pembuatan surat penangkapan. Permintaan Diponegoro kepada Residen ingin menghabiskan puasa di Magelang diturutinya dengan senang hati. Para prajurit pejuang pun tak kalah mendapatkan keramahan sesaat. Penginapan dan makanan enak mereka dapatkan. Tiga minggu mereka menikmati kenyamanan sebagai tamu. Syawal telah menginjak hari ketiga.
Waktu perundingan telah tiba. Tiga minggu adalah waktu yang cukup bagi Gubernur jendral De Kock untuk mempersiapkan semuanya. Rumah Residen Kedu telah diatur dengan rapi menyesuaikan dengan suasana Idul Fitri. Lebih tepat ini adalah acara pesta halal bi halal untuk saling memaafkan. Diponegoro memasuki ruangan dengan membawa serta dua anaknya yang masih kecil. Ia didampingi Basah Mertonegoro, Kaji Isa, dan Kaji Badarudin. Dari pihak Belanda, De Kock didampingi tiga perwira.
Tak ada pembicaraan berarti karena De Kock sengaja membawanya pada suasana santai tanpa tema yang jelas. Berbasa-basi untuk membuat kendur saraf. Sementara di luar gedung, Suasana dibuat layaknya pesta lebaran. Para prajurit pejuang terlena oleh kenyamanan pesta penuh makanan. Para serdadu Belanda dengan sigap melucuti senjata para pejuang yang terbuai oleh sambutan yang ramah. Mereka tak dapat berbuat apa-apa. Dalam waktu singkat 1.400 prajurit menjadi macan ompong tanpa senjata. Jadilah para prajurit pejuang itu sebagai tawanan yang hanya bisa terdiam manakala terjadi sesuatu pada tuan mereka.
Mayor Michiels masuk ke ruang perundingan, mendekat De Kock dan membisikkan sesuatu. Dilanjutkan dengan kedatangan puluhan serdadu bersenjata lengkap dengan bayonet terhunus mengkilap.
“Aku harap tidak ada yang keluar dari ruangan ini, kecuali Kaji Isa dan Kaji Badarudin," kata De Kock.
Dua kiai itu pun diantar keluar oleh beberapa prajurit.
“Apa-apaan ini?" tanya Diponegoro dengan bahasa Jawa ngoko. Ia terlihat gusar.
“Saya datang ke sini dengan niat baik, mau menepati janji untuk berunding. Sekalian melakukan silaturahmi di Idul Fitri. Tak ada niatku untuk bertengkar. Tapi, mengapa sikap kalian seperti ini?”
“Hai, Diponegoro, aku membawa surat penangkapan untukmu karena kamu telah melanggar hukum. Salah satunya adalah kamu dituduh bersalah telah memicu peperangan hingga mengakibatkan ribuan orang tewas dan telah membuat kerugian yang sangat besar. Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus menyerah!”
"Tidak, Tak ada kata menyerah dalam hidupku. Aku manusia merdeka. Kalian bisa saja memperdayaku, bahkan membunuhku. Tapi, kaliań tak akan pernah bisa memperbudakku."
"O..., kamu ingin mati rupanya."
"Bagiku mati atau pun hidup sama saja, karena pati dan hidup itu ada di tangan Gusti Kang Amurba Gesang."
"Diponegoro! Kamu memang bandel. Kamu sudah tidak punya apa-apa lagi, masih belum juga mau mengaku kalah?"
Seketika, Diponegoro memegang keris Bondoyudo. Siap ia hunuskan ke dada Gubenur Jendral De Kock. Dengan sekali lompat, keris itu pasti sudah menebus dada De Kock. Tapi, kesadarannya pada takdir menahannya melakukan hal tersebut. Akalnya berpikir, andai ia nekat melakukannya, justru akan berakhir tidak baik. Ia memikirkan nasib ratusan ribu orang di sekitarnya.
Dalam buku Diponegoro Pangeran Bermata Tajam Berkilat Iman tulisan Yudhi AW menggambarkan bagaimana Diponegoro menanggapi penangkapan itu sebagai takdir yang membawanya pada sikap pasrah. Memang sudah digariskan bahwa bangsanya belum diperkenankan untuk menang melawan Belanda. Perlahan, ia sarungkan lagi keris pusaka itu. Tangannya mengendur.
"Tuan De Kock. Kalau Tuan hendak membunuh saya, lakukan saja sekarang. Hanya saja saya berpesan untuk menguburkan jasadku ini di Makam Jimatan, di samping pasarean istri saya, Ratu Kedhaton.”
"Tidak, Tuan Diponegoro!" Kali ini, suara De Kock melunak. Sanubarinya berbicara bahwa ia telah mencederai sifat kesatrianya sendiri.
"Aku tak akan membunuhmu. Kamu adalah laki-laki terhormat, maka aku pun akan memperlakukanmu secara terhormat. Aku hanya meminta pertanggungjawabanmu atas perang ini."
“Aku yang bertanggung jawab atas perang ini. Aku yang bertanggung jawab atas jatuhnya ribuan korban dan kerusakan hebat ini. Walaupun aku tidak pernah menyesal atas tindakanku, tapi aku pantas untuk menerima hukuman atas semua yang aku perbuat sebagai bentuk tanggung jawab."
Menyerah dan meminta pengampunan demi mendapatkan penghidupan yang layak tak akan mungkin Diponegoro lakukan karena itu sama saja menjual harga diri. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah berserah pada takdir. Takdir telah membawanya sebagai seorang pesakitan yang terbuang jauh dari tanah leluhurnya. Ini adalah jalan terbaik yang telah dipilihkan untuknya.
Usia Diponegoro belum genap 45 tahun saat ditangkap Belanda. Dalam catatan sejarah dalam perang 5 tahun 1825-1830, telah merugikan pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara (sekitar 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa dan 7.000 pribumi) dan dana 20 juta Gulden. Juga menelan korban sipil sebanyak 200.000 orang. Konon setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Pihak kolonial Belanda pernah menawarkan hadiah sebesar 50.000 Gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro.
Saat perang Diponegoro ini ada kiprah pasukan dari Fort Amsterdam (Manado) yang dikenal dengan nama Pasukan Tulungan. Terdiri dari sekitar 1500’an orang Minahasa, dengan pemimpin Groot Mayoor Tololiu HW Dotulong. Pasukan inilah yang membuat Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada tanggal 28 Maret 1830.
Mayor Tololiu Hermanus Willem Dotulong, komandan Serdadu Tulungan (Bantuan) Minahasa yang ikut menumpas Perang Jawa. Pasukan Minahasa berhasil menangkap Pangeran Diponegoro saat perundingan di Kedu bulan Maret 1830. Foto facebook
Seperti yg dikutip dari buku Jessy Wenas, 2007, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa, Residen Belanda D.E.W.Pietermaat minta warga Minahasa menolong Belanda untuk berperang di Jawa. Pasukan Minahasa yang disebut Tulungan (Tulung = tolong bantu), tapi lebih dikenal dengan Serdadu Manado, dibentuk berdasarkan penandatanganan kontrak tanggal 23 Desember 1927.
Minahasa diwaliki oleh Abraham Dotulong dan J. Kawilarang, dan sebagai saksi di pihak Belanda adalah Letnan A.Voges. Dimana pihak Minahasa menyediakan 1421 personel. Pemimpin pasukan Minahasa adalah Mayoor Tololiu Herman Willem Dotulong (Sonder) yang saat itu berusia 34 tahun. Ia dibantu tiga kapitein untuk setiap walak yang banyak serdadunya, Sonder Tombasian, Kema-Kalabat, Langouwan, Tondano (Touliang-Toulimambot), Tomohon dan Saronsong. Mereka antara lain Benyamin Sigar (Langouwan), D. Rotinsulu (Tonsea), dan Polingkalim (Tondano). Setiap kapitein dibantu letnan Tondano adalah H. Supit dan Alexander Wuisan, dan letnan Langouwan Jahanis Sangari. Serta para pembantu letnan dari Tomohon adalah Mandagi, Palar, dan Mongula. Pasukan dari minahasa ini berangkat dengan kapal laut menuju Jawa tanggal 29 Maret 1829.
Setiba di Jawa, para serdadu ini harus menghadapi rintangan alam. Membabat hutan sendiri untuk dapat dilewati peralatan perang. Jebakan berupa ranjau bambu yang dipasang pasukan Diponegoro sudah menjadi sambutan yang sering mereka dapatkan. Ketika memasuki perkampungan, para serdadu pilihan ini pun tak kalah frustrasi. Sikap para bekel, lurah, dan demang di desa begitu membingungkan. Mereka selalu menampakkan simpati kepada para prajurit Belanda. Bersikap seakan-akan patuh kepada mereka. Padahal, mereka adalah pengikut setia Pangeran. Sulit untuk menentukan mana kawan dan mana lawan.
Melihat kondisi yang sudah sangat merugikan, Gubenur Jendral De Kock ingin segera mengakhiri perang. Ia telah menarik sebagian besar serdadu pribumi dari Maluku dan Papua yang terkenal ganas dan kanibal, serdadu Bali yang terkenal loyal, serdadu Madura yang terkenal berani, serdadu Makassar yang terkenal memiliki daya tahan kuat. Sementara serdadu Minahasa masih diperbantukan mengurung wilayah yang disebutnya the killing field. Perang harus diselesaikan dalam waktu singkat.
Alasan pemulangan banyak prajurit ini, merasa sudah frustrasi dan minta pulang. Mereka juga tidak lagi bersemangat membunuh lawan. Pakaian serdadu itu pun memprihatinkan, compang-camping tak pernah ganti berbulan-bulan. Perut mereka tak lagi terjamin oleh pasokan beras lantaran sering terlambat datang. Para perwira pun tak kalah menyedihkan, mereka mulai terserang penyakit gila, setengah lantaran menjalani perang yang tak kunjung menemui pangkal akhir. Semuanya loyo tanpa semangat. Hanya prajurit yang dipimpin Mayoor Tololiu Herman Willem Dotulong (Sonder) dari Minahasa yang masih konsisten mengikuti strategi perang. (pul)