Kardinah, Kartini dan Roekmini, diperkirakan di Semarang tahun 1900. Foto Fb
abad.id- Raden Ajeng Kartini seorang tokoh perempuan Pahlawan Nasional Indonesia. Untuk mengenang perjuangannya emansipasi wanita, di hari kelahirannya setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Penetapan Hari Kartini dilakukan pemerintahan Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indoensia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Banyak peneliti dan penulis yang membicarakan tentang sosok Kartini. Mereka membahas dari berbagai aspek dengan perspektif dan kepentingan. Namun sangat jarang yang membicarakan aspek spiritual keagamaan tokoh Kartini ini. Apakah Kartini beragama Islam, kejawen, Budha atau Kristen.
Ada sudut pandang lain yang menyatakan Kartini ini beragama Budha. Hal ini dibuktikan dari surat kepada sejumlah sahabatnya Rosa Abendanon-Mandri yang berada di luar negeri. Dalam surat yang dikirimkan kepada salah seorang sahabat penanya, Kartini pernah mengaku sebagai anak Buddha dan tidak makan daging.
RA Kartini bersama suami. Foto Fb
Lalu, apakah hanya tidak memakan daging ini sudah disebut beragama Budha ?
Saat masih kecil, RA Kartini sempat sakit keras, badannya terus mengigigil. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang merupakan Bupati Jepara, panik. Sejumlah dokter yang didatangkan untuk mengobati Kartini tak kunjung membuahkan hasil. Sampai kemudian datanglah orang China yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda ke rumah Kartini. Orang Cina tersebut sebelumnya memang sudah dikenal oleh anak-anak R.M Adipati Ario Sosroningrat.
Dia menawarkan bantuan dan berhasil mengobati Kartini dengan memberikan air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, kecamatan di Jepara. Kartini merasa kagum, dan ia beranggapan, apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar berhasil dengan obat tradisional. Sejak saat itu Kartini pun mengaku sebagai anak Buddha.
Hal ini dia tuangkan dalam sebuah suratnya kepada Rosa Abendanon-Mandri. Rosa Abendanon-Mandri adalah sahabat penanya yang juga istri dari seorang Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, Jacques Henrij Abendanon. Berikut adalah isi surat tersebut yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno.
“Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Buddha dan itu sudah jadi alasan untuk pantang makan daging,” demikian bunyi pengakuan Kartini dalam suratnya kepada Rosa Abendanon.
Sementara itu bagi Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja disebutkan, bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya. Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli ”Tugas Manusia adalah menjadi Manusia", tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan.
Menurut Kartini, tolong menolong dan tunjang menunjang, cintai mencintai, itulah nada dasar segala agama. Dus kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripadanya. Sebelumnya Kartini telah menegaskan,Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk, baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.
Kartini dan Al Quran
Kartini hidup di lingkungan keluarga bangsawan dengan nilai-nilai budaya Islam Jawa. Dia tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan kritis. Kartini muda juga mengalami pergulatan batin mengenai sejumlah aturan-aturan yang menurutnya tidak masuk akal. Penolakan itu selalu disampaikannya melalui surat-suratnya yang disampaikan kepada temannya di Belanda.
Meski dinilai terbuka dengan agama lain, sejumlah pengamat sejarah menilai agama Kartini adalah Islam. sebab sejumlah pergolakan batin Kartini akhirnya terjawab ketika ia bertemu dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat. Ali Menachen seorang Ulama sekaigus Ahli Filolog menyebut Kartini belajar khusus tentang Al Quran berbahasa Jawa dari Kiai Sholeh Darat.
Sejak pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat ini, pandangana Kartini tentang Islam disoroti secara positif. ”Segenap perempuan bumiputra diajak kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya," tulis surat kepada Ny.Van Kol,
Sejak lama Kartini resah, sebab tidak mampu mencintai Al Quran."Karena Al Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana pun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Al Quran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti," Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap AI Quran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Secara khusus kepada Kiai Sholeh Darat, Kartini pernah menyampaikan merindukan tafsir Al Quran agar dapat dipelajari.
Pada saat abad ke-19 Al-Quran belum boleh diterjemahkan baik ke dalam bahasa Jawa ataupun Melayu. Di satu sisi R.A. Kartini merasa bahwa dia ingin mendalami ajaran Islam, ingin menjadi muslimah yang sejati. Tapi di sisi lain, dia mengalami keterbatasan akses karena memang pendidikan bahasa Arab yang tidak merata di seluruh bangsawan Jawa.
Namun netapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Al Quran, seperti digambar-kannya kepada EC Abendanon," Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami," Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya "Barulah sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!”
Dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah yang ditulis Asvin Warman Adam disebutkan, Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat. Namun, ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Kartini menggambarkan, ada hubungan dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhan itu pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya. Meski dalam banyak perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua. Sebab itu ketika Ny. Van Kol mengintroduksi ungkapan "Tuhan sebagai Bapa”, Kartini segera menyambutnya dengan semangat. Ungkapan itu dianggap tepat, sebagai cetusan pengalaman batinnya sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami jika dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny.Van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: "Ibu sangat gembira...beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!”
Pada surat lain, Kartini menulis "Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu,Tuhan yang Maha Esa!”
Dari Ny.Van Kol pula Kartini belajar membaca Alkitab. Dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari ajaran Kristen. Bahkan, turut pula mengambil alih beberapa kata yang punya arti tertentu dalam cerita Alkitab, seperti taman Getsemani, tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.
Dalam surat kepada Ny. Van Kol Agustus 1901, Kartini menyebut derita neraka yang dialami kaum perempuan disebabkan ajaran Islam yang disampaikan para guru agama saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan harus menanggung segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini.
Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meski hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang.
Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti Islam. Tetapi, sebetulnya tidak demikian, ujar Haji Agus Salim. ”Suara itu harus menjadi peringatan kepada kita bahwa besar utang kita dan berat tangguingan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak bahaya itu. Dan kepada almarhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya dengan karena kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya,”
Asvin Warman Adam menutup penilaiannya tentang Kartini bahwa, sejak tidak jadi belajar ke negeri Belanda, ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun, wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap hidup, baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam maupun Kristen, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan. Ia tampaknya ditakdirkan menjadi milik semua golongan. (pul)