abad.id- Memasuki tempat perundingan di Kedu, Diponegoro disambut dengan upacara kebesaran. Para pejabat, termasuk Residen Kedu dan Kolonel Cochius ikut serta dalam penyambutan itu. Bak menyambut kedatangan seorang Gubernur Jenderal saja. Diponegoro diperlakukan dengan sangat ramah. Sebuah penginapan yang sangat nyaman telah dipersiapkan kepada Pangeran dan keluarganya.
Gubernur jenderal De Kock memang pandai bersandiwara, meskipun saat itu ia sedang sibuk membuat pasal-pasal kesalahan Diponegoro sebagai syarat pembuatan surat penangkapan. Permintaan Diponegoro kepada Residen ingin menghabiskan puasa di Magelang diturutinya dengan senang hati. Para prajurit pejuang pun tak kalah mendapatkan keramahan sesaat. Penginapan dan makanan enak mereka dapatkan. Tiga minggu mereka menikmati kenyamanan sebagai tamu. Syawal telah menginjak hari ketiga.
Waktu perundingan telah tiba. Tiga minggu adalah waktu yang cukup bagi Gubernur jendral De Kock untuk mempersiapkan semuanya. Rumah Residen Kedu telah diatur dengan rapi menyesuaikan dengan suasana Idul Fitri. Lebih tepat ini adalah acara pesta halal bi halal untuk saling memaafkan. Diponegoro memasuki ruangan dengan membawa serta dua anaknya yang masih kecil. Ia didampingi Basah Mertonegoro, Kaji Isa, dan Kaji Badarudin. Dari pihak Belanda, De Kock didampingi tiga perwira.
Tak ada pembicaraan berarti karena De Kock sengaja membawanya pada suasana santai tanpa tema yang jelas. Berbasa-basi untuk membuat kendur saraf. Sementara di luar gedung, Suasana dibuat layaknya pesta lebaran. Para prajurit pejuang terlena oleh kenyamanan pesta penuh makanan. Para serdadu Belanda dengan sigap melucuti senjata para pejuang yang terbuai oleh sambutan yang ramah. Mereka tak dapat berbuat apa-apa. Dalam waktu singkat 1.400 prajurit menjadi macan ompong tanpa senjata. Jadilah para prajurit pejuang itu sebagai tawanan yang hanya bisa terdiam manakala terjadi sesuatu pada tuan mereka.
Mayor Michiels masuk ke ruang perundingan, mendekat De Kock dan membisikkan sesuatu. Dilanjutkan dengan kedatangan puluhan serdadu bersenjata lengkap dengan bayonet terhunus mengkilap.
“Aku harap tidak ada yang keluar dari ruangan ini, kecuali Kaji Isa dan Kaji Badarudin," kata De Kock.
Dua kiai itu pun diantar keluar oleh beberapa prajurit.
“Apa-apaan ini?" tanya Diponegoro dengan bahasa Jawa ngoko. Ia terlihat gusar.
“Saya datang ke sini dengan niat baik, mau menepati janji untuk berunding. Sekalian melakukan silaturahmi di Idul Fitri. Tak ada niatku untuk bertengkar. Tapi, mengapa sikap kalian seperti ini?”
“Hai, Diponegoro, aku membawa surat penangkapan untukmu karena kamu telah melanggar hukum. Salah satunya adalah kamu dituduh bersalah telah memicu peperangan hingga mengakibatkan ribuan orang tewas dan telah membuat kerugian yang sangat besar. Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus menyerah!”
"Tidak, Tak ada kata menyerah dalam hidupku. Aku manusia merdeka. Kalian bisa saja memperdayaku, bahkan membunuhku. Tapi, kaliań tak akan pernah bisa memperbudakku."
"O..., kamu ingin mati rupanya."
"Bagiku mati atau pun hidup sama saja, karena pati dan hidup itu ada di tangan Gusti Kang Amurba Gesang."
"Diponegoro! Kamu memang bandel. Kamu sudah tidak punya apa-apa lagi, masih belum juga mau mengaku kalah?"
Seketika, Diponegoro memegang keris Bondoyudo. Siap ia hunuskan ke dada Gubenur Jendral De Kock. Dengan sekali lompat, keris itu pasti sudah menebus dada De Kock. Tapi, kesadarannya pada takdir menahannya melakukan hal tersebut. Akalnya berpikir, andai ia nekat melakukannya, justru akan berakhir tidak baik. Ia memikirkan nasib ratusan ribu orang di sekitarnya.
Dalam buku Diponegoro Pangeran Bermata Tajam Berkilat Iman tulisan Yudhi AW menggambarkan bagaimana Diponegoro menanggapi penangkapan itu sebagai takdir yang membawanya pada sikap pasrah. Memang sudah digariskan bahwa bangsanya belum diperkenankan untuk menang melawan Belanda. Perlahan, ia sarungkan lagi keris pusaka itu. Tangannya mengendur.
"Tuan De Kock. Kalau Tuan hendak membunuh saya, lakukan saja sekarang. Hanya saja saya berpesan untuk menguburkan jasadku ini di Makam Jimatan, di samping pasarean istri saya, Ratu Kedhaton.”
"Tidak, Tuan Diponegoro!" Kali ini, suara De Kock melunak. Sanubarinya berbicara bahwa ia telah mencederai sifat kesatrianya sendiri.
"Aku tak akan membunuhmu. Kamu adalah laki-laki terhormat, maka aku pun akan memperlakukanmu secara terhormat. Aku hanya meminta pertanggungjawabanmu atas perang ini."
“Aku yang bertanggung jawab atas perang ini. Aku yang bertanggung jawab atas jatuhnya ribuan korban dan kerusakan hebat ini. Walaupun aku tidak pernah menyesal atas tindakanku, tapi aku pantas untuk menerima hukuman atas semua yang aku perbuat sebagai bentuk tanggung jawab."
Menyerah dan meminta pengampunan demi mendapatkan penghidupan yang layak tak akan mungkin Diponegoro lakukan karena itu sama saja menjual harga diri. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah berserah pada takdir. Takdir telah membawanya sebagai seorang pesakitan yang terbuang jauh dari tanah leluhurnya. Ini adalah jalan terbaik yang telah dipilihkan untuknya.
Usia Diponegoro belum genap 45 tahun saat ditangkap Belanda. Dalam catatan sejarah dalam perang 5 tahun 1825-1830, telah merugikan pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara (sekitar 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa dan 7.000 pribumi) dan dana 20 juta Gulden. Juga menelan korban sipil sebanyak 200.000 orang. Konon setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Pihak kolonial Belanda pernah menawarkan hadiah sebesar 50.000 Gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro.
Saat perang Diponegoro ini ada kiprah pasukan dari Fort Amsterdam (Manado) yang dikenal dengan nama Pasukan Tulungan. Terdiri dari sekitar 1500’an orang Minahasa, dengan pemimpin Groot Mayoor Tololiu HW Dotulong. Pasukan inilah yang membuat Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada tanggal 28 Maret 1830.
Mayor Tololiu Hermanus Willem Dotulong, komandan Serdadu Tulungan (Bantuan) Minahasa yang ikut menumpas Perang Jawa. Pasukan Minahasa berhasil menangkap Pangeran Diponegoro saat perundingan di Kedu bulan Maret 1830. Foto facebook
Seperti yg dikutip dari buku Jessy Wenas, 2007, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa, Residen Belanda D.E.W.Pietermaat minta warga Minahasa menolong Belanda untuk berperang di Jawa. Pasukan Minahasa yang disebut Tulungan (Tulung = tolong bantu), tapi lebih dikenal dengan Serdadu Manado, dibentuk berdasarkan penandatanganan kontrak tanggal 23 Desember 1927.
Minahasa diwaliki oleh Abraham Dotulong dan J. Kawilarang, dan sebagai saksi di pihak Belanda adalah Letnan A.Voges. Dimana pihak Minahasa menyediakan 1421 personel. Pemimpin pasukan Minahasa adalah Mayoor Tololiu Herman Willem Dotulong (Sonder) yang saat itu berusia 34 tahun. Ia dibantu tiga kapitein untuk setiap walak yang banyak serdadunya, Sonder Tombasian, Kema-Kalabat, Langouwan, Tondano (Touliang-Toulimambot), Tomohon dan Saronsong. Mereka antara lain Benyamin Sigar (Langouwan), D. Rotinsulu (Tonsea), dan Polingkalim (Tondano). Setiap kapitein dibantu letnan Tondano adalah H. Supit dan Alexander Wuisan, dan letnan Langouwan Jahanis Sangari. Serta para pembantu letnan dari Tomohon adalah Mandagi, Palar, dan Mongula. Pasukan dari minahasa ini berangkat dengan kapal laut menuju Jawa tanggal 29 Maret 1829.
Setiba di Jawa, para serdadu ini harus menghadapi rintangan alam. Membabat hutan sendiri untuk dapat dilewati peralatan perang. Jebakan berupa ranjau bambu yang dipasang pasukan Diponegoro sudah menjadi sambutan yang sering mereka dapatkan. Ketika memasuki perkampungan, para serdadu pilihan ini pun tak kalah frustrasi. Sikap para bekel, lurah, dan demang di desa begitu membingungkan. Mereka selalu menampakkan simpati kepada para prajurit Belanda. Bersikap seakan-akan patuh kepada mereka. Padahal, mereka adalah pengikut setia Pangeran. Sulit untuk menentukan mana kawan dan mana lawan.
Melihat kondisi yang sudah sangat merugikan, Gubenur Jendral De Kock ingin segera mengakhiri perang. Ia telah menarik sebagian besar serdadu pribumi dari Maluku dan Papua yang terkenal ganas dan kanibal, serdadu Bali yang terkenal loyal, serdadu Madura yang terkenal berani, serdadu Makassar yang terkenal memiliki daya tahan kuat. Sementara serdadu Minahasa masih diperbantukan mengurung wilayah yang disebutnya the killing field. Perang harus diselesaikan dalam waktu singkat.
Alasan pemulangan banyak prajurit ini, merasa sudah frustrasi dan minta pulang. Mereka juga tidak lagi bersemangat membunuh lawan. Pakaian serdadu itu pun memprihatinkan, compang-camping tak pernah ganti berbulan-bulan. Perut mereka tak lagi terjamin oleh pasokan beras lantaran sering terlambat datang. Para perwira pun tak kalah menyedihkan, mereka mulai terserang penyakit gila, setengah lantaran menjalani perang yang tak kunjung menemui pangkal akhir. Semuanya loyo tanpa semangat. Hanya prajurit yang dipimpin Mayoor Tololiu Herman Willem Dotulong (Sonder) dari Minahasa yang masih konsisten mengikuti strategi perang. (pul)