Penulis : Nanang Purwono
Surabaya, Sudah jamak orang mengetahui Soekarno sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya pada periode 1926-1921. Di HBS, setingkat SMA kala itu, dia belajar selama 5 tahun. Selama itulah Soekarno tinggal bersama keluarga Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Menurut sumber buku Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adam, bahwa rumah Tjokroaminoto selain di Peneleh, juga di Plampitan Surabaya.
Banyak literasi yang menulis dan mengabarkan bahwa Soekarno sekolah di HBS Surabaya. Tapi hampir tidak ada yang keluar dari pernyataan Soekarno sendiri atau melalui bukti yang dibuat langsung oleh Soekarno.
Kiranya hanya ada satu surat yang ditulis Soekarno yang menyatakan bahwa ia sekolah di HBS Surabaya. Surat itu ditulis Soekarno untuk gubernur Nusa Timur di Singaraja, Bali pada 24 Juni 1954. Isinya berupa pengantar yang memperkenalkan Tjiel Romer, rekan Soekarno ketika sekolah di HBS Surabaya.
"Bapak saya itu rekan sekelasnya Bung Karno ketika sama-sama sekolah di HBS. Kami tinggal di Kertopaten, Jalan Pegirian, dekatnya Rumah Pemotongan Hewan (RPH)," kata Boy Marlisa yang ibunya, Toos Marlisa Raem, dinikahi Tjiel Romers.
Boy Marlisa memiliki surat yang ditulis Soekarno pada 24 Juni 1954. Surat itu dibawa oleh bapaknya ke Singaraja, Bali untuk bertemu Gubernur Nusa Timur ketika bapaknya mau membuka urusan dagang minyak kayu putih dari Buru dan kopi dari Bali.
"Ketika bapak saya bertemu dengan gubernur di Bali, suratnya ditunjukkan, lalu setelah itu dibawa lagi dan selanjutnya urusan dagang berjalan," jelas Boy Marlisa. Dari surat itu, diketahui secara otentik bahwa Soekarno bersekolah di HBS Surabaya.
Boy Marlisa (tengah) mendampingi tim film dokumenter Belanda di depan Gedung HVA (PTPN XI). foto:begandring
"Selama ini, kita tahu bahwa Soekarno sekolah di HBS dari buku-buku. Lha, di surat ini, Soekarno ngomong sendiri bahwa ia sekolah di HBS", tambah Boy.
Boy juga menceritakan apa yang pernah Tjiel Romers ceritakan padanya di masa kecil, bahwa Soekarno adalah teman bapaknya. Teman baik.
Hubungan baik antara Soekarno dan Tjiel Romers ini juga ditulis Soekarno dalam surat itu yang bunyinya: "Ia (Tjiel Romers) adalah kenalan baik dari saja, sedjak dari bangku sekolahan H.B.S. di Surabaja sampai sekarang".
Surat yang ditulis pada 24 Juni 1954 itu, menunjukkan hubungan akrab meski telah terpisah selama 33 tahun. Ini terhitung dari lulus sekolah pada 1921 hingga 1954.
Pinjam Barang Antik
Keakraban Soekarno dengan Tjiel Romers ini sangat beralasan karena melalui keluarga Romers lah, kala itu, Soekarno bisa sekolah di lingkungan Eropa. Tidak hanya di HBS, tetapi hingga ke perguruan tinggi di Bandung. Soekarno memang dikenal orang yang cerdas dan pintar.
"Karena itu, keluarga bapak saya, Romers, suka Soekarno," jelas Boy Marlisa.
Tjiel Romers lahir di Surabaya pada 24 April 1900 dan meninggal di Kota Tiel, Belanda pada 24 April 1982. Sedangkan ibunya, Toos Marlisa Raem lahir di Surabaya pada 4 Desember 1919 dan meninggal di Tiel, Belanda pada 7 Juni 1986. Keberadaan mereka berdua dalam satu liang lahat di kota Tiel, Belanda, sebagaimana terlihat pada nisan bersama.
Jika melihat genealogi keluarga, Tjiel Romers menikah 4 kali dan istri ke empat adalah Toos Marlisa Raem. Istri pertamanya, Florence Marie Knaap, menikah pada 27 juni 1921 di Surabaya, ketika Tjiel berusia 21 tahun.
Istri kedua adalah Alida Arnoldina Mannot, dinikahi pada 6 januari 1932 di Kediri, ketika ia berusia 31 tahun. Istri ketiga Fennar Charlotte Everhardine Swart, yang dinikahi pada 4 Februari 1954 di Djakarta, ketika ia berusia 53 dan istri keempat adalah Toos Marlisa Raem setelah tahun 1962. Tjiel Romers adalah orang kaya dan terpandang di Surabaya. Aset berupa tanah dan rumah banyak di Surabaya. Ia orang terpandang di kalangan orang orang Eropa.
Pada pascakemerdekaan, ketika Soekarno sudah menjadi seorang presiden, dia masih kerap menghubungi dan meminta bantuan Tjil Romers.
Makam Tjiel Romers dan Toos Marlisa Raem di kota Tiel, Belanda.
"Bung Karno sering pinjam barang-barang antik dan dibawa ke istana untuk ditunjukkan ke tamu tamu negara dan sebagai hiasan ruangan istana," jelas Boy Marlisa sambil menunjukkan kliping majalah yang muat berita pembunuhan di keluarga Romers di Surabaya pada 15 Juni 1973.
Menurut Boy (80) pembunuhan itu diduga berlatar belakang rebutan kekayaan yang dimiliki Tjiel Romers. Pembunuhannya masih misterius hingga sekarang dan berita pembunuhan sempat menjadi berita investigasi di majalah Liberti 1973.
Boy Marlisa (80) sebagai anak pasangan Tjiel Romers dan Toos Marlisa masih menyimpan surat yang ditulis Soekarno untuk bapaknya (Tjiel Romers) pada 1954. Surat ini sebagai bukti otentik Soekarno sekolah si HBS Surabaya. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Mojokerto, Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pernah tinggal dan bersekolah di kota Mojokerto. Soekarno pernah bersekolah di Inlandsche School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro), sebuah julukan bagi sekolah anak pribumi, yang kini menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Kota Mojokerto.
Berdirinya sekolah ongo loro itu tidak lebih dari program politik etis pemerinta Hindia Belanda terhadap bangsa jajahan. Sejak memasuki tahun 1900, banyak berdiri sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi anak anak yang tinggal di tanah jajahan. Namun sekolah tersebut dibangun tidak untuk mencerdaskan anak anak jajahan. Hanya sekedar punya pengetahuan dan tidak butuh huruf. Anak-anak pribumi itu digolongkan dalam sekolah khusus School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro). Untuk anak-anak yang masih memiliki darah priyayi dan indo keturunan masih bisa melanjutkan ke jenjang lenih tinggi. Aturan itu tentu membuat nasib mujur bagi Kusno yang bisa mengenyam sekolah pribumi sekaligus bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi.
Dalam catatan sejarah, Kusno panggilan kecil Sukarno pernah sekolah di sekolah rakyat ongko loro dan lulus tahun 1911. Saat itu Raden Sukemi ayah Kandung Sukarno tengah menjadi kepala sekolah. Tidak dijelaskan dimana keluarga khusno tinggal selama di Kota Mojokerto. Sebab sebagai guru sekolah rakyat, Raden Sukemi selalu berpindah kota. Raden Sukemi pernah mengajar di Pulau Bali, mengajar di Surabaya, dan pindah lagi ke Kota Mojokerto. Hingga pada akhirnya Raden Sukemi pindah ke Tulungaggung hingga pensiun menjadi guru rakyat.
Menurut Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik, bahwa Kusno kecil mengawali sekolah mulai kelas 2 hingga kelas 4. Khusno kecil juga harus belajar tanpa didampingi orang tua Raden Sukemi. Sebab, meskipun berstatus sebagai kepala sekolah School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro) Mojoketo, Raden Sukemi juga masih harus merangkap jabatan sebagai kepala sekolah di Sidoarjo. Dua kota ini memang sangat dekat, namun sangat melelahkan bagi Raden Sukemi yang menjabat menjadi kepala sekolah di dua sekolah sekaligus.
Selama tiga tahun itu, Kusno dikenal anak yang patuh terhadap guru serta menunjukan sifat istimewa. Diantara kawan sepermainan, Kusno dikenal cepat menguasai alat baru. Kusno paling tidak suka sepak bola, namun sangat pandai bermain kasti. Untuk pelajaran kesenian, Kusno kecil menguasai alat gamelan dan tetembangan jawa. Belum ada tumbuh jiwa nasionalisme saat usia kecil itu. Rasa nasionalisme dirasakan Kusno saat kelas 5. Saat Kusno dipindah sekolah ke ELS atau setingkat SMP masih di Kota Mojokerto.
"Di sekolah rakyat Ongko Loro ini Kusno belajar sekaligus bermain, maka itulah yang membentuk karakter Sukarno hingga masa dewasanya," kata Endang
Raden Sukemi harus menjelaskan kepada Kusno kecil tentang alasan harus pindah ke ELS. Pertama, bahwa jika ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi harus mendapatkan pendidikan setara dengan orang Belanda. Kusno harus mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun menjadi warga jajahan. Kedudukan status sebagai keluarga priyayi tentu membantu Kusno untuk bisa mendapatkan sekolah setara dengan anak anak golongan indo keturunan. Meskipun pada akhirnya, para priyayi dan indo keturunan itu hanya akan bisa bekerja sebagai pegawai rendahan.
Saat itu tengah tahun 1911, Raden Sukemi mengajak Sukarno ke Europesche Lagere School atau ELS untuk mendaftar. Sebagai kepala sekolah rakyat, nama Raden Sukemi cukup dikenal di kalangan para pendidik di Mojokerto. Namun bukan berarti urusan mendaftarkan Kusno bisa lebih mudah. Raden Sukemi harus menerima banyak persayaratan yang diskriminasi sebagai bangsa pribumi. Salah satunya tidak ada aturan tinggal kelas bagi pribumi di ELS jika tidak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pasti harus keluar. Syarat lain Bahasa Belanda harus dikuasai Kusno. Sebab di ELS ini semua mengantar pelajaran menggunakan Bahasa Belanda. Kemudian untuk sekolah di ELS tidak gratis bagi warga pribumi. Serta harus ada penjamin dari dari warga eropa bagi warga pribumi yang menitipkan sekolah di ELS.
Berbeda dengan sekolah Ongko loro yang siswanya kaum pribumi, jumlah kelas di ELS sangat sedikit. Untuk kelas 1 di ELS hanya menampung 2 kelas atau sekitar 40 siswa. Jumlah sedikit sangat beralasan, sebab pada masa itu memang tidak banyak anak priyayi dan indo keturunan yang tinggal di sekitar Mojokerto. Serta aturan ketat itu membuat banyak priyayi tidak menyekolahkan anaknya di ELS dan memilih melanjutkan ke pondok pesantren setelah lulus dari sekolah ongko loro.
Sementara itu bagi Kusno kecil, persyaratan itu dinilai sangat diskriminasi. Demi mewujudkan cita-cita orangtuanya, sejak hari pertama masuk sekolah di ELS yang saat ini masih menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto itu, Kusno belajar giat terutama Bahasa Belanda. Khusno harus les prifat Bahasa Belanda selama 3 bulan dengan biaya yang tidak murah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini, bisa mengantarkan Kusno melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Surabaya dan Bandung. (pul)
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Ada yang menarik dari gedung Singa, yang beralamat di Jalan Jembatan Merah 19-23 Surabaya. Umumnya, untuk menandai proyek pembangunan sebuah gedung, di sana dipasang sebuah prasasti yang menyebut nama arsitek atau kontraktor pembangunan.
Diketahui bahwa nama arsitek Gedung Singa adalah HP Berlage. Tapi namanya tidak ada pada batu prasasti di gedung Singa, yang nama resminya adalah Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam,
Disana memang ada sebuah prasasti. Tapi yang terukir bukan nama arsitek (Berlage) dan kontraktor. Tapi Jan Von Hemert. Batu prasasti itu terpasang pada dinding depan bagian bawah, dekat pintu masuk utama. Bunyinya "De Eerste Steen is Gelegd op 21 Juli 1901 door Jan Von Hermet", yang artinya Peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hermet. Siapakah Jan Von Hermet?
Dari hasil pencarian dan penelusuran bersama antara Begandring Soerabaia dan Max Meijer (konsultan permuseuman dan heritsge di Belanda) diketahui bahwa Jan von Hemert adalah putra pasangan Pierre Theodore von Hemert (Amsterdam, 25 April 1865) dan Geertruide Johanna Zilver Rupe (Surabaya, 22 Januari 1871). Jan von Hemert sendiri lahir di Surabaya, 19 September 1893.
Lantas siapakah Piere Theodore Von Hemert? P. Th. Von Hemert adalah Kepala Perwakilan perusahaan asuransi De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau yang lebih populer disebut Gedung Singa.
Menurut Max dari hasil penelusuran nya di sumber arsip Belanda, delpher.nl, bahwa P. Th. Von Hemert adalah direktur atau pejabat perwakilan tertinggi perusahaan asuransi De Algemene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente di Hindia Belanda. Ketika ia mulai membangun kantor perwakilan pusat di Hindia Belanda, tepatnya di Surabaya pada tahun 1901, peletakan Batu pertama sebagai peresmian mulai dibangunnya kantor baru dilakukan oleh anaknya yang bernama Jan Von Hemert.
Ketika peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901, usia Jan Von Hemert masih 8 tahun. Ia lahir pada 19 September 1893. Selanjutnya ketika Jan Von Hemert berusia 18 tahun, bapaknya, Piere Theodore Von Hemert meninggal, tepatnya pada 10 April 1911 dan dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh.
Sebagai pejabat dari perusahaan yang terkenal di Hindia Belanda, kematian Piere Theodore Von Hemert meninggalkan luka mendalam bagi mitra, rekan, keluarga dan handai tolan. Banyak dari mereka yang menyampaikan rasa bela sungkawa. Selanjutnya, sebagai ucapan terima kasih, pihak keluarga mengiklankan di surat kabar baik yang terbit di Hindia Belanda maupun di Belanda.
Semasa hidupnya sebagai direktur perusahaan asuransi yang terkenal, ia tidak berpuas diri dengan pencapaian perusahaan. Hemert terus aktif mengiklankan perusahaannya melalui iklan iklan surat kabar agar semakin banyak nasabah dan klien. Dari arsip delpher.nl dapat diketahui bahwa perusahaan itu mengiklankan jasanya di koran dua atau tiga kali dalam sebulan. Hemert juga rutin mempublikasikan neraca perusahaan.
Dari hasil penelusuran komunitas Indonesia Graveyard, dr. Winanda Denis Kurniawan, diketahui dimanakah keberadaan makam Piere Theodore Von Hemert, direktur Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam di Surabaya. Bahwa ternyata makam direktur perusahaan asuransi yang berkantor di Gedung Singa itu ada di bagian selatan area makam Belanda Peneleh dengan nomor B. 3015.
Ketika Begandring Soerabaia dan Indonesia Graveyard mencari keberadaan makam P. Th. Von Hemert dan berhasil menemukannya, sayang sekali, makamnya sudah kehilangan prasasti, yang umumnya tertulis riwayat hidup orang yang mati. Makam pembesar perusahaan asuransi ini terlihat sederhana. Tidak ada bekas cungkup, yang umumnya satu paket dengan pagar. Makam hanya dibungkus Batu marmer putih. Itupun juga sudah hilang semua. Ada bekas pecahan Batu marmer di atas makam. Kecuali dua lembar marmer di bagian depan makam yang bertuliskan nomor registrasi B. 3015 dengan jelas. Dari nomor registrasi itulah keberadaan makam direktur perusahaan asuransi De Algemeene Maastchsppij dapat ditemukan.
Menurut petugas makam, Irul, bahwa kerusakan pada makam itu terjadi akibat penjarahan pada beberapa puluh tahun yang lalu, termasuk kerusakan yang terjadi di makam Piere Theodore Von Hemert.
"Saya ini penerus dari kakek dan bapak. Kakek saya, ketika masih hidup pernah menceritakan tentang makam ini. Salah satunya adalah tentang penjararahan yang pernah terjadi dulu", jelas Irul mengenang kakeknya ketika masih berdinas di makan Belanda Peneleh.
Dengan ketemunya makam direktur perusahaan asuransi Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Thdodore Von Hemert, terpecahkan juga nama Jan Von Hemert yang tertulis pada prasasti di Gedung Singa yang didesign oleh HP Berlage.
Kritik Arsitektur
Diduga ada kaitan erat antara arsitek Berlage dengan direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Theodore Von Hemert. Bagaimana kaitan itu?
Piere Theodore Von Hemert, yang menjabat sebagai direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam untuk Hindia Belanda, diduga salah satu dari direktur yang kemudian menjabat sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan asuransi di Hindia Belanda. Perusahaan ini sendiri sudah adai sejak 1880.
Menurut Journal for Southeast Asian Architectur (2003) yang ditulis oleh Paulin KM van Roosmalen bahwa ketika aktivitas komersial dimulai pada awal abad ke-20, permintaan akan bangunan perusahaan yang baru dan berkarakteristik meningkat pesat.
Salah satu desain pertama untuk bangunan perusahaan, yang mendapat pujian sebagai 'gaya arsitektur yang pas', adalah gedung kantor untuk perusahaan asuransi De Algemeene di Surabaya. Gedung, yang bisa dilihat sekarang, adalah hasil penyempurnaan oleh Berlage.
Petra Timmer, seorang peneliti asal Belanda yang tengah mempersiapkan peringatan 100 Berlage di Hindia Belanda, memberi penjelasan tentang cerita mengapa Berlage bisa ditunjuk untuk mendesign gedung untuk kantor perusahaan asuransi di Surabaya, Hindia Belanda.
Petra bercerita bahwa Hulswit (arsitek Belanda yang bekerja dan tinggal di Hindia Belanda), memang ditunjuk untuk membuat desain pertama. Kemudian design itu dikirim ke kantor pusat De Algemeene di Belanda. Saat itu Berlage sendiri memang sedang ditugaskan untuk mendesain kantor pusat De Algemeene di Amsterdam, Beurs van Berlage.
Kemudian pihak direksi meminta nasihat Berlage atas desain yang dibuat Hulswit. Ternyata Berlage menolaknya. Kemudian Huslwit membuat desain kedua lalu dikirim lagi ke Kantor Pusat di Belanda. Lagi lagi, Berlage kembali dimintai nasihat. Berlage tidak setuju. Lantas, Berlage membuat beberapa perubahan besar atas design Hulswit.
Salah satu upayanya adalah membeli dan meruntuhkan bangunan di sebelahnya agar kantor Algemeene bisa diperluas dan desain fasad dibuat simetris. Terjadi pertentangan antara Berlage dan Hulswit. Hulswit tidak setuju dengan perubahan Berlage dan tidak ingin membuat gambar baru.
Karena itu, Hulswit meninggalkan Surabaya dan pergi ke Batavia. Maka selanjutnya Berlage menjadi perancang gedung Algemeene di Surabaya.
"Sejauh mana desain 'Berlage', atau elemen mana yang tersisa dari desain Hulswit, saya belum belum tahu. Yang pasti penambahan patung Singa bersayap karya Da Costa dan keramik lukis karya Jan Toorop adalah gagasan Berlage", jelas Petra.
Di Belanda, karya design Berlage setelah Surabaya adalah gedung Bursa Efek, Beurs van Berlage di kota Amsterdam. Ini sepenuhnya karya Berlage.
Sementara menurut Paulin KM Van Roosmalen dalam jurnal ilmiahnya "Journal for Southeast Asian Architectur (2003) bahwa Hulswit membuat design dengan style Eropa. Design ini yang membuat Berlage tidak setuju. Ketidak setujuan itu diwujudkan dengan berkirim surat ke Dewan Direksi.
" Mungkin ada alasan bagus untuk ini (gaya Eropa), dan jika demikian saya akan senang mendengarnya. Tetapi saya tidak dapat melakukan selain memberikan penilaian (kritik) terhadap arsitektur Eropa semacam ini", kata Berlage sebagaimana ditulis oleh Roosmalen dalam tulisan ilmiahnya Journal for Southeast Asian Architectur (2003).
Di antara Dewan Direksi ini diduga ada Piere Theodore Von Hemert, karena dialah yang selanjutnya memegang jabatan untuk kantor baru di Hindia Belanda, khususnya di Surabaya. Apakah Piere Theodore Von Hemert, yang makamnya ada di Peneleh, pernah bertemu dengan Berlage? (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono
Surabaya, Sudah jamak orang mengetahui Soekarno sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya pada periode 1926-1921. Di HBS, setingkat SMA kala itu, dia belajar selama 5 tahun. Selama itulah Soekarno tinggal bersama keluarga Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Menurut sumber buku Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adam, bahwa rumah Tjokroaminoto selain di Peneleh, juga di Plampitan Surabaya.
Banyak literasi yang menulis dan mengabarkan bahwa Soekarno sekolah di HBS Surabaya. Tapi hampir tidak ada yang keluar dari pernyataan Soekarno sendiri atau melalui bukti yang dibuat langsung oleh Soekarno.
Kiranya hanya ada satu surat yang ditulis Soekarno yang menyatakan bahwa ia sekolah di HBS Surabaya. Surat itu ditulis Soekarno untuk gubernur Nusa Timur di Singaraja, Bali pada 24 Juni 1954. Isinya berupa pengantar yang memperkenalkan Tjiel Romer, rekan Soekarno ketika sekolah di HBS Surabaya.
"Bapak saya itu rekan sekelasnya Bung Karno ketika sama-sama sekolah di HBS. Kami tinggal di Kertopaten, Jalan Pegirian, dekatnya Rumah Pemotongan Hewan (RPH)," kata Boy Marlisa yang ibunya, Toos Marlisa Raem, dinikahi Tjiel Romers.
Boy Marlisa memiliki surat yang ditulis Soekarno pada 24 Juni 1954. Surat itu dibawa oleh bapaknya ke Singaraja, Bali untuk bertemu Gubernur Nusa Timur ketika bapaknya mau membuka urusan dagang minyak kayu putih dari Buru dan kopi dari Bali.
"Ketika bapak saya bertemu dengan gubernur di Bali, suratnya ditunjukkan, lalu setelah itu dibawa lagi dan selanjutnya urusan dagang berjalan," jelas Boy Marlisa. Dari surat itu, diketahui secara otentik bahwa Soekarno bersekolah di HBS Surabaya.
Boy Marlisa (tengah) mendampingi tim film dokumenter Belanda di depan Gedung HVA (PTPN XI). foto:begandring
"Selama ini, kita tahu bahwa Soekarno sekolah di HBS dari buku-buku. Lha, di surat ini, Soekarno ngomong sendiri bahwa ia sekolah di HBS", tambah Boy.
Boy juga menceritakan apa yang pernah Tjiel Romers ceritakan padanya di masa kecil, bahwa Soekarno adalah teman bapaknya. Teman baik.
Hubungan baik antara Soekarno dan Tjiel Romers ini juga ditulis Soekarno dalam surat itu yang bunyinya: "Ia (Tjiel Romers) adalah kenalan baik dari saja, sedjak dari bangku sekolahan H.B.S. di Surabaja sampai sekarang".
Surat yang ditulis pada 24 Juni 1954 itu, menunjukkan hubungan akrab meski telah terpisah selama 33 tahun. Ini terhitung dari lulus sekolah pada 1921 hingga 1954.
Pinjam Barang Antik
Keakraban Soekarno dengan Tjiel Romers ini sangat beralasan karena melalui keluarga Romers lah, kala itu, Soekarno bisa sekolah di lingkungan Eropa. Tidak hanya di HBS, tetapi hingga ke perguruan tinggi di Bandung. Soekarno memang dikenal orang yang cerdas dan pintar.
"Karena itu, keluarga bapak saya, Romers, suka Soekarno," jelas Boy Marlisa.
Tjiel Romers lahir di Surabaya pada 24 April 1900 dan meninggal di Kota Tiel, Belanda pada 24 April 1982. Sedangkan ibunya, Toos Marlisa Raem lahir di Surabaya pada 4 Desember 1919 dan meninggal di Tiel, Belanda pada 7 Juni 1986. Keberadaan mereka berdua dalam satu liang lahat di kota Tiel, Belanda, sebagaimana terlihat pada nisan bersama.
Jika melihat genealogi keluarga, Tjiel Romers menikah 4 kali dan istri ke empat adalah Toos Marlisa Raem. Istri pertamanya, Florence Marie Knaap, menikah pada 27 juni 1921 di Surabaya, ketika Tjiel berusia 21 tahun.
Istri kedua adalah Alida Arnoldina Mannot, dinikahi pada 6 januari 1932 di Kediri, ketika ia berusia 31 tahun. Istri ketiga Fennar Charlotte Everhardine Swart, yang dinikahi pada 4 Februari 1954 di Djakarta, ketika ia berusia 53 dan istri keempat adalah Toos Marlisa Raem setelah tahun 1962. Tjiel Romers adalah orang kaya dan terpandang di Surabaya. Aset berupa tanah dan rumah banyak di Surabaya. Ia orang terpandang di kalangan orang orang Eropa.
Pada pascakemerdekaan, ketika Soekarno sudah menjadi seorang presiden, dia masih kerap menghubungi dan meminta bantuan Tjil Romers.
Makam Tjiel Romers dan Toos Marlisa Raem di kota Tiel, Belanda.
"Bung Karno sering pinjam barang-barang antik dan dibawa ke istana untuk ditunjukkan ke tamu tamu negara dan sebagai hiasan ruangan istana," jelas Boy Marlisa sambil menunjukkan kliping majalah yang muat berita pembunuhan di keluarga Romers di Surabaya pada 15 Juni 1973.
Menurut Boy (80) pembunuhan itu diduga berlatar belakang rebutan kekayaan yang dimiliki Tjiel Romers. Pembunuhannya masih misterius hingga sekarang dan berita pembunuhan sempat menjadi berita investigasi di majalah Liberti 1973.
Boy Marlisa (80) sebagai anak pasangan Tjiel Romers dan Toos Marlisa masih menyimpan surat yang ditulis Soekarno untuk bapaknya (Tjiel Romers) pada 1954. Surat ini sebagai bukti otentik Soekarno sekolah si HBS Surabaya. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Mojokerto, Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pernah tinggal dan bersekolah di kota Mojokerto. Soekarno pernah bersekolah di Inlandsche School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro), sebuah julukan bagi sekolah anak pribumi, yang kini menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Kota Mojokerto.
Berdirinya sekolah ongo loro itu tidak lebih dari program politik etis pemerinta Hindia Belanda terhadap bangsa jajahan. Sejak memasuki tahun 1900, banyak berdiri sekolah-sekolah yang diperuntukan bagi anak anak yang tinggal di tanah jajahan. Namun sekolah tersebut dibangun tidak untuk mencerdaskan anak anak jajahan. Hanya sekedar punya pengetahuan dan tidak butuh huruf. Anak-anak pribumi itu digolongkan dalam sekolah khusus School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro). Untuk anak-anak yang masih memiliki darah priyayi dan indo keturunan masih bisa melanjutkan ke jenjang lenih tinggi. Aturan itu tentu membuat nasib mujur bagi Kusno yang bisa mengenyam sekolah pribumi sekaligus bisa melanjutkan sekolah lebih tinggi.
Dalam catatan sejarah, Kusno panggilan kecil Sukarno pernah sekolah di sekolah rakyat ongko loro dan lulus tahun 1911. Saat itu Raden Sukemi ayah Kandung Sukarno tengah menjadi kepala sekolah. Tidak dijelaskan dimana keluarga khusno tinggal selama di Kota Mojokerto. Sebab sebagai guru sekolah rakyat, Raden Sukemi selalu berpindah kota. Raden Sukemi pernah mengajar di Pulau Bali, mengajar di Surabaya, dan pindah lagi ke Kota Mojokerto. Hingga pada akhirnya Raden Sukemi pindah ke Tulungaggung hingga pensiun menjadi guru rakyat.
Menurut Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik, bahwa Kusno kecil mengawali sekolah mulai kelas 2 hingga kelas 4. Khusno kecil juga harus belajar tanpa didampingi orang tua Raden Sukemi. Sebab, meskipun berstatus sebagai kepala sekolah School atau Tweede School (Sekolah Ongko Loro) Mojoketo, Raden Sukemi juga masih harus merangkap jabatan sebagai kepala sekolah di Sidoarjo. Dua kota ini memang sangat dekat, namun sangat melelahkan bagi Raden Sukemi yang menjabat menjadi kepala sekolah di dua sekolah sekaligus.
Selama tiga tahun itu, Kusno dikenal anak yang patuh terhadap guru serta menunjukan sifat istimewa. Diantara kawan sepermainan, Kusno dikenal cepat menguasai alat baru. Kusno paling tidak suka sepak bola, namun sangat pandai bermain kasti. Untuk pelajaran kesenian, Kusno kecil menguasai alat gamelan dan tetembangan jawa. Belum ada tumbuh jiwa nasionalisme saat usia kecil itu. Rasa nasionalisme dirasakan Kusno saat kelas 5. Saat Kusno dipindah sekolah ke ELS atau setingkat SMP masih di Kota Mojokerto.
"Di sekolah rakyat Ongko Loro ini Kusno belajar sekaligus bermain, maka itulah yang membentuk karakter Sukarno hingga masa dewasanya," kata Endang
Raden Sukemi harus menjelaskan kepada Kusno kecil tentang alasan harus pindah ke ELS. Pertama, bahwa jika ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi harus mendapatkan pendidikan setara dengan orang Belanda. Kusno harus mendapatkan sesuatu yang lebih, meskipun menjadi warga jajahan. Kedudukan status sebagai keluarga priyayi tentu membantu Kusno untuk bisa mendapatkan sekolah setara dengan anak anak golongan indo keturunan. Meskipun pada akhirnya, para priyayi dan indo keturunan itu hanya akan bisa bekerja sebagai pegawai rendahan.
Saat itu tengah tahun 1911, Raden Sukemi mengajak Sukarno ke Europesche Lagere School atau ELS untuk mendaftar. Sebagai kepala sekolah rakyat, nama Raden Sukemi cukup dikenal di kalangan para pendidik di Mojokerto. Namun bukan berarti urusan mendaftarkan Kusno bisa lebih mudah. Raden Sukemi harus menerima banyak persayaratan yang diskriminasi sebagai bangsa pribumi. Salah satunya tidak ada aturan tinggal kelas bagi pribumi di ELS jika tidak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pasti harus keluar. Syarat lain Bahasa Belanda harus dikuasai Kusno. Sebab di ELS ini semua mengantar pelajaran menggunakan Bahasa Belanda. Kemudian untuk sekolah di ELS tidak gratis bagi warga pribumi. Serta harus ada penjamin dari dari warga eropa bagi warga pribumi yang menitipkan sekolah di ELS.
Berbeda dengan sekolah Ongko loro yang siswanya kaum pribumi, jumlah kelas di ELS sangat sedikit. Untuk kelas 1 di ELS hanya menampung 2 kelas atau sekitar 40 siswa. Jumlah sedikit sangat beralasan, sebab pada masa itu memang tidak banyak anak priyayi dan indo keturunan yang tinggal di sekitar Mojokerto. Serta aturan ketat itu membuat banyak priyayi tidak menyekolahkan anaknya di ELS dan memilih melanjutkan ke pondok pesantren setelah lulus dari sekolah ongko loro.
Sementara itu bagi Kusno kecil, persyaratan itu dinilai sangat diskriminasi. Demi mewujudkan cita-cita orangtuanya, sejak hari pertama masuk sekolah di ELS yang saat ini masih menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto itu, Kusno belajar giat terutama Bahasa Belanda. Khusno harus les prifat Bahasa Belanda selama 3 bulan dengan biaya yang tidak murah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini, bisa mengantarkan Kusno melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Surabaya dan Bandung. (pul)
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Ada yang menarik dari gedung Singa, yang beralamat di Jalan Jembatan Merah 19-23 Surabaya. Umumnya, untuk menandai proyek pembangunan sebuah gedung, di sana dipasang sebuah prasasti yang menyebut nama arsitek atau kontraktor pembangunan.
Diketahui bahwa nama arsitek Gedung Singa adalah HP Berlage. Tapi namanya tidak ada pada batu prasasti di gedung Singa, yang nama resminya adalah Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam,
Disana memang ada sebuah prasasti. Tapi yang terukir bukan nama arsitek (Berlage) dan kontraktor. Tapi Jan Von Hemert. Batu prasasti itu terpasang pada dinding depan bagian bawah, dekat pintu masuk utama. Bunyinya "De Eerste Steen is Gelegd op 21 Juli 1901 door Jan Von Hermet", yang artinya Peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hermet. Siapakah Jan Von Hermet?
Dari hasil pencarian dan penelusuran bersama antara Begandring Soerabaia dan Max Meijer (konsultan permuseuman dan heritsge di Belanda) diketahui bahwa Jan von Hemert adalah putra pasangan Pierre Theodore von Hemert (Amsterdam, 25 April 1865) dan Geertruide Johanna Zilver Rupe (Surabaya, 22 Januari 1871). Jan von Hemert sendiri lahir di Surabaya, 19 September 1893.
Lantas siapakah Piere Theodore Von Hemert? P. Th. Von Hemert adalah Kepala Perwakilan perusahaan asuransi De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau yang lebih populer disebut Gedung Singa.
Menurut Max dari hasil penelusuran nya di sumber arsip Belanda, delpher.nl, bahwa P. Th. Von Hemert adalah direktur atau pejabat perwakilan tertinggi perusahaan asuransi De Algemene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente di Hindia Belanda. Ketika ia mulai membangun kantor perwakilan pusat di Hindia Belanda, tepatnya di Surabaya pada tahun 1901, peletakan Batu pertama sebagai peresmian mulai dibangunnya kantor baru dilakukan oleh anaknya yang bernama Jan Von Hemert.
Ketika peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901, usia Jan Von Hemert masih 8 tahun. Ia lahir pada 19 September 1893. Selanjutnya ketika Jan Von Hemert berusia 18 tahun, bapaknya, Piere Theodore Von Hemert meninggal, tepatnya pada 10 April 1911 dan dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh.
Sebagai pejabat dari perusahaan yang terkenal di Hindia Belanda, kematian Piere Theodore Von Hemert meninggalkan luka mendalam bagi mitra, rekan, keluarga dan handai tolan. Banyak dari mereka yang menyampaikan rasa bela sungkawa. Selanjutnya, sebagai ucapan terima kasih, pihak keluarga mengiklankan di surat kabar baik yang terbit di Hindia Belanda maupun di Belanda.
Semasa hidupnya sebagai direktur perusahaan asuransi yang terkenal, ia tidak berpuas diri dengan pencapaian perusahaan. Hemert terus aktif mengiklankan perusahaannya melalui iklan iklan surat kabar agar semakin banyak nasabah dan klien. Dari arsip delpher.nl dapat diketahui bahwa perusahaan itu mengiklankan jasanya di koran dua atau tiga kali dalam sebulan. Hemert juga rutin mempublikasikan neraca perusahaan.
Dari hasil penelusuran komunitas Indonesia Graveyard, dr. Winanda Denis Kurniawan, diketahui dimanakah keberadaan makam Piere Theodore Von Hemert, direktur Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam di Surabaya. Bahwa ternyata makam direktur perusahaan asuransi yang berkantor di Gedung Singa itu ada di bagian selatan area makam Belanda Peneleh dengan nomor B. 3015.
Ketika Begandring Soerabaia dan Indonesia Graveyard mencari keberadaan makam P. Th. Von Hemert dan berhasil menemukannya, sayang sekali, makamnya sudah kehilangan prasasti, yang umumnya tertulis riwayat hidup orang yang mati. Makam pembesar perusahaan asuransi ini terlihat sederhana. Tidak ada bekas cungkup, yang umumnya satu paket dengan pagar. Makam hanya dibungkus Batu marmer putih. Itupun juga sudah hilang semua. Ada bekas pecahan Batu marmer di atas makam. Kecuali dua lembar marmer di bagian depan makam yang bertuliskan nomor registrasi B. 3015 dengan jelas. Dari nomor registrasi itulah keberadaan makam direktur perusahaan asuransi De Algemeene Maastchsppij dapat ditemukan.
Menurut petugas makam, Irul, bahwa kerusakan pada makam itu terjadi akibat penjarahan pada beberapa puluh tahun yang lalu, termasuk kerusakan yang terjadi di makam Piere Theodore Von Hemert.
"Saya ini penerus dari kakek dan bapak. Kakek saya, ketika masih hidup pernah menceritakan tentang makam ini. Salah satunya adalah tentang penjararahan yang pernah terjadi dulu", jelas Irul mengenang kakeknya ketika masih berdinas di makan Belanda Peneleh.
Dengan ketemunya makam direktur perusahaan asuransi Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Thdodore Von Hemert, terpecahkan juga nama Jan Von Hemert yang tertulis pada prasasti di Gedung Singa yang didesign oleh HP Berlage.
Kritik Arsitektur
Diduga ada kaitan erat antara arsitek Berlage dengan direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Theodore Von Hemert. Bagaimana kaitan itu?
Piere Theodore Von Hemert, yang menjabat sebagai direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam untuk Hindia Belanda, diduga salah satu dari direktur yang kemudian menjabat sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan asuransi di Hindia Belanda. Perusahaan ini sendiri sudah adai sejak 1880.
Menurut Journal for Southeast Asian Architectur (2003) yang ditulis oleh Paulin KM van Roosmalen bahwa ketika aktivitas komersial dimulai pada awal abad ke-20, permintaan akan bangunan perusahaan yang baru dan berkarakteristik meningkat pesat.
Salah satu desain pertama untuk bangunan perusahaan, yang mendapat pujian sebagai 'gaya arsitektur yang pas', adalah gedung kantor untuk perusahaan asuransi De Algemeene di Surabaya. Gedung, yang bisa dilihat sekarang, adalah hasil penyempurnaan oleh Berlage.
Petra Timmer, seorang peneliti asal Belanda yang tengah mempersiapkan peringatan 100 Berlage di Hindia Belanda, memberi penjelasan tentang cerita mengapa Berlage bisa ditunjuk untuk mendesign gedung untuk kantor perusahaan asuransi di Surabaya, Hindia Belanda.
Petra bercerita bahwa Hulswit (arsitek Belanda yang bekerja dan tinggal di Hindia Belanda), memang ditunjuk untuk membuat desain pertama. Kemudian design itu dikirim ke kantor pusat De Algemeene di Belanda. Saat itu Berlage sendiri memang sedang ditugaskan untuk mendesain kantor pusat De Algemeene di Amsterdam, Beurs van Berlage.
Kemudian pihak direksi meminta nasihat Berlage atas desain yang dibuat Hulswit. Ternyata Berlage menolaknya. Kemudian Huslwit membuat desain kedua lalu dikirim lagi ke Kantor Pusat di Belanda. Lagi lagi, Berlage kembali dimintai nasihat. Berlage tidak setuju. Lantas, Berlage membuat beberapa perubahan besar atas design Hulswit.
Salah satu upayanya adalah membeli dan meruntuhkan bangunan di sebelahnya agar kantor Algemeene bisa diperluas dan desain fasad dibuat simetris. Terjadi pertentangan antara Berlage dan Hulswit. Hulswit tidak setuju dengan perubahan Berlage dan tidak ingin membuat gambar baru.
Karena itu, Hulswit meninggalkan Surabaya dan pergi ke Batavia. Maka selanjutnya Berlage menjadi perancang gedung Algemeene di Surabaya.
"Sejauh mana desain 'Berlage', atau elemen mana yang tersisa dari desain Hulswit, saya belum belum tahu. Yang pasti penambahan patung Singa bersayap karya Da Costa dan keramik lukis karya Jan Toorop adalah gagasan Berlage", jelas Petra.
Di Belanda, karya design Berlage setelah Surabaya adalah gedung Bursa Efek, Beurs van Berlage di kota Amsterdam. Ini sepenuhnya karya Berlage.
Sementara menurut Paulin KM Van Roosmalen dalam jurnal ilmiahnya "Journal for Southeast Asian Architectur (2003) bahwa Hulswit membuat design dengan style Eropa. Design ini yang membuat Berlage tidak setuju. Ketidak setujuan itu diwujudkan dengan berkirim surat ke Dewan Direksi.
" Mungkin ada alasan bagus untuk ini (gaya Eropa), dan jika demikian saya akan senang mendengarnya. Tetapi saya tidak dapat melakukan selain memberikan penilaian (kritik) terhadap arsitektur Eropa semacam ini", kata Berlage sebagaimana ditulis oleh Roosmalen dalam tulisan ilmiahnya Journal for Southeast Asian Architectur (2003).
Di antara Dewan Direksi ini diduga ada Piere Theodore Von Hemert, karena dialah yang selanjutnya memegang jabatan untuk kantor baru di Hindia Belanda, khususnya di Surabaya. Apakah Piere Theodore Von Hemert, yang makamnya ada di Peneleh, pernah bertemu dengan Berlage? (nng/pul)