abad.id Mulanya tak ada yang tahu masjid itu berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Tapi, beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke sebuah dukuh bernama Kondowo. Pada akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.
Cerita yang kedongeng-dongengan ini, oleh penduduk setempat masjid itu diberi nama masjid tiban. Namun H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Mesdjid (Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955), telah melakukan penelitian dan menemukan sejarah masjid tiban.
Ternyata, semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah masjid Agung Demak.
Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu diputuskan mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk tempat beribadah mereka.
Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu “jatuh dari langit”.
Soal berpindah-pindahnya masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.
Soko Guru
Sebuah kisah tentang Masjid Agung Demak. Saat itu sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadilah pradondi kiblat –silang pendapat untuk menentukan arah kiblat –dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang sholat Jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga tampil melerai dengan menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Mekkah secara ainul yaqin.
Lalu, menurut sahibul kisah, Sunan Kalijaga Babad Demak dan kitab Walisanga karya Sunan Giri II disebut Syekh Melaya, berdiri tegak menghadap ke selatan. Tangan kanannya memegang Ka’bah di Masjidil Haram, dan yang kiri memegang makuta Masjid Agung Demak. Lalu diluruskan arahnya dengan membentangkan kedua tangannya.
Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Pembangunan Masjid Agung Demak kemudian diprakarsai para wali. Sokoguru atau tiang penyangga utama bangunan dibebankan kepada para wali. Bangunan yang lain disokong oleh Raden Patah, Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro. Pembangunannya dipimpin Adipati Natapraja, bakas punggawa Majapahit yang memihak para wali.
Ada empat sokoguru yang masing-masing disumbangkan Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Tiang di barat laut merupakan karya Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara karya Sunan Ampel, dan yang didirikan di timur laut karya Sunan Kalijaga.
Tiang tersebut diletakkan pada empat penjuru mata angin berukuran besar dengan tinggi 17 meter. Keberadaan soko guru tersebut memiliki filosofi empat pilar utama ajaran Islam.
Pengurus Masjid Agung Demak menuturkan bahwa sebutan Soko Guru bagi empat tiang tersebut lantaran mengisyaratkan empat pilar utama dalam ajaran Islam. Yakni Alquran, Hadist, Ijma dan Qiyas.
Sedangkan tinggi tiang yang mencapai 17 meter juga memiliki arti bahwa tiap orang Islam berkewajiban menunaikan solat lima waktu, yang jika dijumlah semuanya menjadi 17 rekaat. Masing-masing subuh 2 rakaat, dhuhur 4 rakaat, ashar 4 rakaat, magrib 3 rakaat, dan isya 4 rakaat.
Namun, sokoguru dari Sunan Kalijaga yang paling nyentrik karena dibuat dari serpihan kayu (tatal) yang digabung jadi satu.
Ceritanya, saat itu Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingungan karena kayu yang hendak dijadikan penyangga kurang.
Sunan Kalijaga tak kekurangan akal –entah ini dimasuk akal atau tidak tapi kenyataannya ada –ia melihat serpihan kayu dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan itu menjadi satu.
Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias ‘Tiang Tatal’.
Tiang seperti ini juga terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga. Cuma sampai sekarang tidak ada data yang pasti kapan berdirinya Masjid Agung Demak.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun Prof. Dr. Harun Nasution, tahun berdiri masjid tersebut dilambangkan dengan gambar petir di pintu masuk yang disebut Lawang Bledheg. Ini dianggap sebagai candra sengkala memet (penanda waktu) berupa Naga Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388 Caka alias 1466 Masehi.
Rujukan lainnya adalah mbar kura-kura yang terpampang di tembok mihrab. Kepala kura-kura ditafsirkan 1, kaki = 4, badan = 0 dan buntut = 1. Hasilnya 1401 Caka alias 1479 Masehi. Tapi masih ada satu rujukan lagi, yaitu piagam peraksara Jawa di pintu depan bagian atas. Dalam prasasti itu disebutkan, masjid ini dibangun pada 1 Zulkaedah 1428 Hijriah atau 1501 Masehi. Namun Babad Demak menyebut angka 1399 Caka.
Bangunan Masjid Agung Demak memang menarik untuk disimak. Bangunan utamanya berupa joglo dengan tiga lapis atap. Ketiga lapis itu melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf. Dari bawah ke atas melambangkan syariat, tarikat, dan makrifat.
Dalam catatan Dinas Purbakala Jawa Tengah, masjid yang kini menjadi benda cagar budaya ini berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Bangunan induk dan serambi meliputi 1.311 meter persegi. Ditipang dengan empat sokoguru, masing-masing tingginya 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter. Interior masjid diperkuat dengan 16 pilar dari kayu utuh berdiameter 60 sentimeter. Di belakang masjid terdapat makam Raden Patah dan sejumlah bangsawan Demak.
Sampai sekarang Masjid Demak menghidupi dirinya sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Perawatan dan gaji karyawan mengandalkan uang infak dari wisatawan. Namun beberapa dari mereka tetap yakin bahwa Masjid Agung Demak tetap dijaga Eyang Sunan, demikian seperti diakui pengurus masjid yang mengaku pernah berdialog dengan mereka ketika beritikaf di dalam masjid. Eyang Sunan yang dimaksud adalah Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria.
Tertua Tapi Bukan Yang Tua
Setelah masjid Demak, sejumlah masjid purba pun mulai “bergoyang” di antara ketidakpastian data. Salah satunya masjid Agung Cirebon yang dikenal sebagai masjid tertua di Jawa.
Konon pembangunannya mendahului pembangunan Masjid Agung Demak. Tapi banyak pihak yang menyangsikan kesimpulan ini. Termasuk Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, yang secara garis keturunan bersambung ke atas dengan Syarif Hidyatullah alias Sunan Gunung Jati.
Sebuah sumber menyebutkan, masjid ini dibangun pada 1422 Caka alias 1500 Masehi. Sumber lain mengatakan, masjid tersebut dibangun pada 1498 Masehi.
“Setahu saya masjid ini dibangun setahun setelah Masjid Agung Demak,” mengutip kata-kata Sultan Kasepuhan.
Masjid Agung Cirebon juga dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan. Tetapi nama aslinya adalah Masjid Sang Cipta Rasa. Satu hal yang tak bisa dibantah, masjid ini dibangun pada masa Sunan Gunung Jati.
Dulu, di majid ini pernah digelar sidang Wali Sanga untuk mengadili Syekh Siti Jenar. Dan jangan lupa, Syeh Siti Jenar itu juga wali, cuma ajarannya mungkin mendahului jamannya, sehingga bisa membingungkan orang awal. Lalu jenazah Syeh Siti Jenar –usai dieksekusi Sunan Kudus –dimakamkan di Kemlaten, masuk kawasan Indramayu.
Di antara ‘masjid wali’ –Majid Demak dan Ampel –Masjid Agung Cirebon bisa dibilang paling utuh. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu jati abad ke 16 masih tegak perkasa, walau kini dikelilingi lempengan besi penyangga untuk menjamin kekokohannya.
Tapi yang paling istimewa dari masjid ini adalah azan pitu, yaitu azan yang dikumandangkan oleh tujuh muazin berbarengan pada setiap jelang sholat Jumat. Seperti halnya masjid wali lainnya, Sang Cipta Rasa juga secara teratur menerima kunjungan tak hanya dari sekitar Cirebon, melainkan juga dar berbagai daerah, termasuk luar Jawa dan mancanegara.
Sementara sekitar 30 kilometer dari Demak arah ke timur, terletak kota Kudus. “Inilah satu-satunya kota di tanah Jawa yang namanya berasal dari bahasa Arab,” kata Prof. Dr. R.Ng. Poerbatjaraka (1884-1964), ahli bahasa dan kebudayaan Jawa.
Kudus, secara kontemporer lebih dikenal sebagai kota industri rokok kretek. Tetapi pada awal perintisan Islam di Pulau Jawa, di sini pernah bermukim Ja’far Shodiq, yang kelak lebih termasyur sebagai Sunan Kudus, satu di antara Wali Sanga.
Di antara masjid peninggalan Walisanga, Masjid Kudus lah yang paling sulit dilacak bentuk aslinya. Padahal masjid tersebut didirikan paling akhir, pada 956 Hijrih atau 1549 Masehi. Nama asli masjid ini hampir tak dikenal orang, yakni Masjid Al-Aqsha. Kini, lebih popular sebagai Masjid ‘Menara’ Kudus, sebab bangunannya merujuk pada corak Hindu di sisi kanan depan masjid.
“Boleh jadi, menara tertua di Jawa adalah Menara Kudus,” tulis Dr. G.F. Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947). Kalau Pijper benar, menara itu sudah berdiri sebelum Masjid Al-Aqsha dibangun.
Diceritakan, saat itu Sunan Kudus memang terkenal bijak mendekati para penduduk Kudus yang menganut kepercayaan Hindu. Sampai sekarang, misalnya, di kota Kudus tidak diperdagangkan daging sapi.
Menurut penduduk, larangan menyembelih dan memperdagangkan daging sapi ini merupakan wasiat Sunan Kudus untuk menjaga hati para penganut Hindu, bahkan setelah mereka memeluk agama Islam. Dengan cara itu Sunan Kudus berhasil mengislamkan Kudus.
Sementara Menara Kudus sendiri tak jelas kapan dibuatnya. Berdasarkan candra sengkala yang terdapat di bagian atap menara, “gapura rusak ewahing jagad,” Prof. Dr. Soejipto Wirjosuparto merujuk ke tahun Jawa 1609 atau 1685 Masehi.
Tapi tafsir ini sangat meragukan. Kalau tafsir ini benar, menara itu jadinya dibangun 136 tahun setelah Masjid Kudus berdiri, sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Di samping menara, bagian unik Masjid Kudus adalah sepasang gerbang purba yang justru terdapat di ruang dalam masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli, disebut ‘Lawang Kembar’. Berbeda dengan Sunan Gunung jati dan Sunan Kalijaga, yang dimakamkan jauh dari kompleks masjid, Sunan Kudus, pencipta gending Maskumambang dan Mijil itu dimakamkan masih dalam kompleks dan terbuka untuk para peziarah pada hari dan jam tertentu.@nov
*) Diolah dari berbagai sumber
abad.id-Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang namanya melegenda. Setiap tulisan-tulisannya dibuat semasa berada di penjara. Dan memang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Tulisan Pram juga membawa musibah sekaligus berkah. Berkahnya, dia berhasil membuka mata dunia. Musibahnya, buku-bukunya dilarang terbit.
Abad.id Sudah dua pekan lelaki itu dirawat di rumah sakit. Tapi, rupanya waktu tidak berpihak padanya. Baginya, waktu telah selesai. Kontrak hidup tinggal menunggu hari saja. “Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,” itu kata Pram sebelum menutup mata selama-lamanya.
Sastrawan hebat itu menutup mata pada usia 81 tahun, tepat Minggu, 30 April 2006. Terbaring di tempat tidur memang sudah menjadi langganannya. Dalam sepekan terakhir sebelum pergi, ia bahkan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidurnya. Meski dokter sempat menancapkan selang infus, sastrawan yang baru saja mendapatkan penghargaan The Norwegian Authors Union ini tetap menolak dirawat di rumah sakit. Sudah bosan, katanya.
Jadilah istri Pram, Maemunah Thamrin, yang umurnya juga sudah tiga perempat abad, setia menunggui Pram di rumah mereka di Jalan Warung Ulan, Bojong Gede, Bogor.
Banyak cerita mengenai sastrawan hebat itu. Ia, katanya punya kebiasaan ajaib. Dari kamar tidur, ia gemar sekali menyorotkan sebuah lampu senter besar berkekuatan besar. Ia melakukan ini karena senang melihat barisan pohon menghijau di bukit jauh.
Bukannya itu kawasan Utankayu, Jakarta, yang jadi tempat tinggal novelis ini, ada bukit? Tentu tidak. Aksi sorot ini dilakukan Pram di rumah barunya di Bojonggede, sekitar 50 kilometer selatan Jakarta. “Kalau di Jakarta, yang kita lihat hanya tembok,” kata Pram beralasan.
Di rumah barunya, Pram menjumpai banyak cara untuk bergembira, misalnya melihat cucu bermain di pelataran, berkebun, atau tidur siang dengan bantuan masker oksigen. Membicarakan rumah itu sendiri juga mendatangkan keriangan baginya. Soalnya, kediaman Pram yang baru memang istimewa. Luas tanahnya 7.000 meter persegi, yang penuh dengan pohon buah-buahan. Pram mulai membeli tanah di sini pada 1980. Awalnya memang tak seluas itu. Namun, seiring dengan banjir royalti yang diterimanya, tanah di sekitarnya pun dibelinya.
Rumahnya sendiri baru selesai dibangun sebulan lalu. Pram sendiri yang merancang rumah senilai Rp 1 miliar ini. Berukuran 15 x 20 meter persegi, gaya tropis dengan sentuhan modern—empat pilar baja besar di bagian depan—jadi pilihan si empunya rumah. Rumah yang dicitakan jadi padepokan ini sebetulnya kurang praktis untuk Pram, karena ia harus naik-turun tangga bila ingin berjalan-jalan.
Namun, novelis ini tampaknya telanjur cinta. Soalnya, bukan cuma kesenangan baru yang datang. Sekian kegemaran lamanya masih bisa dilakukannya, termasuk yang paling favorit, yaitu membakar sampah. Bedanya, dulu, di rumah lama, yang dibakar benar-benar sampah—termasuk kiriman dari tetangga karena tahu Pram sangat gemar melakukan ini—kini Pram cukup puas dengan membakar tumpukan daun kering. “Saya senang mengamati api yang membakar dan membesar,” kata Pram.
Terinspirasi Sang Ibu
Pram memang memiliki kebiasaan unik, membakar sampah. Tetapi sampah-sampah itu dibakar lantaran traumatiknya yang mendalam terhadap kejadian masa lalu. Saat membakar sampah, matanya selalu terpejam. Jadilah, perjalanan masa lalu itu kembali dikenangkannya.
Saat itu zaman revolusi kemerdekaan, kata orang. Namun pada hari itu seorang bayi mungil dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Oleh ibunya, dia diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Ibu itu tidak tahu anaknya bakal menjadi orang besar, kelak. Tapi Pram tahu kalau ibunya adalah orang hebat. Ibunya memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya. Itu dikatakan Pram setelah tulisannya jadi. Katanya terinspirasi dari ibu.
Karakter kuat seorang perempuan inilah yang dikisahkan Pram dalam setiap karangan fiksinya. “Seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun,” kata Pram.
Melihat kembali ke masa lalu, Pram seperti melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan (ibunya)”. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.
Setelah ibunya meninggal, Pram dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pram masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai. Namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pram, sastrawan hebat itu tidak lulus.
Pram lantas bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenographer. Selanjutnya, ia di jurnalis.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda (tahun 1945), Pram bergabung dengan para nasionalis. Dia bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), itu ditulisnya selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).
Setelah Indonesia merdeka (tahun 1949), Pram kembali menghasilkan beberapa novel. Dan sekali lagi, karyanya itu ditulis sewaktu di penjara. Saat itu ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Karangan yang ditulis Pram dipenjara adalah Keluarga Gerilya (1950). Buku itu menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat lain yang dikumpulkan adalah Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950). Semua ditulis sewaktu dia di dalam penjara.
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pram bersimpati kepada PKI. Dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.
Tak lama, pecah G30S-PKI. Pram yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat–onderbouw Partai Komunis Indonesia–ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979.
Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.
Selama di pulau buru, Pram banyak bercerita. Saat itu lahirkan Tjerita dari Blora (1952). Cerita itu terinspirasi dari ibunya. Ia menggambarkan betapa kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah.
Memasuki rezim orde baru, kesenggangan antara WNI keturunan Tionghoa dan pribumi sangat kentara. Rasialisme ini dipicu oleh beberapa orang dari kalangan elit Orba untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Karya Monumental
Di tahun 1965-an, Soeharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina.
Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.
Meskipun Pram tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Soekarno. Kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.
Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Gara-gara tulisan Pram, pemerintah lantas membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.
Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.
Dijebloskannya dalam penjara seakan sebuah berkah dan musibah. Memang ia tidak bisa merasakan nimatnya kebebasan dan hak-haknya. Namun siapa sangka penjara yang ruangannya sempit itu kemudian mengharumkan namanya di seantero dunia melalui karyanya yang monumental dan menguncang dunia.
Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya.
Selama dalam pengasingan di Pulau Buru (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya. Dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Ada pesan yang cukup menggugah dari seorang Pram. Begini katanya, ”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali manusia kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan. Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina.”
Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian”.
Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa”. Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut.” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Karya-karya (tetralogi-red) Pram ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.
Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1979, Pram dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Kini, belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Ia bagaikan potret seorang nabi. Dunia menghargainya, tetapi negeri sendiri malah memenjarakannya.
Karena prestasi Pram, ia memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilian menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai “Asian Heroes”.
Daftar Buku Pram yang Dilarang
Buku-buku Pramoedya yang dilarang memang mengandung berkah. Karena dilarang, dia dicari, meski mutunya belum tentu terjamin. Karena itu, ada lelucon bahwa humas terbaik dari penjualan buku adalah pelarangan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Tiba-tiba zaman sudah berubah, dan sesungguhnya daftar itu sudah tidak berguna lagi.
Apa boleh buat, karena daftar belum dicabut, berikut adalah sebagian nama-nama buku (dari terbitan 1910 hingga 1990-an) yang dilarang, baik oleh Kejaksaan Agung maupun instansi lain:
Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)
Dia jang Menjerah (Pramoedya Ananta Toer)
Gulat di Djakarta (Pramoedya Ananta Toer)
Mereka jang Dilumpuhkan (Pramoedya Ananta Toer)
Perburuan (Pramoedya Ananta Toer)
Pertjikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer)
Subuh: Tjerita-Tjerita Pendidikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Tjerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer)
Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer)
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer)
Undang Berfikir Rakyat Berjuang (Ibnu Parna)
Dua Taktik Sosial Demokrasi di Dalam Revolusi Demokrasi (W.I. Lenin)
Komunisme Sajap Kiri (W.I. Lenin)
Totalitarian Dictatorship and Autocracy (Carl J. Friedrich)
Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong Royong (Aidit)
Ik ben een Papua (Zakarias Asawor)
Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Siauw Giok Tjhan)
Alam Barzah_Alam Kubur (Dalimi Lubis)
Modern Korea (Kim Byong Sik)
Sosialisme ala Indonesia (R. Moestopo)
Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Wahono Nitiprawiro)
Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze)
Runtuhnja Keradjaan Hindhu-Djawa dan Timbulnja Keradjaan-Keradjaan Islam di Nusantara (Slametmuljana)
Sabda Allah yang Diwahyukan Menurut Agama Islam dan Agama Kristen (P.A. Heuken S.J.)
Memperkenalkan Korps Muballigh Indonesia dan Pendiriannya Mengenai Pancasila Sebagai Azas Tunggal
The Indonesian Tragedy (Brian May)
Hari-Hari Terakhir Kekuasaan Soeharto (Benedict Anderson)
Indonesia di Bawah Sepatu Lars (Sukmadji Indro Tjahjono)
Siapa yang Sesungguhnya Melakukan Kudeta terhadap Soekarno (Y. Pohan)
Permesta, Kandasnya Cita-Cita
Seri Demokrasi: Kesaksian Kaum Muda
The Devious Dalang
Heboh Ayat-Ayat Setan
Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno
Pesona Seks Wanita
Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Seks dan Kesehatan
Bertarung Demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Mahasiswa Bandung
Kasih yang Menyelamatkan (Herman O.T.M. Simanjuntak)
Geger Lampung dan Kaum Sempalan (P. Bambang Siswoyo)
Serat Darmogandul dan Sulak Gatoloco
Masa Depan Islam: Kilas Balik Abad Ke-14 (Dr. Muhammad Al Baby)
Wajah Dunia Islam Kontemporer (Dr. Ali Qarishah)
Dosa dan Penebusan Dosa Menurut Islam dan Kristen
Kristus dalam Injil dan Al Quran
Wajah Dunia Islam Kontemporer
Tanah untuk Rakyat
Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Yoshihara Kunio)
Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-20
Perang Teluk: Islam akan Kembali Gemilang
Cina, Jawa, Madura dalam Konteks Hari Jadi Surabaya (Moch. Choesni)
Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia (Joebaar Ayoeb)
Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam (Ustadz Ashaari Muhammad)
Menyingkap Sosok Misionaris (Abdul Rasyad Shiddiq)
Demokrasi di Balik Keranda (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
Presiden Soeharto Ikuti Jadual Allah (Ashaari Muhammad)
Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno (nov)
*Diolah dari berbagai sumber
Kiai Subchi Ulama Pencetus Senjata Bambu Runcing
Kiai Subchi mengangkat bambu runcing dan mengarahkan ujung runcingnya ke arah pesawat yang melintas di atas kepalanya. “Allahu Akbar..!’’ teriak Kiai Subkhi. Pesawat itu tiba-tiba oleng dan jatuh.
Abad.id Dengan bersenjatakan bambu runcing, perjuangan Arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945 mampu menandingi senapan penjajah. Bagaimana bisa bambu runcing menandingi persenjataan canggih tentara sekutu?
Bambu runcing memang senjata sederhana. Namun tidak sesederhana itu menjadikannya senjata. Banyak versi yang menceritakan kemunculan senjata ini. Dari cerita yang beredar, senjata ini diprakarsai oleh seorang kiai bernama Subchi. Ulama tersebut berada di sebuah pesantren. Saat rakyat berjuang untuk kemerdekaan, banyak santrinya yang ingin ikut berjuang.
Di sinilah Kiai Subchi memperkenalkan bambu runcing sebagai senjata. Para santri dan rakyat yang ingin berjuang terlebih dahulu diajarkan membuat bambu runcing sebelum berangkat perang. Bahan dasarnya hanyalah bambu yang salah satunya diruncingkan. Konon, Kiai Subchi juga mendoakan bambu runcing yang dibuat sehingga memiliki kesaktian untuk membuat para santri dan pejuang selalu menang dalam peperangan. Doa tersebut ditulis di sisi atas bambu runcing.
Kiai Subchi pada tahun 1945 telah berusia 87 tahun. Lahir 31 Desember 1858. Beliau termasuk kiai sepuh. Asalnya dari Parakan, Magelang, Jawa Tengah. Memiliki nama lahir Muhammad Benjing. Setelah berumah tangga namanya berganti menjadi R. Somowardojo.
Namanya berubah lagi setelah beliau menunaikan ibadah haji. Berganti nama menjadi Subchi. Kiai Subchi meninggal di tempat kelahirannya tersebut pada 6 April 1959 saat berusia 100 tahun.
Kakek Kiai Subchi, Kiai Abdul Wahab merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta. Kiai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran Diponegoro, dalam periode Perang Jawa (1825-1830).
Ketika laskar Diponegoro kalah, banyak pengikutnya yang bersembunyi di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Jaringan laskar kiai kemudian bergerak dalam dakwah dan kaderisasi santri.
Kiai Wahab kemudian mengundurkan diri untuk menghindari kejaran Belanda. Ia menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan.
Kawasan Parakan merupakan titik penting arus transportasi kawasan Kedu, yakni sebagai persimpangan Banyumas, Kedu, Pekalongan dan Semarang. Keluarga Kiai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan, sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap penjajah.
Pasukan Belanda tidak henti-hentinya mengejar pengikut Diponegoro di berbagai pelosok Jawa, terutama Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika Ibunda Kiai Subchi mengandung, Belanda masih sering mengejar keturunan Kiai Wahab, serta santri-santri yang diduga menjadi pengikut Diponegoro. Pada tahun 1885, Subchi kecil berada di gendongan ibundanya yang tengah mengungsi dari kejaran pasukan Belanda.
Subchi kecil dididik oleh orangtuanya, dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di pesantren Sumolangu, asuhan Syekh Abdurrahman Sumolangu (ayah Kiai Mahfudh Sumolangu, Kebumen). Dari ngaji di pesantren inilah, Kiai Subchi menjadi pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.
Bambu Runcing Jatuhkan Pesawat
Dalam perjuangannya, Kiai Subchi tidak bisa dipisahkan dari pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kiai Subchi memiliki karakter yang tegak, kuat, gagah, dan tajam. Sama halnya dengan bambu runcing.
Ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi turut serta dengan mendirikan NU Temanggung. Beliau menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris. Nama terakhir merupakan ayah Kiai Muhaiminan Gunardo, yang menjadi tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang.
Kiai Subchi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Pada 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang langsung dipantau oleh Kiai Subchi.
Kiai Subchi dikenal sebagai kiai alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah. Di kemudian hari, Kiai Subchi dikenal sebagai “Kiai Bambu Runcing”.
Dari kisah yang beredar di kalangan mantan pejuang Hizbullah, karomah bambu runcing Kiai Subchi mulai terkenal saat menjelang pertempuran Ambarawa. Pada suatu pagi, seusai mengajar santrinya, Kiai Subchi berdiri di tengah halaman sembari memegang sebilah granggang (bambu yang ujungnya runcing). Tiba-tiba tepat di atas langit pesantren, melintaslah pesawat pengebom Belanda yang saat itu memang sangat ditakuti pejuang kemerdekaan. Pesawat itu oleh para pejuang diberi julukan cocor merah karena bagian depan pesawat tersebut dilumuri cat berwarna merah.
Nah, karena kesal terhadap pesawat itu, tiba-tiba saja Kiai Subchi mengangkat bambu runcing yang dipegangnya seraya mengarahkan ujung runcingnya ke arah pesawat cocor merah yang tengah melintas di atas kepalanya. “Allahu Akbar..!’’ teriak Kiai Subkhi sembari mengarahkan bambu runcingnya.
Anehnya, entah karena apa, setelah takbir diteriakkan dan bambu runcing diarahkan, pesawat cocor merah tiba-tiba terlihat oleng. Tak hanya itu, pesawat pengebom itu kemudian menukik kencang ke arah bumi. Semua santri pun terkesima. Dan beberapa jam kemudian, datang laporan dari para pejuang yang menyatakan bahwa ada pesawat cocor merah terjun ke Rawa Pening. Katanya, pesawat itu mengalami gangguan mesin, sehingga pesawat pun jatuh tercebur masuk ke dalam rawa.
Kisah inilah yang kemudian meluas. Menteri agama di era Presiden Sukarno, Kiai Syaifuddin Zuhri mengisahkan, saat itu berbondong-bondong barisan-barisan Laskar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sindoro dan Sumbing. Di antaranya yang paling terkenal adalah barisan Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Masykur.
Ada pula “Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo, “Barisan Banteng” di bawah pimpinan Dr Muwardi, Laskar Rakyat di bawah pimpinan Ir Sakirman, “Laskar Pesindo” di bawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Semua badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju ke Parakan.
Kiai Saefudin Zuhri yang juga ayah dari menteri agama Lukman Hakim Saefudin, bahkan sempat mengantarkan para terkemuka seperti Kiai Wahid Hasyim, Kiai Zainul Arifin, dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan. Sejak itulah Parakan di dalam masa perang kemerdekaan dikenal sebagai kota ganggrang atau bambu runcing.
Pada masa revolusi itu, banyak pemuda mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma dan doa khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan bertarung melawan musuh. Senjata bambu runcing inilah yang kemudian menjadi simbol perjuangan warga Indonesia untuk mengusir penjajah.
Menyepuh Ribuan Bambu di Blitar dan Didoakan
Jelang pertempuran 10 November 1945, konon bambu-bambu dikumpulkan para santri dari tegalan. Setelah diruncingkan, bambu lalu lalu diolesi cairan di ujungnya yang lancip. Ada yang mengatakan bambu sebelum diruncingkan lalu diberi cairan sejenis racun atau oli yang sudah diberi asma atau doa oleh kiai. Kemudian bambu yang runcing itu dibakar sampai berwarna kehitaman di ujungnya.
Sebelum bertempur, ribuan tentara Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat sempat membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa.
Ketika banyak pemuda pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma, Kiai Subchi justru menangis tersedu. Ia merasa tidak layak dengan maqam tersebut. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, Kiai Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bambu Runcing itu, dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar.
Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah Kiai Subchi. Jenderal Sudirman sering berperang dalam keadaan suci, untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi. Jenderal Sudirman memang dikenal sebagai santri Kiai Subchi.
Setelah menyepuh, ribuan bambu itu lalu diangkut menggunakan kereta api untuk dikirim menuju Surabaya. Ya, bambu runcing dibuat dari Blitar. Pembuatan bambu runcing dikomandoi Kiai Mansyur setelah mendapat isyaroh dari Kiai Subchi.
“Asal mula bambu runcing itu dari Kyai Subchi Parakan, Temanggung. Kiai Subchi membuat bambu runcing untuk daerah Jateng, sementara Kiai Mansyur membuat bambu runcing untuk Surabaya,” ungkap Kiai Hisyam, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fattah. Kiai Hisyam merupakan anak dari Kiai Mansyur, pendiri Ponpes Al Fattah.
Setelah mendapat mandat tersebut, Kiai Mansyur mulai mengumpulkan bambu runcing di Blitar. Ponpes Al Fattah di Desa Kalipucang Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ini pun menjadi pusat bambu runcing. “Kirimnya menggunakan kereta api. Sekali kirim bisa ribuan,” tandas Kiai Hisyam.
Kiai Mansyur memang dikenal sebagai penyempuh atau pengisi kekuatan bambu runcing. Tak hanya itu, Kiai Mansyur juga membuat senjata lain untuk para pejuang seperti sumpit, bambu runcing, dan juga ketapel.
Pembuatan bambu runcing dilakukan kiai bersama dua putranya yakni Kiai Masruri dan Kiai Mashudi. Kehebatan bambu runcing hasil sepuhan Kiai Mansyur sangat terkenal waktu itu. Bahkan, jika ada orang yang tanpa izin memperlakukan seenaknya bambu runcing yang sudah disepuh, akan langsung mendapat ganjaran.
“Pernah suatu saat bambu mau dikirim sudah dalam keadaan terikat. Ada seorang satri berjalan melangkahi ikatan bambu runcing itu. Tiba-tiba tubuhnya seperti didorong dari belakang hingga jatuh terjungkal,” papar seorang menantu dari santri kesayangan Kiai Mansyur, Abu Sujak.
Abu Sujak juga cerita, suatu ketika bambu runcing yang seharusnya tidak dikirim ke Surabaya malah terbawa kereta api ke sana. Sampai di Malang, tak seorangpun yang kuat mengangkat ikatan bambu runcing itu.
“Terbawa sampai di Malang. Karena keampuhan bambu runcing, gak ada yang kuat angkat, akhirnya dikirim balik ke Blitar. Sampai sini ya hanya santrinya Kiai Mansyur yang kuat angkat dibawa balik ke pondok,” ucap Abu.
“Bahkan disaat genting-gentingnya perang di Surabaya itu, Bung Tomo sempat ke Kalipucung, ke Kiai Mansyur untuk minta doa restu,” paparnya.
Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi dan santrinya dijelaskan hampir bersamaan dengan perlawanan dari laskar santri di Surabaya dan rakyat Semarang. Mereka secara bersama-sama mengadakan perlawanan ketika tentara Sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah itu.
Dijelaskan Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren, dalam peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris).
Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengan niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.
Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mampir ke Kawedanan Parakan guna mengisi dan memperkuat diri dengan berbagai macam ilmu kekebalan dari Kiai Subchi. Dan tentara-tentara Allah inilah yang kemudian berbaris dengan bambu runcingnya. Setelah masing-masing diberkahi doa Kiai Subchi, semangat keberanian mereka tak tergoyahkan dalam melawan penjajah meski hanya berbekal bambu runcing.(nov)
Jawa menjadi tempat pertama menanam kopi Arabika. Di belahan dunia lain belum ada.
Abad.id Pesona kopi mulai mewabah. Di seluruh dunia, orang sudah terbiasa minum kopi sebagai ‘sarapan’ pagi atau santai menjelang senja. Bahkan hingga larut malam, kopi masih menjadi teman ‘kencan’ nan setia.
Minuman berkafein yang dihasilkan dari biji kopi pilihan ini tidak lagi hanya sebagai penghilang rasa kantuk. Juga bukan sekedar pelepas dahaga. Kini, ngopi sembari kongko telah menjadi gaya hidup kaum urban. Tidak hanya di perkotaan, gairah minum kopi di masyarakat pedesaan juga bertambah.
Setidaknya terjadi peningkatan jumlah peminum kopi di Indonesia setiap tahunnya. Bahkan tren ngopi juga mulai memikat kaum perempuan belakangan ini. Budaya ngopi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Kebiasaan ini mulai berkembang tahun 1700-an.
Menurut peneliti kopi asal Jawa Timur, Surip, sejarah kopi pertama kali diperdagangkan secara Internasional oleh bangsa Belanda. Sedangkan lelang kopi pertama di dunia terjadi pada tahun 1711 di Amsterdam.
“Jawa menjadi tempat pertama menanam kopi Arabika. Di belahan dunia lain belum ada,” terang Surip.
Adalah Gubernur Jendral bertangan besi asal negeri kincir angin, Herman Willem Daendels. Dialah yang membangun jalan raya sepanjang seribu kilometer yang penuh liku dan banyak kontroversi. Proyek ini dikenal dengan pembangunan Jalan Anyer-Panurukan atau Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Hingga kini jalan ini masih bisa kita gunakan.
Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan menjadi perdebatan. Di satu pihak pembangunan Jalan Raya Pos itu sangat dipuji, tetapi di lain pihak juga dicaci karena mengorbankan banyak nyawa manusia.
Pram dalam bukunya menjelaskan menegaskan bahwa pembangunan Jalan Anyer-Panarukan adalah salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di Indonesia.
“Menurut sumber Inggris hanya beberapa tahun setelah kejadian Jalan Raya Pos memakan korban 12.000 orang,” tulis Pram.
Terlepas dari buruknya era kolonial, rupanya dampak jalan raya itu jauh melampaui perkiraan Daendels. Jalan ini telah memenuhi harapan Daendels sebagai sarana ekonomi kolonial. Jalan ini mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan di Jawa.
Memang keputusan dibangunnya jalan ada dua kepentingan. Pertama, membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan. Kedua, untuk kepentingan militer.
Tapi, Daendels mendahulukan kepentingan pertama, karena memang daerah di sekitar Bogor sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Selain untuk mempertahankan Jawa, Daendels juga mendanai pemerintahannya. Komoditas andalannya adalah kopi.
Dari sini perkebunan kopi kemudian menyebar dari Batavia, pesisir utara Jawa seperti Cirebon dan Karawang, Pasundan, Jawa Tengah, serta Jawa Timur di pesisir dan pedalaman.
Di Jawa Timur sendiri, jumlah perkebunan kopi mencapai 280-an yang tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Seperti di Malang, Banyuwangi, Situbondo, hingga Bondowoso. Di perkebunan itu ditanam varietas robusta, arabika, liberika, atau campuran di antara tiga jenis kopi tersebut. Sedangkan kopi terbaik di dunia saat ini dipegang oleh Java Coffe atau kopi dari Jawa.
Memang, bibit kopi yang dibawa Belanda sesampai di Jawa Timur menjadi unik. Misalnya, kopi Arabika kala itu menjadi konsumsi rakyat di seluruh Indonesia. Sayangnya, kopi belum bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Kopi, kala itu masih menjadi minuman berkelas bagi para pembesar kolonial Belanda, karena mereka merasa yang membawa tanaman kopi di Indonesia.
Sementara masyarakat kelas bawah hanya mampu membeli kopi jagung yang dibakar dan ditumbuk dengan kasar. Namun saat kebiasaan kongko di warung kopi terus berkembang, akhirnya kopi memiliki banyak peminat di Indonesia.
Di Indonesia, kita sekarang bahkan bisa menjumpai kafe atau kedai kopi yang buka 24 jam. Di dalamnya ada anak muda dan orang tua yang asyik kongko-kongko, duduk-duduk santai hingga larut dalam pembicaraan yang tidak menentu ujung pangkalnya.
Sebut saja warung kopi “Mbah Cokro” yang beralamatkan di Jalan Prapen Surabaya. Tempatnya tergolong unik. Semua fasilitas warung dibuat dari bambu dari mulai meja, kursi, atap, lesehan, hingga pagar. Paling unik lagi, gelas kopi disuguhkan dengan seng. Sang pemilik Zarkony mengatakan warung itu sengaja didesign sedemikian rupa untuk menandakan kesan tempo dulu.
Di setiap sudutnya terpampang banyak koleksi benda-benda lawas untuk menjaga suasana tempo dulu. Belum lagi tembang-tembang lawas yang disetel menandakan asyiknya bernostalgia dengan masa lalu. Maka, tidak heran banyak pengunjung yang memilih datang ke warung Zarkony.
Satu cangkir kopi angat serta caloman yang fresh turut menghantar acara kongko. Di meja-meja lain, ada anak muda yang tengah berselancar di dunia maya. Ada pula para pekerja yang duduk berdampingan membahas rutinitas.
Di sisi lain, ada mahasiswa yang sedang mojok membaca buku. Mereka menghabiskan waktu di kedai kopi hingga lupa jam. Beberapa lainnya, malah membawa pacar masing-masing dengan ditemani kopi.
Sayangnya, meskipun kopi bukan sesuatu yang baru, tak banyak orang tahu mengenai seluk beluk kopi. Hal Ini menunjukkan betapa rendahnya budaya minum kopi orang Indonesia. Dari sekian banyak orang yang diwawancarai, mereka rata-rata tidak bisa membedakan rasa kopi yang nikmat dan enak.
Tanya saja sebagian besar orang yang nongkrong di kedai, apakah mereka tahu kopi yang mereka nikmati termasuk jenis apa. Mereka rata-rata menjawab tidak tahu. Jawaban yang pasti meluncur dari mulut mereka seperti ini: yang penting nongrong dan ngobrol.
Padahal, jika mereka tahu, bahwa kopi memiliki jenis dan cara pengolahannya tersendiri. Jika pas, maka penikmat kopi akan mendapatkan suguhan kopi terbaik. Orang kita, kata Surip, masih sebatas peminum saja bukan penikmat kopi.
Kalau Anda ke Australia atau tinggal di Australia, coba ngobrol sama orang Australia tentang kopi. Anda akan menemukan bahwa mereka ternyata sangat fanatik dengan sama kopi layaknya orang Italia. Perusahaan-perusahaan kopi raksasa bahkan tidak bisa mengubah selera orang Australia terhadap kopi. Orang Australia terkenal sangat rewel dengan kopinya, dan industri kopi lokal sangat berkembang pesat di sana.
Dulu minuman yang paling bikin orang Australia terobsesi adalah rum, baru kemudian teh. Kedua minuman itu langsung tergantikan oleh pesona kopi ketika Ivan Repin, seorang pengungsi asal Rusia membuka coffee shop pada tahun 20-an di Australia. Sejak saat itu kopi jadi ngetop banget di sana.
Dengan makin bertambahnya orang yang berimigrasi ke Australia, budaya ngopi di sanapun jadi semakin kuat. Selera mereka terhadap kopi semakin lama semakin baik. Orang-orang Australia cukup puas dengan latte yang sederhana atau kopi hitam yang dibuat sempurna.
Di Australia saat ini jumlah mesin espresso yang beroperasi lebih banyak dari negara-negara lain, kecuali Italia. Para barista yang berasal dari Australia juga terkenal piawai dan banyak mendapat lamaran untuk bekerja di seluruh dunia. Sementara cafe yang bergaya Australia saat ini menjadi trend di London, New York, dan Paris. Bahkan ada yang bilang kalau beberapa coffee shop di Indonesia, khususnya Jakarta, bikin orang teringat dengan suasana ngopi di Australia. Tidak heran, mengingat banyaknya orang Indonesia yang pernah dan masih tinggal di negeri kangguru ini.
Orang Australia sudah beralih dari kopi instan ke espresso sejak para imigran asal Italia datang ke Australia sekitar tahun 50-an. Mereka membuat gaya yang lebih segar, berbeda dengan gaya Italia. Apa bedanya penggemar kopi di Italia dan di Australia?
Orang Italia cenderung masuk ke dalam sebuah cafe, meminum espresso, lalu keluar. Sementara orang Australia yang menempatkan mesin espresso di tempat yang paling membanggakan, lebih banyak melakukan pertemuan di coffee shop. Hubungan antara barista dengan pelanggannya juga lebih erat. Coffee shop ala Australia lebih ramah, lebih santai, dan lebih egaliter dari tempat-tempat yang menjual alkohol atau restoran-restoran kelas atas.
Para pekerja perempuan pun lebih nyaman untuk melakukan pertemuan bisnis dan rapat di coffee shop daripada di pub. Coffee shop di Australia kurang lebih fungsinya mirip seperti English Pub di Inggris.
Pelanggan kopi di Australia juga lebih pemilih. Mereka akan lebih memilih untuk datang ke coffee shop yang baristanya bisa membuat kopi lebih enak dan lebih baik. Maka tidak heran jika ada coffee shop yang ramai banget, sementara coffee shop di sebelahnya sepi pengunjung. Karena orang Australia sudah paham mana kopi yang dibuat secara benar, mana yang tidak.
Menurut mereka, kopi buatan sebuah coffee shop raksasa dari Amerika yang merajalela di mana-mana termasuk di Indonesia itu, kopinya terlalu sedikit. Sementara susunya kebanyakan. Sangat tidak sesuai dengan selera orang Australia, sehingga perusahaan itu tidak sukses di negeri kangguru.
Rahasia untuk mencuri hati orang Australia melalui kopi adalah kopi yang dibuat dalam cangkir ukuran standar dengan rasa kopi yang kuat dan susu secukupnya. Perusahaan yang dimaksud adalah Starbucks. Tapi jangan tanya bagaimana cara Starbucks concern dengan produksi kopi terbaik yang dihasilkan di Indonesia. Kata Surip, perusahaan Starbucks saat ini berkompetisi membantu pengembangan kopi di Indonesia khususnya Arabika.
Bayangkan saja untuk perusahaan sekelas Starbucks, pada tahun 2000 dalam setahun bisa menggoreng kopi 250 ribu ton. Dari besarnya produksi Starbucks, nilai kopi bijinya saja mencapai Rp 15 triliun. Itu belum termasuk nilai dagangnya. Meskipun tidak sukses di Australia, tetapi Starbucks sudah menjadi raksasa di mana-mana.
Di Cina, Starbucks bahkan bisa mengubah kultur masyarakat. Dulu, orang Cina yang mayoritasnya peminum teh, kini sudah beralih ke kopi sejak 3 tahun terakhir.
Betapa besar dan kuatnya dominasi Starbucks di Cina sehingga bisa mengubah budaya orang Cina dari minum teh menjadi minum kopi. Outlet-outlet Starbucks di Cina yang dulunya hanya satu kini sudah menyebar di seluruh wilayah. Tahun 2015, Starbucks Cina menargetkan 5.000 gerai. Benar-benar gila!
Kopinya darimana? Ya tentu saja kopinya dari olahan kopi Indonesia yang punya standard internasional.
Yusianto, peneliti kopi pascapanen juga mengomentari soal citarasa kopi. Katanya, pertama, paling pokok adalah bahan tanam. Kedua, metode budidaya dimana tanaman kopi harus sehat. Jika tidak sehat, kualitas yang dihasilkan tidak bagus. Ketiga, metode panen yang prosesnya harus dilakukan selektif. Minimal tiga kali panen dalam satu wilayah.
Keempat, metode pengolahan, apakah olah basah, kering atau semi basah. Kelima, metode penyajian kopi. Karena penyajian yang dilakukan expresso tentu berbeda dengan penyajian yang dilakukan Kopi Tubruk.
Keenam, metode penyimpanan. Biasanya kopi yang disimpan di gudang sering terjadi kerusakan.
Nah, bagaimana cara untuk melakukan penyimpanan yang baik. Itu ada metodenya.
Pada dasarnya ada dua jenis kopi utama yang ada di di seluruh dunia. Yakni kopi Arabica dan Robusta. Kopi Arabica dapat dikenali dengan tampilan rasanya yang ringan dan aroma kopi yang sangat wangi.
Sementara Robusta, memiliki rasa yang lebih kuat dan biasanya disajikan dalam bentuk esspreso. Penikmat kopi sejati pasti tahu soal ini. Sebaliknya, peminum kopi tidak tahu.
Maka, sebagai penikmat kopi harus mengetahui terlebih dahulu mengenai kedua jenis kopi tersebut. Sebab untuk menikmatinya pun tak sembarangan. Umumnya kopi-kopi jenis Robusta dinikmati pada pagi hari. Sebab akan memberi dorongan energi dan semangat pada yang meminumnya. Sementara untuk jenis Arabica bisa dinikmati mulai jam 14.00 WIB.
“Sebaiknya kopi Robusta memang dinikmati pada pagi hari. Sementara untuk yang ingin meminum kopi pada sore atau malam, lebih baik memilih jenis kopi Arabica. Sebab kalau tidak, bisa-bisa melek terus sampai pagi lagi,” kata Ibrahim, seorang penikmat kopi asal Surabaya yang sering wara-wiri di gerai kopi.
Tak hanya masalah penyajian namun cara menyimpan kopi pun harus diperhatikan. Umumnya biji kopi jenis Robusta dan Arabica memiliki jangka waktu berbeda dalam penyimpanan setelah dipanen.
Untuk menghasilkan aroma dan kualitas kopi yang terbaik, biji kopi Robusta umumnya disimpan dalam keadaan kering dalam jangka waktu minimal lima tahun. Sementara untuk jenis Arabica, umumnya disimpan minimal tujuh tahun sebelum digiling untuk dikonsumsi.
Oleh karenannya Ibrahim menyarankan, untuk tak terlalu lama menyimpan kopi yang telah digiling dalam jangka waktu yang lama. Ia lebih menyarankan, jika ingin menyimpan kopi sebaiknya dalam bentuk biji kopi kering.
“Kalau sudah digiling, kopi sebaiknya segera dikonsumsi. Sebab jika terlalu lama disimpan, akan mengurangi kualitas dan aroma kopi,” pungkasnya.(nov)
Oleh: N. Aji
Abad.id - Soal demo. Demo buruh, demo petani, demo emak-emak, demo ulama, hingga demo kaum terpelajar (mahasiswa).
Demonstrasi melahirkan tiga teori perubahan, menurut Salvador Allende, yakni reformasi, revolusi dan kudeta.
Jadi, negara ini untuk melihat perubahan ada tiga aras: rezim, sistem dan kultur.
Perubahan rezim saja (dalam konteks di luar Pemilu) disebut kudeta. Perubahan rezim diikuti perubahan sistem disebut reformasi. Tapi perubahan (rezim, sistem, kultur) dilakukan serentak, disebut revolusi.
Di jaman Bung Karno – Orde Lama, kita pernah melakukan revolusi. Di jaman Suharto – Orde Baru, kita pernah melakukan reformasi.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana semua itu bisa terjadi? Siapa dan bagaimana mereka bisa bergerak?
Kalau menurut Karl Marx yang terkenal itu, ada dua konsep pemikiran. Yaitu: dialektika dan materialisme.
Di seluruh dunia, konsep Marxisme dipakai oleh kaum proletar – kalangan buruh, kelas rendah, orang miskin, untuk menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme ke bumi manusia.
Pemikiran Marx telah mendominasi perjuangan mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Kendati juga banyak usaha para akademisi borjuis untuk menghapus ataupun menelikung Marxisme, namun pemikiran ini terus hadir di dalam sendi-sendi perjuangan kelas buruh.
Berbicara Materialisme, tidak seperti obrolan kita sehari-hari soal kesenangan duniawi, hedonis, pesta-pora, dan uang di atas segala-galanya.
Bukan itu.
Materialisme Marx melihat bahwa benda-benda materi adalah dasar dari segalanya, bahwa pemikiran, ide, gagasan, semua lahir dari materi yang ada di dunia nyata.
Berbeda dengan pemikir idealis, Plato dan Hegel. Pemikir idealis selalu menganggap benda-benda materi datang dari pemikiran.
Karena itu, kaum materialisme dan kaum idealis selalu bersebrangan.
Sementara dialektika adalah satu cara pandang atas sesuatu dalam keadaan geraknya dan bukan dalam keadaan diamnya.
Proposisi dasar dialektika adalah bahwa segala hal selalu ada dalam proses perubahan yang dinamik, yakni perubahan kuantitas dan perubahan kualitas. Proses ini seringkali tidak terlihat dan tidak bergerak dalam garis lurus, tetap pada momen tertentu mengalami loncatan.
Dalam hubungan sosial manusia, dialektika digambarkan dalam sebuah revolusi -- perubahan kualitas. Di sini masyarakatnya tidak berubah dengan perlahan-lahan, tetapi bergerak dengan loncatan-loncatan.
Revolusi Prancis 1789, Komune Paris 1871, Revolusi Inggris, Revolusi Rusia, hingga Revolusi Tiongkok. Semua ini mengalami perubahan yang meloncat-loncat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kita mengenal Rodinda (Romantika, dinamika, dan dialektika).
Perubahan kualitas masyarakat di Indonesia selalu dinamis, tapi loncatannya terkesan ke belakang.
Sebelum gerak terbentuk, masyarakat Indonesia membangunnya dengan gairah kesejarahan yang tinggi.
Kemerdekaan Indonesia tidak akan terjadi jika rakyat tidak memiliki gairah yang terbentuk dari pendahulu-pendahulunya, mulai Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya, Pangeran Diponegoro dengan perang Jawa yang termasyhur itu, hingga Sumpah Pemuda,
Itulah romantika. Selalu membangun rasa cinta rakyat, membangun kegembiraan rakyat, membangun kegairahan rakyat, dan membentuk hubungan rasa antara pemimpin dan rakyat.
Sehingga yang tumbuh adalah perjuangan yang tidak sia-sia. Hidup tidak sia-sia, mati pun tidak sia-sia. Karena dalam membeli cita-cita harus butuh pengorbanan. Sejarah telah mengabarkan itu pada mereka.
Dan, romantika selalu muncul di gugus paling depan. Baik di era revolusi maupun reformasi.
Sementara dinamika adalah gerak yang selalu berkelanjutan. Fenomena ini esensial pada segala sesuatu yang mewaktu. Alfred North Whitehead melihat bahwa segala sesuatu di dunia ini mengalami (gerak) perubahan yang konsisten.
Whitehead menyebut entitas aktual. Satu entitas aktual tidak terlepas dari aktual lainnya. Segala sesuatu yang terbentuk ada rentetan peristiwanya.
Dalam dinamika setelah romantika, setelah rakyat bergelora, mereka diarahkan pada gerakan-gerakan besar menuju satu cita-cita pembebasan.
Dinamika terbentuk atas kegelisan yang sama. Rakyat ditipu pemimpinnya, mulai kepala negara hingga birokrat. Rakyat susah, pemimpin foya-foya. Sehingga rakyat punya budi (gerak) sendiri untuk menentukan nasib sendiri.
Dinamika membuat rakyat percaya lagi dengan kebijakan politis. Sebab semua itu sudah dianggap tidak wajar, tidak normatif. Dinamika membuat rakyat percaya pada suatu keadaan untuk membuat perubahan dan bertekad pada satu pemikiran yang sama.
Dari dinamika, mulai ada loncatan gerak, loncatan kesadaran (dialektika) seperti yang disebutkan di atas tadi. Loncatan ini membentuk sebuah ruh. Rakyat mulai sadar setelah bergerak dalam keadaan atau kegelisan yang melingkupinya.
Rakyat bergerak seperti apa? Demonstrasi. Aksi massa. Menuntut. Mendesak. Melawan.
Pergerakan rakyat sudah memiliki nyawa. Hasilnya: revolusi, reformasi, hingga kudeta.
Itulah Rodinda, hasil pemikiran Bung Karno.@nov