Pecel Madiun yang Mendunia
Abad.id - Hanya pecel Madiun yang memiliki ciri khas. Sayurnya lebih beragam. Bahkan, pada era 1960-1970 masih banyak dijumpai masih memakai sayur krokot, sejenis rumput liar yang biasanya digunakan untuk makanan hewan jangkrik. Kini, pecel Madiun telah mendunia.
Abad.id Naik bus atau kereta api ke Yogyakarta melintasi Madiun, Jawa Timur, rasanya tidak pas jika tidak mencicipi makanan khas daerah, yakni pecel. Bagi yang pernah mencicipi tentu akan ketagihan.
Sekilas makanan ini terkesan biasa-biasa saja. Orang Eropa menyebut ini Indonesian Salad, dan sambalnya adalah dressing yang terbuat dari kacang tanah ditumbuk, dicampur rempah dan cabe. Namun jangan tanya bagaimana terkenalnya makanan khas ini, gaung pecel Madiun hingga seantero Nusantara dan bahkan mampu melintasi benua. Tidak percaya?
Kalau Anda ke Madiun, di kota berjuluk Brem ini akan ditemui pecel dengan berbagai racikan dan resto. Meski berbeda-beda, namun rasanya sama. Sayuran disiram sambal kacang, itu dia.
Bagi masyarakat Jawa Timur khususnya, pecel adalah makanan tradisional di daerah Jawa, Indonesia.
Meski pecel banyak macamnya di daerah, seperti pecel Magetan, Malang, Blitar, Banyumas, Kediri dan lain-lain, tapi masyarakat lebih familiar dengan pecel Madiun. Seperti soto, cuma dua soto yang dikenal khas di Jawa Timur, yakni soto Madura (daging) dan soto Lamongan (ayam).
Memang tidak banyak yang tahu bagaimana pecel ini bisa dibilang dari Madiun. Versi yang didapat abad.id, pecel Madiun berasal dari Desa Selo, sebuah kawasan kecil di sebelah timur Madiun–di kaki gunung Wilis.
Di Desa Selo sendiri, kawasan di kaki gunung Wilis tadi, sekarang masih banyak dijumpai penjaja pecel tradisional. Dulu, era 1970-an, banyak dari mereka berjualan ke Madiun dengan cara menggendong pecel dan nasinya.
Mereka lantas duduk membuka dagangan pecelnya di bebeapa sudut jalan, dan bahkan di antaranya mangkal, dan ada juga yang keliling di jalan-jalan.
Bagi warga Madiun, nama-nama seperti Yu Las, Yu Wo, Yu Bibit, Yu Gembrot dan lain-lain tentu tidak asing. Yu Wo masih ada sampai saat ini. Ia sekarang mangkal di terminal bus lama. Ia sudah melakukan pengembangan usaha dengan membuka warung nasi cukup besar.
Warung kopi mba Cokro, Surabaya
Di depan Kantor Perbekalan Kodam (Tebek) Jalan Dr Sutomo, ada pasangan Bu Tjip dan Pak Min yang sudah puluhan tahun ada di sana. Mereka menjajakan makanan di malam hari. Bu Tjip kini sudah tiada dan digantikan anaknya. Begitu pula pasangan Pak Tuk tepat di jalan depan stasiun Kereta Api, adalah bagian dari legenda nasi pecel Madiun.
Pada masa sekarang, pecel tampil lebih modern. Disajikan di warung atau restoran. Yu Gembrot membuka restoran dengan minuman, kemudian Pecel Murni di Jalan Cokroaminoto yang kadang menyaksikannya di piring, bukan di pincuk.
Beberapa di antaranya khusus membuka jualan sambal pecel saja, seperti sambel pecel Delima, sambal Mirasa, sambal Jeruk Pedas, sambal pecel Kuburan Krekob, sambal jalan Anggrek dan lain-lain.
Tapi bagi yang ingin memburu yang asli, tentu akan lebih nikmat jika pecel tetap disajikan di atas daun pisang alias pincuk.
Aroma dan rasanya berbeda. Lebih sedap. Dan, bagi yang kangen dengan yang orisinal, tentu saja bisa jalan ke desa Selo.
Di tempat ini masih dijumpai dengan sambal asli yang selain kacang juga dicampur dengan ketela. Rasanya lebih sedap dan orisinal.
Namun beberapa daerah lain juga memiliki pecel. Antara daerah satu dan yang lain berbeda, ciri bumbu, penyadian dan perniknya.
Tentunya, hanya pecel Madiun yang memiliki ciri khas. Sayurnya lebih beragam. Bahkan, pada era 1960-1970 masih banyak dijumpai masih memakai sayur krokot, sejenis rumput liar yang biasanya digunakan untuk makanan hewan jangkrik.
Daun pepaya, bayam, daun mlinjo, toge, bunga pisang, daun kunci serta lainnya menjadi ciri khas pecel Madiun. Saat disajikan biasanya dilengkapi dengan ragi, srundeng dan lalapan.
Brand pecel Madiun adalah lalap, yakni lamtoro dan daun kemangi. Kalau ada yang menambahi dengan cacahan timun, itu bukan pecel Madiun.
Ciri khasnya lagi, disajikan di pincuk (daun pisang), ditambah peyek (kacang ijo, tholo hitam, teri, ebi dan lain-lain), serta peyek tempe kiripik. Penjual juga sering melengkapi dengan lauk jeroan; babat, usus, paru. otak goreng sapi, limpa dan empal.
Yang membedakan lagi antara pecel Madiun atau bukan, adalah rasa sambalnya. Sambal kacangnya tidak terlalu lembut. Bahkan, cabainya kadang masih utuh. Rasanya juga biasanya pedas, dengan aroma jeruk pecel yang kuat. Jika rasa kencurnya menyengat, dipastikan itu bukan pecel Madiun, tetapi lebih berasal dari timur, seperti Kediri dan Blitar.
Sementara dalam literatur lain menyebut, pecel sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Buktinya, ada di Suriname, wilayah bekas jajahan Belanda ini terdapat pecel, meskipun ada perbedaan rasa di bumbu dan isinya, karena mengikuti selera dan keadaan di sana (Suriname).
Di negeri Belanda di pasar Albequeque, juga di restoran-retoran Indonesia di Amsterdam. Memang tidak susah mencari masakan atau makanan Jawa di Suriname. Masuk saja ke sembarang ”waroeng”— sebutan untuk tempat makan di Suriname. Dan kita akan menemukan menu seperti pitjel atau pecel, nasi goreng dan bakmie goreng, saoto, sate pitik (ayam), sampai minuman dawet alias cendol.
“Tiyang cemeng nggih jajan pitjel wonten mriki. Nggih remen kok (orang kulit hitam juga makan pecel di sini. Suka juga kok),” kata Markati, pemilik Waroeng Toeti di Tamanredjo, daerah setingkat kecamatan di Distrik Commewijne, Suriname.
Rombongan delegasi Kebudayaan Indonesia yang pernah datang ke Suriname juga penasaran dengan rasa pitjel ”van” Suriname itu. Mereka mampir ke Waroeng Toeti dan rupanya rasanya sama saja dengan pecel Indonesia.
Unsur pitjel tak beda dengan pecel yang banyak dijual di Indonesia, seperti bayam, taoge, dan kacang panjang plus lumuran sambal kacang.
Markati yang pensiunan pekerja perkebunan kebun tebu Marienberg itu juga menyediakan saoto dan dawet. Waroeng Toeti juga menyediakan singkong rebus yang biasa disantap bersama ikan asin.
Membicarakan pecel selalu tidak pernah lepas dari salad. Atau lebih tepatnya salad sayur. Cuma bedanya salad sayur di luar negeri tidak ada satupun chef yang berani mencampur salad sayur dengan nasi. Hanya orang Indonesia yang berani. Inilah kenapa pecel diawali sejak jaman penjajahan. Karena jaman dulu banyak orang ingin mengikuti cara makan para penjajah entah penjajah-entah jaman Portugis, Inggris atau Belanda, seperti makanan salad. Namun karena sulit mencari mayonaise di masa itu, sehingga orang tersebut menggantinya dengan bumbu kacang. Jadilah pecel yang kita kenal hingga kini.
Abad 17 Stok Kacang Tanah Berlimpah
Ada banyak versi soal pecel. Disebutkan, pecel sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan Mataram. Kesultanan Mataram kala itu adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Pecel memiliki jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti hingga Pantura Jawa Barat. Pecel Cirebon hingga Indramayu masih ada hingga sekarang.
Nah, Madiun sendiri merupakan suatu wilayah yang dirintis oleh Ki Panembahan Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo. Asal kata Madiun dapat diartikan dari kata “medi” (hantu) dan “ayun-ayun” (berayunan), maksudnya adalah bahwa ketika Ronggo Jumeno melakukan “Babat tanah Madiun” terjadi banyak hantu yang berkeliaran. Penjelasan kedua karena nama keris yang dimiliki oleh Ronggo Jumeno bernama keris Tundhung Medhiun. Pada mulanya bukan dinamakan Madiun, tetapi Wonoasri.
Sejak awal Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan Kerajaan Kadiri (Daha). Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah.
Beberapa peninggalan Kadipaten Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, di mana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak di sekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat.
Kota Madiun sendiri dahulu merupakan pusat dari Karesidenan Madiun, yang meliputi wilayah Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Meski berada di wilayah Jawa Timur, secara budaya Madiun lebih dekat ke budaya Jawa Tengahan (Mataraman atau Solo-Yogya), karena Madiun lama berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Maka, tidak heran jika pecel sebagai makanan khas Kesultanan Mataram kemudian diadopsi ke Madiun. Selain itu pula, pada abad ke-17 Madiun terkenal sebagai penghasil kacang tanah terbesar. Karena stok yang berlimpah inilah, Madiun mampu mengembangkan pecel sebagai makanan khas, yang mana bahan utamanya dari kacang tanah yang telah disangrai.
Dalam laporan Angka Sementara (Asem) pada 2015, produksi kacang tanah dan kacang hijau meningkat. Kondisi ini membuktikan bahwa Jawa Timur selain sebagai salah satu lumbung beras dan jagung juga merupakan sentra kacang tanah dan kacang hijau.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, untuk kacang tanah pada Asem 2015 mengalami kenaikan sebesar 191,58 ribu ton biji kering, peningkatan sebesar 3,09 ribu ton atau 1,64 persen dibandingkan produksi 2014.
Peningkatan produksi kacang tanah karena naiknya produktivitas sebesar 0,26 kuintal/hektare atau 1,93 persen meskipun luas panen sedikit mengalami penurunan sebesar 349 hektare atau -6,57 persen.Kacang tanah selain sebagai makanan camilan, bahan baku pelengkap roti dan makanan cokelat juga sebagaisalah satu bahan baku untuk membuat sambal pecel.
Daerah di Jawa Timur yang merupakan sentra kacang tanah hampir merata di berbagai daerah, yakni Kediri, Tulungagung, Blitar, Madiun, Ngawi, Lamongan, Jombang, Ponorogo, Pacitan, Malang, Pasuruan, Lumajang, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Bondowoso dan daerah Madura. Tetapi daerah yang paling terkenal dengan kacang tanahnya adalah Tuban, daerah tersebut kacang bentuknya kecil tetapi rasanya enak dan renyah.
Sementara Asem produksi kacang hijau Jawa Timur pada 2015 sebesar 67,82 ribu ton biji kering mengalami peningkatan sebesar 7,51 ribu ton atau 12,45 persen dibandingkan tahun 2014.
Peningkatan produksi kacang hijau terjadi karena naiknya luas panen sebesar 5,93 ribu hektare atau11,80 persen dan tingkat produktivitas sebesar 0,07 kuintal/hektare atau 0,58 persen.
Di Jawa Timur, daerah sebagai sentra penghasil kacang hijau hampir merata, setiap kabupaten/kota pada musim tertentu dipastikan menanam kacang hijau. Kacang hijau merupakan bahan baku untuk membuat makanan-minuman (Mamin) seperti bak poo, roti dan minuman kemasan dan minuman es kacang hijau.
Petani bernama Rahmat Widodo asal Madiun mengaku sudah menjadi petani kacang tanah sejak tahun 2005. Rahmat mengakui komoditas ini memiliki prospek bisnis yang bagus, sehingga hasil tanamnnya selalu menguntungkan.
Ia menanam kacang tanah di lahan seluas 1 ha. Selain kacang tanah, lahan itu juga dipakai buat menanam komoditas lain seperti padi dan kacang kedelai. “Biasanya budidaya kacang dilakukan setelah panen padi,” katanya.
Dari lahan seluas 1 ha itu, ia Rahmat bisa menghasilkan 1 ton–1,5 ton kacang sekali panen, dengan omzet Rp 50 juta. Dalam setahun ia bisa empat kali panen.
Komoditas kacang tanah di Madiun memiliki prospek bisnis yang bagus, sehingga hasil tanamnya selalu menguntungkan.
Diakui Rahmat, kacang tanah merupakan komoditas pangan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Ada banyak makanan olahan kacang tanah. Selain buat bahan sayuran, seperti bumbu pecel, juga banyak diolah menjadi camilan maupun produk selai untuk teman menyantap roti.
Lantaran banyak manfaatnya, permintaan kacang tanah tinggi di pasaran. Itu juga yang mendorong banyak petani tertarik mengembangkan komoditas ini. Apalagi budidayanya juga mudah.
Di daerah ini, kata Rahmat, memang banyak penghasil palawija jenis kacang-kacangan. Ditambah proses budidayanya juga tidak sulit. “Budidayanya tergolong mudah dan murah. Kacang tanah ini tanaman sela, jadi setelah panen tanaman palawija lain, kacang tanah bisa ditanam kapan saja dan dimana saja,” katanya.
Kata Rahmat, produksi tanaman kacang tanah sangat dipengaruhi faktor musim. Di musim penghujan, jangan berharap bisa mendapat hasil panen banyak. Kecenderungannya, imbuhnya, hasil panen di musim hujan menurun.
Curah hujan tinggi membuat akar tanaman terlalu lembab, bunga sulit diserbuki, dan rentan ditumbuhi jamur. Mengatasai itu bisa dengan membuat bedengan agar lahan tak digenangi air.
Namun jika sedang musim panas dan sinar matahari banyak, maka hasil panen bisa maksimal. Kendati demikian, tanaman tetap harus dirawat. Untuk mendapat hasil maksimal, Imam harus menggemburkan tanah hingga menjadi butiran halus dengan cara dibajak.
Rahmat menambahkan, kacang tanah ideal ditanam pada ketinggian tanah 50-500 meter dari permukaan laut dan jenis tanah harus gembur. Agar tumbuh maksimal, jarak antar lubang dibuat 25×25 sentimeter (cm).
Saat kecambah sudah keluar, lakukan penyiraman dua minggu sekali. Selain itu, harus rajin membersihkan rumput liar. Untuk menghindari hama, usia 30 hari, tanaman harus divaksin.
Kacang tanah yang dikembangkannya jenis brul dengan masa panen tiga bulan. Sementara varietas kacang tanah jenis lain, seperti cina dan holle bisa memakan waktu delapan bulan. “Harga kacang jenis brul juga lebih stabil di pasaran,” lanjutnya.
Omzet yang ia dapat bisa sampai Rp 10 juta sekali panen. Menurutnya, komoditas ini menguntungkan karena semua hasil panen tidak ada yang dibuang. Selain bijinya, ampasnya juga laku dibuat minyak dan fermentasi oncom.
Bahkan setelah panen pun, daunnya juga tidak dibuang karena bisa menjadi sayuran, bahan pakan ternak, dan pupuk hijau. Harga kacang tanah sendiri berkisar antara Rp 5.000–Rp 9.000 per kg.
Gurihnya Bisnis Pecel Madiun
Seorang pelaku bisnis kuliner di Yogyakarta, Sukandar mencoba peruntungan dengan membuka usaha Nasi Pecel Madiun sejak 2009.
Hampir sama dengan pecel lainnya, Sukandar menyajikan menu nasi plus sayur pecel. Tentu, bumbunya khas Madiun hasil racikan sendiri. Selain nasi pecel, ia juga mengusung menu lain, yakni nasi rawon. Satu porsi makanan awalnya dibanderol sekitar Rp 6.500.
Setelah lima tahun beroperasi, Sukandar siap mengembangkan sayap bisnisnya. Maka, mulai tahun ini, ia membuka peluang kemitraan usaha.
Saat ini total sudah ada tiga gerai yang semuanya berlokasi di Yogyakarta. Perinciannya: satu gerai milik pusat, sisanya kepunyaan mitra.
Berminat menjajal usaha kuliner tradisional ini? Sukandar bahkan menyiapkan paket kemitraan dengan investasi sebesar Rp 10 juta. Paket investasi itu mencakup fasilitas booth cantik lengkap dengan banner, meja dan kursi makan, piring dan gelas, toples, peyek, brosur, spanduk, hingga seragam kaos untuk karyawan.
Selain itu, mitra akan diberikan pelatihan karyawan selama dua hari, plus standar operation procedure (SOP). Selama sebulan usaha mitra berjalan, pihak pusat akan rutin mengawasi operasional gerai tersebut.
Nantinya, mitra wajib membeli sebagian bahan baku dari pusat, berupa bahan bumbu, sambel pecel, serta peyek kacang.
Mengacu pada gerai mitra yang sudah beroperasi, setiap gerai bisa menjual sekitar 30 – 40 porsi pecel. Penjualan nasi rawon pun diperkirakan hampri sama. Jadi, dalam sebulan, mitra bisa menghasilkan omzet berkisar Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta. Dengan keuntungan bersih mencapai 46 persen, mitra ditargetkan sudah bisa kembali modal hanya dalam waktu enam bulan.
Pecel racikan tradisional dari Madiun selain dikenal memiliki cita rasa tersendiri, juga sangat digemari masyarakat di berbagai daerah. Adalah keluarga Ny.Roesmadji, salah satu keluarga pembuat sambal pecel di Madiun yang dikenal paling enak.
Usaha pembuatan sambal pecel Ny. Roesmadji ini kini sudah berkembang pesat. Dari sebuah rumah yang tidak begitu luas, usaha ini dirintis secara turun temurun. Rumahnya terletak di Jalan Delima 32 Kelurahan Kejuron, Kecamatan Taman, Kota Madiun, atau di belakang kantor cabang PT Pegadaian, Kota Madiun.
Sambal Pecel Ny Roesmadji terletak di Jalan Delima 32 Kelurahan Kejuron, Kecamatan Taman, Kota Madiun, atau di belakang kantor cabang PT Pegadaian, Kota Madiun.
Pembuatan sambal pecel berlogo dan bermerek “Jeruk Purut” ini masih mempertahankan cara-cara tradisional mulai dari penggorengan, peracikan, sampai pengemasan. Karena memproduksi sambal dalam jumlah banyak, Ny. Roesmadji kini juga menggunakan oven kacang dan alat pengemas plastik.
Usaha pembuatan usaha sambel pecel Ny. Roesmadji awalnya hanya berupa usaha berjualan nasi pecel kecil-kecilan. “Saya coba berjualan nasi pecel di depan gang rumah ini. Eh, banyak yang bilang kalau sambalnya enak,” tutur wanita yang sudah uzur ini.
Sejak itu, sambal pecel Ny. Roesmadji laris manis dan sejak tahun l985 keluarga ini memfokuskan usahanya pada pembuatan sambal pecel. Dari hari ke hari, bisnis sambal pecel ini semakin berkembang. Selain dari Madiun, pesanan juga datang dari berbagai kota lain seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Banjarmasin, dan Palembang.
Sambal pecel ini juga pernah dinikmati orang-orang di mancanegara. Pada tahun 2000 sempat ada warga Belanda yang datang ke rumahnya. “Dia pengoleksi barang antik. Saat dia ke Jogja, dia penasaran dengan sambal pecel Madiun dan akhirnya mampir ke sini,” katanya.
Sejak itu, sambal pecel Ny. Roesmadji dikirim rutin ke Belanda. Selama satu tahun, tiap dua bulan, mereka bisa mengirim 2 kuintal sambal. Ngirimnya melalui kapal laut.
Namun sayangnya, bisnis menggiurkan ini akhirnya mandeg karena mahalnya biaya pengiriman.
Tak hanya di Belanda, sambal pecel Ny. Roesmadji ini juga pernah “diekspor” ke Amerika Serikat, Inggris dan Hongkong. Untuk orang-orang Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada biasanya mereka yang sekolah atau bekerja di sana membawa oleh-oleh pecel Madiun, ungkap Jumino, anak tertua Ny. Roesmadji.
Sejak Ny. Roesmadji menderita stroke, pengelolaan usaha sambal pecel ini diserahkan kepada Jumino bersama isterinya, Istiana. “Dulu semuanya yang meracik adalah ibu dan sekarang yang racikannya dipercaya pas, ya isteri saya,” ungkap Jumino.
Apa sebenarnya yang jadi rahasia di balik mantapnya sambal pecel khas Madiun?
“Dari racikan dan bahan bakunya,” tandas Jumino.
Dia membeberkan bahwa salah satu bahan baku yang juga menentukan aroma dan cita rasa sambal pecel adalah daun dan kulit jeruk purut.
“Selain bahan baku sambal pecel pada umumnya, kami juga mencampurkan racikan daun dan kulit jeruk purut sebagai penyedap. Campuran kulitnya sekitar 70 persen dan daunnya 30 persen,” ucapnya.
Bahan baku umum untuk membuat sambal pecel tentu saja yang utama kacang tanah, lalu ada gula merah, gula pasir, asam, dan cabai keriting.
Sambal pecel buatan Ny. Roesmadji ini bisa tahan sampai tiga bulan, bahkan bisa tahan lima bulan jika disimpan di lemari es.
Sambal Pecel Ny Roesmadji terletak di Jalan Delima 32 Kelurahan Kejuron, Kecamatan Taman, Kota Madiun, atau di belakang kantor cabang PT Pegadaian, Kota Madiun. Foto_ ist
Berkat keuletan Ny. Roesmadji dan keluarganya, kini usaha sambel pecel ini mampu mempekerjakan puluhan pekerja. Pekerjanya didominasi ibu-ibu muda dan nenek-nenek. “Saya sudah empat tahun bekerja disini,” ucap Kasmini, nenek berusia 70 tahun yang bertugas menumbuk kacang goreng.
Dalam sehari, usaha ini menghasilkan 10-20 kilogram sambal pecel yang dikemas dalam plastik seperempat kilogram dengan harga murah meriah Rp 6.500. Ada empat jenis sambal yaitu rasa biasa (tidak pedas), pedas, sedang, dan sambal kacang untuk gado-gado. “Kalau untuk gado-gado, racikannya lebih halus,” ujarnya. Satu harinya, usaha ini beromzet sekitar Rp 2,6 juta.
Selain mendirikan usaha di rumahnya, Ny. Roesmadji juga memiliki tiga toko antara lain toko “Adji Rasa” di Jalan Opak (pertokoan Gamasoru), toko “Delima Dua” di Jalan Ciliwung 10, dan toko “Barokah” Jalan Diponegoro (samping Patung Garuda Bosbo).@nov
Liputan : Noviyanto Aji
KH Hasyim Asy’ari dan Penjara Koblen
Abad.id, SURABAYA - Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari (1871-1947) menjadi fokus perhatian dalam peringatan Hari Santri. Karena beliaulah yang membuat fatwa Jihad (11 September 1945) yang kemudian menjadi konsideran lahirnya Resolusi Jihad (22 Oktober 1945). Selanjutnya, Rosulusi Jihad menjadi dasar penetapan dan peringatan Hari Santri Nasional.
Resolusi Jihad yang tercetus pada 22 Oktober 1945 melahirkan keputusan yang isinya merupakan seruan kepada pemerintah Republik Indonesia. Isinya adalah :
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya.
2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam
Sedangkan Fatwa Jihad, yang dikeluarkan KH Hasyim Ashari tertanggal 11 September 1945 lebih ke seruan kepada warga umat Islam yang isinya bahwa:
“Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ‘ain yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam: Iaki-Iaki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak, bagi yang berada dalam jarak Iingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh”.
Isi Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad ini berbeda dan ini ditegaskan oleh Gus Sholahuddin Azmi ketika menerima kunjungan Ketua DPD Gerindra Jatim, Anwar Sadad, di Kantor PCNU Surabaya di jalan Bubutan VI Surabaya. Kantor PCNU Surabaya ini adalah tempat dimana Resolusi Jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945, yang kala itu berfungsi sebagai kantor pengurus besar, Hoofdbestuur Nahdatoel Oelama (NO).
“Isi Fatwa Jihad itu ditujukan kepada umat Islam dan ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng Jombang pada 11 September 1945. Sementara Resolusi Jihad dibuat di kantor besar Nahdlotoel Oelama (NO) di Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945”, tegas Sholahuddin Azmi, cucu Kiai Ridwan, pembuat logo Nahdatul Ulama.
Ketua DPD Gerindra Jatim, Anwar Sadad, dan pengurus partai menapak tilasi jejak KH Hasyim Asy'ari di eks Penjara Koblen (22/10/2022).
Kehadiran Anwar Sadad beserta rombongan dan pengurus Gerindra ini dalam rangka menapak tilas perjalanan KH Hasyim Ashari yang menjadi latar belakang dikeluarkan Fatwa Jihad yang selanjutnya menjadi konsideran Resolusi Jihad itu.
“Kami ini menapak tilas perjalanan KH Hasyim Ashari, yang secara langsung merasakan kejamnya penjajahan. Dengan napak tilas ini kami sedikit bisa ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Mbah Hasyim Ashari ketika ditawan Jepang mulai dari Jombang, Mojokerto dan Surabaya. Penyiksaannya luar biasa. Karenanya kekejaman itu harus dilawan. Karenanya, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad”, jelas Anwar Sadad ketika menapak tilas di penjara Koblen.
KH Hasyim Asy’ari memang pernah ditawan Jepang karena melakukan penolakan terhadap Seikerei, ritual penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Jepang memang mewajibkan Seikerei bagi rakyat Indonesia kala itu. Seikerei dilakukan dengan membungkuk ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi.
Bagi Hasyim Asy’ari hanya Allah yang patut disembah, bukan manusia atau matahari. Karena itu ia ditahan. Selama dalam tahanan, banyak penyiksaan fisik yang diterima Hasyim. Bahkan salah satu jarinya patah hingga tidak dapat digerakkan. Itulah penderitaan yang dialami Hasyim Asy’ari. Penjara Koblen adalah penjara terakhir sebelum ia dibebaskan. Namun Hasyim Asy’ari sempat mendekam di penjara selama 3 bulan.
Penjara Koblen menjadi saksi penyiksaan Hasyim Asy’ari dan penjara Koblen menjadi saksi sejarah jejak pendiri NU itu.
“Ini menjadi latar belakang kami melakukan jelajah jejak sejarah KH Hasyim Asy’ari. Memang saal saal penjara sudah tidak ada. Yang tersisa adalah tembok penjara. Karenanya perlu ada pelestarian nilai sejarah di eks Penjara Koblen ini”, pungkas Anwar Sadad.
Anwar Sadad memberi sambutan pengantar yang menjadikan latar belakang napak tilas Hasyim Asy'ari di Koblen 2022-10-23
Pelestarian Cagar Budaya eks Penjara Koblen
Belum lama walikota Surabaya, Eri Cahyadi, menyampaikan dan mengajak Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya untuk melestarikan Cagar budaya secara tematik. Yakni pelestarian yang dilakukan dengan orientasi nilai peristiwa yang terjadi di obyek atau kawasan Cagar budaya dan orientasi nilai arsitekturnya.
Ada nilai penting yang pernah terjadi di penjara Koblen, terkait dengan perjuangan dan kepahlawanan arek arek Surabaya dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Nilai perjuangan arek arek Surabaya ini dicatat tidak hanya bersifat lokal, tetapi sudah berskala nasional. Karenanya harus ada upaya upaya yang terstruktur dalam hal pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan Cagar budaya eks penjara Koblen ini.
Menurut Wayan Arcana, pengelola aset Cagar budaya, ia sudah merencanakan pemanfaatan lahan seluas 3,8 hekatar ini untuk aktivitas ekonomi yang serasi dengan aktivitas edukasi untuk menjaga nilai sejarah yang pernah terjadi di Koblen ini.
“Sesuai dengan ijin pemanfaatan lahan eks penjara Koblen ini bahwa di tempat ini salah satunya adalah untuk pasar wisata. Kami juga merencanakan untuk fungsi edukasi, ilmu pengetahuan dan pariwisata”, jelas Wayan Arcana ketika mendampingi Anwar Sadad ketika napak tilas di Koblen.
Sebagai manfaat pendidikan, Wayan juga sedang membangun gedung sekolah untuk mewadahi keinginan warga setempat akan kebutuhan pendidikan tingkat dasar.
“Sekolah menjadi cara untuk melestarikan nilai nilai sejarah yang terukir di eks Penjara Koblen. Dengan kelembagaan sekolah yang formal, maka sekolah bisa mengajarkan sejarah Koblen sebagai muatan lokal”, jelas Wayan.
Wakil Ketua DPRD Surabaya, AH Thony, yang juga ikut mendampingi Anwar Sadad, merespon pembangunan sekolah yang berada di luar tembok sisi barat. Menurutnya, pembangunan gedung sekolah ini menjadi itikad baik (good Will) dari pengelola eks Penjara Koblen demi upaya pelestarian nilai nilai sejarah dan Cagar budaya eks Penjara Koblen.
“Terkait dengan pembangunan gedung sekolah di luar tembok penjara itu, saya memang mendapat laporan tentang itu. Saya sempatkan melihat proyek pembangunan itu. Letaknya di luar tembok sisi barat dan langsung menghadap kampung. Saya lihat memang ada jarak antara tembok penjara dan tembok gedung sekolah yang sedang dibangun “, jelas AH Thony di sela sela mendampingi Anwar Sadat.
Atas pembangunan gedung sekolah itu, pihak pengelola sudah mendapat surat pemberitahuan dari Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) agar memperhatikan keberadaan Cagar budaya yang ada.
Menanggapi surat pemberitahuan itu Wayan mengatakan bahwa ia sudah memperhatikan keberadaan bangunan Cagar budaya yang ada. Karenanya ia memberi jarak antara tembok penjara dan bangunan gedung sekolah”, tanggap Wayan.
Selain itu, Wayan juga menambahkan bahwa ia akan meminta pihak pengelola sekolah, Kodam V Brawijaya, untuk memperhatikan eksistensi nilai Cagar budaya dan nilai peristiwa yang pernah terjadi di lingkungan penjara Koblen. Untuk mendukung nilai edukasi buat siswa sekolah, ia akan memasang papan informasi yang edukatif tentang sejarah Penjara Koblen di lingkungan sekolah.
Sementara itu, Anwar Sadad juga berkomentar tentang upaya pemanfaatan eks Penjara Koblen sebagai wahana edukasi sejarah.
“Tempat ini perlu diberi atraksi sejarah, misalnya teatrikal tentang keberadaan Hasyim Asy’ari di penjara Koblen dan kisah pembebasan Hasyim Asy’ari dari Penjara Koblen. Ini menjadi atraksi pariwisata sejarah di tempat ini”, papar Anwar Sadad.
Secara fisik, yang tersisa dari bangunan penjara Koblen ini, hanya tembok penjara dan bekas rumah kepala lapas, yang kini dimanfaatkan sebagai kantor pengelola. Karenanya tembok dan eks rumah kepala lapas ini perlu dijaga kelestariannya guna menjaga memory public tentang sejarah dan peristiwa yang pernah terjadi di penjara yang mulai dibangun pada akhir 1920-an ini. Diantaranya adalah sejarah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan penulis Fatwa Jihad. (Nanang)
Dari Gerakan Pemuda ke Pintu Gerbang Kemerdekaan
Abad.id, SURABAYA - Pameran bersama antar museum “Cross Musea Bangkit Pemuda” digelar di Gedung Nasional Indonesia (GNI) di jalan Bubutan Surabaya oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober. Pameran ini diikuti oleh Museum Pos Indonesia Bandung, Museum Sumpah Pemuda Jakarta, Museum Tubuh Kota Batu dan Museum Olahraga Nasional Jakarta.
Dari peserta pameran ini, adalah Museum Sumpah Pemuda yang menyajikan riwayat terkait dengan sejarah Surabaya. Yakni artefak majalah dan jurnal yang diterbitkan oleh dr Soetomo. Diantaranya adalah Majalah Suluh yang diterbitkan oleh Indonesiach Studie Club Soerabaia. Dokter Soetomo sendiri dikenal sebagai salah satu tokoh pendiri Perkumpulan Boedi Oetomo.
Boedi Oetomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh dokter Soetomo dan para mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada 20 Mei 1908. Organisasi ini sebetulnya digagas oleh Wahidin Sudirohusodo.
Boedi Oetomo adalah organisasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, yang tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal pergerakan yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada awalnya organisasi ini hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Berdirinya Perkumpulan Boedi Oetomo pada awal abad 20 ini menjadi arah baru bentuk pergerakan untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Sebelumnya, di sepanjang abad 19, serangkaian gerakan yang melawan penjajahan dilakukan secara parsial kedaerahan. Diantaranya adalah Perang Pattimura 1817, Perang Jawa 1825 dan Perang Aceh pada 1873.
Memasuki abad 20, upaya untuk lepas dari belenggu penjajahan memasuki babak baru. Perjuangan tidak lagi dalam bentuk perlawanan fisik yang bersifat head to head. Tetapi melalui upaya bersama dari jalur pendidikan, kebudayaan dan perekonomian. Maka muncullah Perkumpulan Boedi Oetomo yang resmi berdiri pada 20 Mei 1908 yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Di abad ini Indonesia mulai bangkit secara bersama sama melalui jalur jalur yang lebih elegan. STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), sebuah sekolah kedokteran yang pada akhirnya mencetak para cendikiawan, dokter dokter dan tokoh-tokoh aktivis yang kelak membuka jalan menuju kemerdekaan Indonesia.
Sebut saja dr. Sutomo, dr. Cipto Mangunkusumo, Gunawan, Suraji, dan R.T. Ario Tirtokusumo. Mereka semua adalah para aktivis intelektual sekaligus pendiri Boedi Oetomo, yakni organisasi pertama di masa pergerakan nasional.
Dokter Soetomo ada di Surabaya. Tidak hanya berprofesi sebagai seorang dokter tapi kiprahnya juga menggelora di bidang pendidikan dan pengajaran. Ia sadar bahwa dengan pendidikan sebagai tulang punggung kehidupan akan mampu menjadi kekuatan besar di negeri ini. Ia pun mendirikan klub belajar yang dikenal dengan Soerabaijasch Studie Club pada 1924.
Studie Club ini melahirkan beberapa produk media, salah satunya adalah majalah Suluh Indonesia. Pada penerbitan 23 November 1927, Suluh Indonesia menuliskan seberapa pentingnya pendidikan.
“Kita poenja pengadjaran dan pendidikan haroes memberi soeatoe dasar pada marika (anak anak kita), jalah soeatoe pertanggoengan jang koekoeh dan lengkaplengkap, agar kelak, apabila anak anak kita hidoep di dalam pergaoelan hidoep bersama, dapatlah marika meneroeskan sendiri oentoek kesempoernaan hidoepnja, baik di doenia maoepoen di achirat”, begitulah tulis Suluh Indonesia tentang pendidikan.
Penerbitan di Surabaya oleh dr. Soetomo
Tidak hanya “Suluh Indonesia”, dokter Soetomo juga membuat penerbitan bahasa Jawa “Panjebar Semangat” yang hingga kini masih terbit. Penerbitan penerbitan itu menjadi penyambung lidah kebangkitan dan kebangsaan Indonesia.
Masih ada penerbitan lainnya yang menunjukkan bangkitnya kebangsaan dari para muda. Yaitu “Soeara Tjabang Soerabaja” yang dibuat oleh Perkoempoelan Jong Java. Apapun penerbitannya, semuanya demi kebebasan, yang terlebih dahulu harus melewati tangga sumpahnya para muda. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda yang tercetus pada 28 Oktober 1928.
Artefak artefak dari bentuk pergerakan di bidang pendidikan, pengajaran, kebudayaan dan perekonomian ini dapat dilihat di ajang pameran museum bersama “Cross Musea” yang digelar di Gedung Nasional Indonesia (GNI) di jalan Bubutan Surabaya dimulai dari 19 Oktober hingga 21 Oktober 2022.
Dari Studie Club ke Partai Politik
Yang menarik dari Studie Club Soerabaja ini adalah bahwa klub ini tidak semata mata menjadi sebuah wadah belajar. Tetapi justru memiliki kegiatan kegiatan investigatif dalam masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan teori yang diperoleh mahasiswa Indonesia dari bangku kuliah di Belanda. Mereka ini kerap mendiskusikan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat dan kadang-kadang hasil diskusi itu dikemukakan dalam rapat-rapat umum.
Jika Studie Club Soerabaja didirikan dr Soetomo di Surabaya pada 1924, maka Soekarno yang baru lulus dari Technische Hoge School (ITB sekarang) mendirikan Algemene Studie Club pada 1926. Club ini lebih banyak berdiskusi soal-soal teori dan cenderung mengadakan kegiatannya dalam bidang politik. Dalam perkembangannya, Studie Club ini melahirkan sebuah partai yang bernama Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pemerintah Belanda menganggap partai ini berbahaya, lebih-lebih setelah terjadi pemberontakan PKI tahun 1926. Sehingga tokoh-tokoh PNI seperti Ir. Soekarno sempat dibuat meringkuk dalam penjara lebih lama atau pembuangan.
Berbeda dengan dr Soetomo yang menjalankan aktivitasnya berdasarkan asas kooperasi insidental terhadap pemerintah Belanda sehingga dr. Sutomo sebagai pemimpin pergerakan tidak pernah ditangkap oleh Belanda. Studie Club dr Soetomo ini akhirnya juga menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI).
Lagu Indonesia Raya dalam bentuk piringan hitam, yang dilantunkan pada Kongres Pemuda ke II di Jakarta pada 28 Oktober 1928.
Kesadaran akan kebangsaan ini semakin memperkukuh rasa kebangkitan nasional yang pada akhirnya mendorong hadirnya gerakan pemuda yang disebut Sumpah Pemuda. Disana Pemuda Pemuda dari berbagai daerah seperti: Jong Java, Jong Ambon, Jong Madura, Jong Sunda, Jong Sumatera, Jong Sulawesi dan Jong Bali berkumpul di Jakarta dalam Kongres Pemuda ke II pada 27-28 Oktober 1928. Akhirnya, tercetuslah keputusan Sumpah Pemuda.
Keputusan ini menegaskan cita-cita akan “tanah air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”. Keputusan ini diharapkan menjadi asas bagi setiap perkumpulan kebangsaan Indonesia dan agar disiarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan.
Dokter Soetomo dengan semua penerbitannya di Surabaya, termasuk Majalah berbahasa Jawa “Panjebar Semangat”, menjadi platform dalam mengabarkan berita berita pergerakan dan perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Alhamdulillah, atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia dihantarkan menuju pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia, yang selanjutnya diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. (nng)
Penulis : Nanang Purwono
Penghuni Gang Peneleh
"Seandainya negara ini tidak memiliki Tjokroaminoto, entah bagaimana sejarah akan menulisnya. Sukarno, Musso, Alimin, Semaoen, Tan Malaka, Dharsono dan SM Kartosoewirjo, mungkin tidak pernah ada."
Abad.id, SURABAYA - Menaiki sepeda onthel keliling Surabaya, melewati bangunan-bangunan bersejarah di Surabaya, rasanya tidak lengkap jika tidak mampir ke kampung lawas Jalan Peneleh Gang VII No 29-31 Surabaya, Jawa Timur.
Tampak dari depan, rumah sederhana itu rapi dan bersih. Di depan pagar kanan dan kiri pintu masuk berjajar bunga tertanam di dalam pot. Bendera merah putih berdiri tegak dan berkibar tenang mengikuti hembusan angin sore.
Dinding bangunan yang tebal tampak bersih dengan cat putih di semua bagian, dipadu warna cat hijau untuk daun pintu, kusen, dan semua jendela yang ada.
Di dekat pintu depan sebelah kanan terdapat lempengan tembaga bertuliskan Cagar Budaya, Rumah HOS Tjokroaminoto SK Walikota No 188.45/251/402.1.04/1996 No Urut 55.
Ruang tamu di rumah HOS Tjokroaminoto
Sejuk dan nyaman. Itulah kesan pertama yang kami rasakan saat berada di ruang tamu yang melebar ke samping berukuran sekitar 10 meter kali 3 meter. Pandangan mata pun terhipnotis dengan deretan pigura di seluruh ruangan. Foto dan gambar masa lalu di jaman Tjokroaminoto dengan berbagai kegiatan di Sarikat Islam.
Di sebelah kanan pintu, menghubungkan ruang tamu dan lorong ruang tengah tergantung pigura bergambar wajah HOS Tjokroaminoto dengan latar belakang Sarekat Islam. Sejumlah perabot kuno ikut melengkapi di ruang tamu juga ruangan lain yang dulunya difungsikan menjadi kamar tidur. Di ruang tamu ada satu set meja kursi dari kayu jati, lemari kecil atau orang Surabaya menyebutnya laci
Di belakang ruang tamu, berhadapan dua ruangan, sebelah kanan atau di sebelah barat dulunya dipakai untuk ruang kerja Tjokro, sedangkan di sebelah timur kamar Sukarno itu setelah menikah dengan anak Tjokro, Oetari.
Tangga menuju lantai 2 yang ditempati Sukarno
Saat kos di sini, Sukarno dan rekan-rekannya tinggal dan tidurnya di kamar atas atau ruangan atas di lantai dua. Kalau kamarnya Tjokro dulu ruang tamu sket (dibelah dua), sebelah barat untuk ruang tamu, sebelah timur menjadi kamar Tjokro dan istri.
Ruangan lantai 2 HOS Tjokroaminoto
Di rumah ini kita seolah masuk ke lorong waktu menuju era pergerakan nasional di Surabaya. Terbayang situasi saat itu tentang aktifitas kaum pergerakan di kota ini. Diskusi dan rapat-rapat pergerakan, pendidikan politik dan membuat rancangan publikasi pastilah menjadi aktifitas utama di rumah ini pada masa lalu.
Satu Guru Beda Ilmu
Rumah HOS Tjokroaminoto di Gang Peneleh VII No 29-31 Surabaya, Jawa Timur
Ya, rumah HOS ini menjadi menjadi satu-satunya paling bersejarah di Surabaya. Bagaimana tidak, dihuni hanya 10 orang termasuk pemilik rumah dan anak kos, justru mereka-mereka inilah yang kelak mewarnai sejarah Republik Indonesia.
Di rumah berpetak itulah Tjokro yang disebut guru bangsa atau ada yang menyebut Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, memberikan ilmu-ilmu kepada penghuni kos.
Foto Tjokroaminoto dengan berbagai kegiatan di Sarikat Islam
Tjokro saat itu menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) yang anggotanya mencapai 2,5 juta orang.
Banyak alumni rumah kos tersebut yang menjadi tokoh besar pergerakan sebelum kemerdekaan. Bahkan hingga kini nama-nama mereka kerap disebut. Seperti Sukarno, Semaoen, Alimin, Musso, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan Dharsono.
Karena memang, di rumahnya sederhana itu, selain menerima tokoh-tokoh pergerakan, Tjokro juga menggembleng wawasan berpikir penghuni kos yang berumur belasan tahun itu agar lebih peduli terhadap nasib bangsanya. Marxisme hanya digunakan sebagai pisau analisis dalam menyikapi penghisapan kapitalisme, namun Islam tetap dijadikan dasar dari perjuangan politiknya.
Semangat zaman yang mewarnai gejolak perubahan dunia ketika itu, selain perjuangan melawan kapitalisme yang dilakukan oleh kaum Sosialis/Komunis di Eropa dan berbagai belahan dunia, juga diwarnai bangkitnya gerakan Pan Islamisme yang digelorakan oleh Muhammad Abdul dan Djalaludin Al-Afghani. Selain itu muncul ide civic nationalism dr. Sun Yan Sen di Cina.
Semangat zaman itu terserap dalam diri Tjokroaminoto yang tercermin dalam tulisannya berjudul “Islam dan Sosialisme”. Maka tidak aneh bila beberapa murid Tjokro selain bergabung ke SI juga sekaligus menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang digagas oleh Henk Sneevliet pada 1914.
Persoalan bertambah pelik saat Komunis Internasional (Komintern) tidak menerima Gerakan Pan Islamisme. SI pun terbelah. SI merah yang berkiblat ke komintern dan SI putih yang berkiblat ke Pan Islamisme. Terjadi pula polemik antara Semaoen dari SI merah dan KH Agus Salim dari SI putih. Musso yang berlatar-belakang pesantren meskipun condong ke SI merah namun tetap menghormati Tjokro, gurunya.
Tjokro memang pantas disegani. Di tangannya, SI yang semula mewarisi 85 ribu anggota SDI berkembang menjadi 2,5 juta pada 1919. Maka Tjokro pun sangat dihormati, bukan saja oleh murid-muridnya, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Termasuk dari kalangan Boedi Oetomo dan Indische Partij yang sama-sama berjuang mengangkat harkat-martabat kaum Bumi Putera.
Tak pelak lagi, Raden Soekemi, seorang guru Eerste Inlandse School, Mojokerto, Jawa Timur, menitipkan anaknya, Sukarno yang berusia 15 tahun mondok di kos-kosannya. Kala itu Sukarno yang baru lulus sekolah Europe Lagere School (ELS) diterima sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Keputusan Soekemi ternyata tepat, karena dari rumah kos-kosan di Gang Paneleh VII itu kelak anaknya–bersama Muhammad Hatta tentunya, tercatat sebagai Proklamator Kemerdekaan dan sekaligus Presiden pertama RI. Kemampuan berpidatonya banyak diasah di Gang Paneleh. Kelak Sukarno dikenal sebagai orator ulung yang mampu menggetarkan Sidang Umum PBB.
Sukarno ingat betul kata-kata Tjokro, untuk menjadi orang hebat kuncinya adalah pandai menulis dan cakap berpidato. Sejak itu Sukarno yang masih pelajar setingkat SMA belajar pidato di muka cermin. Kelakuan Sukarno sering kali dianggap mengganggu penghuni kos yang lain, seperti Musso, Semaoen, Dharsono dan SM Kartosoewirjo.
Tapi Sukarno bersikap acuh. Di kamarnya yang gelap dan hanya diterangi lampu minyak, Sukarno tetap belajar pidato. Seorang sahabatnya yang tak pernah lelah mengkritiknya adalah SM Kartosoewirjo. “Kenapa pidato di depan cermin? Seperti orang gila saja,” kecam Kartosoewirjo.
Biasanya setelah usai berlatih pidato barulah dia menanggapi dengan menirukan ucapan gurunya, “kalau mau jadi orang besar harus pandai pidato, dan saya ingin menjadi orang besar. Tidak seperti kamu, jelek, hitam, mana mungkin jadi orang besar?” ejek Sukarno yang justru semakin mempererat persahabatan keduanya.
Kartosoewirjo sendiri yang usianya relative seumuran dengan Sukarno masih keponakan Mas Marco Kartodikromo, tokoh jurnalis kiri yang bersama Tirto Adisoerjo kerap disebut-sebut sebagai perintis pers Indonesia. Kartosoewirjo pun rajin membaca tulisan-tulisan pamannya yang beraliran sosialis. Namun, seperti halnya Sukarno, Kartosoewirjo menganggap Tjokro sebagai panutan.
Sejak di Surabaya, selain bergaul dengan orang-orang SI, Sukarno justru ikut organisasi Tri Koro Dharmo yang dibentuk oleh Boedi Oetomo. Maka tidak mengherankan bila ide-ide nasionalisme lebih mengemuka dalam diri Sukarno. Terlebih setelah dia membaca San Minh Chu I karya Dr. Sun Yat Sen tentang Civic Nationalism, Democracy dan Kesejahteraan Rakyat.
Meski berada dalam satu wadah, satu guru, para penghuni kos melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Dari Semaoen, Alimin, Musso, Dharsono hingga Tan Malaka lahir pemilikiran komunisme. Sementara dari SM Kartosoewirjo lahir pemikiran Islam modern. Dari Sukarno lahir pemikiran nasionalis.
Perbedaan inilah yang kemudian menjadi persimpangan jalan antara Sukarno dan Kartosoewirjo kelak. Meskipun keduanya sama-sama mengakui murid politik Tjokro, namun Sukarno yang juga bergaul dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat yang keduanya adalah tokoh Indische Partij tidak mengikuti jejak politik gurunya. Bahkan pada 4 Juli 1927 Sukarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Sebaliknya Kartosoewirjo tetap setia mendampingi gurunya, Tjokro, hingga 1929. Kelak paska kemerdekaan, Kartosoewirjo yang juga turut berjuang dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan kecewa atas hasil perundingan Roem-Royen. Sejak itu Kartosoewirjo mengobarkan pemberontakan melalui Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berhasil ditumpas Sukarno pada 1962.
SM Kartosoewirjo dihukum mati. Kabarnya, Sukarno sempat lebih dari 3 bulan tidak mau menandatangani eksekusi kematiannya. Persahabatannya dengan Kartosoewirjo di usia belasan tahun membuatnya berat hati. Namun desakan penegakan hukum membuat Sukarno sambil menangis terpaksa menandatangani eksekusi kematian sahabatnya. Itulah satu-satunya eksekusi mati yang pernah ditandatanganinya.
Itulah sekelumit murid-murid Tjokro yang pada akhirnya berseberangan. Terlepas dari itu semua, Tjokro telah berhasil mendidik murid-muridnya menjadi pejuang yang sedikit banyak memiliki peran dalam kemerdekaan RI. (nov)
Penulis : Novianto Aji