images/images-1684311879.jpg
Indonesiana

Cerita Sukarno dan Peci

Pulung Ciptoaji

May 17, 2023

390 views

24 Comments

Save

 

abad.id- Bagi Sukarno, penutup kepala adalah identitas. Sebagai seorang pemimpin gerakan nasionalis, Sukarno perlu berpikir menjadikan tutup kepala yang menandakan identitas sebuah bangsa. Penutup kepala ini harus berbeda dari tutup kepala yang sudah ada di nusantara.

 

Sebelum melanjutkan studi ke Bandung, Sukarno sempat mengikuti kegiatan Jong Java di Surabaya. Sukarno sewot, sebab pendapat kawan-kawannya menyatakan penutup kepala seperti lagak kebarat-kebaratan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa. Mendengar pendapat tersebut, Sukarno menjadi tegang. Ia keluar gedung rapat, lalu bersembunyi di balik tukang sate. Dengan sinis, di tempat remang-remang penjual sate, ia pandangi kawan-kawannya yang kepalanya dibiarkan terbuka. Hatinya yang panas.

 

Kemudian Sukarno kembali lagi menuju ruang rapat. Kali ini lebih percaya diri, membuat kawan-kawannya sempat terkejut dengan penampilan baru Sukarno yang menggunakan peci di kepala.

 

“Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat,” kata Sukarno.

 

 “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia,” lanjut Sukarno. Kawan-kawannya terpaksa menyimak.

 

“Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi, istilahnya berasal dari penjajah kita,” ujar Sukarno.

 

Kawan-kawannya terdiam. Sukarno berkata, “Dalam bahasa Belanda ‘pet’ berarti kupiah, ‘je’ akhiran untuk menunjukkan ‘kecil’, dan kata itu sebenarnya ‘petje’. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

 

Sejak saat itu, Sukarno selalu menggunakan peci dalam berbagai kegiatan. Pengaruh Sukarno berpeci telah menjadi identitas kebangsaan. Sampai Indonesia merdeka, Sukarno hanya melepas peci di depan istri. Apalagi saat usia senja kepalanya semakin botak, kali ini menurut Sukarno peci juga bermanfaat sebagai alat untuk menutup rambut kepalan yang tipis.

 

 

Kisah tentang peci sukarno ini tidak hanya berhenti  disini. Sebagai presiden di negara yang baru, kondisi ekonomi masih semrawut. Banyak pengangguran di Indonesia mengakibatkan orang jatuh miskin.

 

Sumber pendapatan negara sangat tergantung dari perdagangan luar negeri berupa minyak dan bahan baku. Sumber lain dari pajak belum bisa digali, sebab adminitasi penduduk masih sangat kacau.

 

Hampir semua pejabat pada masa itu hidup dengan sederhana. Termasuk sang Presiden, yang hidup dengan ekonomi pas-pasan. Saking kondisi bangsa miskin, seorang presiden pernah tak punya uang untuk lebaran. Namun bukan Sukarno yang tidak punya akal di saat ekonomi sulit ini, solusinya lelang peci.

 

Kisah lelang peci ini diceritakan dalam buku “Suka Duka Fatmawati Sukarno” yang ditulis Kadjat Adrai. Bung Karno menemui mantan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdoelgani untuk berhutang uang.

 

“Cak, tilpuno Anang Tayib. Kondo’o nék aku gak duwé dhuwik (Cak teleponkan Anang Tayib bilang aku ga ada uang),” tutur Soekarno.

 

Anang adalah keponakan Roeslan yang tinggal di Gresik. Anang merupakan pengusaha peci merek Kuda Mas yang sering dikenakan Soekarno. Kemudian Roeslan Abdoelgani malah meminta peci bekas soekarno untuk dilelang.

“Beri aku satu peci bekasmu. Saya akan lelang,” kata Roeslan.

“Bisa laku berapa, Cak?” tanya Soekarno.

“Wis tala, serahno aé soal iku nang aku. Sing penting bèrès (sudahlah, serahkan saja soal itu pada saya. Yang penting beres),” sahut Roeslan.

 

Roeslan pun lalu menyerahkan kepada Anang satu peci bekas dipakai Soekarno. Roeslan kaget karena jumlah peserta lelang begitu banyak yang mana semuanya pengusaha asal Gresik dan Surabaya. Tapi yang membuatnya sangat terkejut ternyata Anang melelang tiga peci.

 

“Saudara-saudara, sebenarnya hanya satu peci yang pernah dipakai Bung Karno. Tetapi saya tidak tahu lagi mana yang asli. Yang penting ikhlas atau tidak?” tanya Anang.

 “Alhamdulillah,” sahut Anang.

 

Dalam waktu singkat terkumpul uang Rp10 juta. Semua uang itu segera diserahkan Anang kepada Roeslan.

 

“Asliné lak siji sé (Yang asli cuma satu ‘kan),” kata Roeslan.

“Iya. Sebenarnya dua peci yang akan saya berikan untuk Bung Karno,” kata Anang.

“Tapi kedua peci itu jelek,” ungkap Roeslan.

“Memang sengaja saya buat jelek. Saya ludahi, saya basahi, saya kasih minyak, supaya kelihatan bekas dipakai,” sahut Anang.

“Koen iki kurang ajar Nang, mbujuki wong akèh (Kamu kurang ajar Nang. Nipu banyak orang),” kata Roeslan.

“Nék gak ngono gak olèh dhuwik akèh (Kalau nggak begitu mana mungkin bisa dapat banyak uang),” jawab Anang.

 

Roeslan kemudian menyerahkan semua uang hasil lelang kepada Soekarno. Soekarno pun heran dengan hasil lelang pecinya.

“Cak, kok akeh dhuwiké (Banyak banget uangnya)?” Bung Karno kaget.

“Iku akal-akalané Anang (Itu semua akal-akalannya Anang),” jelas Roeslan. Dia pun menceritakan bagaimana cara Anang menggandakan peci.

“Kurang ajar Anang. Nék ngono sing dosa aku apa Anang (Kalau begitu yang berdosa saya)?” tanya Bung Karno.

“Anang,” sahut Roeslan.

”Dhuwik sakmono akèhé jangé digawé apa Bung (Uang begitu banyak akan digunakan untuk apa Bung)?” tanya Roeslan.

“Gawé zakat fitrahku. Gowoen kabèh dhuwik iki nang makam Sunan Giri. Dumno nang wong-wong melarat nok kono (Untuk zakat fitrahku. Bawa semua uang ini ke makam Sunan Giri. Bagikan pada orang-orang miskin di sana),” kata Bung Karno. (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022