Ribuan warga Belanda meninggalkan Indonesia melalui jalur udara dan kapal laut pada tahun 1957. Foto dok net
abad.id- Hari itu 5 Desember 1957, atau 66 tahun yang lalu Sukarno marah besar. Rasa kecewa Sukarno ini diawali sikap belanda yang mengulur-ulur waktu atas penyelesaian Papua. Sejak pengakuan kedaulatan melalui KMB tahun 1949, janji Belanda menyelesaikan Papua secepatnya ternyata masih nihil tanpa perkembangan. Kala itu, Sukarno melalui Departemen Kehakiman secara resmi mengusir 46.000 orang Belanda yang masih bermukim di Indonesia.
Ironisnya hari itu mestinya suasana sedang bergembira menjelang perayaan natal. Bagi warga Belanda dan Indo keturunan yang umumnya beragama Kristen, jadi momen perayaan Sinterklas. Dengan acara tukar kado ambil bernyanyi bersama. Hari yang seharusnya meriah penuh suka cita, berubah menjadi hari penuh duka cita. Peristiwa ini kelak dikenal sebagai peristiwa Sinterklas Hitam.
Sejak pengumuman Departemen Kehakiman ini, ribuan warga Belanda yang masih menetap di Indonesia harus pulang ke negaranya dalam tempo secepatnya. Pengumuman Soekarno tersebut menjadi klimaks kepanikan orang-orang Belanda. Mereka berada di posisi sulit, tidak bisa melawan dan berdiam diri lebih lama di rumahnya. Satu-satunya cara untuk selamat dengan angkat kaki dari Indonesia.
Banyak orang Belanda yang kemudian mencairkan seluruh tabungannya dan bergegas membeli tiket pesawat untuk keluar dari Indonesia. Tidak sedikit pula yang harus berebut untuk mendapatkan satu tempat di kapal laut.
Kekacauan macam itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga menjalar ke seluruh daerah di Indonesia. Di Bandung misalnya, pengemudi becak tidak mau membawa penumpang orang Belanda. Di Malang dan Surabaya, produk-produk asal Negeri Kincir Angin diboikot dan orang Belanda dilarang masuk toko. Bahkan nasib malang menimpa bagi mereka yang sakit, sebab semua rumah sakit menolak pasien orang Belanda.
Bagi warga Belanda, kesulitan bertambah ketika situasi panik itu tidak didukung kebijakang Pemerintah Belanda. Tidak ada jaminan yang memudahkan warganya. Misalnya konsulat dibuka 24 jam serta menjadi penampung sementara bagi warga yang panik.
Hengkang dari Indonesia secara mendadak juga bukanlah pilihan mudah. Mereka yang sudah bertahun-tahun hidup di Indonesia itu buta negeri Belanda. Namun, mereka tetap berebut naik kapal-kapal yang disediakan pemerintah Belanda karena terpaksa. Dengan jumlah puluhan ribu orang, kondisi kapal pengangkut pun langsung penuh sesak. Mereka harus tahan berdesak-desakan selama berhari-hari dalam perjalanan ke Belanda.
Van Vixseboxse, kuasa usaha baru Belanda baru saja tiba di Indonesia tanggal 5 Agustus 1960, diminta untuk datang pagi hari ke Departemen Luar Negeri. Di sana Vixseboxse diberitahu oleh Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri bahwa tidak perlu menyerahkan surat kepercayaannya kepada Presiden Soekarno. Sebab, Presiden Soekarno dalam pidato tahunannya tanggal 17 Agustus nanti 1960, akan mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda. Alasan Sukarno protes atas tindakan agresif Belanda mengenai Irian Barat. “Yang dimaksud Presiden Soekarno dengan 'tindakan agresif Belanda' adalah pengiriman kapal induk Karel Doorman oleh Pemerintah Belanda untuk mem perkuat pertahanan Irian Barat,” tulis Thee Kian Wie dalam buku Dialog Dengan Sejarah, Soekarno Seratus Tahun.
Atas peristiwa ini menunjukkan bahwa pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda mrelalui KMB tahun 1949 tidak berhasil membawa perbaikan yang berarti dalam hubungan antara negara bekas penjajah dan bekas jajahannya. Malah terus merosot dalam tahun-tahun berikutnya. Hal ini disebabkan pada dasarnya proses dekolonisasi Indonesia belum dapat diselesaikan dengan tuntas dalam Konferensi Meja Bundar, antara Belanda dan Indonesia yang diadakan di Den Haag.
“Dengan kata lain, kemerdekaan politik Indonesia belum berhasil memutuskan segala ikatan historis dengan Belanda, baik dalam arti politis dan ekonomi, budaya dan psikologi,” tulis Thee Kian Wie.
Dalam arti politis, kemerdekaan Indonesia belum dianggap tuntas, karena dalam Konferensi Meja Bundar Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, yang menurut Belanda, sebenarnya bukan termasuk wilayah Indonesia.
Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi seluruh aset Belanda. Sebuah papan nama perusahaan Belanda sedang ditutupi spanduk "Milik RI”.
Sejak KMB, Indonesia dan Belanda sepakat bahwa status quo Irian Barat untuk sementara dipertahankan, tetapi juga bahwa dalam waktu satu tahun status daerah ini akan ditentukan lebih lanjut melalui perundingan. Akan tetapi, dalam perundingan berikutnya Belanda tetap enggan untuk menyerahkan Irian Barat. Oleh karena hal ini Soekarno berpendapat bahwa revolusi nasional belum selesai dan perlu diteruskan sampai Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia.
Selain masalah Irian Barat, kemerdekaan Indonesia sesudah pengakuan kedaulatan oleh Belanda belum dirasakan tuntas oleh para pejuang kemerdekaan. Karena berbagai sektor ekonomi yang penting masih dikuasai Belanda. Berbagai jabatan penting dalam birokrasi pemerintah masih dipegang oleh pejabat-pejabat Belanda. Hal ini bisa terjadi karena dalam rangka persetujuan Indonesia-Belanda yang telah dicapai dalam KMB di Den Haag, kepentingan bisnis Belanda tetap dijamin dalam Indonesia merdeka
Pembicaraan tentang kelangsungan bisnis Belanda telah menyita banyak waktu dalam Konferensi Meja Bundar. Karena pada tahun 1949 ekonomi Belanda pasca Perang Dunia sanat berat. Berhubung dengan hal ini, Belanda tidak punya penghasilan lain kecuali dari perusahaan Belanda di Indonesia. Dalam Persetujuan Finansial Ekonomi yang telah dicapai di KMB, tuntutan Belanda memperoleh bisnis tetap beroperasi di Indonesia tanpa hambatan, terpaksa dipenuhi oleh pihak perwaakilan Indonesia.
Indonesia tetap penting bagi kehidupan ekonomi Belanda tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain mencapai 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda. Untuk tahun-tahun berikutnya sampai tahun 1957 sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih, angka persentase menjadi 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen (1953); 4,6 persen (1954);4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957). Semakin turun pendapatan Ekonomi sejak tahun 1953, karena hubungan politik Indonesia dan Belanda terus memburuk.
Dalam persetujuan Finec ini tuga memuat ketentuan yang kontroversial yang mewajibkan Pemerintah Indonesia menanggung utang-utang internal Pemerintah Hindia Belanda sebelum Indonesia diduduki Jepang tahun 1942 sebanyak 3,3 milyar gulden ( atau 1,13 milyar dollar AS pada kurs devisa yang berlaku pada waktu itu). Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diwajibkan menanggung utang eksternal Pemerintah Hindia Belanda sebesar kurang lebih 70 juta dollar AS.
Jelas sekali bahwa Konferensi Meja Bundar 'mewariskan' utang luar negeri yang amat besar kepada Pemerintah Indonesia yang sangat mempersulit upaya Sukarno membiayai rehabilitasi prasarana fisik yang telah hancur akibat pendudukan Jepang dan perjuangan fisik melawan Belanda. Apalagi melaksanakan program pembangunan.
“Sebenarnya Sumitro Djojohadikusumo, yang ikut menjadi anggota delegasi dalam KMB, sudah menentang konsesi Indonesia mengambil alih utang-utang dari Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi Moh.Hatta sebagai ketua delegasi Indonesia, akhirnya menerima tuntutan pihak Belanda karena ia ingin cepat menyelesaikan perundingan agar tujuan utama-penyerahan kedaulatan kepada Indonesia dapat tercapai dalam waktu singkat,” tulis Thee Kian Wie. (pul)