images/images-1679305965.png
Indonesiana

Tertawalah Sebelum Dianggap Dosa

Pulung Ciptoaji

Mar 20, 2023

518 views

24 Comments

Save

Kehidupan kolektif masyarakat Indonesia menuntun perilaku susah dan senang ditanggung bersama. Foto Istimewa

 

abad.id- Ger-geran melihat lawakan Srimulat membuat kita jadi ingin melongok ke dalam kehidupan mereka sehari-hari di sebuah rumah tinggalnya.  Selain kompak di dalam panggung, mereka ternyata kompak pula hidup berkelompok. Hidup berdekatan dianggap mempermudah komunikasi. Lebih dari itu, bisa menjadi dasar manisnya hubungan mereka.

 

Aniek Asmara dan suaminya Paul Polii beserta beberapa keluarga lain tinggal di sebuah rumah sekitar 100 meter masuk ke gang di dekat jalan Anggrek Cendrawasih, Jakarta. Melewati gang berubin dengan kedua parit berair hitam di tepinya. Serta masih melewati rumah-rumah yang padat penduduk. Aniek dan paul anggota Srimulat ini menetap di lantai 2 sebuah rumah berdinding kayu.

 

Kamar untuk tempat tinggal besama 2 anaknya berukuran sekitar 2 x 3 meter itu dipadati oleh sebuah ranjang besi, sebuah meja, televisi hitam putih dan lemari pakaian. Di depan kamarnya, masih tersisa ruangan sempit dimanfaatkan untuk menyimpan perabot jahit. Sebagai ibu rumah tangga, Aniek mengaku setiap hari selalu memasak kopi untuk suaminya di samping menanak nasi. Namun tidak setiap hari ia memasak lauk pauk. "Saya memang tidak kaget hidup berkumpul begini, tapi terus terang kadang-kadang saya sungkan pada tetangga sebelah kamar bila anak-anak menangis misalnya. Selain itu, bila kami berdua memerlukan bicara yang agak rahasia, saya jaga agar jangan sampai terdengar kamar sebelah,” kata Aniek.

 

Komik Pnakawan Petruk dan Gareng sangat populer tahun 80an, sebagai tempat sindiran dan ruang curhat wong cilik. Foto Istimewa 

 

Batas dengan tetangga kamarnya hanya selapis tripleks. Keluarga pelawak Basuki tinggal di samping keluarga ini berusaha tidak saling terganggu. Anak-anak bermain bersama, sementara ibunya memasak di dapur yang sama. Sedangkan para ayah ngobrol di rumah anggota yang lain kalau kebetulan tidak ada acara. Dari jendela kamar Basuki, terlihat rumah Teguh sekeluarga yang terletak di seberang jalan. Siang itu acara seluruh penghuni berups makan siang. Pak Triman sekeluarga yang tinggal di sebelah kanan kamar Basuki sedang santap siang dengan sayur asem dan tempe goreng. Kebetulan, istri Basuki juga memasak sayur asem. "Walau serumah, kami tetap masih sendiri-sendiri,” ucap Basuki yang mengaku bahwa orang-orang serumah itu hidup dengan akrab.

 

Tinggal bersama-sama dalam satu atap, bagi Basuki sekeluarga memang bukan hal yang asing. Orangtuanya, dulu juga anggota Srimulat yang kemudian mendirikan grup Purnama di Semarang. Sedangkan istri Basuki juga terbiasa hidup berkelompok karena orang tuanya anggota wayang orang Sri Wanito di Semarang.

 

"Lucunya seringkali kami memasak sayur yang sama karena kami sama-sama tidak ke pasar. Tukang sayur banyak lewat di depan rumah. Dan beginilah jadinya kalau selera masak kami sama, serumah bisa bikin sayur asem semua," cerita Mulyani istri Basuki tertawa.

 

Para anggota Srimulat ini selain memperoleh fasilitas tempat tinggal, juga biaya pengobatan. Di sebuah rumah lain yang berkamar 4 terletak di tepi jalan, Asmuni tinggal bersama 2 keluarga yang lain pak Tikno dan Tarzan. "Di Surabaya, saya juga tinggal di asrama Srimulat THR dan mendapat sebuah kamar serta ruang tamu. Dapur dan kamar mandi kami pakai bersama-sama. Menurut pendapat saya, anggota Srimulat memang lebih baik hidup mengelompok begini. Bila ada briefing, mudah mengumpulkan anggota. Dan lagi kegiatan kami lebih banyak dilakukan bersama-sama. Misalnya main film, rekaman untuk televisi dan semacamnya,” kata Asmuni.

 

Meskipun di Surabaya Asmuni punya rumah sendiri, tapi berhubung jauh dari THR (tempat Srimulat manggung) tetap memilih tinggal di asrama. Di Jakarta, sebenarnya tidak ada keharusan bagi Asmuni untuk tinggal di rumah yang telah dikontrak oleh pimpinan. Namun tidak ada alasan bagi Asmuni untuk menolak hidup seatap dengan teman. “Sejak tahun 1976 masuk Srimulat, saya telah biasa hidup cara begini. Saya memang terbiasa hidup di kalangan seniman karena ayah saya juga seorang pemain ludruk,” kata Asmuni

 

Srimulat bagi Asmuni merupakan wadah yang cocok untuk bakatnya. Ternyata di Srimulat juga mampu menghidupi keluarganya. Asmuni merasa selama ini tidak menemui duka yang berarti. Justru kalau berkumpul di rumah, tiap mereka bisa bercanda, ngobrol sama-sama. Di panggung begitu pula. Mereka telah merupakan satu keluarga besar yang rukun dan saling bekeja sama. “Saya merasa betah dan tidak ada keinginan untuk meninggalkan Srimulat," tegas Asmuni.

 

Kehadiran Srimulat dan group lawak lain di Jakarta pada masa tahun 80an, ditunjang dengan teori tentang betapa perlunya manusia tertawa. Dalam situasi apapun, tertawa itu sehat, tertawa itu perlu, tertawa itu manusiawi, tertawa itu adalah haha hihi haha hihi...

 

Tertawa betul perlu selama dalam batas-batas tertentu. Yang kurang betul adalah "tertawa itu manusiawi,". Sebab menurut para ahli, tertawa tidak khas manusia. Sebab kucing juga bisa tertawa, burung bisa tertawa, buaya bisa, monyet dan siamang bisa, apalagi kuda. Tertawa sebagai "suatu bentuk bernapas yang tidak normal". Sebagaimana tertawa seperti bersin, menguap dan ngorok. Bersin memang perlu kalau napas lagi berat dan hidung mampet. Namun kalau terus-menerus bersin itu gejala penyakit. Tertawa juga tidak sehat kalau terus-menerus.

 

Sementara itu dalam teori, para pelawak ini menghendaki penontonnya tertawa tak henti-henti sepanjang pertunjukan. Sebaliknya, jika pelawak yang lebih banyak tertawa sendiri di panggung daripada penontonnya, sungguh pantas diperiksa ke ahli penyakit jiwa.  Maka jika belajar dari pola komunal kehidupan keluarga Srimulat ini, kita menganggap di situasi penderitaan sekalipun manusia tetap harus bahagia. Pelawak membuat senang orang, itu sudah kewajiban, namun menertawakan nasib diri sendiri yang tidak pernah tahu masa depannya, justru bisa ditertawain orang.

 

Kelirulah banyak orang menganggap bahwa Srimulat, Pelawak Cagur, Cak Lontong, Komeng hingga Bagito, Warkop serta penulis komedi-komedi lain bermaksud melawak. Sebenarnya mereka adalah tragedi-tragedi kelucuan sejati, seperti juga tragedi-tragedi cerita Sartre yang tidak bermaksud membadut, tapi sudah lucu hanya sepintas melihat orangnya saja.

 

 

Filsafat Gelak Tawa

 

Dalam buku Saya Berambisi Menjadi Presiden tulisan Bur Rasuanto dikenalkan sejarah filsafat gelak tawa. Nama filsafat gelak tawa diberikan setengahnya sebagai ejekan, setengahnya lagi oleh kegagalan memahami maksud ajaran Demokritos maupun Epikurus. Keceriaan (cheerfulness) pada Demokritos maupun kesenangan (pleasure) pada Epikurus, tak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan bergeli-geli. Melainkan sebagai sikap berdasarkan akal sehat, seimbang, dan bebas dari rasa takut. Yang menjadi tujuan etika Epikurus maupun Demokritos hanya pembebasan manusia. Bebas dari rasa takut terhadap takhayul, bebas dari rasa takut terhadap maut.

 

Misalnya dalam kasus sebuah gerbang pintu masuk komplek ada rabu bertuliskan  “Awas pelan-pelan banyak penyebrang jalan”. Tapi pegendara mobil dan motor tetap saja ngebut dan tidak patuh. Karena jengkel, pak RT membuat rambu yang lain lagi, “Awas pelan-pelan banyak anak-anak”. Ternyata rambu itu masih saja diindahkan oleh pengendara mobil dan motor yang lewat di sekitar komplek.  

 

Beruntung pak RT tidak kurang akal. Maka dipasanglah rambu baru dengan tulisan,” Awas pelan-pelan banyak wanita telanjang,”. Ternyata rambu peringatan ini sangat efektif. Sejak rambu itu dipasang tidak ada lagi pengemudi motor dan mobil yang ngebut di kawasan komplek. Bahkan mereka sengaja mengurangi kecepatan, lebih sopan dan waspada. Mereka melaju dengan kecepatan pelan, sambil toleh kanan dan toleh kiri.

 

Gelak Tawa Saat Pengumuman BBM Naik

Maka betulkah kita masih perlu menggalakkan masyarakat tertawa? Padahal sering sekali dikatakan, oleh orang asing. Tapi juga oleh kita sendiri, bangsa Indonesia ini selalu mengajak tertawa. Senang mereka tertawa, susah mereka tertawa, beruntung tertawa, melarat tertawa, ditindas mereka tertawa, korupsl di mana-mana   mereka tertawa, harga-harga dinaikkan mereka tertawa, hak-hak asasinya dirampas mereka tertawa juga.

Bahkan saat Presiden Joko Widodo mengumumkan harga BBM Pertalite, Solar, hingga Pertamax resmi naik mulai 03 September 2022 di sebuah arahan memimpin rapat kabinet paripurna di Istana Negara, seluruh rakyat Indonesia tidak sedih. Padahal penyesuaian harga BBM terbaru dari Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Harga Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, Harga Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter sangat menjadi beban rakyat yang baru mentas dari musibah Covid 19.

 

Bahkan masih ada saja menteri yang senyam senyum tampak di layar televisi saat pengumuman sedang berlangsung. Usai pertemuan, ada saja ulah pejabat di DPR RI Senayan gelak tawa secara meriah memperingati ulang tahun salah satu koleganya. Anda tidak bisa rasakan apa yang mereka sedang rasakan,  tulis seorang pegiat media sosial yang menghadapi fenomena itu. Serta ada pula di Tik-Tok menyampaikan sindiran sarkas, bahwa semua sedang baik-baik saja meskipun harga BBM dinaikan 50 ribu per liter.

 

Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi ? Ada dua kemungkinan, tubuh orang Indonesia itu memang selamanya mengandung surplus gas gelak, atau bangsa ini sakit jiwa. Orang sakit jiwa memang selalu tertawa, tapi tawanya tak ada hubungannya dengan dan tidak berpijak pada realistis. Tak ada kaitan antara tawanya dengan kenyamanan, bahkan tak ada hubungan antara tawa yang keluar dari mulutnya dengan diri pribadinya sebagai manusia. Saya curiga inilah yang sedang terjadi pada kita. (pul)

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022