images/images-1677464078.jpeg
Indonesiana

Ironi Radikalisme

Malika D. Ana

Feb 27, 2023

567 views

24 Comments

Save

Ironi Radikalisme

 

Abad.id - Soal Radikalisme, Katana Suteki menengarai ada Paket Komplit di dalam kabinet Indonesia Maju. Paket komplit itu adalah:

1. Menkopolhukam: issue pertama dan utama radikalisme itu dimulai dari sini. Core utama politik juga tentang radikalisme.

2. Mendagri dari Kepolisian: lanjutkan tebas Radikalisme ASN

3. MenAg dari Militer: corenya: Radikalisme dan Intoleransi (ASN) -- karakter menghancurkan.

4. Menpan RB mantan Mendagri, lanjutkan pecat ASN terpapar Radikalisme.

 

Pejabat-pejabat publik itu entah mengerti soal radikalisme atau tidak sepertinya "wajib" menyebut kata kunci itu demi bisa duduk di kursi empuk jabatannya. Yang terbaru adalah pernyataan Wapres Ma'ruf Amin soal pencegahan radikalisme mulai dari PAUD. Juga soal perijinan dan pengawasan Majelis Taklim. Padahal sebelum masuk bursa wapres dahulu, dia sendiri adalah simpul dari kelompok Islam konservatif.

 

Apasih definisi Radikalisme? Radikalisme berasal dari kata Radix = akar, radikal = berakar atau mengakar, isme itu artinya paham, pendapat, ajaran, maka Radikalisme artinya ajaran yang mengakar pada sesuatu. Tetapi definisi secara hukum masih kabur (obscure), maka nomenklatur radikalisme menjadi sangat seksi untuk dimanfaatkan sebagai alat rekayasa penyelamatan kepentingan atau kekuasaan (as a tool of interest engineering) dan cenderung digunakan sebagai alat gebuk untuk pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa.

 

Entah bagaimana ceritanya narasi Radikalisme saat ini bergeser pemaknaan menjadi "keras kepala". Dan sebenarnya itu bisa hinggap pada kepala siapa saja. Tidak hanya yang konon disebut ekstrim kanan yang distigmakan kepada penganut agama Islam, agama selain Islam yang radikal pun banyak, gerakan tokoh-tokohnya nyata di panggung perpolitikan, dan mengambil peran sangat dominan malah, meskipun tidak pernah distigma radikal. Umat Islam boleh menjadi mayoritas, tapi remote control ada di tangan mereka, seperti doktrin LB Moerdani dulu (baca sejarah soal Ali Moertopo).

 

Tempo hari ada berita penganut Kristen kelompok Yehova menolak hormat pada bendera juga tidak distigma radikal. Padahal intinya ekstrim dalam agama apapun atau ideologi apapun berpotensi radikal. Karena memang radix itu artinya akar, setiap keyakinan atau ajaran, ideologi memang harus mengakar kuat pada tiap-tiap penganutnya.

 

Maka jika menyebut Islam itu radikal, Islam memang punya akar yang fundamental pada urusan aqidah, atau kesaksian diri atas apa yang diyakininya. Islam non radikal itu yang bagaimana? Maksudnya yang ajarannya dicampur-adukkan dengan liberalisme, tanpa institusi, tanpa organisasi, dan carut marut berantakan umatnya begitukah?

 

Wong TNI saja radikal, mereka dari awal punya Sapta Marga, dan didepan sumpahnya ada kata "Demi Allah", artinya tentara mengenali bahwa kehidupan beragama di Republik ini adalah potensi dasar dari pembangunan nasional, kunci dari stabilitas dan keamanan.

 

Selanjutnya, Radikalisme bisa juga menjangkiti orang-orang liberal yang keras kepala dengan alur berfikirnya, yang biasanya berkembang menjadi atheis setengah mateng karena siang malam nyinyirin agama dan Tuhan. Jika atheisnya mateng, dia akan sibuk memaki dirinya dirinya sendiri, dan berhenti membicarakan agama dan Tuhan.

 

Radikalisme juga bisa menjangkiti kaum kiri yang dendamnya pada sejarah kelam ORBA ngga selesai-selesai, sehingga apapun yang berbau ORBA disingkirkan meskipun bagusnya kayak apa termasuk soal GBHN, UUD 45 yang sebisanya dioprek dengan amandemen sehingga sesuai dengan nafsu berkuasanya, dan menyebut rezimnya sebagai antitesa ORBA, meski pada praktiknya mirip dengan ORBA yang disempurnakan, artinya sama otoriternya. Bedanya, dijaman Soeharto loe bakal dikarungin kalo loe ngomong buruk soal rezim. Sekarang memang ngga dikarungin. Tapi data loe dibuka di depan umum. Tempat kerja loe diacak-acak. Pake tangan buzzer-buzzer mitra rezim tentunya. Dulu dihilangkan, sekarang dipaksa menghilangkan diri. Jika saja tahun 98 sudah ada sosial media, Pak Harto pasti bakal aman-aman saja. Karena selalu ada orang-orang yang mau jadi gedibal, kesed, atau buzzer yang bermitra dengan rezim. Yang mungkin saat peristiwa 98 mengeluarkan jurus puja-puji kerja polisi dan tentara waktu mengatasi "kerusuhan" di Trisakti.

 

Pendukung rezim hari ini mengingatkan kita pada film Hercules (2014). Merasa berada pada pihak yang mulia. Untuk kemudian menyadari bahwa mereka hanyalah jadi alat kekuasaan yang lebih bengis dari pada yang selama ini mereka lawan. Ngga tahu kapan nyadarnya, wong periuk nasinya bergantung dari remah-remah hasil adu domba sesama anak bangsa.

 

Ada pihak yang mengobarkan sentimen agama, dilawan pake kebinekaan, anti intoleransi, cap radikal, dijuluki kadal gurun ya runyam. Karena kalian memindahkan pertempuran politik ke pertempuran sentimen. Sudah tahu agama cuma jadi alat politik, ya harusnya mbokya pinter nyari strategi untuk menihilkan efektifitas dari alat tersebut. Sementara yang kalian kerjakan justru membuat alat itu semakin kuat.

 

Yang dimunculkan dan didramatisir itu selalu citra Islam yang intoleran, keras, dan anarkis. Ya mirip-mirip omongan sampah beracun congornya Abu Jendes, Denny Siregar, dan lain-lain serta media penebar fitnah macam Seword... Lucunya mereka-mereka yang konon minoritas dan teraniaya itu tetep betah dan maju hidupnya ditengah-tengah umat Islam yang katanya radikal dan intoleran. Sebenarnya tidak ada yang namanya radikal dan intoleransi, karena jika itu terjadi, maka orang-orang minoritas yang hidup di lingkup Islam bisa punah pastinya, omong kosong besar Radikalisme dan intoleransi.

 

Ya lihat saja, Reuni 212 beberapa waktu lalu punya kerumunan massa yang besar. Yang disebut massa, itu wataknya sangat mudah dimobilisasi karena mereka cenderung bertindak emosional ketimbang rasional. Kerumunan orang (massa) yang sebanyak itu, dengan mudah dapat diarahkan untuk melakukan apa saja. Jadi sangat rentan terhadap chaos bahkan anarkis. Jika saja ada yang mengarahkan mereka untuk melempari istana dengan batu layaknya lempar jumroh, maka istana akan tertimbun batu, jika ada yang mengarahkan mereka anarkis dan merusak, maka Jakarta dengan mudah hancur. Tapi realitasnya, tidak terjadi apa-apa. Bahkan tak ada rumput yang terinjak sedikitpun. Non Muslim pun banyak yang ikut dan diajak duduk bersama. Yang begini seharusnya membungkam nyinyiran gak jelas penyembah rezim.

 

Jika Islam menolak umatnya atau dengan hukum syariat mencegah umatnya dari kemungkaran dan kemusrikan itu adalah haknya Islam, selama yang diatur juga umat muslim, dan tidak mengatur umat yang lain. Jika umat yang diatur itu ngga mau, merasa ngga pas dengan citarasa nafsunya atau gaya hidupnya, mudah saja, tinggal murtad, beres! Bukan mencari pembenaran dengan cara menjelekkan Islam.

 

Sementara permasalahan bangsa ketika persoalannya adalah rupiah anjlok dimata US Dollar dan berdampak langsung meningkatnya jumlah utang, pertumbuhan ekonomi hanya 5% stagnan dari janji kampanye 7%, kemiskinan hanya menurun 1%, Indonesia yang kini dirundung soal impor berlimpah sehingga menggerus devisa dan merugikan petani, atau ketika kita tengah menghadapi lapangan kerja sempit di satu sisi, sementara TKA membanjiri di sisi lain, tetapi topik yang diviralkan justru tentang deradikalisasi.

 

Yang dilakukan oleh rezim ini hanyalah membuat propaganda basi demonologi untuk menguatkan dirinya, dan menutupi kinerja yang ngga becus. Hampir semua elemen bangsa baik yang diinfrastruktur politik maupun di sub-struktur dibuat lemah, sengaja dibuat tak berdaya. Entah melalui pengkebirian fungsi peran MPR/DPR, mengkebiri KPK, mengaduk-aduk oposisi, ataupun mengadu-domba kekuatan umat mayoritas, yakni Islam. Sepertinya ini yang berlangsung nyata terlihat. Hingga persoalan utama makin menjauh, apalagi menemukan solusi boro-boro, yang ada hanyalah disintegrasi bangsa di depan mata. Tunggu saja sampai meletus, bakalan bagaimana endingnya. Ibarat bisul, panas di dalam ya lama-lama njeblos! Dan lihat, siapa yang bakal kena muntahan lahar panas atau nanah dan darah.

 

Pasukan Delta saja punya prinsip, "TROUBLE HIS AFFAIRS DON'T TROUBLE HIS RELIGION !", jangan pernah sekali-kali menyentuh sisi keagamaan yang sensitif, karena jika itu kena maka tidak akan ada obatnya, konflik agama adalah salah satu bentuk konflik yang panjang. Ingat sejarah Beirut dengan faksi-faksi yang bertempur selama puluhan tahun.

 

Jika konflik agama sudah disentuh dan dikipas-kipas, maka obatnya hanya satu; MAJORITAS HARUS MENANG, karena jika tidak maka persoalan militansi dan potensi ketidak senangan dalam tubuh masyarakat yang ideologis bisa menjadi-jadi. Tentara sangat tidak suka berkonflik karena hanya mereka yang tahu persis apa itu membunuh dan terbunuh, radikalisasi yang sangat radikal jadinya. (MDA)

Kopi_kir sendirilah!

 

*tulisan telah tayang di FB Malika Dwi Ana tanggal 8 Desember 2019

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022