images/images-1684071366.jpg
Sejarah
Indonesiana

Korupsi Bersemi Sejak Jaman Majapahit

Malika D. Ana

May 14, 2023

616 views

24 Comments

Save

Korupsi Bersemi Sejak Jaman Majapahit

 

 

Abad.id - Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely.

Siapa saja bisa melakukan korupsi ketika padanya melekat "kekuasaan" untuk mengambil kebijakan (policy) dan keputusan (decision), jadi gak usah lah koar-koar saya tidak akan korupsi, percuma, ujungnya korupsi juga akhirnya. Karena tidak mampu membuat kebijakan yang baik, dan mengambil keputusan yang salah, jadi gak usah moralis lah, capek yg begitu itu

 

Disebut korupsi, apabila duit negera ditilep dan digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Jika serapan anggaran benar dan sesuai target, maka tidak boleh dikatagorikan sebagai korupsi, meskipun andai penggunaannya tidak tepat sasaran. Itupun setelah melalui berbagai macam audit dan kajian. Korupsi harus diberantas tuntas, tetapi pembangunan dengan serapan anggaran yang baik dan benar itu juga merupakan keharusan.

 

Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia”. Ungkapan Selo Sumardjan tersebut terasa tepat untuk menggambarkan kondisi yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Korupsi ibarat penyakit yang terlampau sulit untuk disembuhkan. Korupsi telah menjalar disetiap sendi kehidupan dan seakan telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah produk kebudayaan yang hedonistik, efek dari feodalisme produk kolonial, timbul dari gagasan untuk hanya yang monumental, usaha elitisasi ditengah budaya populis. Maka untuk menghancurkannya perlu ada strukturisasi formal strategi kebudayaan yang egaliter namun tetap dapat memberikan ekspresi privat yang utuh.

 

Korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai tindakan perampokan terhadap uang Negara, yang tentu saja bersumber dari Rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio (diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

 

Korupsi di Indonesia bukanlah hal baru, statemen ini berdasar pada dugaan bahwa korupsi sudah ditemukan jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Kerajaan Majapahit disebut sebagai persemaian praktik kotor negeri ini dalam sejarah dan praktik-praktik korupsi masih berlangsung hingga sekarang, dan sangat sulit untuk diberantas.


Bentuk korupsi yang sering ditemui pada abad ke-13 itu adalah pungutan liar atau sekarang populer dengan sebutan pungli.


Menurut sejarawan, Ong Hok Ham pungli pada masa Majapahit itu terus bertahan karena penjabat yang berada di dalam kerajaan tidak digaji oleh raja. Maka mereka harus mengelola keuangannya sendiri agar organisasi yang dipimpinnya bisa berjalan dengan baik.


Saat itu raja memerintahkan para pejabat tanah juga petani untuk memungut bea cukai sehingga memerintahkan para pemungut bea cukai itu meminta denda dan upeti kepada rakyat. Itu lah gaji yang diperoleh para pemungut bea cukai tersebut.


Ternyata bukan hanya para pemungut bea cukai saja yang mencari gajinya sendiri. Para menteri di keraton, bupati, pengawas perairan, tukang jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lainnya semua mengelola keuangan kantornya sendiri-sendiri.


Dalam bukunya, “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang,” Ong Hok Ham menjelaskan, “Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu rajanya secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak dapat meremehkan para abdi dalem keraton tertinggi, juga para menteri, bahkan pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi penghasilan mereka – dan mereka semua berhutang padanya.”

 

Masa berganti aktivitas pungli itu terus semakin langgeng di era kongsi dagang VOC (Verenigde Oost indische Compagnie), bahkan tidak kalah hebat dari masa-masa sebelumnya. Saat itu, VOC hanya menggaji para kepala daerah setempat sekadar sebagai uang pengikat saja. Misalnya, Gubernur Pantai Utara Jawa hanya digaji sebesar 80 gulden per bulan. Gaji yang tidak cukup itu mendorong para kepala daerah tersebut melakukan praktik curang masing-masing pejabat berdagang untuk keuntungan sendiri bukan demi rakyatnya.

 

Seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp, menyebutkan kebanyakan pungli yang dilakukan para pejabat VOC dilakukan dengan memberi denda kepada barang-barang milik orang-orang Cina dan Jawa dengan melampai batas. Saat itu mereka juga memperoleh keuntungan dari penjualan opium, hadiah-hadiah, dan lainnya.


Tindakan curang para pejabat VOC tidak berhenti di situ. Mereka juga memanipulasi harga dengan melakukan jual-beli jabatan, juga hak monopoli terhadap barang-barang seperti candu, garam, dan hasil alam lainnya.

 

Praktik korupsi itulah yang pada akhirnya menghancurkan organisasi dagang paling disegani pada masanya tersebut. Sebab, yang kaya adalah para pejabatnya, sedangkan organisasi dagang itu tidak memiliki apa-apa.


Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Miftakhuddin dalam bukunya, “Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni” mengungkapkan saat organisasi VOC diserahkan kepada Kerajaan Belanda 1 Januari 1800, mewarisi utang 134,7 juta gulden.


Para pejabat VOC yang melakukan korupsi saat itu tidak bisa tenang-tenang saja sebab banyak yang langsung diasingkan bahkan ada yang dihukum mati dengan cara digantung di lapangan agar bisa ditonton masyarakat luas sehingga memberi efek jera.


Saat ini, meski ada klausul hukuman mati di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun belum ada satu pun pelaku tindak pidana korupsi yang mengalaminya.

 

Indonesia sendiri sejak zaman pemerintahan orde lama Soekarno hingga orde reformasi saat ini, telah menerbitkan beragam peraturan perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003.

 

Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, telah cukup untuk memberantas praktek korupsi di Negara kita?

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022