images/images-1691134085.jpg
Sejarah

Awal Mula Kolonialisme Eropa Atas Nusantara

Malika D. Ana

Aug 04, 2023

512 views

24 Comments

Save

Awal Mula Kolonialisme Eropa Atas Nusantara

 

 

Abad.id - Berdasarkan catatan sejarah, Kesultanan Demak diperkirakan eksis pada sekitar akhir abad ke 15 sampai pertengahan abad ke 16 dimana pengaruh imperium Majapahit kian menyusut, dan wilayah Nusantara secara de facto mengalami kekosongan kekuasaan (vacum of power). Sedang di sisi lain, kolonialisme bangsa Eropa dimulai, dan penetrasi pengaruh kekaisaran China kian kuat di perairan Nusantara. Pada masa inilah posisi Demak berada di tempat yang paling sentral di panggung sejarah Nusantara.

 

 

Ketika itu, Kesultanan Turki Utsmani sedang memasuki era keemasannya dimana Sultan Memed 11 berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Kekuasaannya membentang dari pesisir Samudera Hindia di selatan, hingga ke Laut Mediterania dan Laut Hitam di utara.

 

Dengan rentangan kekuasaan sebesar ini, Kesultanan Utsmani nyaris memonopoli sistem perdagangan dari selatan bumi hingga ke utara di Eropa. Persoalannya, komoditi yang diberasal dari selatan bumi tersebut – khususnya rempah-rempah dari Nusantara – adalah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Eropa untuk bertahan hidup.

 

Sebagaimana dikatakan oleh M.C. Ricklefs, bahwa “rempah-rempah bagi masyrakat Eropa, merupakan kebutuhan dan juga cita rasa. Selama musim dingin di Eropa, tidak ada satu cara pun yang dapat dijalankan untuk mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap hidup; oleh karenanya, banyak hewan ternak disembelih dan dagingnya kemudian harus diawetkan. Untuk itu dibutuhkan sekali adanya garam dan rempah-rempah. Dan di antara rempah-rempah yang diimpor, cengkih dari Nusantara adalah yang paling berharga…”Sehingga praktis, masyarakat Eropa kala itu memiliki ketergantungan yang tinggi pada Kesultanan Ustmani.

 

Tapi persoalan itu terpecahkan setelah pada 25 November 1491 Raja Ferdinand dan Ratu Isabella berhasil menaklukkan Kesultanan Granada yang merupakan kekuatan Islam terakhir di bumi Andalusia.

 

Bersamaan dengan takluknya Andalusia, pantai-pantai di selatan Eropa sampai Selat Gibraltar terbuka lebar. Bangsa Eropa menemukan jalur alternatif untuk melakukan perjalanan dagang, tanpa harus berdarah-darah memaksakan diri melalui jalur yang dikuasai Kesultanan Utsmani.

 

Wilayah Andalusia yang berhasil ditaklukkan oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella itu, pada hari ini kita kenal sebagai Negara Spanyol. Sedang tetangganya, yang juga masih dalam satu rumpun dinasti dengan Raja Ferdinand, bernama Portugis.

 

Selagi Raja Ferdinan sibuk mengalahkan Kesultanan Granada, Kerajaan Portugis-yang letak wilayahnya langsung menghadap ke Samudera Atlantik-sudah terlebih dahulu melakukan pelayaran mencari rempah-rempah. Meski begitu, capaian pelayaran mereka belum terlalu jauh. Masih sebatas mencapai Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika.

 

Ferdinand, dengan segala kemampuan armada yang dimilikinya, sebenarnya memiliki peluang untuk melampaui capaian Portugis. Hanya saja dia terpancing dengan proposal menggiurkan dari Colombus yang menemukan peta pelayaran ketika datang ke Istana Al-Hambra pada Januari 1492, atau sesaat setelah Raja Boabdil-Sultan terakhir Granada-angkat kaki dari Istana tersebut.

 

Alhasil, proposal Colombus disetujui. Maka berlayarlah orang-orang Spanyol ke kawasan barat dunia. Dan kita pun mengetahui kisah perjalanan itu selanjutnya.

 

Tak lama setelah ekspedisi Columbus ke Benua Ameriks, pelaut kenamaan Portugis bernama Vasco da Gama bertemu dengan seorang pelaut Muslim yang cukup terkenal pada masanya, bernama Ibnu Majid. Konon, Ibnu Majid inilah yang memperkenalkan kompas kepada Vasco da Gama.

 

Kompas ini sudah dirancangnya sedemikian rupa, dengan akurasi lebih optimal dari yang dimiliki masyarakat pada umumnya. Ibnu Majid lah yang kemudian menunjukkan jalan kepada Vasco da Gama, sehingga dia berhasil mencapai Tanjung Harapan pada tahun 1497.

 

Di titik ini dia melihat sebuah mega kawasan Samudera Hindia, yang namanya sudah terkenal sejak zaman purba. Di tepian kawasan yang besar inilah lahir semua bangsa dan peradaban terkemuka di dunia.

 

Vasco da Gama melihat masa depan di hadapannya. Dia memutuskan melanjutkan ekspedisinya ke Samudera Hindia. Dan akhirnya, pada tahun 1498 – atau hanya setahun setelah berhasil melewati Tanjung Harapan-Vasco da Gama sudah berhasil mencapai India, salah satu pusat peradaban terbesar di pesisir Samudera Hindia.

 

Selain di Goa, simpul perdagangan paling penting dalam skema perdagangan di Samudera Hindia adalah Kesultanan Malaka. Di perkirakan, pada masa ini Kesultanan Demak sudah berdiri dengan rajanya yang pertama bernama Raden Patah. Menurut catatan Prof. Dr. Slamet Mulyana, Kesultanan Demak pertama berdiri pada tahun 1475 M, setelah berhasil meruntuhkan negara Majapahit.

 

Tapi agaknya, Demak ketika itu belum berhasil mewarisi legitimasi Majapahit di laut Nusantara. Karena Kesultanan Malaka masih cukup kuat pengaruhnya karena di dukung secara politik dan militer oleh Kekaisaran China.

 

Dan yang tak kalah penting, Malaka memiliki oleh sosok perdana meteri kharismatik bernama Tun Perak. Dialah sosok yang membangun sistem ordonansi laut di Nusantara setelah runtuhnya pengaruh Majapahit. Sehingga perairan ini aman dilalui dan disinggahi.

 

Menurut M.C. Ricklefs, sejak adanya Malaka, seluruh komoditi di gugusan pulau Nusantara dikirim ke Malaka sehingga membentuk satu sistem jaring perdagangan tersendiri. Di Malaka, sistem perdagangan Nusantara itu dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke barat sampai India, Persia, Arabia, Suriah, Afrika Timur, dan Laut Tengah: ke Utara sampai ke Siam dan Pegu; serta ke Timur sampai ke China dan mungkin Jepang. Ini adalah sistem perdagangan yang terbesar di dunia masa itu.

 

Tapi pada tahun 1498 itu-atau bersamaan dengan tibanya Vasco dan Gama ke Goa-Tun Perak wafat, setelah mengabdi selama lebih dari 50 tahun sebagai Bendahara Negara (perdana meteri); terhitung sejak masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1446-1459), Mansyur Syah (1459-1477), Alauddin Rikayat Syah (1477-1488), hingga Mahmud Syah (1488-1528). Banyak sejarawan menilai, bahwa sistem pengendalian pasar perdagangan yang demikian besar tidak bisa dilepaskan dari peran Tun Perak.

 

Namun sejak kepergian Tun Perak, Malaka mulai mengalami kemunduran. Konflik internal kerajaan mulai mencuat. Pada saat ini, Kesultanan Demak sudah matang, dan bersiap mengambil alih legitimasi di laut Nusantara. Sedang di Goa, Vasco da Gama mulai frustasi karena kalah bersaing secara sehat di pasar Asia. Kerajaan Portugis mulai berpikir untuk menggunakan cara paling purba, yaitu merampas dengan paksa.

 

Keberhasilan Vasco da Gama mencapai India begitu membanggakan dan terbilang sangat monumental bagi masyarakat Eropa kala itu. Dengan percaya diri, mereka mulai terjun ke pasar Asia untuk memperkenalkan dan menawarkan komoditi bangsa mereka. Tapi tak butuh waktu lama, mereka segera menyadari, bahwa barang-barang perdagangan yang ingin mereka jual, tidak dapat bersaing di pasar India yang canggih dengan hasil-hasil bermutu yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia.

 

Akhirnya, mungkin karena kehabisan cara untuk bersaing, Bangsa Portugis ketika itu mengambil keputusan bahwa bila ingin eksis di pasar yang besar ini, tidak ada pilihan bagi mereka selain merebutnya dengan cara paksa. Maka diperintahkanlah Afonso de Albuquerque, seorang Panglima armada laut Portugis yang paling terkenal kala itu. Dengan kekuatan penuh, dia berlayar menuju India pada tahun 1503.

 

Niat bertempur Albuquerque benar-benar kentara. Pengalaman bertempur dengan tentara Muslim membuat Bangsa Eropa mengenal segala perlengkapan perang mutahir, seperti bubuk mesiu dan meriam. Dengan sedikit inovasi, Albuquerque melengkapi kapal-kapalnya dengan meriam yang banyak, sehingga kapalnya lebih mirip sebuah panggung meriam di lautan ketimbang sebuah sarana transportasi.

 

Dengan persiapan seperti ini, terang saja mereka menjadi armada laut paling perkasa di muka bumi kala itu. Sejarah kemudian mencatat, bahwa inilah ekspedisi militer pertama ke Asia, yang menandai dimulainya era kolonialisme Bangsa Eropa hingga 500 tahun kemudian.

 

Afonso de Albuquerque tiba di pantai India sekitar tahun 1510 M. Dan kota penting pertama yang menjadi target mereka adalah Goa (disebut juga Goa Lama atau Velha Goa), yang terletak di pantai barat India.

 

Bukan tanpa alasan Albuquerque menarget kota ini. Pada waktu itu, kota ini masih berada di bawah kekuasaan Dinasti Utsmani. Dari tempat inilah komoditi unggulan yang dimonopoli Kekhalifahn Utsmani dialirkan dari timur ke barat. Dengan menguasai kota Goa, Albuquerque berharap bisa menutup salah satu jaringan penting kompetitor mereka di Eropa.

 

Karena letaknya yang mungkin sangat jauh dari pusat pemerintahan Dinasti Utsmani, Kota Goa tidak dijaga dengan maksimal. Dalam waktu singkat armada laut Portugis berhasil menaklukkan Goa dan mendirikan pangkalan dagang di sana. Konon, keberhasilan Albuquerque ini juga karena didukung oleh beberapa kelompok Hindu di Goa yang juga ingin menguasai kota tersebut. Maka ketika pertama kali Albuquerque memasuki kota tersebut, dia disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat setempat.

 

Tapi keberuntungan Albuquerque tidak berlangsung lama. Hanya beberapa bulan kemudian, kota tersebut berhasil direbut kembali oleh kaum Muslim Goa, Albuquerque dan pasukannya pun pergi meninggalkan Goa.

 

Di saat inilah dia baru menyadari bahwa mega peradaban yang terbentang dari Tanjung Harapan di Afrika hingga ke China ini merupakan satu untaian ekonomi dan kultural yang tidak bisa dipisahkan. Dia harus memahami dulu dengan baik semua konstalasi ini, sebelum menyerang dan menguasai keseluruhannya.

 

Dari pengamatannya, titik penting dan paling krusial di sepanjang jalur perdagangan besar ini bukanlah Goa, tapi Malaka. Di sanalah semua komoditi dari segala penjuru dunia bermuara dan mengalir kembali ke berbagai tempat. Inilah target invasi yang sesungguhnya.

 

Maka demikianlah, pada pertengahan tahun 1511, Albuquerque bersama armada perangnya mulai memasuki Selat Malaka. Di sisi lain, sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, Kesultanan Malaka sudah tidak sama seperti sebelumnya, setelah ditinggal oleh tokoh sentralnya, Pedana Menteri Tun Perak.

 

Komunitas internasional yang menjadi kekuatan inti di Malaka, sekarang justru diurus dengan cara yang salah. Kesultanan menetapkan pajak yang sangat tinggi kepada mereka. Sehingga banyak pedagang yang mulai mempertimbangkan untuk mencari pelabuhan lain dan pasar baru yang lebih menguntungkan. Kesultanan Malaka seperti lupa, bahwa kepercayaan dan kesetiaan komunitas internasional kepada mereka, adalah kunci kejayaan mereka.

 

Albuquerque, tidak mau mengulang kesalahan di Goa. Dengan sabar dia mengamati dari kejauhan dinamika Kesultanan Malaka yang mulai compang-camping oleh perpecahan internal. Dan ketika sudah dirasa siap, pada 25 Juni 1511, dia memerintahkan pasukannya menyerang Malaka. Cukup satu hari saja waktu yang dibutuhkan Portugis untuk membakar pelabuhan Malaka. Dan hanya berselang seminggu kemudian, Portugis sudah berhasil menguasai sepenuhnya Kesultanan Malaka.

 

Bersama jatuhnya Malaka, runtuh pula sistem perdagangan di Nusantara dan Asia. Portugis dengan leluasa melenggang ke Maluku, memetik rempah-rempah langsung dari sumbernya. Dan bersamaan dengan itu, Nusantara memasuki fase paling kelam dalam sejarah peradabannya, yaitu Kolonialisme bangsa Eropa.

 

Agresi Portugis dan monopoli perdagangan yang dilakukannya di Malaka menimbulkan kebencian dan menyulut api kemarahan para saudagar Islam.

 

Para saudagar Islam tidak mau lagi melakukan perdagangan ke Malaka. Jalur perdagangan diganti atau dialihkan ke pantai pesisir utara Jawa, mencakup Madura, Ampel Denta (Surabaya), Gresik, Tuban, Jepara Demak, Cirebon, Sunda Kelapa, Banten, Palembang, Aceh dan Pasai.

 

Salah satu rujukan utama yang menggambarkan kondisi Kesultanan Demak pada masa ini adalah catatan Tome Pires, seorang penulis Portugis yang ikut dalam ekspedisi Albuquerque. Dia sempat singgah ke Demak pada sekitar tahun 1515.

 

Dalam catatannya, Tome Pires menggambarkan Kota Demak sebagai kota yang makmur; terdiri dari 8.000 sampai 10.000 rumah dan tanah di sekitarnya menghasilkan beras melimpah-limpah, yang sebagian diekspor ke Malaka.

 

Lebih jauh Tome Pires menjelaskan, Demak memiliki sekitar 40 kapal jenis Jung yang melayani perniagaan di sepanjang pesisir utara Jawa hingga Palembang, Jambi, Bangka, Belitung, Pulau-pulau Menamby, dan Pulau-pulau di depan Tanjungpura.

 

Berdasarkan penelitian M.C. Ricklefs, Kesultanan Demak pada masa itu dianggap sebagai pewaris legitimasi Majapahit di Laut Nusantara, khususnya di utara pulau Jawa. Dengan kekuatannya ini, Demak menjadi satu-satunya kekuatan politik di nusantara yang mampu menantang kekuatan Portugis di Malaka.

 

Mudahnya bangsa Portugis merebut hegemoni di perairan Nusantara, tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah yang berkembang sebelumnya di Pulau Jawa, yaitu kemunduran Majapahit. Imperium terbesar di Nusantara ini, harus menghadapi musuh yang tidak mungkin dikalahkan oleh imperium manapun, yiatu perang saudara.

 

Jejak kemunduran ini dimulai pada tahun 1401-1405 atau setelah wafatnya Hayam Wuruk. Ketika itu, terjadi perang suksesi memperebutkan tahta Majapahit antara Prabu Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dengan Breh Wirabhumi (anak tiri Hayam Wuruk).

 

Perang yang dikenal sebagai Perang Paregreg ini telah menguras kekuatan Majapahit sedemikian rupa. Sehingga membuat pengaruh Majapahit di Nusantara memudar dan kewibawaannya menurun. Beberapa negara bawahan bahkan mulai melepaskan kesetiaannya dari Majapahit.

 

Di sisi lain, perubahan cepat yang terjadi di level global membuat segala bentuk anasir dari luar berjamur di Nusantara. Salah satu yang paling dominan adalah pengaruh agama Islam yang datang bergelombang baik dari India, Hadramaut (Yaman), maupun dari Cina dan Champa.

 

Sebagai catatan, pengaruh Islam yang hadir pada era ini memang memiliki metode penyebaran agak berbeda dengan sebelumnya. Bila sebelumnya Islam datang dalam bentuk komunitas atau keluarga. Pada masa ini, Islam masuk ke nusantara dengan didukung pengaruh diplomasi antar negara yaitu Kerajaan Majapahit dengan Dinasti Ming di Cina dan Champa di Vietnam.

 

Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo mengatakan, bahwa pengaruh Islam dari Cina menguat sangat pesat sejak ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho mendatangi Nusantara pada tahun 1405.

 

Ekspedisi ini secara tidak langsung menandai dimulainya proses pembangunan instalasi formal kekuasaan bangsa Cina – yang kebetulan umumnya Muslim – di Nusantara. Maka tidak mengherankan bila mereka bisa dengan cepat memanjat struktur sosial dan politik di Majapahit. Baik melalui jalur pernikahan, maupun melalui jalur politik dan profesional.

 

Pada masa selanjutnya, di Majapahit sudah lahir beberapa orang ningrat berdarah campuran (Arab, Cina dan Jawa) yang menjabat posisi penting di kerajaan. Sejak itu, kaum Muslimin mulai mendapat perhatian lebih dari para petinggi Majapahit.

 

Sebagai catatan, perang saudara yang berlangsung menahun di internal Majapahit, mengakibatkan kohesifitas wilayah kekuasaan mereka kian renggang. Ketika wafatnya Kertawijaya, masih terpantau setidaknya 24 negara bawahan (nagara sakawat-bhumi) yang menjadi bagian dari Majapahit. Tapi ketika akhir masa pemerintahan Girisawardhana, telah bermunculan wilayah baru seperti Demak, Pengging, Giri, Sengguruh, Tepasana, Garudha, dan Surabaya.

 

Munculnya sejumlah wilayah baru tersebut, bukan pertanda bahwa kekuasaan Majapahit kembali berjaya. Sebaliknya, kemunculan mereka merupakan dampak dari perpecahan internal di sejumlah daerah kekuasan Majapahit. Perpecahan ini kian marak, ketika Girisawardhana mangkat. Terdapat belasan wilayah baru muncul, yang masing-masingnya mendaulat diri sebagai pewaris sah tahta Majapahit.

 

Akibatnya, sering terjadi gesekan, hingga pecah peperangan di antara mereka. Adapun ibu kota kerajaan Majapahit, pada masa itu berpindah ke wilayah pedalaman, yaitu ke Daha-Kediri. Imperium Majapahit yang bercorak kebudayaan Bahari itupun bertransformasi menjadi Negara agraris yang terkucil dari pergaulan dunia. Pelaut-pelaut Portugis yang datang ke Jawa pada awal abad 15, masih mencatat nama Majapahit sebagai Negara yang terletak di wilayah pedalaman Daha.

 

Disaat itu muncullah Kesultanan Demak di pantai utara Jawa. M.C Ricklef dalam karyanya berjudul “Sejarah Indonesia Modern” yang diterbitkan tahun 1981 mengatakan sebagai berikut:

Negara Islam yang paling penting di wilayah pantai utara Jawa pada awal abad ke 16 adalah Demak. Pada masa itu Demak merupakan sebuah pelabuhan laut yang baik walaupun timbunan lumpur yang sangat banyak di pantai pada abad-abad berikutnya telah menjadikan letak Demak dewasa ini beberapa kilometer jauhnya dari laut."

"Asal-usul negara ini sangat tidak jelas. Tampaknya Demak didirikan pada perempat terakhir abad 15 oleh orang asing yang beragama Islam, yang kemungkinan besar seorang Cina yang bernama Cek Ko-Po. Putranya adalah seorang yang oleh orang-orang Portugis disebut dengan nama “Rodim”, yang kemungkinan besar sama dengan Badruddin atau Kamaruddin; tampaknya dia meninggal sekitar tahun 1504."

"Putra Rodim, atau mungkin adiknya, adalah orang yang menegakkan hegemoni Demak di jawa yang bertahan lama. Dia dikenal dengan nama Trenggana, dan tradisi-tradisi Jawa yang kemudian menyebutkan bahwa dia bergelar sultan walaupun hal ini mungkin bersifat anakronistis."

"Trenggana agaknya memerintah Demak dua kali, sekitar tahun 1505-18 dan sekitar 1521-1546; kurun waktu antara dua masa pemerintahan tersebut diisi oleh iparnya, Raja Yunus dari Jepara. Trenggana mengatur perluasan pengaruh Demak ke arah timur dan barat, dan selama masa pemerintahannya yang kedualah kerajaan Hindu-Budha yang terakhir di Jawa Timur runtuh sekitar tahun 1527.”

 

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511 membuat kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara berang. Pasalnya, Portugis selain memonopoli perdagangan di selat terpenting dalam jalur rempah Nusantara itu juga membawa misi feitoria, fortaleza, danigreja (gold, glory dan gospel).

 

Benteng A Famosa

 

Selain itu, Portugis juga membangun benteng A Famosa sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan di Malaka. Dari benteng ini, Portugis mengatur kendali pemerintahan di Malaka usai takluknya Sultan Mahmud Syah.

 

Portugis juga telah menerapkan strategi maritim dengan tujuan untuk mengendalikan dan mengontrol Selat Malaka sebagai jalur strategis dan pusat perdagangan di dunia dengan cara menyerang kapal-kapal dagang muslim dengan tujuan mencegah kepentingan kekuatan maritim lain untuk menggunakan Malaka.

 

Kekalahannya dari Portugis membuat Sultan Mahmud Syah menetap di Johor dan akhirnya menjadi Sultan Johor berikut dengan para keturunannya. Belum genap kedudukan Portugis di Malaka, Kesultanan Islam di Jawa, yakni Demak sudah merencanakan serangan besar-besaran ke Malaka.

 

Adipati Yunus yang merupakan putera mahkota Sultan Demak dipercayakan memimpin serangan besar tersebut. Hanya butuh waktu satu bulan, Adipati Yunus yang kemudian lebih dikenal Pati Unus telah menghimpun kekuatan dari Cirebon, Jepara (pimpinan Ratu Kalinyamat), Palembang bahkan Johor sendiri yang merupakan titik terdekat dengan Malaka.

 

Tidak cukup sampai di situ, Pati Unus juga memanfaatkan para pedagang Jawa di Malaka sebagai Telik Sandi (intelijen) yang diserahi tugas membangun kekuatan di daratan Malaka. Pasukan Telik Sandi ini dipimpin oleh Utimuti Raja yang memiliki hubungan kuat dengan para bangsawan di Malaka.

 

Waktu keberangkatan untuk menyerang yang telah ditentukan oleh Pati Unus tiba. Sebanyak 10.000 pasukan yang diangkut dengan 100 buah kapal diberangkatkan dari Pelabuhan Demak.

 

Kapal yang digunakan untuk mengangkut perlengkapan dan prajurit terdiri dari beberapa jenis antara lain disebut kapaljung, yaitu merupakan kapal layar yang berukuran beberapa ratus ton. Jenis yang lain adalah lancaran, merupakan kapal layar atau dayung hampir sama halnya dengan jenis jung. Kemudian kapalPangajava, merupakan kapal yang dibuat khusus untuk perang dan dapat dipersenjatai dengan meriam, tenaga penggeraknya adalah layar dan dayung.

 

Dari jumlah armada tersebut, Pati Unus memecah menjadi dua jalur. Satu melewati perairan barat Sumatera dan satu melewati perairan timur Sumatera. Maksudnya ialah untuk mengepung Malaka dari berbagai penjuru.

 

Sementara itu, Utimuti Raja yang sudah mengetahui keberangkatan Pati Unus, maka bersama pasukan Telik Sandi-nya segera menyusun langkah-langkah konkret dalam menggalang pedagang Jawa. Selain itu, ia juga bertugas untuk mengetahui sendi-sendi kekuatan musuh agar mudah ditaklukan.

 

Jika Demak memiliki Utimuti Raja sebagai kepala Telik Sandi, maka Portugis memiliki Tome Pires sebagai kepala Telik Sandi-nya. Tome Pires merupakan sang juru tulis ulung sekaligus merangkap sebagai kepala intelijen pasukan Portugis. Dia mampu membaca gelagat para pedagang Jawa yang menurutnya ada keanehan. Kemudian bersama timnya, ia berhasil mengetahui rencana Demak untuk menyerang Malaka.

 

Tome Pires pun langsung memberi laporan berharga ini kepada Gubernur Portugis Alfonso d’Albuquerque. Kemudian sang Gubernur langsung memerintahkan untuk memperkuat pertahanan dan meminta bantuan kepada pasukan Portugis di Goa dan Maluku. Setelah mengetahui banyak data tentang persekongkolan antara Utimuti Raja dengan Demak, maka Gubernur Portugis langsung memerintahkan untuk menangkapnya.

 

Tanpa perlawanan berarti, Utimuti Raja dengan sebagian besar pasukannya berhasil ditangkap. Hingga kemudian dihukum mati oleh Portugis lantaran tidak ingin membocorkan rahasia kekuatan Demak.

 

Selama penugasannya, Utimuti Raja berhasil menghimpun kekuatan bersama Sultan Johor dan mengetahui seluk beluk benteng A Famosa beserta pelabuhan-pelabuhan pendukungnya. Pesan itu akhirnya sampai ke Pati Unus yang kemudian mangapresiasi kinerjanya. Namun, Pati Unus baru mengetahui kematian Utimuti Raja setelah perang berkobar di Malaka.

 

Portugis yang memiliki Tome Pires, seorang intelijen legendaris yang memegang data seluruh kekuatan Nusantara lebih dikatakan berhasil ketimbang Utimuti Raja. Ia pula orang yang membuat buyar seluruh perencanaan yang telah disusun rapih oleh Pati Unus.

 

Hal itu yang membuat kekalahan pasukan Pati Unus saat menyerbu Malaka. Segala kekuatannya telah diketahui oleh pihak musuh. Sementara, dia hanya sedikit mengetahui kekuatan lawan berdasarkan laporan Utimuti Raja.

 

Dalam konteks intelijen, pemenang perang merupakan pihak yang paling banyak memegang data lawan sehingga mampu membuat perencanaan dalam upaya counter-nya.

 

Kendati menuai kekalahan, namun apa yang dilakukan oleh Utimuti Raja dengan pasukannya telah memberikan pelajaran kepada kita hari ini, yaitu bagaimana pentingnya peranan intelijen maritim sebagai syarat untuk menjadi negara maritim yang besar. Dengan proyeksi pembangunan kekuatan maritim di antara perpaduan armada dagang dengan armada tempur.

 

Sumber:

-Kesultanan Demak, Setting Sejarah, ganaislamika.com

-Mengenang Intelejen Demak dalam Pertempuran Malaka, maritimnews.com

 

Artikel lainnya

Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)

Author Abad

Oct 29, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han

Malika D. Ana

Jan 14, 2023

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Kapan Indonesia Siap Berdemokrasi?

Author Abad

Nov 01, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023