images/images-1680421942.jpeg
Budaya

Sebelum Pulang Pensiun, Pekerja VOC Pilih Jual Barang Bekas

Pulung Ciptoaji

Apr 02, 2023

591 views

24 Comments

Save

Kehidupan mewah pekerja VOC di Surabaya. 

 

abad.id- Dalam lembar sejarah penjajahan Belanda, Jan Pieterszoon Coen dikenal peletak dasar kolonialisme. Gubernur Jenderal Gubernur Jenderal VOC  periode 1619-1623 dan 1627-1629 ini, sosok yang bisa berpikir melampaui zaman. Monopoli perdagangan di wilayah Nusantara adalah idenya yang paling sukses. Meskipun pada akhirnya banyak diprotes Inggris dan Portugis serta Mataram, langkah Jan Pieterszoon Coen berhasil membangun koloni di bumi Nusantara.

 

Tahun pertama memimpin Batavia, Coen mengupayakan segala cara untuk memberantas penyakit moral. Peraturan mengikat yang berlaku untuk semua orang Belanda yang tinggal di Batavia dikeluarkan olehnya. Orang Belanda di Batavia dilarang memiliki satu atau lebih budak wanita untuk dijadikan gundik dengan alasan apapun. Dalam menegakkan aturan, Coen tak pandang bulu. Bahkan mereka yang melakukan perzinaan yang dianggap Coen menyimpang, seperti homoseksual dan pedofilia turut diadili.

 

Kebijakan ketat ini juga dianggap adil dengan kesejahteraan para pegawai VOC. Di negeri Eropa, VOC dikenal kongsi dagang yang bergaji besar dan jaminan kesejahteraan. Mulai pegawai hingga pejabat maskapai dagang Belanda, VOC kerap hidup nyaman di Nusantara. Mereka hidup bak Raja Jawa. Segala macam komponen hidup mewah diadopsinya. Dari pakaian mahal hingga rumah gedong. Semuanya untuk menjaga gengsi antara pejabat Kompeni. Maka banyak negara negara lain di eropa yang iri dengan VOC, dan warga kulit putih melamar bekerja menjadi pegawai di negeri timur jauh.

 

Padahal selama tinggal di nusantara tidak ada jainan hidu menetap. Mereka akan bekerja hingga kurun waktu tertentu sesuai kontrak tergantung jenis pekerjaan dan jabatannya. Ada yang konrak hanya 10 tahun hingga 20 tahun. Namun bagi warga Belanda dengan jabatan khusus biasanya lebih singkat, sebab hanya penugasan di negeri timur jauh. Umumnya setelah berhasil mengumpulkan tabungan besar dari hasil pekerjaan atau usaha, mereka memilih ingin pensiun di kampung halamannya di eropa Belanda.

 

Untuk meninggalkan nusantara, mereka ingin tidak ribet dengan beban harta benda. Bahkan rela menjual seluruh komponen kekayaannya, dan membawa pulang uang tunai. Pakaian bekas pakai, kuda dan rumah apalagi.

 

Pada jaman  Jan Pieterszoon Coen, urusan hidup mewah seakan hanya dimiliki pegawai dan pejabat VOC. Perilaku hidup mewah ini sekedar ingin melanggengkan atau terinspirasi kehidupan Raja Jawa. Kehadiran warga kulit putih digambarkan harus berada diatas status sosial apapun, kecuali disetarakan dengan bangsawan Jawa. Maka dengan mudah mampu menguulkan uang sangat besar, sekalipun gai dari VOC sangat kecil.

 

Pendapatan itu didapatnya tak lain dari aktivitas korupsi dan kolusi. Mulai dari pegawai hingga pejabat VOC sangat rajin mengumpulkan penghasilan tidak resmi untuk membeli kemewahan. Bahkan tidak jarang dengan kekuasaan itu melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap warga pribumi, dengan melakukan perampasan hak dan materi. Tujuan pejabat dan para pegawai VOC hanya ingin hidup makmur dan kaya raya di hari tua di Belanda.

 

Tradisi korupsi ini seakan tidak bisa dihentikan. Beberap pihak yang mencoba menghentikan kelanggengan korupsi ini diangap pahlawan kesiangan dan mengganggu eksistensi di tanah Nusantara. Mereka akan disingkirkan oleh sesama warga kulit putih. Lebih dari itu, perilaku nepotisme dilakukan secara terbuka. Promosi jabatan bagi pegawai bisa terjadi dengan syarat besar. Salah satunya urusan kenaikan pangkat dan mutasi bisa lebih cepat apabila berasal dari kalangan tinggi terutama aristokrat dan didukung koneksi.

 

pekerja VOC

Gambaran gaya hidup perempuan Belanda bersama Marie Thomas dokter perempuan pribumi pertama di Nusantara. 

 

Gaya hidup mewah itu dipamerkan pada tiap kesempatan. Mulai pesta pernikahan hingga pemakaman. Ajang pamer pejabat VOC mencangkup segala hal, mulai kereta kuda, budak, pakaian, hingga perhiasan yang digunakan. Perilaku pejabat Kompeni itu jadi bukti bumi Nusantara sangat menjanjikan kekayaan.

 

“Para pejabat tinggi VOC hidup seperti bangsawan tinggi Jawa bergaya mentereng. Dengan iringan hamba dan sahaya, dilengkapi rumah mewah berpekarangan luas dan iringan pengawal, dan bepergian dengan pengawalan sejumlah pelayan dan penjaga. Semua itu atas biaya penduduk, terlebih karena perjalanan itu selalu dibarengi dengan perlombaan, perburuan, dan pesta penyambutan.”

 

Bahkan Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014) menggambarkan bagi pejabat VOC mengharuskan bupati dan bawahannya menyediakan beragam barang dan pelayanan setiap kali kunjungan. Mulai penginapan, kuda, makanan, minuman, perempuan dalam jumlah besar.

 

Pensiun Jual Barang Bekas

 

Ibarat lalat, ternyata hidup dengan jaminan kesejahteraan di Nusantara ternyata hanya sebentar. Mereka bisa menikmati kemakmuran itu hanya bertahan sebentar, sesuai dengan kontrak kerja dan masa usia pensiun. Sehingga mumpung hanya waktu yang singkat itu, ada semangat mengupulkan kekayaan sebanyak-banyakknya secara rakus. Bagi pejabat Belanda umumnya tidak ingin pensiun di Nusantara. Mereka ingin menikmati hari tuanya di Belanda negeri asalnya.

 

Saat menjelang pulang inilah, para pekerja yang menjelang masa akhir di nusantar mulai panik. Mereka harus menjual segala kompenen kekayaannya. Terutama pakaian mewah bekas pakai. Pakaian di Nusantara belum tentu cocok dengan iklim Eropa. Alhasil, mereka cuma butuh ‘mentahnya’ saja.

 

Calon pensiunan ini memiliki opsi menjual seluruh barang berharga yang dimiliki. Caranya mempercayakan seluruh barang mewah kepada seorang makelar. Atau pensiunan tersebut mengurus semua sendiri jauh hari sebelum pulang ke Belanda.

 

Maka saat kegiatan menjual baju bekas khusus milik pensiunan pejabat paling digemari. Utamanya di Batavia , kegiatan itu menjelma menjadi garage sale bekas. Apalagi jika barang tersebut dimiliki seorang yang memiliki jabatan tinggi.

 

Semua barang yang dijual jadi rebutan warga Batavia. Harga sangat miring, tergantung reputasi pejabat selama di nusantara. Mereka yang berhasil membelinya bak ketiban durian runtuh.

 

 

“Lelang merupakan suatu cara para pejabat kolonial menjual barang rumah tangganya, ketika mereka harus pulang ke Belanda atau dimutasikan ke daerah lain. Cara ini sudah berlangsung sejak akhir abad ke-18. Cara ini hanya meneruskan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Peosesnya seperti kegiatan lelang budak, pachter candu, judi, dan rumah gadai.” Tulis Jan Breman.

 

Sementara itu pelayaran tujuan Belanda sangat ramai dan banyak kapal barang dan penumpang datang dan pergi tiap bulannya. Pada masa serangan Sultan Agung Mataram ke Batavia, jumlah penumpang yang mengangkut pasukan dari Belanda semakin banyak. Begitu pula saat perang Jawa dan aceh, jumlah kapal yang mengangkut serdadu Eropa semakin sering. Kehadiran para pejabat militer di Batavia mempengaruhi perubahan perilaku warga kulit putih menjadi tidak hedonis. (pul)

 

 

 

Artikel lainnya

Begini Asal Mula Peristiwa Sinterklas Hitam

Pulung Ciptoaji

Jun 17, 2023

Harapan untuk Mewujudkan Transisi Hijau di Bawah Kepemimpinan Baru

Mahardika Adidaya

Dec 09, 2024

Seberapa Penting Menjaga Kesehatan Jantung?

Mahardika Adidaya

Nov 06, 2024

Kelas Menengah Indonesia dan Upaya Pemerintah dalam Menyejahterakan Masyarakat

Mahardika Adidaya

Oct 31, 2024

Hilirisasi Nikel : Potensi atau Ancaman?

Mahardika Adidaya

Nov 01, 2024

Overcapacity Pembangkit Listrik di Indonesia dan Penutupan Dini PLTU

Mahardika Adidaya

Nov 21, 2024