Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak diraih dengan cara mudah, penuh dengan pengorbanan nyawa para pahlawan terdahulu. Dari sekian banyak pahlawan yang paling dikenal nama - nama seperti Imam Bonjol, Pattimura, Cut Nyak Dien, Bung Tomo, Soekarno dan Mohammad Hatta. Padahal diluar sana ribuan tentara telah mengorbankan keringat dan darahnya untuk Indonesia Merdeka. Para prajurit ini tergabung dalam BKR dan TKR. Umumnya mereka belajar menembak dari pendidikan KNIL dan PETA. Sementara banyak warga sipil lain yang tergabung dalam beberapa barisan pejuang rakyat non militer. Nama mereka tidak pernah dikenal dan dimakamkan secara massal di sejumlah tempat.
Kemampuan tempur tentara Indonesia pada masa awal kemerdekaan tidak lepas dari hasil didikan Jepang. Rupanya Jepang sadar bahwa perlu mobilisasi warga pribumi agar tugas tugasnya mengamankan kawasan asia yang luas itu menjadi lebih mudah. Pada 29 April 1943, Panglima Perang Jepang Harada membentuk organisasi Keibadan dan Seinedan. Pertama yang dibentuk polisi pembantu yang tidak bersenjata, dengan kelompok usia 23 tahun hingga 35 tahun. Kemudian organisasi kedua berupa korps pemuda yang tak bersenjata. Mereka terdiri dari para remaja antara usia 14 tahun hingga 23 tahun. Tugas kelompok kedua ini menjaga keamanan udara.
Di tahun yang sama bulan Oktober 1943, Harada juga mengambil satu langkah yang lebih agresif, yaitu mengumumkan pembentukan sebuah angkatan bersenjata dengan anggotanya para pribumi yang dipersenjatai. Para pemimpin organisasi ini para perwira sebangsanya. Tugas mereka tersirat dalam namanya pasukan sukarela Pembela Tanah Air, atau disingkat PETA.
Namun dalam buku Biografi tulisan Lambert Giebels, Soekarno berkata bahwa PETA ini hasil ciptaaannya. Dirinya juga meminta orang bernama Gatot, bekas sesama tahanan selama masa PNI, sebagai komandannya. Gatot sendiri menceritakan hal yang lain sama sekali dari keterangan Sukarno. Menurutnya Soekarno dan Hatta mendesak orang Jepang untuk memberlakukan dinas militer. Menurut Gatot gagasan ini dianggap kurang baik sehinggaa ia perlu mengirim surat pembaca ke majalah Asia Raya. Usul Gatot bahwa pasukan sukarelawan lebih baik daripada pasukan militer.
Setelah membaca tulisannya di majalah Asia Raya, seorang kapten dari dinas militer bernama Yanagawa Heisuke, mengundangnya untuk membicarakan konsep tersebut. Karena atas desakan orang Jepang, akhirnya Gatot mengeluarkan imbauan di atas kertas. Untuk membukikan betapa seriusnya, Gatot menusuk jarinya dengan pena dan menulis namanya dengan darah di atas surat yang lebih bersifat petisi. Pemerintah militer sudah lama memikirkan rencana membentuk pasukan sukarela pribumi ini. Kapten Yanagata diberi tugas untuk mendirikan pasukan, dan Gatot diangkat menjadi penasehat.
Untuk rekrutmen pertama kader PETA sebagian besar berasal dari kalangan guru. Mereka dilatih keras oleh instruktur asal Jepang. Kader pribumi inilah yang nantinya melatih para perwira rendahan dan serdadu. Dalam waktu singkat akhirnya dibentuk 67 batalyon yang masing masing beranggotakan 500 orang. Total mobilitas pasukan PETA ini sebanyak 35 ribu orang, atau dua kali lipat lebih besar dari kekuatan tentara 16 yang berada di pulau jawa.
Batalyon PETA ini merupakan kesatuan yang berdiri sendiri tanpa ada markas besarnya. Mereka direkrut dan ditempatkan di karisidenan tempanya berasal. Keterikatan dengan daerahnya masing masing inilah yang kelak menjadi modal solidaritas dan jiwa patriot. Pasukan PETA ini dipersenjatai, mulai senapan hingga tank.
Semasa awal latihan, para calon personil Heiho dan PETA diajari memakai aneka senjata tua yang dirampas dari pasukan KNIL seperti karaben Hamburg kaliber 6,5 mm dan senapan mauser Kav 1889 kaliber 7,92 mm. Setelah dianggap mahir baru beralih ke senjata standar tentara Jepang sendiri dari jenis Arisaka tipe 30 dan 38. Sedangkan bagi siswa yang berbakat akan diarahkan menjadi seorang penembak runduk aytau sniper yang akan dikirim ke garis depan. Di perkirakan jumlah pemuda Indonesia yang beruntung mengeyam pendidikan senapan runduk versi Jepang hanya sekitar 70 orang. Tambahan lagi, pendidikan mereka baru selesai dikala pasukan Jepang sudah mulai terdesak Sekutu disejumlah tempat.
Sniper hasil didikan Jepang ini dianggap sangat berbahaya bagi tentara sekutu. Prinsip sniper satu peluru satu nyawa, Para sniper ini diandalkan untuk membentuk garis pertahanan saat pasukan republik terdesak mundur. Foto dok begandring
Peruntukan boleh saja beda, namun landasan ilmu kemiliteran yang terlanjur diserap kedua satuan paramiliter bentukan Jepang itu. Antara lain kemampuan bertahan hidup dan bertempur secara gerilya dengan bekal amunisi minim. Dibarengi disiplin total. Dengan sendirinya para pemuda didikan Jepang ini tanpa sadar telah terbiasa menjadi penembak runduk alami.
Dari sudut pandang Jepang, PETA ini sebagai usaha membentuk sebuah pertahanan Indonesia jika nanti kemungkinan diserang sekutu. Sementara dari sudut pandang orang Indonesia, fungsi PETA berbeda. Yaitu orang-orang Indonesia dilatih secara militer dan membuka peluang terbentuknya sebuah angkatan bersenjata.
Tentara Indonesia Lebih Nekat Dari Gurunya
Pasukan bentukan Jepang ini tidak hanya memiliki ketrampilan tempur dan disiplin organisasi. Ternyata lebih dari itu, pasukan PETA memiliki mental dan nyali yang tinggi. Selama di beberapa palagan pertempuran, tentara pribumi ini tidak mudah ditaklukan meskipun kalah alat dan jumlah. Mereka tidak akan mundur selama pimpinan pleton memberi komando. Jika harus mundur mereka akan jengkel dan menghujat lawannya. Salah satu pasukan yang bergerak sangat nekat itu bentukan Bung Tomo di Surabaya, namanya Pasukan Berani Mati yang anggotanya para relawan siap mati dalam kondisi apapun.
Dikutip dari buku "Bung Tomo : Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November" dari Abdul Waid, pejuang bernama Gumbreg salah seorang anggota pasukan Barisan Berani Mati. Pemuda ini terpanggil untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan dan tidak lagi bekerja sebagai pegawai bekas pelayan kantor dagang. Gumbreg masuk menjadi pasukan Barisan Berani Mati dan berlatih dengan giat, dia terkenal sebagai penembak jitu atau sniper.
Sosoknya menjadi penembak pesawat udara di daerah pertempuran Surabaya. Selama berkiprah di pasukan Barisan Berani Mati, Gumbreg telah berhasil menembak lebih dari 10 pesawat musuh dengan tembakan meriam. Bahkan dia rela tidak digaji menjadi pasukan Barisan Berani Mati karena memang seluruh anggota pasukan ini sama sekali tidak mengharapkan gaji, dan semata-mata memang ingin mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan Indonesia.
Di laskar bentukan Bung Tomo ini, rupanya Gumbreg tidaklah sendiri. Ternyata terdapat puluhan penembak runduk hasil dididik tentara Jepang ikut bergabung. Ilmu tembak runduk yang mereka kenal dimulai dari para samurai Tenno Haika. Tugasnya membuat pertahanan dari serangan pasukan sekutu. Para penembak jitu ini bertengger di atas pohon atau gedung yang runtuh. Dengan modal senapan standar Arisaka tipe 30 atau 38 berkaliber peluru 6,5 mm, mereka menghabisi satu demi satu pasukan sekutu yang mendekat. Dengan sebutir peluru tepat di kepala atau bagian vital lainya. Begitu si perwira tewas, anak buahnya seketika akan mundur menyelamatkan diri. Atau menyerang membabi buta, lalu dibalas hanya satu peluru saja tepat kepala. Saat beraksi para penembak runduk ini dibekali senapan standar. Bagi yang dianggap tajam atau senior, mereka membawa senapan Arisaka tipe 97 juga hasil rampasan Jepang.
Dengan senapan Arisaka tipe 30 atau 38 berkaliber peluru 6,5 mm, mereka menghabisi satu demi satu pasukan sekutu yang mendekat. Foto dok begandring
Dalam cerita lain Bung Tomo penah menerima tamu seorang pemuda asal Jember yang rela mendaftarkan diri sebagai pasukan Barisan Berani Mati. Dari tampangnya terlihat tidak meyakinkan sama sekali. Dia datang dari Jember menuju Surabaya memakai sarung lusuh dan hem yang lusuh. Dari penampilannya terlihat Bung Tomo awalnya tak yakin dengan pemuda tersebut. Bung Tomo pun mengajak pemuda itu berdialog dan akhirnya melihat bagaimana kesungguhan dan daya juangnya, kendati sekilas terlihat begitu lemah.
Sang pemuda ini akhirnya dilatih meledakkan bom. Hingga akhirnya Bung Tomo memberikan kesempatan pertama untuk meledakkan bom ke tank milik tentara sekutu. Dengan gagah berani, pemuda yang awalnya dikira memiliki fisik lemah itu maju tanpa rasa takut sedikit pun. Kemudian terdengar suara Dum..
Rupanya pemuda itu berlari menuju tank tentara sekutu dan memasang bom didekatnya. Tank sekutu meledak dengan keras, serta percikan bom mengenahi beberapa tentara sekutu lainnya. Sementara pemuda asal Jember yang membawa bom itu pun ikut gugur sebagai syahid bersama hancurnya tank sekutu. (pul)