Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Candi Gedog, dua tahun yang lalu menjadi tempat yang mengundang penasaran warga Kota Blitar. Di bawah pohon beringin besar itu merupakan puncak sebuah bangunan candi. Konon bangunan candi itu nyaris sebesar Candi Penataran, seperti yang dideskripsikan Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. Di bawah pohon beringin itu, juga terdapat cerita tragis Joko Pangon yang menjadi cikal bakal berdirinya sebuah desa Gedog.
Di bawah pohon beringin besar itu merupakan puncak sebuah bangunan candi. Konon bangunan candi yang sangat besar dan indah. Foto Pulung
Sebagian warga tidak menyebut Candi Gadog, namun juga sebutan yang familiar dengan nama Candi Joko Pangon. Nama Joko Pangon seorang yang datang dari wilayah barat dan dianggap berasal dari keluarga bangsawan Mataram, atau setidaknya prajurit dari Mataram. Joko Pangon diperintahkan Bupati Aryo Blitar untuk babat alas atau membuka hutan di wilayah timur. Sekaligus pemberi nama kawasan yang dibabat itu dengan nama (Gedog) yang artinya kandang jaran. Pengembaraannya ke kawasan Gedog itu bagian dari keinginannya mendulang ilmu pengetahuan. Melai ilmu kanuragan, juga ilmu peternakan yaitu dengan beternak kerbau dan kuda.
"Nama Pangon diambil dari kebiasaan angon (menggembala) kerbau, seperti menjadi tradisi pada masa itu, " kata Mohamad tokoh pemuda di lingkungan Candi Gedog.
Di desa seberang terdapat Lurah Bendogerit bernama Swansang. Lurah Swansang dikenal sangat kaya dan memiliki banyak ternak, mulai kuda kerbau dan sapi. Karena mendengar kemampuan Joko Pangon pintar beternak kerbau, lurah Swansang bermaksud bekerja sama dengan perjanjian.
Tugas Joko Pangon memelihara kerbau milik juragan Swansang. Imbalannya, anak kerbau jantan menjadi milik Joko Pangon dan yang betina milik juragan itu. Keberuntungan berpihak pada Joko Pangon. Kerbau-kerbau juragan itu lebih banyak melahirkan anak jantan. Hal ini membuat Swansang geram. Maka diubahlah kesepakatan dengan Joko Pangon, yaitu anak kerbau betina yang boleh dimilikinya dan sebaliknya anak jantan menjadi hak lurah Swansang.
Tapi sejak kesepakatan diubah, kerbau-kerbau sang juragan Swansang lebih banyak melahirkan anak-anak kerbau jantan. Sang juragan Swansang semakin geram. Dia perintahkan sejumlah orang untuk membunuh Joko Pangon. Caranya, tangan dan kaki Joko Pangon diikat kemudian dimasukkan ke dalam sumur tua di kompleks Candi Gedog.
Rusaknya candi diduga akibat bencana alam, yakni gunung Kelud meletus. Faktor lain berupa human error. Yaktu ada hubungan aksi massa dan penjarahan candi oleh sekelompok orang pada tahun 1965. Foto Pulung
Saat itu hanya anjing peliharaan Joko Pangon yang mengetahui keberadaan jasadnya. Anjing itu kemudian masuk ke dalam sumur mencari jasad Joko Pangon. Tapi setelah ditunggu lama, si anjing juga tidak juga muncul ke permukaan. “Kini di bawah pohon beringin itu terdapat sebuah sumur tempat jasad Mbah Joko Pangon berada dan tidak pernah ditemukan," ungkap Mohamad.
Begitu kuatnya legenda Joko Pangon, membuat sejumlah warga Gedog hingga kini masih rutin memberikan sesaji di sekitar situs. Lokasi ini memang dikenal warga sebagai tempat 'wingit' atau angker. Di tempat itu terdapat pohon beringin tua yang dianggap sebagai bersemayamnya arwah Joko Pangon.
Arwah Joko Pangon, bersemayam di pohon beringin tua itu dan dijaga oleh makhluk halus berbentuk anjing, ular, dan macan. Makhluk-makhluk halus penjaga Punden Joko Pangon ini disebut sering menampakan diri di hadapan warga.
Jika ada penampakan makhluk itu, bagi warga merupakan pertanda untuk segera melakukan upacara selamatan atau bersih desa. Warga selalu rutin menggelar upacara di Punden Joko Pangon. Danyang (penjaga gaib) yang tinggal di Punden Joko Pangon juga menyukai pertunjukan wayang kulit.
Selain itu, ada beberapa pantangan kepada warga Gedog agar tetap aman dan damai. Di antara larangan semua wanita tidak boleh mengurai rambutnya usai keramas. Warga Gedog juga dilarang memakai sarung bermotif kotak-kotak hitam putih yang lazim dipakai orang Bali.
Joko Pangon senang segala sesuatu itu bersih dan berhati-hati menjaga makamnya. Tapi pernah suatu seketika, tanpa sengaja salah satu warga memukulkan sabit hingga menyebabkan ujung yoni cuwil. Akhirnya keesokan harinya, orang tersebut meninggal ditembak pasukan Jepang.
Candi Gedog Menghilang
Dalam catatan Gubernur Jendral Raffles, disebut bahwa struktur Candi Gedog terdiri dari batu bata. Gubernur Jenderal asal Inggris itu menyatakan ketakjubannya. Sebagian besar ornamen candi dibuat dari batu. Beberapa sisi candi masih dalam keadaan utuh. Tetapi bagian dasar pintu masuk atau tangganya telah terpisah.
"Di sini juga ditemukan benda-benda kuno. Di antara kota yang telah ditinggalkan, dengan dinding-dinding dan alas dari batu, yang menarik untuk dicatat," tulisnya dalam History of Java.
Benda kuno yang ditemukan saat ekskavasi. Mulai dari pecahan gerabah, puing candi dan batu bata berukuran besar. Foto Pulung
Apa yang dinarasikan Raffles, kini tidak menemukan apapun bentuknya di Candi Gedok. Ornamen pintu masuk, tangga atau wujud candi secara utuh seperti yang disebut telah tiada. Di lokasi lebih banyak dijumpai pecahan batu bata. Potongan bata kuno yang sudah berlumut dan geripis. Puing-puing bata itu menyatu dengan gundukan tanah setinggi 1,5 meter. Ada juga susunan bata yang menyerupai pondasi bangunan. Posisinya separuh terpendam dalam tanah. Sejauh ini, hanya ada dua teori terkait alasan rusaknya candi yang diyakini secara rasional.
Selain batu bata kuno, di lokasi juga ditemukan Yoni. Namun, "Lingga" yang menjadi pasangannya tidak diketahui keberadaanya. Dalam terminologi Hindu, lingga yoni merupakan simbol kesuburan. Tidak banyak yang tahu juga sejarah pembangunan Candi Gedog, apakah dibangun saat era Kerajaan Kediri atau Majapahit. Meski begitu, kuat dugaan bahwa candi tersebut adalah tempat sembahyang atau peribadatan.
Proses ekskavasi tahap kedua sudah dilakukan selama 7 hari atas Situs Candi Gedog dan berakhir pada Rabu (26/5/2021). Ekskavasi dipimpin oleh arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Para arkeolog berhasil menemukan salah satu sudut dari struktur bangunan utama candi.
Dengan ditemukannya salah satu fondasi maka dimensi candi pun sudah diperkirakan ukuran dan bentuknya. Dengan adanya estimasi ukuran dimensi candi, pihak BPCB dapat memastikan bahwa apa yang tersisa dari Situs Candi Gedog sebenarnya tinggal struktur fondasinya saja yang terbuat dari batu bata.
Meski demikian, bukan berarti Situs Candi Gedog tidak layak untuk diselamatkan sebagai cagar budaya. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Blitar akan segera mengajukan anggaran untuk ekskavasi lanjutan, yaitu ekskavasi tahap III atas Candi Gedog. (pul)